Produksi dan Laras Senapan: Pemikiran Mao dalam Landasan dan Metode Gerakan Komunis di Asia (Bagian I)

Print Friendly, PDF & Email

Foto: gerilyawan Maois di India (sumber: internationalaffairsbd.com)


PASANG naik Revolusi Kebudayaan (1966-1976) di Tiongkok umumnya ditandai dengan: (1) pembentukan Penjaga Merah (Red Guards) dan; (2) diedarkan buku saku Quotations from Chairman Mao Tse-tung (1964) secara luas. Bagi saya dua hal tersebut tidak cukup. Ada satu alasan lain—terutama untuk melengkapi yang kedua—yakni diterbitkannya Quotations from Vice-Chairman Lin Piao (1968). Ini adalah buku yang terdiri dari berbagai kutipan pemimpin militer Lin Biao.

Di antara sekian banyak kutipan, salah satu yang cukup menarik adalah: “Pengalaman yang diperoleh dalam perjuangan revolusioner rakyat di berbagai negara sejak Perang Dunia II telah memberikan bukti terus-menerus bahwa pikiran Mao Tse-tung adalah aset bersama rakyat revolusioner di seluruh dunia.” Walaupun terkesan propagandistik, pernyataan di atas sedikit banyak mengandung kebenaran. Menurut Julia Lovell (2019: 54), Pikiran Mao (Mao Tse-tung Thought) telah memodifikasi gerakan komunis di berbagai wilayah dunia, termasuk Asia.

Mengapa bisa terjadi demikian? Lovell tidak menjawab persoalan tersebut secara memuaskan. Alih-alih berdasarkan olah teoretis Pikiran Mao, ia justru menjawab dari aspek historis semata.

Tulisan ini berusaha menjawab hal tersebut: Mengapa gerakan komunis di Asia menjadikan Pikiran Mao sebagai landasan dan metode perjuangan? Mengapa bukan Hoxhaisme, atau, barangkali, Titoisme? Dengan menjawab itu kita dapat mengerti apa yang diperjuangkan oleh gerakan-gerakan komunis berhaluan Pikiran Mao seperti di India, Filipina, Nepal, dan Sri Lanka—yang hingga detik ini masih aktif menenteng senjata.


Fondasi Teoretis Mao

Pada 1937, di tengah gempuran Jepang, Mao Tse-tung menulis tentang kontradiksi, jantung filsafat materialisme dialektis, yang diberi judul On Contradiction. Tulisan ini awalnya difungsikan untuk materi kuliah di Yenan. Beberapa materi filosofisnya akan bertalian erat dengan inti masalah yang hendak diangkat dalam artikel ini.

Menurut Mao, sebuah gerakan yang berlawanan hadir sejak permulaan hingga akhir dalam proses perkembangan setiap objek. Dengan kata lain, kontradiksi selalu ada dan menembus ke dalam proses perkembangan setiap objek. “Itulah yang disebut sebagai keuniversalan kontradiksi,” simpul Mao (1964: 316). Namun keuniversalan kontradiksi, yang selalu eksis di mana pun dan kapan pun, memiliki kekhususan pula. “Setiap bentuk gerak mengandung kekhususan kontradiksi di dalam dirinya sendiri,” tulisnya (1964: 320). Kekhususan kontradiksi, bagaimanapun juga, berkelindan dengan keuniversalan kontradiksi.

Dari beragam jenis kekhususan kontradiksi, menurut Mao, terdapat satu yang kehadiran dan perkembangannya dapat menentukan kontradiksi lain. Mao menyebutnya sebagai kontradiksi primer atau pokok (1964: 332). “Karenanya, jika dalam suatu proses terdapat sejumlah kontradiksi,” tulis Mao, “salah satunya harus menjadi kontradiksi primer yang memainkan peran utama dan menentukan, sementara sisanya menempati posisi sekunder dan subordinat.”

Karakteristik filsafat yang dikemukakan Mao tersebut kemudian ia refleksikan pada kondisi objektif Tiongkok. Corak produksi feodal telah bercokol-diri di Tiongkok 3.000 tahun lamanya. Corak produksi tersebut kemudian menemui jalan buntu pada pertengahan abad ke-19, yaitu ketika tumbuhnya politik imperialis—saat Perang Candu dimulai. Masuknya negara-negara asing memicu dasar ekonomi feodal hancur sekaligus membuka syarat-syarat objektif kelahiran produksi kapitalis.

Menurut Mao (1964: 65) dalam Why is it That Red Political Power Can Exist in China? (1928), politik imperialis di Tiongkok menunjukkan corak kekuasaan aneh dengan sistem pemerintahan yang tidak langsung (indirect rule). Hal ini berbeda dengan mayoritas tanah koloni yang berada di bawah sistem pemerintahan langsung (direct rule) oleh suatu negara imperialis. Kondisi ini kemudian diperjelas oleh Mao dalam The Chinese Revolution and the Chinese Communist Party (1930). Meski demikian, menurut Mao, negara-negara imperialis dengan pemerintahan tidak langsungnya tetap mengontrol jalannya politik, ekonomi, dan militer Tiongkok.

Di bidang ekonomi, imperialis banyak mendirikan industri kecil dan berat dengan tujuan mendapatkan bahan baku dan tenaga buruh yang murah serta menumbangkan industri nasional. Imperialis juga memonopoli perbankan dan keuangan dengan cara mendirikan bank-bank baru dan memberikan pinjaman kepada pemerintah (Mao, 2019: 17).

Imperialis pun memberi pukulan pada corak produksi feodal. Namun corak produksi tersebut tak serta mati. Albert Feuerwerker dalam China’s Modern Economic History in Communist Chinese Historiography (1965: 33) memandang setelah corak produksi feodal hancur akibat politik imperialis, Dinasti Qing mulai merekonsolidasi produksi pertanian dengan mengonsentrasikan kepemilikan modal di bawah tuan-tanah. Dengan 50% tanah pertanian Tiongkok dikontrol oleh 4% total populasi berkategori tuan-tanah, menurut Mao dalam How to Differentiate the Classes in the Rural Areas (1933) (1964: 137), kontradiksi antara kelas petani menengah dan miskin dengan tuan-tanah semakin tak terhindarkan.[1] Bentuk penindasan tuan-tanah pada umumnya berbentuk pemungutan sewa tanah.

Menurut Albert Feuerwerker (1965: 36-37), kondisi pertanian Tiongkok di bawah pemerintahan tidak langsung imperialis semakin dikomersialkan dan petani mulai tergantung pada pasar internasional. Pada akhirnya, kelas komprador beserta modal kompradornya (berupa akumulasi perdagangan atau industri yang terhubung langsung dengan imperialisme) mulai muncul dan merambah pertanian Tiongkok serta mengeksploitasi massa tani.[2]

Perubahan corak produksi feodal ini kemudian digeneralisasi oleh Mao dengan sebutan kondisi “setengah-jajahan dan setengah-feodal” (selanjutnya disebut SJSF). SJSF adalah buah Pikiran Mao dalam ekonomi-politik yang merupakan nterpretasi terhadap Marxisme.

Mao (1964: 322) membedah betapa banyak kekhususan kontradiksi kelas di dalam kondisi masyarakat SJSF. Dari mulai kontradiksi antara kelas-kelas tertindas dengan imperialisme; massa besar rakyat dengan feodalisme; proletariat dengan borjuis; dan massa tani dengan borjuis kecil kota. Di antara sekian banyak kekhususan kontradiksi tersebut, menurut Mao, kontradiksi primernya adalah kontradiksi antara kelas-kelas tertindas dengan imperialisme dan kontradiksi massa besar rakyat dengan feodalisme.

Dalam On New Democracy (1965: 342), Mao menyebut kontradiksi-kontradiksi primer dalam negara SJSF akan berujung pada sebuah revolusi demokrasi baru—new-democratic revolution/revolusi borjuis demokratis. Revolusi demokrasi baru tidak akan mengikuti kerangka jalan lama dari revolusi borjuis demokratis yang akan berbuntut pada kediktatoran borjuis. Ia akan mengikuti jalan baru, yakni revolusi dunia sosialis-proletar. Revolusi demokrasi baru akan dipimpin oleh kelas proletar atas nama kediktatoran gabungan dari kelas-kelas revolusioner yang tereksploitasi seperti proletar, petani, borjuis kecil, dan borjuis nasional. Dengan cara tersebut, perkembangan ke arah revolusi sosialis lebih mudah tercapai (Mao, 1965: 347).

Berangkat dari titik pijak tersebut, maka pertanyaan berikutnya dapat diajukan: Bagaimana   menarik Pikiran Mao sebagai basis perjuangannya?


Tinjauan terhadap Asia

Pada bagian ini tinjauan saya hanya dikerucutkan pada gerakan komunis di: Indonesia, Malaya, Filipina, Bangladesh, India, Sri Lanka, dan Nepal.

1. Indonesia

Setelah Geger Madiun, 19 September 1948, Partai Komunis Indonesia (PKI) yang tercerai-berai kembali mengonsolidasikan kekuatan lewat trisula muda: Aidit, Njoto, dan Lukman. Mereka mengemban tugas berat dengan mulai menggodok orientasi PKI baru (Zulkifli dan Hidayat, 2016: 15-16). Salah satu hal yang trisula PKI perhatikan dalam menggodok orientasi partai adalah soal bagaimana struktur sosial dan kelas masyarakat Indonesia pascakolonial.

Dalam buku Indonesian Communism Under Sukarno: Ideologi dan Politik 1963-1965 (2011: 180), Rex Mortimer mengatakan ketika Aidit sedang mencari kerangka untuk menganalisis struktur sosial dan kondisi masyarakat Indonesia, ia lebih mengandalkan pikiran-pikiran Mao yang termuat dalam The Chinese Revolution and the Chinese Communist Party (1939). Hal ini bukan tanpa alasan. Aidit meyakini terdapat paralelisme antara Pikiran Mao tentang kondisi sosial Tiongkok dengan Indonesia. Terdapat keselarasan universal yang dapat diterapkan dari Pikiran Mao pada kondisi Indonesia. Analisis Aidit tersebut kemudian dituangkan dalam Masjarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia (1957), sebuah dokumen yang digunakan untuk pelatihan kader-kader PKI.

Mortimer (2011: 173) kemudian merangkum analisis Aidit perihal kondisi sosial feodalisme dan kolonialisme di Indonesia—saya kutip: “Dominasi kolonial mengganggu evolusi ‘normal’ dan transformasi masyarakat feodal ini, mencekik perkembangannya menuju kapitalisme, mengabadikan penindasan Belanda bagi pengeksploitasian feodal, dan menstimulasikan perlawanan lebih intens kaum tani.”

Menurut Aidit, masa kolonialisme dipatahkan oleh masyarakat Indonesia melalui Revolusi Agustus 1945. Nahas, Aidit menilai revolusi itu telah gagal membawa kesejahteraan karena tidak menggulingkan kelas tuan-tanah.

Aidit dalam artikel Hari Depan Gerakan Tani Indonesia yang termuat dalam buku Untuk Bekerdja Lebih Baik Dikalangan Kaum Tani (1958: 5) memperkirakan terdapat 70% penduduk Indonesia yang berprofesi petani—sekitar 64 juta jiwa kala itu. Kendati demikian, seperti yang dipaparkan di atas, corak produksi feodal dengan tuan-tanahnya “masih tetap berkuasa” dan, mengikuti kesimpulan Pikiran Mao, mengakibatkan masyarakat memasuki tahap setengah-feodal.

Mengenai permasalahan kelas pertanian dalam kondisi setengah-feodal ala Indonesia, Aidit membagi kekuatan kelas revolusioner gerakan tani sebagai berikut (2021: 33-37): kaum tani menengah, tani miskin, dan buruh tani (proletar desa). Aidit pun mengumandangkan tesis tujuh diferensiasi kelas penindas petani di Indonesia, seperti yang termaktub dalam laporan Kaum Tani Mengganjang Setan² Desa (1964), yaitu: tuan-tanah, lintah darat, tukang ijon, kapitalis birokrat (pegawai negeri yang korup), tengkulak, bandit-bandit desa, dan pemimpin jahat.

Karakteristik tahap setengah-feodal lalu dijelaskan melalui 4 poin besar oleh Aidit (1964: 35). Saya ambil 2 poin utama dan mengutipnya verbatim, yaitu: (1) “Hak tuantanah besar untuk memonopoli milik tanah jang dikerdjakan oleh kaum tani jang bagian terbesar tidak mungkin memiliki tanah dan karena itu terpaksa menjewa tanah dari pemilik² tanah menurut sjarat² jang ditentukan oleh tuantanah”; (2) “Pembajaran sewatanah dalam udjud barang kepada tuantanah² jang merupakan bagian penting dari hasil panen kaum tani dan jang mengakibatkan kemelaratan bagian terbesar kaum tani”.

Revolusi Agustus 1945 yang gagal kemudian dihantam kembali, seperti yang tercantum dalam Program PKI (1964: 32-33), dengan peristiwa Konferensi Meja Bundar (KMB) yang ditandatangani oleh pemerintahan Hatta dan pemerintah Belanda pada 2 November 1949 serta penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949. Aidit mengecam dua peristiwa tersebut. Menurut Aidit, alih-alih memberikan kemerdekaan yang “nyata, penuh, dan tak bersyarat,” 2 peristiwa tersebut justru memberikan efek lamunan pengandaian kepada masyarakat Indonesia bahwa mereka benar-benar merdeka. Perihal penandatanganan KMB, Aidit pun menyerang pemerintah Hatta karena telah “merestorasi kekuasaan kaum imperialis Belanda atas ekonomi Indonesia” dan berdampak pada tereksploitasinya kelas buruh, borjuis kecil, dan borjuis nasional. Jalan yang dilalui oleh dua peristiwa tersebut, oleh Aidit, telah menjadikan Indonesia memasuki tahapan setengah-jajahan. (Aidit, 1964: 33).

Seperti yang dijelaskan Aidit, kaum imperialis telah menguasai ekonomi di berbagai sektor. Contohnya maskapai-maskapai seperti B.P.M., Caltex, dan Stanvac telah menguasai bidang perminyakan. Bidang perdagangan dalam negeri telah dikuasai oleh apa yang disebut Aidit sebagai “Big Five” yaitu N.V.² Internatio, Borsumy, Jacobson van den Berg, Lindetes-Stokvis, dan Geo Wehry & Co. Handelsbank, Escompto, Chartered Bank, dan Great Eastern Bank adalah contoh dominasi imperialis dalam perbankan. Dengan demikian, kaum imperialis memerintah tidak langsung “jalannya ekonomi dan politik di Indonesia” (Aidit, 1964: 34).

Di tengah kondisi SJSF tersebut, maka revolusi Indonesia saat itu haruslah, meminjam istilah Aidit (1964: 54), berwatak borjuis-demokratis. Revolusi borjuis-demokratis pun harus menyelesaikan dua tugas utamanya, yakni menyingkirkan imperialisme dan sisa-sisa feodal. Dalam menggulingkan imperialisme, PKI menekankan perlunya revolusi nasional yang bertujuan menghantam “komprador-komprador yang berhubungan erat dengan kapital asing.”

Pada sisi lain, sisa-sisa feodal dilenyapkan melalui alat revolusi demokratis (D.N. Aidit, 1964: 42). Aidit menilai bahwa revolusi nasional dan revolusi demokratis harus saling terhubung dalam bingkai revolusi borjuis-demokratis. Dapat dipastikan persoalan struktur kondisi, kelas, dan revolusi Indonesia pun sepenuhnya disandarkan oleh PKI pada hasil teoretis Pikiran Mao dan pengalaman Tiongkok.


2. Malaya

Menjelang pecahnya pemberontakan komunis di Malaya, Partai Komunis Malaya (PKM)—gerakan komunis paling menonjol di Malaya—tengah menghadapi dua pertentangan dalam internal partai. A. Dahana dalam buku Perang Dingin, Tiongkok, Malaya, dan Malaysia, 1949-1974 (2022: 91) menguraikan bahwa pada pihak pertama terdapat Sekretaris Jenderal PKM selama masa Pendudukan Jepang (1941-1945), Lai Te, dan pendukungnya yang percaya bahwa PKM harus menempuh jalur legal konstitusional; dan di pihak lain ada Chin Peng, gerilyawan muda yang mewakili suara radikal dalam PKM. Pada akhirnya Chin Peng-lah mendapat dukungan luas dari kalangan akar rumput.

Setelah menjabat Sekretaris Jenderal PKM, Chin Peng segera mengutuk jalur legal konstitusional sebagai kebijakan yang buta atas kondisi konkret Malaya, “menghentikan perjuangan bersenjata, dan merendahkan program partai.” Atas titik pijakan itu, ia mengubah haluan untuk PKM baru (V. Suryanrayan, 1977: 618).

Percobaan utama PKM baru ialah memetakan kondisi sosial dan struktur kelas. PKM di bawah Chin Peng, secara keseluruhan, juga mengacu kepada Pikiran Mao karena, menurut mereka, terdapat kesesuaian antara kondisi konkret Malaya dengan Tiongkok. PKM menggambarkan bahwa Malaya secara struktural adalah wilayah setengah-jajahan dari “produk imperialisme Inggris.” Malaya, telaah PKM seperti yang dijelaskan Gene Z. Hanrahan dalam The Communist Struggle in Malaya (1971: 173), hanya dijadikan sebagai pusat ekstraksi bahan mentah, terutama timah dan karet. Pemegang kekuatan ekonomi di Malaya tak lain adalah “lebih dari 60 perusahaan yang bermukim di London,” yang faktanya dikontrol oleh “golongan kapitalis monopoli” Amerika (A. Dahana, 2022: 90).

Karena itu, PKM berkesimpulan, industri nasional tak bisa berkembang dan “tidak mungkin modal nasional terkonsentrasi pada tingkat yang tinggi.” Akibatnya, tingginya proporsi borjuis kecil yang terpusat di berbagai kota kecil di Malaya menjadi hal yang lumrah. (Gene Z. Hanrahan, 1971: 173).

Menurut C. B. Khong dalam Feudalism in Pre-Colonial Malaya: The Past as a Colonial Discourse (1994: 261), penulis-penulis Inggris seperti Maxwell, Clifford, dan Winstedt tidak ragu menganggap bahwa masyarakat Malaya pra-kolonial adalah petani pedesaan dan berbasis lahan. Mereka mengidentifikasinya sebagai corak produksi feodal, di mana: (1) ikatan kepatuhan dan perlindungan antara kepala yang lebih besar dan kepala yang lebih rendah, antara kepala yang lebih rendah dan petani—hierarkis; (2) kepemilikan tanah di antara para kepala suku; dan (3) para kepala distrik memiliki hak pemerintahan, dan hak untuk mengenakan pajak, kerja paksa, dan dinas militer atas kelas tani.

Saat kolonialisme Inggris bersemayam, PKM mencatat feodalisme Malaya telah berubah menjadi setengah-feodal. PKM mencatat bahwa sisa-sisa feodal, dalam kondisi setengah-feodal, “tidak memiliki hak untuk memerintah maupun status politik maupun kekuatan ekonomi” dan hanya sekadar menjadi “alat dalam memperkuat cengkeraman imperialisme Inggris pada masyarakat Malaya” (Gene Z. Hanrahan, 1971: 173-174). Alhasil, status Malaya telah resmi berubah menjadi negara SJSF.

PKM memberikan penyelesaian atas masalah prospek revolusi Malaya dengan juga bersandar pada Pikiran Mao tentang revolusi demokrasi baru. Hal ini tertuang secara resmi dalam konstitusi baru PKM pada 1972 yang menyebutkan revolusi mendatang adalah “revolusi demokrasi baru yang dikontekstualisasikan dengan kondisi Malaya.” Revolusi ini dipanggul oleh “seluruh kelas-kelas tertindas seperti massa tani, borjuis kecil, dan kaum intelektual yang dipimpin oleh proletariat.”

“Menggulingkan imperialis Inggris—dan melenyapkan semua pengaruh ekonomi, politik, dan militernya—serta melenyapkan sisa-sisa feodal—dan sistem eksploitasi feodalistisnya—adalah dua tuntutan objektif yang harus diselesaikan oleh revolusi demokrasi baru ala Malaya.” (Gene Z. Hanrahan, 1971: 170-171).


3. Filipina

PARTAI Komunis Filipina (Partido Komunista ng Pilipinas, PKP-1930) berdiri di Templo del Trabajo, Manila, pada 7 November 1930. Sejak berdiri dan terutama saat Pendudukan Jepang (1942-1945) serta perebutan kembali oleh Amerika Serikat (1945), PKP-1930 selalu menggunakan strategi gerilya.

Strategi ini mulai berubah ketika pada 1955 Sekretaris Jenderal Jesus Lava mengeluarkan perintah untuk melikuidasi Tentara Rakyat dan mengubahnya menjadi brigade organisasional. Pada awal 1960-an, PKP-1930 secara resmi mengubah strategi angkat senjata menjadi perjuangan legal-terbuka. Akibatnya, seperti dicatat Armando Liwanag dalam Brief Review of the History of Communist Party of the Philippines (1988), kekuatan politik partai mulai terkikis dan partai mulai terbengkalai.

Perlawanan terhadap strategi baru tersebut muncul dari dalam, terutama oleh Jose Maria Sison, seorang Marxis cum pendiri Kabataang Makabayanorganisasi pemuda komunis. Dalam buku Jose Maria Sison: At Home in the World: Portrait of a Revolutionary (2004: 17),  Ninotchka Rosca menulis Sison menganggap PKP-1930 pimpinan Lava telah menempuh garis revisionis. Pada April 1967, Sison bersama gerakan pemuda, serikat pekerja, dan organisasi tani membentuk politbiro baru yang bersifat sementara.

Setahun berikutnya, tepatnya pada Desember 1968, dia mendirikan Partai Komunis Filipina (PKF) baru. Pada hari itu Sison dan kader-kader PKF mengesahkan dokumen dasar bagi pergerakan partai, Rectify Errors, Build the Party! (1968). Dokumen tersebut berfungsi sebagai otokritik agar organisasi terbebas dari subjektivisme, dogmatisme, dan oportunisme “kanan dan kiri”.

Pokok terpenting dari dokumen tersebut ialah menetapkan Pikiran Mao sebagai landasan PKF di samping Marxisme-Leninisme. “Pikiran Mao Tse-tung adalah panduan tertinggi dalam menganalisis dan menyimpulkan pengalaman Partai Komunis Filipina,” demikian tulis dokumen tersebut. Seperti dua partai yang telah dibahas di bagian pertama, PKF mengadopsi Pikiran Mao karena menganggapnya cocok dengan kondisi konkret Filipina. Implementasi Pikiran Mao oleh PKF dapat ditemukan dalam karya Sison untuk internal partai, Philippine Society and Revolution (1971).

Dalam obituarium Tribute to the Great Communist Mao Zedong (1976) yang terhimpun dalam On the Philosophy of Marxism-Leninism-Maoism (2021), Sison menjabarkan bahwa kondisi sosial masyarakat Filipina sebelum kedatangan Spanyol adalah setengah-komunal. Kedatangan penjajah membuat struktur tersebut menjadi feodal dan kolonial. Sison menghemat perubahan ini dengan pernyataan berikut: “Masyarakat yang pada dasarnya diperintah oleh kelas tuan tanah, termasuk pejabat kolonial Spanyol, ordo agama Katolik dan kepala boneka lokal. Massa rakyat dipertahankan pada status budak.”

Sison menyatakan bahwa pada abad ke-19 intensifikasi dan matangnya eksploitasi feodal dan kolonial telah melahirkan revolusi nasional-demokrasi, yakni Revolusi Filipina 1896. Kendati begitu, mengikuti cara berpikir Mao, menurutnya revolusi tersebut berjenis lama, yakni mengikuti kerangka ideologi borjuasi liberal.

Dua tahun kemudian, lewat Perjanjian Paris, kedudukan Spanyol sebagai penjajah digantikan oleh Amerika Serikat. “Imperialisme AS telah tertarik pada Filipina sebagai sumber bahan mentah, pasar untuk produk surplusnya, dan ladang investasi untuk modal surplusnya,” tulis Sison. Posisi Amerika menjadi penting karena kedatangan mereka membuat kondisi sosial Filipina mengalami peralihan, dari feodal menjadi setengah-feodal. Hal ini dibuktikan melalui pertumbuhan kelas proletar, borjuis kecil, dan terutama borjuis komprador yang terhubung langsung dengan tuan tanah.

Bentuk-bentuk dasar eksploitasi dalam kondisi setengah-feodal hingga dekade 1970-an, seragam dengan apa yang terjadi di Tiongkok, terjadi ketika tuan tanah di perdesaan menerapkan sewa tanah yang tinggi dari petani miskin dan menengah serta penerapan perbudakan upahan yang ekstrem pada buruh tani. Hal ini diperparah dengan praktik seperti manipulasi harga dan pengambilan upeti (Sison, 2021: 110).

Sementara babak setengah-jajahan muncul ketika Filipina merdeka pada 1946. Amerika sebelumnya tersingkir saat Jepang menduduki Filipina. Mereka baru kembali merebut negara tersebut saat Jepang kalah tapi gagal membendung gerakan kemerdekaan. Menurut Sison, Filipina setelah 1946 sepenuhnya disetir untuk kepentingan imperialisme AS. Mereka memerintah secara tidak langsung lewat Roxas, Quirino, Magsaysay, Garcia, Macapagal, dan Marcos–yang oleh Sison disebut sebagai “pemerintahan boneka”.

Kondisi setengah-jajahan terlihat nyata dari situasi ekonomi. “Dengan cara yang tidak merata dan tidak menentu,” tulisnya, “surplus modal AS telah diinvestasikan dalam ekonomi Filipina.” Filipina diisi setidaknya 50% total aset bisnis AS dengan buku aset mencapai $2,0 miliar per 1969 (Sison, 2021: 78). Sama halnya dengan Indonesia, Malaya, dan Tiongkok, sektor-sektor strategis pun dimonopoli oleh AS. Minyak bumi salah satunya. Lewat merek seperti seperti Esso, Caltex, Filoil, dan Getty Oil, AS memasok sekitar 90% minyak bumi di Filipina (Sison, 2021: 79).

Karena kuatnya karakter ekonomi yang kolonial dan agraris, Filipina sangat bertumpu pada pola perdagangan kolonial yang dicirikan oleh pertukaran bahan baku dan impor produk jadi dari luar negeri—terutama dari AS. Sepintas, kata Sison, perdagangan bebas menguntungkan Filipina. Namun yang terjadi tidak demikian. Baginya justru imperialis AS, komprador, dan tuan tanah yang mendapatkan keuntungan.

PKF tetap meyakini validitas tesis SJSF untuk menjawab persoalan Filipina bahkan sampai saat ini. Tercantum dalam Constitution & Program Communist Party of the Philippines (2018), PKF menyatakan Filipina tetap dalam status pra-industrial, agraris, dan setengah-jajahan. Struktur kelas dalam setengah-feodal terkini tetap didominasi oleh tuan tanah—1% dari total populasi. Massa tani yang tereksploitasi melingkupi 70% dari total populasi. Dengan demikian, dominasi strategis di Filipina bukanlah borjuis besar domestik terhadap industri, melainkan kelas komprador dan tuan tanah terhadap agrikultur (Constitution & Program, 2018: 58-59).

Sison juga meyakini Filipina masih SJSF. Dalam Upsurge of People’s Resistance in the Philippines and the World: Selected Works in 2020 of Jose Maria Sison (2020: 416-417) ia mengatakan, “imperialisme AS terus mendominasi Filipina secara politik, militer, ekonomi, budaya, dan melanggar kemerdekaan rakyat Filipina.”

Untuk mengubah kondisi tersebut maka diperlukan–seperti Pikiran Mao–sebuah revolusi demokrasi rakyat. Dalam Activist Study: Araling Aktibista (2020) yang ditulis oleh Departemen Pendidikan PKF (2020: 85), tertulis revolusi demokrasi rakyat adalah “penyelesaian ilmiah untuk menuntaskan akar-akar masalah dari masyarakat Filipina.” Penjabaran tentang tugas dan sasaran revolusi ini pertama kali tercantum dalam dokumen Program for a People’s Democratic Revolution (1968).

Kedigdayaan untuk seluruh kelas-kelas revolusioner—proletar, tani, borjuis kecil, dan borjuis nasional—tidak akan diperoleh tanpa alat revolusi demokrasi rakyat guna menghancurkan imperialisme AS dan feodalisme domestik. Tujuan paling nyata dari revolusi demokrasi rakyat di Filipina adalah mendirikan negara demokrasi rakyat. Negara ini dipimpin oleh proletariat dan diikuti partisipasi dari “koalisi Front Persatuan”—tani, borjuis kecil, dan borjuis nasional.


4. Bangladesh

Faktor utama munculnya negara Bangladesh disebabkan rasa kebangsaan sebagai masyarakat Bengal Timur. Rasa kebangsaan ini sendiri dipicu oleh, seperti yang ditulis G. W. Choudhury dalam Bangladesh: Why It Happened (1972: 242), adanya parlemen Pakistan yang hanya menjadi selubung kekuasaan segelintir kelompok.

Gerakan komunisnya tumbuh bersamaan dengan itu. Nurul Amin dalam Maoism in Bangladesh: The Case of the East Bengal Sarbohara Party  (1986: 759) menyatakan embrio gerakan komunis adalah sekelompok pemuda yang dipimpin Siraj Sikder yang mendirikan Mao Tse-tung Thought Research Centre pada 1967.

Pusat riset ini selalu berupaya dihancurkan oleh partai konservatif Jamaat-e-Islami. Dalam rangka mempertahankan diri, pada 1968, Sikder dan anggota yang lain membentuk East Bengal Workers Movement (EBWM). Tapi EBWM tak berumur panjang. Pada 3 Juni 1971, EBWM dilenyapkan dan diganti bentuknya menjadi partai komunis, Purba Banglar Sarbahara Party (PBSP, East Bengal Sarbohara Party) (Nurul Amin, 1986: 760).

Keutuhan PBSP pun tak bertahan lama. Menurut artikel Situation of the Maoist Movement in Bangladesh (2004), pada dekade 1990-an terjadi split sehingga PBSP terpecah menjadi beberapa partai: PBSP (CC), PBSP (MPK), dan PBSP (MBRM). Partai-partai komunis lain juga bermunculan pada abad ke-21, misalnya Communist Party Marxist-Leninist-Maoist (MLM) Bangladesh dan Communist Party of East Bengal (Maoists).

Walau gerakan komunis terfragmentasi, analisis kondisi sosial mereka tetap sekepala: berhilir dari pemikiran Siraj Sikder yang diperas dari Pikiran Mao.

Salah satu karya Sikder yang kerap dikutip untuk menjelaskan kondisi Bangladesh terkini ialah Class Analysis of East Bengal Society (1972) yang sekilas kembar dengan analisis Mao tentang kelas-kelas sosial Tiongkok dalam Analysis of the Classes in Chinese Society (1939). Dalam masyarakat urban, menurut Sikder, terdapat kelas reaksioner yang tidak lain adalah borjuis dan lumpenproletariat. Sementara kelas revolusioner diwakilkan oleh proletar, borjuis kecil, pengrajin kecil, penjaja, dan asisten toko. Pada masyarakat perdesaan, Sikder membagi menjadi dua kubu: pertama, kelas “jahat” yakni tuan tanah dan petani kaya; kedua, kelas “baik” yang selalu ditindas, yaitu petani miskin dan proletar desa.

Berangkat dari kerangka Pikiran Mao, kondisi kelas Bengal Timur yang dipaparkan Sikder mengalami kontradiksi-kontradiksinya tersendiri. Hal ini Sikder kemukakan dalam Theses of the East Bengal Movement (1968). Mengikuti Mao dalam On Contradiction (1939), menurut Sikder terdapat dua kontradiksi primer yang nyata pada perkembangan sosial masyarakat Bengal Timur, yakni:

Pertama, kontradiksi nasional antara masyarakat Bengal Timur dan kolonialisme Pakistan. Dalam kontradiksi ini sentimen agama cukup berperan kuat. Kelas borjuis dan feodal Islam di Benggala Timur berpikir mereka mampu melakukan pembangunan kelas sendiri melalui format negara Pakistan. Alhasil, mereka mendukung gerakan kemerdekaan Pakistan atas nama Islam pada 1947.

Karena kepemimpinan gerakan kemerdekaan berada di tangan kelas borjuis dan feodal non-Bengal (Pakistan), imperialisme Inggris menyerahkan kekuasaan politiknya pada mereka. Dengan cara demikian, kelas borjuis dan feodal non-Bengal merebut kepemilikan monopoli atas aparatus negara dan “mendapat kesempatan untuk mengembangkan fakultas-fakultas kelas mereka sendiri secara bebas.”

Dalam perkembangannya, “kepemilikan tenaga kerja murah dan pasar tujuh puluh juta orang” di Benggala Timur menjadi sumber penting bagi kelas borjuis dan feodal Pakistan. Sikder mengungkapkan kelas borjuis menengah dan kecil Bengal Timur kecewa atas dominasi orang-orang non-Bengal ini karena menghambat dalam perkembangan kelasnya. Pada akhirnya, menurut Sikder, Benggala Timur menjadi bentuk setengah-jajahan sebagai bagian dari Pakistan.

Kedua, kontradiksi antara massa petani Bengal Timur dan feodalisme. Menurut Sikder, kelas kolonial Pakistan terkoneksi langsung dengan kelas feodal Bengal Timur di perdesaan. Hal ini untuk memastikan penindasan terhadap kelas petani berlanjut. Manifestasi yang mempertajam kontradiksi ini ialah peningkatan pajak tanah, sistem bunga, dan sewa lain yang menjerat petani miskin. “Kelas kolaborator borjuis dan feodal pro-Pakistan di Benggala Timur dan sikapnya yang mempertahankan feodalisme di daerah perdesaan Benggala Timur,” tulis Sikder, “telah mengusung penindasan dan eksploitasi di negara ini.”

Dari hasil analisis kondisi kelas dan kontradiksi-kontradiksinya itulah Siraj Sikder menyimpulkan Bangladesh memasuki tahap SJSF.

Pelestarian Pikiran Mao pada abad ini dilanjutkan oleh Communist Party (MLM) Bangladesh. Tentang setengah-jajahan, CP (MLM) menegaskan kontradiksi primer bukan lagi terletak pada antagonisme dengan Pakistan, melainkan superpower (AS) dan negara-negara imperialis lain yang turut serta memerintah Bangladesh secara tidak langsung. Akibat “pemerintahan tidak langsung” ini, kekuatan borjuis nasional Bangladesh tetap lemah. Tentang struktur setengah-feodal, hal tersebut tampak pada bentuk kapitalisme birokratis. Menurut CP (MLM) Bangladesh, kapitalisme birokratis “lahir dari imperialisme dan aspek-aspek corak produksi setengah-feodal yang tetap berakar.”

Menurut mereka, kelahiran kapitalisme birokratis tak terlepas dari penggunaan sumber daya alam oleh kekuatan imperialis. Corak produksi feodal itu sendiri larut dalam imperialisme. “Inilah proses kapitalis,” tegas dalam dokumen tersebut, “tetapi kapitalis dari atas: kapitalisme birokratis.”

Analisis bahwa Bangladesh adalah SJSF menghasilkan kesimpulan bahwa revolusi haruslah berkarakter nasional dan demokratis–yang keseluruhannya mengutip Pikiran Mao. Seperti yang tertulis dalam Draft Constitution (1971), untuk menciptakan kondisi bagi perkembangan borjuis kecil, menengah, dan nasional dibutuhkan revolusi nasional. Sementara kontradiksi antara massa petani Bengal Timur dan feodalisme diselesaikan melalui revolusi demokratis. Tujuan yang konkret dari revolusi demokratis ialah menggulingkan corak produksi feodal dan mendistribusikan tanah dan properti feodal untuk petani miskin dan proletar desa.


5. India

Pada 1969, Partai Komunis India (Marxis)–CPI (M)–yang merupakan sempalan dari Partai Komunis India (CPI) sejak 1964 tengah mengalami gonjang-ganjing. Dalam artikel Naxalites, the New Left, J. Mohan (1970: 1.119) mengungkapkan gejolak internal terutama diakibatkan tumbuhnya kalangan radikal yang berbasis di Bengal Barat. Mereka menuduh CPI (M) telah menempuh garis revisionisme Soviet dan lunak terhadap kemungkinan berparlemen. Kalangan radikal percaya bahwa partai harus menempuh metode perjuangan bersenjata.

Kalangan yang dikepalai oleh Charu Mazumdar dan Kanu Sanyal ini kemudian disingkirkan oleh CPI (M). Mereka lantas mendirikan Partai Komunis India (Marxis-Leninis) atau CPI (ML) pada 1969 (J. Mohan, 1970: 1.119).

Kalangan radikal yang kemudian mendirikan CPI (ML) percaya dengan Pikiran Mao. Mereka menganggap terdapat kesesuaian antara teori tersebut dengan kondisi India. Dua tahun sebelumnya meletus revolusi petani dengan metode bersenjata di Naxalbari. CPI (ML) menganggap itu sebagai “corak revolusinya India” sekaligus verifikasi atas Pikiran Mao.

Mulai dekade 1970-an, CPI (ML) pecah menjadi beberapa kelompok seperti CPI (ML) Class Struggle, CPI (ML) Liberation, CPI (Maoist), dan lain-lain. Menurut Kartick Das dalam NAXALBARI TO TODAY’S MAOIST: Uprisings and Implications (2010: 492), alasan perpecahan juga tidak lain disebabkan oleh persepsi masing-masing tentang garis revolusioner Pikiran Mao dan upaya koreksi arah perjuangannya.

Kelompok-kelompok tersebut juga melanjutkan penerapan Pikiran Mao pada kondisi India terkini. Pada 1971, Charu Mazumdar dalam Long Live the Heroic Peasants in Naxalbari! mengatakan kondisi India saat itu selaras dengan Tiongkok sebelum 1949: setengah-feodal dan setengah-jajahan. Pada abad ke-21, persoalan setengah jajahan di India secara terperinci dijelaskan dalam Founding Documents of the Communist Party of India (Maoist) yang dikompilasi oleh Lucha (2004: 10). Praktik setengah-jajahan saat ini, menurut mereka, dijalankan lewat agen keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Juga lewat masifnya investasi langsung oleh perusahaan multinasional.

Beberapa dampaknya, seperti dijelaskan N. Venugopal dalam buku Understanding Maoists: Notes of a Participant Observer from Andhra Pradesh (2013: 55) lewat contoh kasus Negara Bagian Andhra Pradesh, adalah berkurangnya investasi di bidang pertanian, promosi tanaman komersial, dan ketergantungan yang berlebihan pada pasar internasional. Hal ini menyebabkan meningkatnya kemiskinan petani bahkan membuat mereka tidak tahan hingga memutuskan bunuh diri. Pemotongan belanja kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, dan sosial juga menjadi hal umum.

Dalam buku Towards Understanding Semi Feudal Semi Colonial Country, R. S. Rao (1995: 13) menjelaskan situasi setengah-jajahan dibuktikan melalui hadirnya kelas komprador dan kapitalis birokrat yang bertindak sebagai agen modal imperialis. Kelas komprador tidak mengembangkan teknologi dan modal sendiri serta sangat tergantung pada beragam kekuatan imperialis. Konsekuensinya, menurut Rao, mereka tidak melepaskan kekuatan-kekuatan produktif yang tersembunyi dalam masyarakat yang tercengkeram sisa-sisa feodal.

Sementara setengah-feodal sangat berkelindan dengan sistem kasta. Anuradha Ghandy dalam Caste Question in India yang terhimpun dalam Scripting the Change: Selected Writings of Anuradha Gandy (2011: 19-20) menjelaskan kebangkitan feodalisme terjadi pertama-tama ketika kasta brahmana mendapatkan hibah tanah dari kasta bawah yang mengelola tanah–umumnya petani. Corak feodal tak hancur sama sekali dan justru hidup berdampingan dengan relasi kapitalis saat kolonialisme Inggris masuk.

Menurut Rao (1995: 13), tuan tanah di India pascakolonial hingga dekade 1990-an tetap menikmati surplus ekonomi melalui pasar dan penindasan terhadap tenaga kerja pertanian. Inilah titik balik perubahan corak feodal menjadi setengah-feodal.

Cherukuri Rajkumar —anggota politbiro CPI (Maois)—dalam Maoists in India: Writings and Interviews (2018: 18), berujar bahwa tatanan setengah-feodal di India pada abad ke-21 dalam bentuk seperti itu telah mereproduksi polarisasi sosial: sebagian besar orang didorong ke dalam pengangguran, krisis agraria, dan kehancuran finansial. Adalah tugas komunis-komunis pro-Mao untuk mengubah kondisi-kondisi ini via revolusi.

Dasar-dasar revolusi bagi gerakan komunis di India telah dipahat oleh Charu Mazumdar dalam The Indian People’s Democratic Revolution (1968). Sama seperti konklusi dari gerakan-gerakan komunis sebelumnya, mereka mencanangkan “revolusi demokrasi rakyat” yang “hanya dapat dipimpin dengan kemenangan atas dasar Pikiran Ketua Mao.”

Secara prinsip, revolusi demokrasi rakyat bertujuan untuk menghantam dua kontradiksi primer dalam kondisi SJSF India, yakni: (1) antara imperialisme dan rakyat India, dan; (2) antara feodalisme dengan massa besar rakyat. Praktiknya, menurut Charu, adalah melalui pembentukan zona-zona pembebasan di perdesaan oleh petani bersenjata di bawah kepemimpinan proletariat.***

(Bersambung)


Catatan Akhir

[1] Diambil dari tabel data Tao Chi-fu (1930) direproduksi dalam Volume 32 dari Great Soviet Encyclopaedia yang dikutip oleh Isaac Deutscher (1951). Lihat https://www.marxists.org/archive/deutscher/1951/chinese-landlord.htm (diakses 18 Juni 2022).

[2] Menurut Mao, kelas komprador adalah kelas paling reaksioner dalam relasi produksi di Tiongkok dan selalu bergantung pada pertumbuhan dan mati-hidupnya imperialisme. Lihat Mao Tse-tung, 1964, “Analysis of the Classes in Chinese Society”, Selected Works: Volume 1, (Peking: Foreign Languages Press), hlm. 13.


Kepustakaan

Aidit, D.N. et al. (1958). Untuk Bekerdja Lebih Dikalangan Kaum Tani. Jakarta: Jajasan Pembaruan.

Aidit, D.N. (1964). Masjarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia (soal² pokok revolusi Indonesia) Tjetakan ke-4. Jakarta: Jajasan Pembaruan.

Aidit, D.N., Fauzan (Ed.). (2021). Perang Tani di Jawa Barat. Bandung: Marxiyyah Libertary.

Azad. (2018). Maoists in India: Writings and Interviews. Utrecht: Foreign Languages Press.

Banerjee, Sumanta. (1984). India’s Simmering Revolution: The Naxalite Uprising. London: Zed Books Ltd,.

Biao, Lin. (1968). Quotations from Vice-Chairman Lin Piao. Diakses dari https://www.marxists.org/reference/archive/lin-biao/1968/quotations.htm

Central Committe Communist Party of the Philippines. (2018). Constitution and Program Communist Party of the Philippines 2016.

Central Committe CP-MLM Bangladesh. (2012). Declaration & Program of CP-MLM Bangladesh.

Choudhury, G. W. (1972). Bangladesh: Why It Happened. International Affairs (Royal Institute of International Affairs 1944-), 48(2), 242–249. https://doi.org/10.2307/2613440

Communist Party of Malaya. (1973) New Constitution of the Communist Party of Malaya. Journal of Contemporary Asia, 3: 2, 233237, DOI: 10.1080/00472337308566872.

Communist Party of Philippines Education Department. (2020). Activist Study: Araling Aktibista (ARAK). Paris: Foreign Languages Press.

Congress of Re-Establishment of the Communist Party of the Philippines. (1968). Program for a People’s Democratic Revolution. Diakses dari https://www.marxists.org/history/philippines/cpp/1968/program.htm

Congress of Re-Establishment of the Communist Party of the Philippines. (1968). Rectify Errors, Rebuild the Party! Diakses dari https://www.marxists.org/history/philippines/cpp/1968/rectify-errors.htm

Dahana, A. (2022). Perang Dingin, Tiongkok, Malaya, dan Malaysia, 1949-1974. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Das, Kartick. (2010). NAXALBARI TO TODAY’S MAOIST: Uprisings and Implications. The Indian Journal of Political Science, 71(2), 489–495. http://www.jstor.org/stable/42753711 (diakses 5 Juli 2022).

Feuerwerker, A. (1965). China’s Modern Economic History in Communist Chinese Historiography. The China Quarterly, 22, 31–61. http://www.jstor.org/stable/651542 (diakses 18 Juni 2022).

Hanrahan, Gene Z. (1971). The Communist Struggle in Malaya. Kuala Lumpur: University of Malaya Press.

Kessler, R. J. (1989). Origins of the Communist Party of the Philippines. In Rebellion and Repression in the Philippines (pp. 28–51). Yale University Press. https://doi.org/10.2307/j.ctt1xp3s8c.6

Kabir, Anwar. (2004). The Experience of Practice of Maoism in Bangladesh and Problems of Defending & Developing Maoism.

Kheng, C. B. (1994). Feudalism in Pre-Colonial Malaya: The Past as a Colonial Discourse. Journal of Southeast Asian Studies, 25(2), 243–269. http://www.jstor.org/stable/20071658 (diakses 21 Juni 2022).

Liwanag, Armando. (1988). Brief Review of the History of the Communist Party of the Philippines.

Lovell, Julia. (2019). Maoism: A Global History. New York: Vintage Books.

Malayan People’s Experience Refutes Revisionist Fallacies: Sixteenth Anniversary of the Malayan Peoples’ Armed Struggle. (1965). Peking: Foreign Languages Press.

Maria Sison, Jose., de Lima, Julieta (Ed.). (2021). On the Philosophy of Marxism-Leninism-Maoism: Sison Reader series 2. The Netherlands: International Network for Philippine Studies.

Maria Sison, Jose. (2021). Selected Readings From the Works of Jose Maria Sison. Paris: Foreign Languages Press.

Maria Sison, Jose. (2020). Upsurge of People’s Resistance in the Philippines and the World: Selected Works in 2020 of Jose Maria Sison. The Netherlands: International Network for Philippine Studies.

Mazumdar, Charu. (2020). Historic Eight Documents. Paris: Foreign Languages Press.

Mohan, J. (1970). Naxalites, the New Left. Economic and Political Weekly, 5(29/31), 1119–1122. http://www.jstor.org/stable/4360241 (diakses 3 Juli 2022).

Mortimer, Rex. (2011). Indonesian Communism Under Sukarno: Ideologi dan Politik 1959-1965. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nurul Amin, Md. (1986). Maoism in Bangladesh: The Case of the East Bengal Sarbohara Party. Asian Survey, 26(7), 759–773. https://doi.org/10.2307/2644210

Rao, R. S., Reddy, D. Narasimha (Ed.). (1995). Towards Understanding Semi Feudal Semi Colonial Country. Hyderabad: Perspectives.

Sikder, Siraj. (1974). Heroic People of East Bengal, Our Struggle Has Not Yet Finished. Carry on the Great Struggle to Complete the Unfinished National Democratic Revolution of East Bengal.

Sikder, Siraj. (1972). Class Analysis of East Bengal Society: Second Edition. https://www.marxists.org/archive/sikder/1974/carry-on.htm

Sikder, Siraj. (1971). Draft Constitution of the Proletarian Party of East Bengal. https://www.marxists.org/archive/sikder/1971/draft-const.htm

Sikder, Siraj. (1970). The Difference of Marxist-Leninist-Mao Thought Follower Proletarian Revolutionaries of East Bengal with Hug-Toha Neo Revisionists, Deben-Motin Trotskyite-Guevarist, and the Conspirator Traitor Kaji-Rono Clique on Determining Principal Contradiction at the Present Stage of Social Development of East Bengal. https://www.marxists.org/archive/sikder/1970/a001.htm

Sikder, Siraj. (1968). Theses of the East Bengal Workers Movement. https://www.marxists.org/archive/sikder/1968/jan/08.htm

Situation of the Maoist Movement in Bangladesh. (2004).

Suryanrayan, V. (1977). Rise of Communism in Malaya (1930-1948). Proceedings of the Indian History Congress, 38, 613–620. http://www.jstor.org/stable/44139123 (diakses 21 Juni 2022).

The Statement of the Central Committe on the Recent Split in the Proletarian Party of Purbo Bangla (PBSP)/Bangladesh. (1999).

Tse-tung, Mao. (1964). Selected Works of Mao Tse-tung: Volume 1. Peking: Foreign Languages Press.

Tse-tung, Mao. (1965). Selected Works of Mao Tse-tung: Volume 2. Peking: Foreign Languages Press.

Tse-tung, Mao. (2019). Revolusi Tiongkok dan Demokrasi Rakyat. Yogyakarta: Tanah Merah Press.

Venugopal, N. (2013). Understanding Maoists: Notes of a Participant Observer from Andhra Pradesh. Kalkutta: Setu Prakashani.

Zulkifli, Arif., & Hidayat, Bagja (Eds.). (2010). Njoto: Peniup Saksofon di Tengah Prahara. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).


Alvino Kusumabrata adalah pelajar kelas dua belas SMA di Kota Surakarta

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.