Bagaimana Komunis Indonesia Memandang Proklamasi 17 Agustus 1945

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: illustruth


SELEPAS berkelana ke negeri-negeri lain, D. N. Aidit dan M. H. Lukman akhirnya kembali ke Indonesia pada 1950 pasca-Madiun Affair. Sejarawan Donald Hindley dalam buku The Communist Party of Indonesia, 1951-1963 (1960) meyakini sebelum pulang dua pemuda komunis itu berada di Vietnam dan bertempur dengan gerilyawan Viet Minh, serta turut menyambangi Cina dalam rangka menghadiri konferensi serikat buruh Asia-Australasia di Peking pada Desember 1949.[1]

Keduanya, ditambah Njoto, segera mengambil alih kepemimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI) dari generasi lama. Apa yang dilakukan trio muda itu tak sepenuhnya disukai oleh generasi pendahulu. Orang-orang PKI lama, setidaknya Wikana, Tan Ling-djie, Alimin, dan Ngadimin Hardjosubroto tidak setuju dengan kebijakan Aidit. Namun para pemimpin lama tak mengorganisir perlawanan dan akhirnya “tersingkir satu demi satu.”[2]

Tugas-tugas politik dan ekonomi menanti pucuk pimpinan baru PKI. Salah satunya ialah menghasikan apa yang disebut Aidit sebagai “peng-Indonesiaan marxisme-leninisme,” yang bersubstansi “satunja antara teori marxisme-leninisme dengan praktik konkrit revolusi Indonesia” kala itu.

Hasil kerja tugas primer tersebut dimanifestasikan dalam beberapa hal. Pertama, rumusan analisis kondisi Indonesia sebagai setengah-jajahan dan setengah-feodal (SJSF). Walau bernapaskan “pikiran Mao”, ia masih berlandaskan marxisme-leninisme. Kedua, program “front nasional”. Konsep tersebut berangkat dari premis perlunya unifikasi antarkelas proletar, tani, borjuis kecil, dan borjuis nasional dalam kerangka revolusi demokratis sebagai jalan keluar dari kondisi SJSF.[3] Ketiga, yang hendak saya uraikan lebih jauh, adalah penafsiran terhadap Proklamasi 17 Agustus 1945—selanjutnya disebut Revolusi Agustus.

Tafsir terhadap Revolusi Agustus penting karena itu menjadi dasar dari segala kebijakan partai. Kerja-kerja selama Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin pun tidak lepas dari pemahaman partai merah itu terhadap Revolusi Agustus.

Dalam Kongres Nasional ke-V tahun 1954, misalnya, PKI mengesahkan program untuk mendirikan “Pemerintahan Demokrasi Rakyat”. Ada benang merah antara program tersebut dengan upaya untuk “memenuhi tuntutan-tuntutan” dalam Revolusi Agustus. Contoh lain bagaimana PKI berusaha menyempurnakan Revolusi Agustus adalah pembentukan “Rencana Tiga Tahun untuk Organisasi dan Pelatihan” dalam Pleno Keempat Komite Sentral (CC) PKI. Rencana tersebut di antaranya: menetapkan kuota untuk cabang-cabang dalam pendaftaran anggota baru; indoktrinasi dan intensifikasi publikasi literatur; dan memperketat disiplin partai.[4]

Jadi, apa makna 17 Agustus 1945 bagi PKI?


Memerahkan Revolusi Agustus

Pengertian Revolusi Agustus dari sudut PKI pernah dijelaskan oleh Wakil Ketua I M. H. Lukman dalam brosurnya, Apa Sebab Revolusi Agustus ’45 Belum Selesai (1961). Dalam brosur yang awalnya ditujukan untuk teks kuliah umum ini, mula-mula Lukman menyitir roh utama dari Revolusi Agustus ’45, yakni revolusi. Ia kemudian mengutip pengertian revolusi menurut Lenin: “Perpindahan kekuasaan negara dari satu klas kepada klas jang lain, adalah tanda jang pertama, jang essensiil, jang terpokok daripada sesuatu revolusi, baik dalam arti kata jang sepenuhnja ilmiah maupun dalam arti kata politik praktis”[5]

Lukman memang hendak menyatakan bahwa Revolusi Agustus adalah suatu perpindahan kekuasaan kelas atas kelas lain, tetapi ia tidak mengidentifikasinya sebagai revolusi borjuis atau revolusi sosialis.[6]

Pertanyaan mengapa Revolusi Agustus bukanlah revolusi sosialis pernah dijawab Aidit dalam buku Introduksi Tentang Soal² Pokok Revolusi Indonesia (1959). Aidit menilai bahwa ekonomi Indonesia yang terbelakang dan “ekonomi agraris setengah-feodal yang sangat tergantung pada pasar luar negeri” adalah indikator yang tak memenuhi syarat revolusi sosialis. Dalam hal ini Revolusi Agustus adalah pembuka jalan menuju revolusi sosialis di kemudian hari, yang harus mengubah kondisi “ekonomi agraris setengah-feodal” menjadi ekonomi nasional dengan “industri strategis dengan borjuis nasionalnya.”

Sementara paradigma bahwa Revolusi Agustus bukan juga revolusi borjuis bersumber dari karya-karya yang menganalisis Cina dari sudut materialisme historis-dialektis. Para komunis Indonesia menilai ada kemiripan antara Indonesia dan Cina. Secara garis besar, karena basis material yang berbeda, revolusi borjuis bercabang menjadi dua arah: (1) berujung kediktatoran borjuis atau (2) borjuis-demokratis.

Kediktatoran borjuis, menurut PKI, tak akan pernah ditempuh oleh Revolusi Agustus. Sebaliknya PKI meyakini bahwa revolusi borjuis-demokratis-lah ciri khas dari Revolusi Agustus.[7] Lukman menyatakan Revolusi Agustus sebagai revolusi nasional (borjuis) bertipe demokratis merupakan warna umum di berbagai negeri jajahan.

Lalu bagaimana jika revolusi tersebut ditinjau dalam pisau analisis marxisme? “Tidak perlu ada keraguan sedikit pun bahwa setiap gerakan nasional tidak bisa lain kecuali suatu gerakan borjuis-demokratis,” jawab Lenin dalam The National Liberation Movement in the East.[8]

Kehendak mengapa Revolusi Agustus harus bercorak borjuis-demokratis tidak lepas dari kondisi sosial objektif Indonesia. Ekonomi kolonial dan feodalisme-lah, menurut Lukman, yang menjadi corak produksi dominan Indonesia prakemerdekaan. Dan itu pula–imperialisme dan feodalisme–yang mesti disingkirkan.

Sebagai basis ekonomi kolonial, Indonesia telah dijadikan tempat penanaman modal imperialis, sumber tenaga kerja murah, dan pasar bagi komoditas-komoditas negeri induk. Di samping itu, yang menjadi inti pengisapan feodal yakni “terikatnya kaum tani dalam berbagai bentuk kepada tanah.”[9]

Perubahan-perubahan dalam revolusi tersebut memiliki karakteristiknya tersendiri. Dalam Revolusi Agustus, menurut Lukman, prospek perpindahan kekuasaan negara akan menyasar dari kelas borjuis asing-imperialis, tuan-tanah feodal dan komprador, “kepada rakjat”.[10] Lukman tidak secara gamblang mendefinisikan pengertian dan terdiri dari kelas apa saja yang tergolong dalam rakjat itu. Namun ia secara implisit mengartikan rakjat sebagai kelas sosial yang antiimperialisme dan kolonialisme secara umum.

Kelas-kelas yang dimaksud dieksplisitkan PKI dalam konstitusinya yang menyatakan: “tenaga penggerak revolusi Indonesia adalah kelas buruh, kaum tani, kelas borjuis kecil, dan elemen-elemen demokratis lainnya yang dirugikan oleh imperialisme.

Revolusi Agustus memiliki tujuan yang indah. Ia diharapkan dapat “membentuk negara nasional yang merdeka dengan pemerintahan yang demokratis.” Mereka menyebutnya sebagai “Pemerintahan Demokrasi Rakyat”— seperti yang ditetapkan dalam Kongres ke-V. Soal bagaimana “Pemerintahan Demokrasi Rakyat” berjalan, PKI menunjuk bahwa seluruh kelas-kelas yang terhimpun dalam rakjat atau kediktatoran rakyat inilah yang akan menakhodai jalannya Indonesia.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Revolusi Belum Selesai

Kondisi sosial Indonesia tak banyak berubah bertahun-tahun pascakemerdekaan atau usai Revolusi Agustus. Kolonialisme dan feodalisme masih bercokol. Itulah yang hendak dikatakan oleh PKI baik dari sudut ekonomi atau politik.

Situasi ekonomi pernah dijabarkan oleh Aidit dalam laporan yang disampaikan di Cina berjudul The Indonesia Revolution and the Immediate Tasks of the Communist Party of Indonesia (1963). Aidit menyebut “Indonesia belum merdeka secara ekonomi” dan “sifat feodal hubungan tanah masih tidak berubah dan petani dalam kemiskinan.” Mengutip data White Engineering Corporation (1952), Aidit menjelaskan total modal asing di Indonesia sebesar 2,240 juta dolar AS. Rinciannya: modal Belanda (sebelum pengambilalihan) 1,470 juta; AS 350 juta; Inggris 262,5 juta; Prancis dan Belgia 105 juta; dan kekuatan asing lainnya 52,5 juta. Hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) dan Irian Barat yang masih dikuasai Belanda juga menambah keyakinan bahwa Indonesia belum merdeka.

Aidit juga memperlihatkan bukti bagaimana jurang pemisah antara tuan tanah dan petani upahan sungguh lebar. Dia mengandalkan hasil investigasi kader gerakan tani di dua daerah sebagai studi kasus. Di Karangduren, Jember, konsentrasi tanah sekitar 31% dimiliki oleh 6% populasi tuan tanah, sedangkan petani miskin dan buruh tani upahan yang berjumlah 64% total dari populasi hanya memiliki tanah sekitar 17%. Di Leuwigajah, Batujajar, 87,5% populasi petani miskin dan buruh tani upahan hanya mendapatkan remah-remah seluas 16,52% total tanah, sementara tanah seluas 83,48% dimiliki oleh 12,5% tuan tanah.

Mengapa bisa terjadi demikian? Terdapat empat alasan dari sudut politik:

Pertama, politik antiimperialisme yang setengah-setengah dan kompromi. Contohnya adalah persetujuan Linggarjati, Renville, dan KMB. Kedua, kegagalan menyusun kebijakan antifeodal yang secara “tegas menyerang tuan tanah dan menarik kaum tani ke dalam revolusi.” Ketiga, kebijakan yang tidak konsekuen perihal front persatuan dengan borjuasi nasional. Keempat, kegagalan proletar dan borjuis untuk memegang kepemimpinan dalam revolusi.

Atas dasar ini, menurut Lukman, Revolusi Agustus terus berjalan walau Revolusi Fisik (1945-1949) telah usai. Ini disebabkan tugas-tugas objektif revolusi masih belum tuntas seluruhnya, yakni melenyapkan kolonialisme dan sisa-sisa feodal. Itu berjalan hingga bertahun-tahun setelahnya hingga entah sampai kapan. Dalam maksud lain, meminjam kata-kata Lukman, “sebelum dasar-dasar yang menimbulkan Revolusi Agustus ’45 itu sendiri dihapuskan sama sekali.”

Bagi PKI, untuk menuntaskan tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus, diperlukan inti terpenting: “kewajiban untuk membangkitkan, memobilisasi, dan mengorganisasi massa, terutama proletar dan tani.” Selain itu tak lupa juga negara memberikan “kemerdekaan politik seluas-luasnya bagi rakjat.[11] Itu menjadi prinsip utama dari berbagai program PKI sepanjang hidupnya. Beribu sayang, belum sempat menyelesaikan Revolusi Agustus, PKI malah tertelan kontrarevolusi pasca-G30S.

Kini 77 tahun sudah Indonesia merdeka dan 56 tahun PKI lenyap. Yang disebut terakhir juga membuat analisis terhadap Proklamasi dari sudut marxisme-leninisme berhenti. Lalu apakah Revolusi Agustus sudah sepenuhnya selesai? Dan bagaimana seharusnya kelas buruh dan tani abad sekarang menyikapinya?***


[1] Donald Hindley, The Communist Party of Indonesia, 1951-1963 (Berkeley dan Los Angeles: University of California Press), hlm. 23.

[2] Ibid., hlm. 23.

[3] Lihat M.H. Lukman, Tentang Front Persatuan Nasional, (Jakarta: Jajasan Pembaruan), hlm. 18; juga Rex Mortimer, Indonesian Communism Under Sukarno: Ideologi dan Politik 1959 – 1965 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hlm. 200.

[4] Justus M. Van der Kroef, The Communist Party of Indonesia: Its History, Program and Tactics (Vancouver: University of British Columbia), hlm. 86.

[5] M.H. Lukman, Apa Sebab Revolusi Agustus ’45 Belum Selesai (Jakarta: Jajasan “Universitas-Rakjat”), hlm. 4.

[6] Ibid., hlm. 4-5.

[7] D.N. Aidit, Introduksi Tentang Soal² Pokok Revolusi Indonesia (Jakarta: Jajasan “Universitas-Rakjat”), hlm. 13.

[8] M.H. Lukman, Loc. Cit.

[9] M.H. Lukman, Op. Cit., hlm. 7.

[10] M.H. Lukman, Op. Cit., hlm. 4.

[11] M.H. Lukman, Op. Cit., hlm. 16.


Alvino Kusumabrata adalah pelajar kelas dua belas SMA di Kota Surakarta

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.