Tidak Ada Kiri dalam Pemilu Indonesia

Print Friendly, PDF & Email

Foto: Kompas/Hendra A Setyawan


SAYA selalu mendapat pertanyaan yang sama dari waktu ke waktu: bagaimana kelompok “kiri-tengah” mampu bersaing dengan kelompok “kanan-tengah” atau “kanan” dalam perebutan kekuasaan dan pengaruh di Indonesia, sebuah negara yang demokrasinya sering dipuji sekaligus cacat?

Meskipun label “kiri” dan “kanan” bisa bermasalah jika tidak dikontekstualisasikan, ada isu yang lebih penting lagi: tidak ada kekuatan kiri-tengah yang mampu bertahan dan terorganisir secara koheren di Indonesia hari ini–apalagi kiri. Faktanya hanya ada ragam kekuatan sayap kanan dan tengah yang mampu bersaing merebut kekuasaan dan pengaruh signifikan di dalam ajang elektoral sejak Reformasi 1998. Kekuatan-kekuatan politik ini cenderung menyebarkan wacana politik yang menekankan nasionalisme, agama atau gabungan keduanya—selama itu menguntungkan dan memantapkan posisi mereka.

Pengamatan semacam ini relevan guna memahami sejumlah dinamika pemilu presiden dan legislatif yang akan dilangsungkan pada awal tahun mendatang. Jika kita menerima generalisasi bahwa isu-isu yang berkaitan dengan kesetaraan dan keadilan sosial cenderung menjadi urusan mereka yang condong ke politik kiri, maka tidak ada partai politik besar yang bisa diharapkan mengusung agenda politik yang mendekati kiri.

Absennya kiri dalam politik Indonesia amatlah mencolok mengingat hal-ihwal kesetaraan dan keadilan sosial diabaikan justru di saat keduanya menjadi isu yang sangat penting. Jelas, misalnya, bahwa demokratisasi telah gagal mengatasi kesenjangan yang kian lebar antara si kaya dan si miskin, sebuah problem yang sudah hadir setidaknya sejak masa kejayaan rezim otoriter Orde Baru (1966-1998). Pada 2017, empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan yang setara dengan 100 juta orang termiskin di negerinya. Rasio Gini Indonesia bertengger di angka 0,4 beberapa waktu belakangan—kendati mengalami penurunan sebelum Covid-19. Namun, angka ini tidak menggambarkan bagaimana sekitar separuh kekayaan di Indonesia hanya dikendalikan oleh satu persen populasi.

Patut dicatat bahwa Presiden Joko Widodo dipuji sebagai “pilihan rakyat” ketika melejit ke panggung nasional, pertama sebagai Gubernur Jakarta pada 2012 dan kelak sebagai calon presiden yang sukses dalam Pemilu 2014. Situasi ini membuat sebagian orang mendambakan–meski hanya sementara–peluang untuk mengembangkan sebuah sistem serupa negara kesejahteraan di bawah kepemimpinan Jokowi. Namun terlepas dari beberapa skema kesejahteraan sosial dan kesehatan masyarakat yang patut diacungi jempol pada periode pertama Jokowi, harapan “negara kesejahteraan” tersebut telah lama padam.

Yang terjadi justru sebaliknya: muncul banyak percakapan di kalangan intelektual Indonesia tentang pembajakan demokrasi oleh oligarki. Beberapa analis menyatakan oligarki ini tercipta dari perpaduan kepentingan politik-birokrasi dan bisnis besar yang sudah melekat dalam struktur ekonomi politik Indonesia era Orde Baru. Oligarki, yang dibesarkan dalam naungan otoritarianisme, kemudian menjajah lembaga-lembaga demokrasi Indonesia, khususnya partai politik dan parlemen. Pandangan ini dapat menjelaskan mengapa pemerintahan Jokowi akhirnya sangat berkelindan dengan kekuatan oligarki, meskipun ia presiden pertama sejak Reformasi yang tidak punya bagasi Orde Baru.

Latar belakang Jokowi yang bukan oligarki juga membuat sejumlah orang yang memiliki trah sosial demokrat atau liberal reformis mendukungnya. Selama dua masa jabatan presidennya, banyak orang dari kalangan tersebut dimasukkan ke dalam pemerintahan dengan kapasitas yang berbeda-beda. Namun, undang-undang seperti omnibus law 2022–yang melanggar hak-hak buruh dan berpotensi menambah tingkat kerusakan lingkungan–jelas menunjukkan bahwa orang-orang ini tak cukup berdaya di hadapan kepentingan oligarki. Hal serupa juga tampak pada sejumlah dinamika yang melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebuah lembaga yang sebelumnya dianggap sebagai simbol kemenangan reformasi. Ini diperparah oleh keberadaan produk-produk hukum yang dirancang untuk melindungi penguasa dari kritik, termasuk di dunia maya, dunia yang pernah dibayangkan sebagai surganya kebebasan berekspresi.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Sekali lagi, konteks itu penting. Sejarah Indonesia, yang bersinggungan dengan Perang Dingin di Asia Tenggara, diwarnai oleh pembunuhan massal kaum kiri sebagai bagian dari penghancuran Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965/66. Beberapa pengamat merayakan apa yang menurut mereka adalah kebangkitan tendensi kiri di kalangan generasi baru aktivis mahasiswa pada 1990-an. Namun, tak ada konsekuensi jangka panjang dari kebangkitan kritik terhadap kapitalisme predator, misalnya, dalam pengerahan sentimen publik dan sebagai faktor dalam politik elektoral. Banyak aktivis dari generasi tersebut kelak bergabung ke sejumlah partai politik besar, yang tak satu pun yang bisa disebut mewakili kaum buruh, kaum tani, kaum rentan perkotaan, dan kaum-kaum paling tertindas dalam masyarakat Indonesia.

Apa dampak utama dari ketiadaan kelompok kiri-tengah, terlebih lagi kelompok yang terang-terangan kiri, dalam politik Indonesia saat ini? Apakah ini berarti bahwa isu-isu terkait jurang antara si kaya dan si miskin, rendahnya kualitas layanan publik, meningkatnya kerentanan, termasuk di kalangan generasi muda Indonesia, hingga kerusakan lingkungan niscaya akan diabaikan?

Belum tentu. Pertanyaannya adalah bagaimana isu-isu ini dibingkai dalam debat publik. Saking kosongnya spektrum politik di sebelah kiri, ada kecenderungan isu-isu tersebut disajikan lewat cara-cara yang selaras dengan sentimen nasionalis dan/atau keagamaan yang telah ditanamkan dalam kehidupan sehari-hari, melalui sistem pendidikan nasional berikut produk-produknya. Media arus utama dan media sosial, dengan pasukan buzzer dan influencer bayaran yang rajin lembur menjelang pemilu, memperparah kekosongan ini.

Saking masif dan derasnya penyebaran pesan-pesan yang seolah menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan bela bangsa, sebagian besar masyarakat kian mudah menelan kerangka isu-isu sosial yang mengambinghitamkan “pihak lain”. Terkadang, yang dimaksud “pihak lain” itu adalah kekuatan asing atau kepentingan ekonomi asing, tetapi ada kalanya pula kelompok minoritas yang disingkirkan karena alasan etnis, agama, bahkan orientasi seksual. Walhasil, mekanisme di balik dominasi oligarki pun akhirnya luput dari sorotan. 

Tak heran jika sentimen anti-Tionghoa masih marak. Para pebisnis kaya keturunan Tionghoa pun terus membentengi diri melalui aliansi dengan para politisi, birokrat, dan jenderal. Ini jadi lahan subur berbagai kendaraan politik sayap kanan-tengah dan sayap kanan; mereka semakin cerdik dan oportunis menggabungkan jargon dan simbol-simbol hiper-nasionalis dan populisme agama yang sering kali bercorak garis keras.

Bukan kebetulan jika mereka juga mahir dagang sapi, seperti yang terlihat dari cairnya koalisi partai politik yang saat ini mendukung masing-masing calon presiden. Komposisi koalisi-koalisi ini lebih sering mengalami pergeseran akibat perubahan hasil pemilu ketimbang karena berselisih soal kebijakan atau program.

Dari sudut pandang ini, meskipun terdapat retorika yang pro-rakyat dari koalisi-koalisi tersebut, tidak mengherankan jika tak ada satu pun yang tertarik–tidak pula merasa pernah didesak–untuk menangani berbagai masalah yang bersumber dari ketidakadilan sosial yang sudah mengakar di Indonesia.***


Vedi Hadiz adalah Profesor Kajian Asia dan Direktur Asia Institute, Universitas Melbourne. Buku-bukunya antara lain Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in Age of Markets (2004, ditulis bersama Richard Robison) dan Islamic Populism in Indonesia and the Middle East (2016).

Artikel ini sebelumnya terbit di Australia Outlook, 30 Agustus 2023. Terjemahan berbahasa Indonesianya diterbitkan oleh IndoPROGRESS untuk tujuan pendidikan.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.