Menjelajahi Pendirian Serikat Pekerja Kampus

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Greg Groesch/The Washington Times


“17 Agustus tahun 45, itulah hari kemerdekaan kita…” lagu ciptaan Husein Mutahar itu mengingatkan kita akan pentingnya peringatan hari kemerdekaan. Ketika memaknai hari kemerdekaan, maka banyak pertanyaan akan muncul, termasuk apakah kita telah benar-benar merdeka? 

Untuk para pekerja kampus, jawabannya adalah belum. Pekerja kampus belum merdeka dan masih bergantung pada pemberi kerja–atau dalam bahasa Permenpan RB Nomor 1 Tahun 2023 disebut “atasan”. Berbagai kewajiban administratif tidak berbanding lurus dengan penghasilan yang didapat. Tim Riset Kesejahteraan Dosen menemukan sebanyak 42,9% dosen menerima upah di bawah Rp 3 juta per bulan. Tim Perumusan Masalah Komite Persiapan Pembentukan Serikat Pekerja Kampus juga menemukan 58% tenaga kependidikan merasa bahwa penghasilannya tidak mencukupi.


Jalan Buntu Kesejahteraan

Banyak pekerja kampus tidak merasakan nikmatnya kemerdekaan. Untuk dapat mencukupi kebutuhan hidup, misalnya, banyak pekerja kampus mengambil pekerjaan tambahan, termasuk proyek-proyek yang berkelindan dengan kekuasaan. Hal ini mengganggu marwah keilmuan dan merusak ekosistem pendidikan di lingkungan perguruan tinggi. 

Hal ini menambah persoalan sistem pendidikan tinggi di Indonesia yang sudah buruk. Buruknya sistem tercermin dari berbagai contoh: maraknya obral gelar doktor honoris causa termasuk untuk para politikus, obral jabatan profesor, besarnya persentase suara pemerintah dalam pemilihan rektor, budaya plagiasi, eksploitasi mahasiswa, penundukan dosen oleh elite politik, free riding penulisan jurnal, formalisme akademisi, investasi elite melalui penunjukan komisaris dari kalangan akademisi, korupsi, kolusi dan nepotisme, jual beli nilai, sampai maraknya joki di kampus

Diskusi yang diselenggarakan Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) tanggal 16 November 2021 dengan tema Menggagas Serikat Pekerja Kampus dan 21 Maret 2022 dengan tema Urgensi Serikat Pekerja di Tengah Otoritarianisme mengemukakan problem beban tugas yang tinggi para dosen, mulai dari sistem presensi yang ketat, tuntutan jurnal dan outcome dengan berbagai standar, Beban Kerja Dosen (BKD), dan sebagainya. Kemudian ada proses akreditasi yang lebih sering menyibukkan para dosen dibandingkan memproduksi ilmu pengetahuan, meneliti secara bebas, dan membuat masyarakat berdaya. 

Undang Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi menyatakan pengaturan, perencanaan, pengawasan, pemantauan, evaluasi, pembinaan, dan koordinasi dilakukan oleh kementerian. Maka menteri-lah yang menentukan baik buruknya dosen. Seorang dosen dikatakan baik jika ia memiliki banyak publikasi, sementara kualitasnya nomor sekian. Dosen menjadi terdorong untuk menerbitkan publikasi sebanyak-banyaknya demi mengejar imbalan akibat sistem pengupahan yang belum berpihak. 

Kondisi-kondisi yang tidak ideal ini menjadi topik diskusi hangat di KIKA dan berbagai forum dosen sejak 2021. Puncaknya, 19 April 2023, KIKA menyatakan menolak Permenpan RB 1/2023 karena beberapa alasan. Pertama, ini adalah produk hukum sepihak yang dibuat tanpa melalui proses partisipatif. Kedua, penilaian kinerja dalam peraturan ini secara terang benderang diorientasikan untuk memenuhi ekspektasi pimpinan. Ketiga, beban administratif yang semakin berat. Beban ini akan membuat dosen membangun menara gading yang terasing.

Kritik lain terhadap Permenpan RB 1/2023 adalah peraturan ini mengubah fungsi dosen menjadi birokrat kampus. Dengan kata lain, hendak mengintegrasikan kinerja dosen ke dalam mesin kerja birokrasi–pada akhirnya, kreativitas akan dibunuh atas nama institusi. Memang, pemerintah sudah sejak awalnya memiliki kontrol pada sistem pendidikan tinggi, termasuk misalnya dalam jenjang promosi dosen. Permenpan RB 1/2023 memperkuat kontrol tersebut.

Bersamaan dengan kontrol terhadap para dosen, sistem pendidikan tinggi juga terimbas kebijakan liberalisasi dari pemerintah. Para mahasiswa di berbagai kampus menghadapi permasalahan yang pelik, yaitu semakin meningkatnya Uang Kuliah Tunggal (UKT). Marak diberitakan oleh media tentang mahasiswa baru terpaksa mundur karena tidak mampu membayar UKT yang mencekik. Mahasiswa baru yang berasal dari kelas buruh menghadapi kenyataan bahwa kesempatan baginya untuk mengenyam pendidikan tinggi semakin tertutup. 

Perbincangan terus mengalami eskalasi sampai pada 29 April 2023 diselenggarakan pernyataan bersama bertajuk “Saya Dosen, Saya Buruh” yang sekaligus memperingati May Day 2023. Hal ini kemudian membuat beberapa pekerja kampus mendeklarasikan diri sebagai buruh pada 1 Mei 2023. Demonstrasi yang dimotori serikat pekerja di Universitas Indonesia, KIKA, Universitas Gadjah Mada, dan berbagai komunitas diskusi pun turut memicu animo hingga menginisiasi perkumpulan yang lebih konkret untuk mengadvokasi hak-hak pekerja kampus.

Jalan buntu kesejahteraan juga dialami oleh para pekerja kampus lain, termasuk mahasiswa asisten dosen, staf kependidikan, petugas kebersihan, dan petugas keamanan. Di beberapa kampus, para pekerja kampus ini masih belum memiliki keamanan dan kepastian kerja. Petugas keamanan dan kebersihan sering kali berstatus pekerja alih daya. Para mahasiswa asdos atau pun bekerja dalam proyek-proyek juga berstatus tidak jelas.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Kemerdekaan Tidak Turun dari Langit, tapi Muncul Lewat Kesadaran Kolektif

Regulasi tentang Kampus Merdeka mengesankan “kemerdekaan” sebagai pemberian dari pemerintah, dan hanya pemerintah yang dapat memberikan tafsiran tentang bagaimana kampus merdeka. Selain itu, dalam sistem yang buruk, pekerja kampus juga sering mengandalkan datangnya satrio piningit atau superhero untuk menyelesaikan masalah mereka. 

Namun perubahan tidak terjadi tiba-tiba. Perubahan adalah hal yang tumbuh dan berkembang dan diawali dengan benih yang ditanam sendiri. Kemerdekaan merupakan kunci dan benih perubahan. Artinya, kemerdekaan merupakan fertile source. Dan itu yang terjadi. 

Sejak 1 Mei 2023, pergerakan pekerja kampus semakin masif. Berbagai grup dibuat untuk membuat pembagian kerja efektif. Rencana membentuk serikat semakin bulat. Komite Persiapan Serikat Pekerja Kampus yang diketuai oleh Herdiansyah Hamzah dan Kanti Pertiwi merancang strategi bersama dan merumuskan hal-hal substansial tentang desain ideal serikat yang akan dibentuk. Benang merah yang mempertemukan banyak elemen pada saat itu adalah kesadaran bahwa terdapat sistem yang tidak adil dan diskriminatif dalam ekosistem kampus yang menyebabkan pekerja tidak dapat mengembangkan diri secara optimal.

Berbagai diskusi digelar untuk belajar cara-cara berserikat di wilayah lain, dari mulai Australia hingga Eropa. “Kebebasan akademik menghadapi ancaman di berbagai tempat di dunia. Akademisi dan mahasiswa menghadapi ancaman persekusi dan hukuman disiplin karena menyebarkan gagasan dan mengajukan pertanyaan. Pemerintah menarik pendanaan pendidikan untuk alasan politis dan semakin sulit bagi akademisi untuk mempertahankan pekerjaan tetap. Kami melihat ini di mana-mana: Afganistan, Brasil, Cina, Hungaria, Nikaragua, Amerika Serikat, Venezuela,” kata Daniel Munir dari Scholars at Risk. Scholar At Risk memperhatikan situasi kebebasan akademik di Indonesia, dan melaporkannya dalam Universal Periodic Review tahun 2022.

Comparative study ini dibaurkan dengan situasi dalam negeri. Beberapa komunikasi dilakukan untuk mengumpulkan balung pisah serikat pekerja. Serikat seperti Paguyuban Pekerja UI, Koperja, IKDT Mercubuana, dan Serikat Pekerja UP45 Yogyakarta menjadi pembanding untuk mengetahui tantangan pendirian serikat pekerja kampus. Tim lain di komite persiapan melakukan riset pemetaan tuntutan dan masalah kampus, kemudian diformulasikan untuk meningkatkan kapasitas internal yang rencananya disusun oleh tim lain. 

Panitia Kongres Pendirian Serikat Pekerja Kampus kemudian didirikan, diketuai oleh Estu Putri Wilujeng. Di sela-sela panitia mempersiapkan hal-hal teknis, anggota sibuk membahas Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Perdebatan prakongres tanggal 22 Juni, 28 Juni, 6 Juli, dan 10 Juli 2023 dengan durasi pembahasan 7-8 jam tiap pertemuan akhirnya menghasilkan 44 lembar dokumen yang menjadi desain besar Serikat Pekerja Kampus–dan kemudian dirapikan oleh Tim hukum Serikat Pekerja Kampus. 

Demikianlah, Kongres Pendirian Serikat Pekerja Kampus terselenggara pada 17 Agustus 2023 di Salemba, Jakarta. 

Serikat Pekerja Kampus tumbuh dan berkembang bersama, menggagas kesejahteraan untuk sesama, dan memaknai keadilan sosial dengan kerja sama. Serikat Pekerja Kampus memiliki prinsip kesetaraan, non-diskriminasi, berdaulat, independen, dan demokratis. Rumusan prinsip ini adalah jawaban dan antitesis dari situasi yang dialami para pekerja kampus.


Dhia Al Uyun & Hariati Sinaga adalah Ketua dan Sekretaris Serikat Pekerja Kampus

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.