Milan Kundera Vs Vaclav Havel: Bagaimana CIA Membekingi Sastrawan Medioker

Print Friendly, PDF & Email

Foto: Wikimedia Commons


SAYA semakin rutin mengunjungi Milan Kundera dan istrinya, Věra, pada 2019, tahun ketiga saya mengemban misi sebagai duta besar Ceko untuk Prancis. Berawal dari rasa sopan dan kekaguman yang disampaikan seorang diplomat lewat telepon, kepada penulis terhebat dari negeri asalnya, hubungan itu berkembang menjadi persahabatan. Namun, malam di penghujung November ini terasa istimewa. Saya merasa gugup—segugup ketika saya menelepon keluarga Kundera dua tahun sebelumnya. November itu saya berkunjung ke apartemen mereka di Paris dan seperti biasa ngobrol ngalor-ngidul. Setelah beberapa lama, tibalah saya ke pokok pembicaraan: “Milan, saya tahu kau tidak menyukai seremoni, tapi izinkan saya menyampaikan beberapa patah kata.”

Usai beberapa patah kata itu, saya menyerahkan sebuah berkas yang menyatakan bahwa Milan Kundera telah memperoleh kewarganegaraan Ceko. Dengan senyum tipis dan sedikit malu-malu, Kundera mengangguk, mengambil dokumen itu dan menandatangani salinannya untuk diserahkan ke otoritas Ceko. Secara simbolis, malam itu Kundera pulang kampung, 40 tahun setelah kewarganegaraannya dicabut, dan 30 tahun setelah Revolusi Beludru mengantar rekan-rekannya sesama intelektual pembangkang ke tampuk kekuasaan—terutama bekas kawannya Václav Havel, yang menjabat sebagai presiden sejak 1989 hingga 2003.

Mengapa butuh waktu lama? Bukankah Kundera sudah rindu rumah? Atau, apakah orang Ceko lebih suka dia tinggal di pengasingan? Setelah 1989, keluarga menimbang-nimbang untuk membagi waktu antara Paris, Praha, dan Brno, tempat kelahiran Kundera. Tapi rencana ini tidak pernah terwujud. Beberapa kali mereka melakukan perjalanan diam-diam ke Ceko. Sesekali, kawan-kawan Ceko berkunjung ke Paris atau rumah musim musim panas Kundera di Touquet. Telepon-teleponan juga sering. Tapi itu saja. Tak ada kata pulang. Kenapa demikian?

Kuncinya mungkin ada di novel-novel Kundera. Para pengkritik Kundera mendaku telah mengendus sentimen anti-Ceko di novel-novel itu. Kundera sendiri menganggap salah satu naskah drama awal yang ia tulis anti-Ceko. Yang lebih penting lagi, ia tidak saja mengolok-olok para pejabat komunis dalam novel-novelnya, namun juga mengambil jarak kritis dari kaum pembangkang. Ketika Kundera, misalnya, mengisahkan bagaimana Tomáš, protagonis dalam The Unbearable Lightness of Being, menolak menandatangani petisi untuk mendukung tahanan politik, pembaca niscaya berpihak pada si tokoh dokter itu. Tak hanya itu, Kundera konon enggan mengizinkan buku-bukunya yang ditulis dalam bahasa Prancis diterjemahkan ke dalam bahasa Ceko. Tapi ia tidak pernah bicara terbuka tentang hubungan dirinya dengan tanah air. Bahkan ia sama sekali tidak pernah bicara di depan khalayak.

Věra-lah yang memecah keheningan panjang ini beberapa minggu sebelum rehabilitasi kewarganegaraan sang suami. Dalam sebuah wawancara, Věra blak-blakan mengungkapkan kerinduannya akan rumah yang hilang, juga soal kenapa mereka tidak bisa pulang. Banyak pembaca Ceko terkejut mendapati bahwa selama beberapa dekade Kundera dimusuhi para pembangkang di Praha dan kaum eksil anti-komunis lainnya. Kawan-kawan Havel rupanya sangat aktif menyerang Kundera (keterlibatan Havel sendiri masih kabur).


KUNDERA dan Havel pertama kali bertemu pada akhir 1950-an. Kundera, seorang penulis muda yang menjanjikan, mengajar di Akademi Film Praha yang bergengsi. Havel yang tujuh tahun lebih muda meminta saran Kundera karena ia ingin masuk akademi tersebut. Kundera mencoba membantu Havel dengan cara bertindak—dalam kata-kata Havel sendiri—sebagai “agennya”. Terlepas dari upaya-upaya ini, Akademi Film Praha menolak Havel dengan alasan atas “keturunan borjuis”, sebuah label yang digunakan untuk menyebut siapa pun yang orang tuanya bukan pekerja atau petani. Tak keliru memang, sebelum komunisme, keluarga Havel adalah salah satu yang terkaya dan paling berpengaruh di Praha.

Sejak pertemuan perdana itu, sepanjang 1960-an, hubungan Kundera dan Havel tak imbang. Kundera adalah bagian dari elite kebudayaan Ceko yang kerap dibanjiri penghargaan, senantiasa memancing kekaguman pembaca dan menarik minat penerbit asing. Secara politis, Kundera adalah seorang mbeling yang kerap dikritik para pejabat perapal dogmal; buku-bukunya pun harus menunggu bertahun-tahun untuk terbit karena izin resmi lamban keluar. Meski menanggalkan idealisme marxis sebagaimana yang terlihat dalam puisi-puisi perdananya, Kundera masih meyakini beberapa versi sosialisme. Sebaliknya, Havel adalah “orang luar” yang ambisius. Diuntungkan oleh modal budaya keluarganya, Havel tetap menyandang nama besar dan menjalin kontak dengan para penyair dan intelektual ternama. Di sisi lain keluarga Havel adalah musuh kelas di mata rezim sehingga karier profesionalnya tersendat-sendat. Ketika terjun ke dunia teater, Havel menjadi orang belakang panggung. Berkat liberalisasi politik di negerinyalah ia mendapat pengakuan sebagai penulis drama. Politiknya main aman: ia bukan anti-komunis atau anti-sosialis garis keras (kecuali dalam kurun waktu singkat ketika ia berontak melawan ibunya). 

Beberapa intelektual papan atas, termasuk Kundera, mencoba membantu Havel yang tertatih-tatih. Namun, mengingat ambisinya yang besar dan rasa haus akan pengakuan, Havel sudah pasti merasa iri terhadap rekan-rekannya itu. Mereka punya akses yang lebih mulus ke media dan penerbit. Mereka menduduki posisi mentereng dalam mesin kebudayaan negara. Meski diadang banyak kendala, beberapa kali Havel sukses. Dramanya yang ditulis pada 1963, The Garden Party, tidak hanya dipentaskan di Praha, tetapi juga Jerman—suatu pencapaian luar biasa bagi seorang penulis muda Ceko saat itu. Tapi ia sulit menandingi kesuksesan Kundera yang karyanya dibaca dan diterjemahkan secara luas. The Joke (1967) dengan cepat menjelma menjadi teks yang dielu-elukan banyak orang. Pada 1969, sudah ada tiga film yang diadaptasi dari buku-buku Kundera. Ketika mengunjungi Praha pada musim gugur 1968, Carlos Fuentes, Gabriel García Márquez dan Julio Cortázar mencari Kundera.

Mungkin kebencian ini bisa menjelaskan betapa kasarnya reaksi Havel atas esai Kundera “Czech Destiny” yang terbit pada Desember 1968, beberapa bulan setelah invasi Soviet menggagalkan reformasi demokratik [Musim Semi Praha/Prague Spring] pada tahun yang sama. Memang benar, Kundera menulis dengan sangat liris; ia bicara tentang “misi besar negara-negara kecil” dan menyatakan bahwa tahun 1968 telah “menggeser Ceko dan Slovakia ke pusat sejarah dunia” sampai-sampai bangsa tersebut “menyaksikan kehebatannya sendiri.” Kundera merayakan Musim Semi Praha sebagai sumbangsih unik bagi politik dunia. Bagi Kundera, upaya Ceko menciptakan sistem politik yang menghormati kebebasan dan keadilan sosial bernilai penting secara universal dan dapat memberikan pelajaran berharga bagi negara-negara Barat. Harapannya akan reformasi demokratik sangat membuncah, bahkan di bawah pendudukan Soviet.

Havel, yang tidak pernah mempercayai kaum komunis reformis, bereaksi kasar. Ia mengolok-olok “omong kosong patriotik [Kundera] yang nostalgis lagi narsis.” Baginya, Kundera terjangkit “mesianisme kampungan yang konyol.” Dia berpendapat bahwa para reformis Praha sekadar mencoba untuk mengoreksi kejahatan-kejahatan yang telah mereka lakukan. Menurut Havel, model demokrasi liberal ala Barat dengan sendiri mampu mendamaikan kebebasan dan keadilan sosial tanpa perlu belajar dari komunis. Selain itu, Havel menampik segala harapan untuk melanjutkan reformasi demokratik dan menyerukan perlawanan damai terhadap pendudukan Soviet. Tanggapan Kundera pun tak kalah personal. Bagi Kundera, Havel sekadar pamer sikap; usulan Havel mungkin radikal tapi hanya untuk memuaskan kebutuhannya akan kepemimpinan moral yang sia-sia. Selain itu, lanjut Kundera, proposal Havel tak mengandung konsekuensi praktis—bahkan malah berbahaya.  

Komunikasi Havel-Kundera mencerminkan garis pemisah antara dua kubu intelektual: liberal dan sosialis demokratik. Kundera mengajukan model masyarakat baru yang merdeka dan adil, menghindari sifat buruk kapitalisme Barat dan otoritarianisme Eropa Timur; sementara Havel membela kapitalisme Barat sebagai satu-satunya model yang didambakan, yang memerlukan penyesuaian namun tak butuh revisi besar. Perbedaan-perbedaan ini tidak penting di mata para pemimpin neo-Stalinis yang sukses merebut kembali pemerintahan setelah pemberontakan 1968. Rezim mengutuk kedua penulis tersebut sebagai anti-sosialis dan melarang karya-karya mereka.

Tapi roh hubungan kedua penulis dibentuk oleh persaingan profesional. Meski sama-sama mencari pengakuan di kancah sastra dunia, hanya Kundera yang menang. Havel memang diakui sebagai kampiun kebebasan dan pemimpin politik, namun tidak pernah masuk kanon sastra dunia. Meskipun demikian, ia tetap mempertahankan ambisi sastra dan identitasnya sebagai penulis. Setelah pensiun dari jabatan presiden, Havel menulis drama berjudul Leaving (yang biasa-biasa saja) dan menyutradarai film (yang gagal) berdasarkan drama tersebut.

Semua ini mungkin menjelaskan perlakuan mendua Havel kepada Kundera. Setelah polemik 1969, dia tidak pernah melancarkan serangan pribadi terhadap Kundera tapi tidak melakukan apa pun untuk mencegah serangan teman-teman dan pengagum kepada rivalnya itu. Terbaru dan paling kejam muncul pada 2008, ketika mingguan Ceko Respekt menerbitkan artikel berisi tuduhan kepada Kundera. Menurut artikel itu, ketika masih menjadi mahasiswa pada 1950-an, Kundera melaporkan keberadaan seorang agen Barat kepada polisi. Artikel tersebut tidak menyajikan bukti apa pun selain desas-desus dan BAP polisi yang menyebutkan Kundera sebagai sumber informasi.

Meski ada sejumlah alasan untuk bersikap curiga, tuduhan itu agak lemah. Tak ada tanda tangan Kundera maupun nomor identitasnya di BAP, padahal itu prosedur standar. Apalagi, agen ditangkap di kamar asrama sang mantan pacar. Dialah yang melaporkan kedatangan si agen ke Praha bersama mantan pacar yang kelak jadi suaminya. Dia pula yang diduga menyampaikan informasi ini kepada Kundera. Namun, baik sang gadis maupun pacarnya tidak dihukum karena melakukan kontak dengan agen—hal yang lumrah terjadi selama periode teror. Kundera membantah telah terlibat. Tidak ada bukti lebih lanjut yang dihasilkan. Namun peristiwa ini menodai namanya, membahayakan kesehatannya beserta istri dan membuat mereka memutuskan untuk mengakhiri kunjungan ke Czechia.

Saat itu—hingga hari ini—Respekt diterbitkan oleh taipan media Zdeněk Bakala, teman Havel dan sponsor utama Perpustakaan Václav Havel. Sebelum terbit, artikel tersebut sempat mampir di telinga Havel dalam kapasitasnya sebagai ketua dewan Respekt. Ia memberikan lampu hijau. Seminggu kemudian, setelah nama Kundera rusak, ia mengeluarkan pernyataan basa-basi mendukung rivalnya itu: “Jangan putus asa, Milan, ada hal-hal yang lebih buruk dalam hidup ketimbang pemberitaan jelek.” Havel berfilsafat tentang betapa sukarnya menilai peristiwa yang sudah lampau, seraya mendesak Kundera agar tidak patah arang di hadapan ingar bingar berita yang niscaya akan merusak reputasinya.


SECARA tradisional, kaum intelektual Eropa Tengah mengemban misi khusus. Berbeda dengan rekan-rekan mereka di Barat, intelektual Eropa Tengah berperan penting dalam pembangunan negara-bangsa (nation-building) pada abad ke-19. Kaum intelektual Eropa Tengah juga diharapkan memberikan sumbangsih kepada perjuangan politik tanah air selama masa-masa sulit abad ke-20. Sejarah Ceko kaya akan hal ini: Sejarawan František Palacký adalah tokoh politik penting pada abad ke-19, sosiolog Tomáš G. Masaryk adalah presiden pertama sekaligus bapak pendiri Cekoslowakia, penulis Karel Čapek membela demokrasi Cekoslowakia sebelum Perang Dunia II. Sepanjang hayatnya, filsuf Jan Patočka menghindari politik, tapi ujung-ujungnya menjadi ahli teori politik sekaligus juru bicara dan martir Piagam 77.

Namun ada juga banyak contoh intelektual yang dituduh telah mengabaikan misi khusus tersebut, lalu mengutamakan seni daripada politik atau dianggap gagal mencerminkan persoalan-persoalan bangsa mereka dalam karya. Contohnya Karel Hynek Mácha, penyair terbesar Ceko abad ke-19, yang berpuisi tentang cinta dan kematian alih-alih soal kemuliaan rakyat Ceko. Contoh lainnya adalah Antonín Dvořák, yang musiknya dianggap terlalu kosmopolitan.

Havel, dramawan yang kelak menjadi presiden, jelas memenuhi cita-cita kebangsaan tersebut, sebagaimana Masaryk dan Patočka. Sebaliknya, Kundera kerap dicela karena dipandang gagal memenuhi kriteria di atas. Tak hanya meninggalkan tanah air pada 1975—yang di mata sebagian orang adalah pengkhianatan atas perjuangan menentang tirani—Kundera juga berulang kali bersuara skeptis terhadap aktivitas pembangkangan bekas kawan-kawannya sendiri. Ia dituding mundur dari aktivitas politik dan mengabdikan hidup demi sastra. Kundera menegaskan bahwa ia tidak akan menulis sastra yang memiliki komitmen politik, yang menurutnya rendahan. Para pengkritik pun tak percaya bahwa karya-karya Kundera—yang penuh ironi, intrik yang menggelikan, dan kisah cinta—adalah tantangan serius bagi rezim. 

Mungkin ini menjelaskan mengapa penerbitan Unbearable Lightness of Being disambut secara antusias oleh berbagai kalangan kecuali kelompok oposisi Ceko. Sebagaimana Dvořák, Kundera dinilai sebagai seorang kosmopolitan (salah satu sasaran empuk dalam kritik Havel pada 1969); dan seperti halnya puisi-puisi Mácha, karya Kundera tidak terang-terangan politis.

Tuduhan-tuduhan ini jauh dari adil. Para pengkritik mendakwa Kundera telah meninggalkan politik, melupakan tanah air dan teman-temannya. Namun, Kundera bertindak dari suatu konsepsi politik yang berbeda. Betul bahwa dia menolak menandatangani berbagai petisi dan deklarasi yang ditulis Havel—yang mungkin masih ia curigai sebagai ”pamer sikap”. Tapi Kundera juga mengambil tindakan-tindakan praktis yang dianggapnya berfaedah: menerbitkan artikel untuk membela juru bicara Piagam 77 di koran Prancis Libération, memberikan bantuan keuangan secara rahasia untuk teman-temannya di tanah air dan membela gagasan Eropa Tengah dalam sebuah esai laris yang terbit pada 1984.

Otoritas Ceko mencabut kewarganegaraan Kundera setelah penerbitan The Book of Laughter and Forgetting (1978). Buku itu mengejek pemimpin tertinggi partai komunis. Meskipun muncul kecaman resmi, para aktivis ternama Ceko tak menganggap buku tersebut layak dibanjiri perhatian. Mereka berhadap Kundera menulis karya yang secara politis lebih eksplisit dan terlibat. Di mata mereka, The Book of Laughter and Forgetting sekadar mempertontonkan petualangan erotis. Dalam hal ini, kalangan oposisi anti-komunis Ceko memiliki pemikiran yang sama dengan kaum neo-konservatif Amerika: dalam sebuah surat terbuka kepada Kundera, misalnya, pemimpin redaksi majalah Commentary Norman Podhoretz menyuarakan kekecewaannya terhadap buku tersebut.

Selama Perang Dingin, pembangkang dan eksil Ceko tidak bisa lepas dari permainan geopolitik dua negara adidaya, Uni Soviet dan Amerika Serikat. Beberapa bahkan berhasil memainkan peran penting. Contohnya Pavel Tigrid. Dia hengkang dari Cekoslowakia pasca-kudeta Komunis 1948. Sejak akhir tahun 1950-an, Tigrid tinggal di Paris dengan kewarganegaraan Amerika. Dengan pendanaan dari pemerintah AS, terutama CIA, ia mendanai dan menyunting Svědectví (Kesaksian), jurnal anti-komunis Ceko terpenting yang terbit tiga bulan sekali. Dari Paris, ia mengorganisir jaringan intelijen dan merekrut tenaga-tenaga baru.

Sejak pertengahan 1960-an, perhatian Tigrid mulai tertuju pada Havel. Garis keluarga, pandangan anti-komunis, dan bakat sastranya tampak menjanjikan. Keduanya bertemu di Paris pada 1968 dan sejak itu mereka bekerja sama dan bersahabat sepanjang hayat. Tigrid setia mempromosikan Havel baik di Cekoslowakia maupun di Barat. Menurut Jaroslav Vrzala, kolaborator lama Tigrid dan penerbit Svědectví, karier politik Havel adalah jerih payah mentornya, Tigrid, yang disponsori AS. Kerja-kerja Tigrid membuahkan hasil pada 1989. Sebelum Revolusi Beludru, Tigrid mulai melambungkan nama Havel sebagai calon presiden Cekoslowakia serta mencetak poster kampanye pencapresan Havel.  Kelak Tigrid pindah ke Praha, menjabat penasihat utama presiden baru dan kemudian menteri kebudayaan.

Seperti apa Kundera di mata Tigrid? Menurut Tigrid, seorang kombatan garis keras Perang Dingin, Kundera adalah intelektual berpikiran merdeka yang tak butuh jaringannya, tidak pula mengambil posisi dalam perpecahan ideologis Perang Dingin. Bagi Tigrid, posisi ini tampak mencurigakan. Kemungkinan besar Tigrid tak ingin Kundera dipandang sebagai juru bicara oposisi Ceko karena bisa menenggelamkan Havel yang lebih dapat diandalkan secara politik. Dia bertemu Kundera tak lama setelah tiba di Paris pada 1975. Ia menyarankan agar Kundera menjauh dari politik. Dengan senang hati, Kundera yang tak punya ambisi politik menerima nasihat itu. 

Tigrid, seorang intel berpengalaman dan penjaga gawang informasi di kalangan oposisi anti-komunis Ceko di dalam dan luar negeri, sangat berhati-hati agar citra Havel dan Kundera tetap selaras dengan rencana politiknya. Tak heran, Tigrid sangat gusar ketika Kundera melejit ke panggung sastra dunia pada 1984 berkat kesuksesan Unbearable Lightness of Being, yang mengantar si penulis ke jajaran kandidat peraih Nobel Sastra. Tak hanya Tigrid, banyak aktivis pembangkang Praha juga tak sudi menyaksikan kesuksesan Kundera. Dalam pandangan para pembangkang ini, Hadiah Nobel untuk Kundera adalah penghinaan bagi Havel sekaligus kemunduran bagi misi-misi politik mereka.

Latar belakang ini menjelaskan mengapa aktivis pembangkang Ceko mengirimkan petisi mendukung Jaroslav Seifert ke komite Nobel. Seifert, raksasa penyair liris, saat itu berusia kepala delapan. Meski tak dikenal di luar Cekoslowakia, Seifert adalah salah satu penandatangan awal Piagam 77. Sejumlah penandatangan petisi kelak kecewa karena tak sadar bahwa petisi itu dibuat terutama untuk mencegah hadiah Nobel jatuh ke tangan Kundera. Petisi itu sukses. Penobatan Jaroslav Seifert sebagai penerima Nobel 1984 itu merupakan penghinaan terhadap kaum Komunis Ceko, sekaligus kemenangan bagi proyek politik Václav Havel.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


DENGAN berakhirnya Perang Dingin, Havel dan para sekutunya merasa tindakan mereka dibenarkan oleh sejarah. Berkebalikan dengan harapan Kundera sebelumnya, negeri-negeri Barat yang menang tidak tertarik mencari jalan ketiga di antara sosialisme dan kapitalisme, alih-alih mereka malah memberlakukan kapitalisme liberal di seluruh Eropa Tengah. Dekade 1990-an seolah membuktikan bahwa posisi Havel benar dalam polemik-polemiknya dengan Kundera lebih dari 20 tahun sebelumnya. Washington yang semakin percaya diri sangat menghargai pandangan pro-Barat Havel karena sejalan dengan intervensionisme pemerintahan Clinton dan Bush, mulai dari perluasan NATO hingga Perang Irak. Di sisi lain, mantan-mantan pembangkang yang dulunya berada di belakang Havel lambat laun disingkirkan oleh kelompok pimpinan Václav Klaus yang pragmatis secara ekonomi—merekalah yang membangun kapitalisme Ceko. 

Tapi iklim baru ini belum juga pas buat Kundera: kaum moralis di gerbong Havel dan kubu pragmatis Klaus sama-sama tak tertarik untuk mengundang Kundera kembali ke tanah air. Ada banyak rekan yang mendamaikan Kundera dan Havel pada awal 1990-an. Mereka menghadiri acara makan malam yang sopan namun canggung di Paris. Havel memberikan penghargaan kenegaraan untuk Kundera. Namun, Kundera malah tinggal di hotel dan mengutus Věra untuk mewakili dirinya. Artikel di Respekt menutup rapat kemungkinan rekonsiliasi.

Suasana Ceko berubah lebih dari satu dekade kemudian. Masih ada orang yang percaya bahwa warisan Václav Havel perlu dilindungi dengan segala cara, bukan dari orang-orang seperti Klaus tetapi dari populisme ala mantan Presiden Miloš Zeman dan tokoh oposisi sekaligus eks-Perdana Menteri Andrej Babiš. Di sisi lain, setelah intervensi politik luar negeri AS berbuah bencana dan kapitalisme Ceko berujung pada kegagalan dan korupsi, orang makin ragu jika Havel berada di sisi yang benar sebagaimana pada 1990-an. Para pembaca Ceko kini menilai Kundera berdasarkan kecakapan sastranya, bukan karena tuntutan politik kaum pembangkang. Pembaca Ceko hari ini menyukai apa yang mereka baca. Buku-buku Kundera tetap laris.

Perbedaan utama antara Kundera dan Havel adalah cara mereka memperlakukan humor, sebuah nilai penting bagi bangsa Ceko. Drama Havel sering kali lucu karena mengungkap absurditas dunia totaliter yang birokratis dan teknokratik. Namun esai-esainya sangat serius; Havel percaya bahwa pencarian kebenaran dan demokrasi ala Barat adalah jalan keluar dari semua absurditas ini. Sikap inilah yang membuatnya menjadi sekutu alami kaum neo-konservatif Amerika.

Sebaliknya, humor Kundera di seluruh novel dan esainya selalu muncul dengan corak tragis. Baik tawa maupun tragedi, bagi Kundera, adalah soal menyoroti ambiguitas dunia yang tak dapat ditebus oleh rezim kebenaran atau politik mana pun. Tapi Kundera tak menyerah pada nihilisme. Ia menemukan harapan dalam tradisi budaya Eropa Barat dan Tengah khususnya, dalam musik dan novel, serta dalam wawasan sejarah yang senantiasa terbuka dan tak terduga. Semua itu membuat Kundera terbuka pada ide-ide yang saling bertolak belakang selama tidak dipadatkan menjadi dogma yang tak dapat ditertawakan.

Ada banyak sekali manfaat meninjau kembali karya-karya Kundera—selain menemukan kesenangan dalam prosa-prosanya yang luar biasa. Pertentangan kubu AS-Soviet sudah berlalu, hegemoni Amerika semakin memudar, dan Eropa Timur sekali lagi menjadi medan pertempuran geopolitik. Dalam situasi seperti ini kita perlu mencari jalan baru untuk memikirkan dunia seraya menghindari jebakan kemutlakan politik—baik sosialisme maupun kapitalisme, pragmatisme ekonomi atau pun populisme nasional—serta menggunakan kekuatan ironi terhadap mereka yang mengklaim telah menemukan kebenaran hakiki. Singkatnya, kita perlu membaca ulang Milan Kundera.***


Petr Drulák, mantan wakil menteri luar negeri Republik Ceko dan duta besar untuk Prancis, adalah profesor politik dan hubungan internasional di Universitas West Bohemia. Tulisan ini sebelumnya terbit di Compact Magazine. Diterjemahkan IndoPROGRESS untuk kepentingan pendidikan. 

 

 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.