Gurita Tambang Pasir “Ilegal” di Klaten: Bukan Sekadar Urusan Bertahan Hidup

Print Friendly, PDF & Email

Foto: ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/foc


PASIR pada dasarnya adalah sumber daya geologi, yakni benda yang melalui proses sosial meliputi perubahan nilai, kebutuhan, dan kapasitas sehingga mengalami perubahan dari sekadar bahan alam menjadi bahan konsumsi. Karakteristik materialnya, yakni tersebar di dekat permukaan atau dekat perairan, memudahkannya ditemukan dan dieksploitasi (John, 2021). 

Karakteristik tersebut membuat pasar eksploitasi pasir sulit dikendalikan oleh otoritas, apalagi di negara-negara dengan tata kelola lemah dan struktur elite yang kleptokratis. Dampak yang muncul adalah penambangan pasir sering kali terjadi secara sporadis. Faktor lain seperti permintaan yang tinggi untuk konstruksi juga menyebabkan eksploitasi pasir semakin sulit dikendalikan. Maka kemudian muncullah kategorisasi penambangan yang “legal” dan “ilegal”. 

Pandangan biner yang mengategorikan penambangan “legal” dan “ilegal” itu sebenarnya membingungkan sebab tiada batas yang tegas antara aktivitas dan pelaku yang “melanggar hukum” dan yang tidak. Masalah muncul kala hukum tumpang tindih, membuka celah bagi eksploitasi pasir atau bahkan regulasi menjadi jalan bagi ekspansi pertambangan. Hal ini menjadi semakin kompleks kala dihadapkan dengan ketersediaan lapangan kerja, struktur pasar pasir, dan rezim agraria yang bekerja di dalamnya (Salle, 2022).


Yang Terjadi di Klaten

Pemanfaatan regulasi tertentu untuk mengekspansi tambang pasir misalnya terjadi di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.

Studi yang dilakukan oleh Syaifulloh (2021) menunjukkan bahwa Perpres 70/2014 menetapkan salah satu kecamatan di Klaten, Kemalang, sebagai zona lindung, hortikultura, dan perkebunan–bukan penambangan. Sejak 2019, pemerintah Klaten sebenarnya tak lagi mengeluarkan izin penambangan dan beralih pada pemberian izin penataan perkebunan terutama lahan bekas sisa penambangan. Latar belakang keluarnya izin penataan perkebunan adalah untuk mengatasi lahan bekas tambang yang tak direklamasi. Di luar itu, masih ada tujuh penambang yang masih memiliki izin di Klaten.

Pada akhir 2019, kepala desa di Kemalang merekomendasikan 40 izin penataan perkebunan. Izin penataan perkebunan itu justru digunakan untuk menambang pasir di lereng Gunung Merapi. Mereka yang mendapatkan izin penataan perkebunan hanya fokus mengeluarkan material berupa pasir dan batuan, alih-alih mengupayakan tindak lanjut untuk aktivitas ekonomi perkebunan. Dampak yang muncul adalah lahan ditinggalkan begitu saja setelah pasir dikeruk. Aktivitas perkebunan tidak dijalankan.

Izin penataan perkebunan yang murah dan pengurusan izin penambangan yang harus sampai di Kementerian ESDM membuat penambang pasir di Klaten mengambil jalan pintas (Syaifulloh, 2021) seperti ini. Pemodal kemudian akan pindah lokasi dan mengurus izin penataan perkebunan baru.

Selain itu ada juga pelanggaran lain. Misalnya pengambilan material melebihi batas waktu, alat berat yang digunakan terlalu banyak, galian terlalu dalam, mengeruk tebing, dan jumlah material yang boleh diambil lebih banyak dari yang seharusnya.

Berlakunya UU 3/2020 sebagai regulasi minerba baru, yang menarik kewenangan pemerintah daerah dalam urusan pertambangan termasuk pasir ke pemerintah pusat, semakin menyulitkan adanya pengaturan di lapangan (Syaifulloh, 2020). Penarikan kewenangan menyebabkan penindakan terhadap praktik penambangan hanya bisa dilakukan oleh kepolisian, yakni Polres Klaten, dengan fokus pada penambangan yang belum memiliki izin. Selama Januari-November 2022, Polres Klaten berhasil mengungkap enam kasus penambangan yang belum memiliki “izin” dari Kementerian ESDM. 

Salah satu pelaku yang ditangkap pada periode Januari-November 2022 enggan dikatakan “melanggar hukum” dengan dalih sudah memproses perizinan, hanya saja belum melengkapi perihal pengelolaan lingkungannya dan upaya pemantauan lingkungan. Penambang menyangka dapat memulai penambangan apabila sudah memproses IUP (Izin Usaha Pertambangan) melalui Online Single Submission (OSS), padahal tidak. Perizinan belum selesai.  Pemda Klaten menyampaikan bahwa sampai 2021 terdapat 106 pengajuan izin penambangan melalui OSS, sedangkan penambang resmi hanya berjumlah tujuh. 

Penggunaan OSS di sisi lain juga menyulitkan pemerintah desa dalam melakukan pengawasan, koordinasi, apalagi mendapatkan kontribusi ekonomi dari penambangan pasir di daerahnya. Masalah semakin rumit akibat sejak berlakunya UU 3/2020, perizinan harus ke pusat, bukan melalui OSS.

Modus terbaru ditemukan Polres Klaten pada penangkapan tanggal 8 Juni 2023 adalah pelaku berdalih melakukan reklamasi lahan, tetapi justru menambang pasir curah.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Regulasi yang Kacau

Sebagian masyarakat bergantung pada nilai guna pasir untuk penghidupan mereka. Mereka tak mengambil pasir karena yang berada di tempat mereka saja bisa mencukupi kebutuhan seperti digunakan dalam bertani. Ada juga yang melihat keuntungan dari nilai tukar pasir. Pasir diambil untuk dijadikan komoditas. Hal tersebut yang menyebabkan penambangan pasir sering kali membawa konsekuensi pada terjadinya gesekan kepentingan di antara masyarakat dan berbagai pihak (John, 2021). 

Relasi masyarakat di wilayah penambangan pasir sering kali timpang, antara mereka yang bergantung pada nilai guna dengan mereka yang ingin menikmati nilai tukar pasir melalui penambangan. Mereka yang berupaya memanfaatkan nilai tukar pasir tak jarang menggunakan intimidasi dan berbagai bentuk kekerasan demi mempertahankan penambangan. Penambangan pasir apalagi menjadi “bantalan kondisi krisis” dengan menerima limpahan angkatan kerja yang terlempar dari sumber penghidupan sebelumnya (John, 2021).

Studi Arrozy dan Edytya (2022) menunjukkan bahwa pascaerupsi Merapi tahun 2010, sektor pertanian tak lagi menjadi tumpuan hidup. Rakyat beralih ke sektor pertambangan. Penambang pasir mengaku bisa menyekolahkan anak dan menopang hidup. Penambang berani menolak upaya normalisasi Sungai Woro oleh Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) Kemalang dan kontraktor pada tahun 2018 demi mempertahankan penghidupan mereka. Warga Kemalang  bahkan berani mengadang aparat, misalnya terhadap Bareskrim Polri yang berupaya melakukan penggerebekan pada 24 Februari 2023

Sengkarut penambangan pasir sempat membuat Bupati Klaten mengadu kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dia merasa tak bisa menanganinya sendiri. Pemda Klaten seakan tak mampu menangani sengkarut tambang, yang dibuktikan pula dengan rendahnya serapan retribusi angkutan bahan galian C. Hingga Agustus 2022, retribusi yang masuk baru Rp100 juta dari target Rp3 miliar pada akhir tahun. 

Buruknya tata kelola membuat penambangan pasir di Klaten tak terkendali dan justru membawa kerugian lingkungan dan ekonomi. Struktur ekonomi politik yang kompleks di lapangan, beriringan dengan tata kelola buruk di kantor pemerintahan, justru membuat berbagai regulasi menjadi jalan memuluskan ekspansi tambang pasir secara “tak terkendali”. Akibat regulasi telah dibajak untuk kepentingan ekstraksi, penambang berani “melawan” sekalipun yang bertindak adalah aparat keamanan dan jajaran pemerintahan lainnya.


Anggalih Bayu Muh Kamim adalah mahasiswa Magister Sosiologi Pedesaan, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor (IPB).

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.