Peringatan 10 Tahun Wafatnya Ernesto Laclau: Berpikir Secara Politis Bersamanya

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Universidad


ERNESTO Laclau, seorang ahli teori politik dari Argentina yang mengembangkan sebuah merek yang unik “pasca-marxisme”, meninggal dunia pada 13 April 2014, tepat hari ini 10 tahun yang lalu. Artikel ini dibuat untuk merefleksikan secara singkat warisan pemikirannya dan mempertimbangkan tantangan teoretis dan historis yang dihadapi paradigma pasca-marxis pada dekade ketiga abad ke-21.

Saya mulai dengan tinjauan umum mengenai intervensi pasca-marxis Laclau dan reaksi yang ditimbulkannya. Pada bagian kedua, saya mendiskusikan beberapa perkembangan teoretis dan historis lebih baru yang menantang pasca-marxisme, tetapi oleh karena itu juga membuka wilayah baru untuk dieksplorasi oleh para ahli teori pasca-marxisme.


Intervensi Pasca-Marxis dan Penerimaannya1Elemen dalam bagian ini diadaptasi dari karya saya yang diterbitkan sebelumnya: Min Seong Kim, “Radically Invested: Laclau’s Discursive Ontology and the Universality of Hegemony,” Philosophia: International Journal of Philosophy 23, no. 2 (30 Juni 2022): 262–80, https://doi.org/10.46992/pijp.23.2.a.2.

Dalam pengantar untuk buku The Retreat from Class edisi 1998, teoretikus dan sejarawan marxis Ellen Meiksins Wood menyatakan bahwa pasca-marxisme yang diuraikan oleh Laclau dan rekan seumur hidupnya, Chantal Mouffe, dalam buku mereka yang pertama kali terbit tahun 1985, Hegemony and Socialist Strategy, merupakan sebuah “kecenderungan intelektual yang sekarang sudah mati [defunct].”2Ellen Meiksins Wood, The Retreat From Class: A New True Socialism, 2 ed. (London: Verso, 1998), xi. Namun, mengingat konsekuensi teoretis dan praktis yang akan dihasilkan oleh ide-ide Laclau dan Mouffe hingga dekade kedua abad ke-21, penilaian Wood tampaknya terlalu terburu-buru.

Memang, menulis hampir 20 tahun setelah Wood, Perry Anderson mengakui Laclau dan Mouffe, meskipun bukan tanpa keraguan tentang kebenaran teori mereka, sebagai “pembawa reaksi terhadap neoliberalisme” yang dapat membanggakan pencapaian yang cukup besar dalam hal visi yang diadopsi oleh kekuatan-kekuatan politik yang memiliki dukungan massa, seperti Podemos di Spanyol yang “mendasarkan strateginya secara tegas pada resep mereka [Laclau dan Mouffe] untuk sebuah populisme yang hegemonik.”3Perry Anderson, “The Heirs of Gramsci,” New Left Review, no. 100 (Agustus 2016): 80–81.

Jika Anderson benar dalam mengakui keampuhan politik dari teori hegemoni pasca-marxis Laclau dan Mouffe, dia mungkin juga benar dalam mencatat karya berat dan “teknis”. Kesulitan ini sebagian disebabkan oleh fakta bahwa tidak ada kekurangan ambisi dalam karya mereka, seperti yang ditunjukkan oleh pernyataan Laclau, tidak lama sebelum kematiannya, bahwa tujuan dari usaha teoretisnya adalah untuk memikirkan “homologi dasar pada semua tingkat analisis realitas manusia” yang dibuktikan dengan linguistik, psikoanalisis, dan politik.4David Howarth dan Ernesto Laclau, “An Interview with Ernesto Laclau,” dalam Ernesto Laclau: Post-Marxism, Populism and Critique, ed. oleh David Howarth (London: Routledge, 2014), 261.

Mengenai apa yang dimaksud dengan “homologi dasar” ini, saya mencoba untuk mengajukan beberapa hal berikut sebagai sebuah perkiraan ringkas: praktik-praktik sosial adalah proses penandaan atau artikulatoris; keberadaan objek-objek bersifat diskursif karena diproduksi melalui proses-proses seperti itu; kontinjensi setiap objektivitas terungkap dalam perincian proses penandaan; dan kemungkinan perincian seperti itu pada akhirnya tidak dapat dieliminasi.

Implikasi terpenting dari tesis-tesis ini bagi teorisasi politik adalah kemustahilan akhir dari masyarakat (“the impossibility of society”)5Ernesto Laclau, “The Impossibility of Society,” The Canadian Journal of Political and Social Theory 7, no. 1–2 (Agustus 1983): 21–24. yang harmonis atau identik dengan diri sendiri (self-identical). Konsep-konsep kunci dalam teori pasca-marxis, khususnya antagonisme, dislokasi, dan heterogenitas, semuanya menunjukkan kemustahilan tersebut—yang real, dalam pengertian yang diberikan oleh Jacques Lacan—yang melingkupi tatanan sosial mana pun. Post-marxisme mengusulkan untuk menganggap kemustahilan masyarakat bukan sebagai hasil yang tragis, melainkan sebagai sesuatu yang berpotensi membebaskan. Jika tidak ada tatanan sosial yang mencapai penutupan identitas diri, itu hanya berarti bahwa kemungkinan untuk melakukan perubahan sosial melalui proses artikulatoris alternatif tidak dapat dihapuskan.

Efek transformatif sosial yang luas dapat dicapai dengan menghubungkan—atau mengartikulasikan—ke dalam apa yang disebut Laclau dan Mouffe sebagai “rantai kesetaraan (chain of equivalence)”, pluralitas perjuangan yang muncul di berbagai wilayah sosial untuk membentuk sebuah front bersama. Bagi Laclau dan Mouffe, membangun rantai kesetaraan semacam itu merupakan operasi politik yang paling baik dan sejalan dengan apa yang diteorikan oleh Antonio Gramsci sebagai hegemoni. Meskipun karya-karya yang mereka tulis sendiri setelah Hegemony and Socialist Strategy memiliki fokus yang berbeda, dengan Laclau yang lebih condong pada pertanyaan-pertanyaan ontologis dan Mouffe yang menyibukkan diri dengan menguraikan model demokrasi “agonistik”, karya-karya individu mereka tetap dibangun di atas visi bersama yang terkandung dalam buku tersebut.

Tesis Laclau dan Mouffe tentang konstruksi diskursif dari setiap tatanan sosial membuka pintu bagi sebuah program penelitian yang bertujuan untuk meneliti tata bahasa atau “logika” artikulasi yang memengaruhi stabilisasi dan transformasi tatanan sosial dalam beragam situasi.

Selama hampir tiga dekade sejak publikasi edisi pertama Hegemony and Socialist Strategy, suatu kelompok internasional yang berasal dari para sarjana yang dilatih di program Analisis Ideologi dan Wacana yang didirikan Laclau di Universitas Essex berusaha untuk menunjukkan kegunaan kerangka konseptual pasca-marxis untuk penelitian sosial. Tampaknya aman untuk mengatakan bahwa gagasan-gagasan seperti “rantai kesetaraan” (merujuk pada kolektivisasi sejumlah elemen sosial yang berbeda) dan “penanda kosong” (merujuk pada istilah-istilah utama dalam rantai kesetaraan yang melampaui partikularitasnya untuk mewujudkan dimensi universal dari rantai tersebut; istilah-istilah seperti “kebebasan” dan “demokrasi” sering berfungsi sebagai penanda kosong) telah dituliskan dalam kosakata kajian budaya dan ilmu politik kontemporer. Namun, pengakuan yang meluas dalam dunia penelitian sosial bahwa gagasan-gagasan pasca-marxis tertentu telah dinikmati, seharusnya tidak mengaburkan perpecahan dalam penerimaan awal pasca-marxisme.

Prinsip-prinsip utamanya mengenai diskursivitas sosial, yang mendapat inspirasi dari penjelasan pascastrukturalis tentang bahasa, telah membuat jengkel kaum marxis yang lebih “tradisional” seperti Wood dan Norman Geras, yang mengakibatkan perdebatan sengit antara kaum marxis dan pasca-marxis mengenai makna materialisme dan intinya marxisme.6Jules Townshend, “Living with the Fragments: Further Thoughts on Norman Geras’s Critique of Post-Marxism,” International Critical Thought 7, no. 4 (Oktober 2017): 459–75. Pada saat yang sama, Laclau dan Mouffe juga menemukan sekutu yang memiliki kecakapan intelektual yang luar biasa dalam diri para ahli teori seperti Stuart Hall (yang meninggal dunia dua bulan sebelum Laclau) dan Slavoj Žižek.

Dalam sebuah wawancara yang dilakukan beberapa bulan setelah penerbitan Hegemony and Socialist Strategy, Hall mengatakan bahwa perubahan ke arah “diskursif” yang dikontribusikan oleh buku itu adalah “satu hal yang merupakan revolusi teoretis zaman kita.”7Lawrence Grossberg, “On Postmodernism and Articulation: An Interview with Stuart Hall,” Journal of Communication Inquiry 10, no. 2 (1 Juni 1986): 56, https://doi.org/10.1177/019685998601000204. Untuk studi yang canggih mengenai hubungan antara kajian budaya Hall dan pasca-marxisme Laclau, lihat: Paul Bowman, Post-Marxism Versus Cultural Studies: Theory, Politics and Intervention (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2007).  Žižek, yang buku berbahasa Inggris pertamanya The Sublime Object of Ideology diterbitkan sebagai entri dalam seri buku yang disunting oleh Laclau, mengakui Laclau dan Mouffe sebagai yang “pertama yang mengembangkan logika tentang Yang Nyata [Real] dalam relevansinya dengan bidang sosio-ideologis dalam konsep antagonisme mereka,” yang dengan demikian memberikan kontribusi terhadap pendekatan terhadap kritik ideologi yang mengacu pada teori psikoanalisis Jacques Lacan.8Slavoj Žižek, The Sublime Object of Ideology (London: Verso, 1989), 163.

Salah satu alasan mengapa pasca-marxisme Laclau dan Mouffe terbukti sangat memecah belah mungkin karena publikasi Hegemony and Socialist Strategy bertepatan dengan periode kritis dalam pemikiran politik radikal yang ditandai dengan disintegrasi ideologi-ideologi yang sebelumnya dominan. Konteks lainnya adalah kontestasi yang dapat digambarkan sebagai perjuangan hegemonik tentang bagaimana seharusnya politik yang transformatif secara sosial di masa depan. Bagi mereka yang menyambut baik karya Laclau dan Mouffe, salah satu kekuatannya adalah perspektif teoretisnya yang mendaftarkan kekuatan transformatif secara sosial dari gerakan-gerakan sosial baru yang tidak dapat direduksi ke dalam perjuangan kelas (seperti yang ditulis oleh Laclau dan Mouffe, “tidak ada hubungan seperlunya [necessary] antara politik anti-seksis dan politik anti-kapitalis”).9Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, Hegemony and Socialist Strategy: Towards a Radical Democratic Politics, 2 ed. (London: Verso, 2001), 178. Penekanan ditambahkan.

Pengakuan akan tidak dapat direduksinya pluralitas perjuangan—yaitu potensi untuk pluralitas situs emansipasi—mendikte pergeseran penting dalam pemikiran kiri. Karena jika sejarah bersifat terbuka dan penaklukan kapitalisme bukanlah hasil akhir yang telah ditentukan sebelumnya, maka tugas politik yang tepat hanya dapat dimulai dari penegasan realitas historis dari perjuangan yang pluralistik, yaitu, tidak menolak gerakan-gerakan sosial baru sebagai “kemunduran” dari perjuangan kelas.

Dari titik inilah tugas politik kiri dapat diklarifikasi: memobilisasi perjuangan-perjuangan tersebut, dalam kemajemukannya, menuju sebuah proyek transformasi sosial yang lebih luas ke arah yang lebih progresif, termasuk dengan menghubungkannya dengan tuntutan-tuntutan kelas pekerja.

Teorisasi dari kemungkinan politik semacam ini—yang digambarkan sebagai radikalisasi “revolusi demokratik”—adalah apa yang Laclau dan Mouffe coba hadirkan secara sistematis dalam karya mereka. Meskipun Hegemony and Socialist Strategy berisi serangkaian ketidakjelasan dan permasalahannya sendiri, tidak diragukan lagi buku terobosan pasca-marxisme ini merupakan sebuah intervensi dalam konteks historisnya.

Namun, pada peringatan sepuluh tahun kematian Laclau, lanskap politik dan teoretisnya jauh berbeda dengan tahun 90-an, di mana pasca-marxisme dapat menemukan ruang untuk diterima secara positif. Lalu, apa yang tersisa dari pasca-marxisme dan masa depan seperti apa yang mungkin menantinya?


Tantangan-Tantangan Hari Ini untuk Pasca-Marxisme

Situasi yang dihadapi pasca-marxisme saat ini agak berbeda dibandingkan dengan situasi sepuluh tahun yang lalu, ketika momentum populis di berbagai belahan Eropa dan Amerika tampak hampir seperti aktualisasi dari teori populisme Laclau yang telah diletakkan secara sistematis dalam bukunya yang terbit pada tahun 2005, On Populist Reason.10Ernesto Laclau, On Populist Reason (London: Verso, 2005). Mengingat bahwa pelajaran awalnya dalam politik sebagai aktivis sosialis di Argentina tidak dapat dipisahkan dari gerakan peronisme, ketertarikan Laclau yang mendalam terhadap pokok bahasan ini—yang sebenarnya telah dieksplorasi dalam karya-karyanya sejak tahun 1970-an—tidak mengherankan. Namun, tidak hanya momen penuh semangat dari populisme kiri yang sebagian besar telah berlalu (misalnya, gelombang biru dan bukannya gelombang merah atau merah muda yang sedang melanda Amerika Latin sekarang) dengan implikasi yang memaksa pertimbangan kembali populisme sebagai strategi kiri,11Lihat: Samir Gandesha dan Vladimir Safatle, “The Brazilian Matrix: Between Fascism and Neo-Liberalism: Vladimir Safatle and Samir Gandesha in Conversation,” Krisis: Journal for Contemporary Philosophy 40, no. 1 (2020): 215–33, https://doi.org/10.21827/krisis.40.1.37054. kecenderungan teoretis dan historis yang baru dapat dianggap sebagai mempertanyakan beberapa anggapan dasar teori pasca-marxis.

Tidaklah mengherankan jika di hadapan pertanyaan “apa yang tersisa dari pasca-marxisme”, setidaknya seorang komentator baru-baru ini menulis bahwa jawabannya adalah “negatif, karena dekade kedua abad ke-21 telah melihat rekonstruksi materialisme, konteks ekonomi, produksi, totalitas, dan dialektika yang disambut dengan baik sebagai alat penjelas yang penting untuk berpikir secara kritis mengenai dugaan yang ada saat ini.”12Andrew Rowcroft, “Theory in Film and Cultural Studies: A Reply to Paul Bowman,” dalam Reflections on Post-Marxism: Laclau and Mouffe’s Project of Radical Democracy in the 21st Century, ed. oleh Stuart Sim (Bristol: Bristol University Press, 2022), 79. Saya tidak bisa memberikan dalam esai ini sebuah diskusi yang lengkap dan terperinci mengenai tantangan-tantangan yang muncul dalam beberapa tahun terakhir untuk teori pasca-marxis dalam corak “laclauian”. Dalam tulisan ini, saya akan membahas secara singkat empat tantangan, yang menyajikan pertanyaan yang menarik dan paling kontemporer, menurut saya.

a) Apakah post-truth mengimplikasikan logika politik yang baru?

Teorisasi pasca-marxis tentang masyarakat dan perubahan sosial mengandaikan kemanjuran tertentu dari tatanan simbolik. Teori ini menyatakan bahwa meskipun makna praktik sosial bersifat kontinjen dan fleksibel, tidak semua hal menjadi mungkin pada waktu tertentu dan fiksasi sebagian makna selalu berlaku. Tanpa adanya tingkat stabilitas tertentu, yang akan terjadi adalah alam semesta “psikotik” yang merupakan situasi yang tidak dapat ditoleransi oleh agen-agen sosial.

Secara umum, teori pasca-marxis menyatakan bahwa proyek politik yang berhasil atau hegemonik adalah proyek politik yang berhasil menjadikan diri mereka sebagai perwakilan dari semua, dengan mengangkat konten partikular mereka sendiri ke dalam tatanan penanda kosong yang dianggap oleh pluralitas subjek yang beragam sebagai pengejawantahan dari yang universal. Sebagai contoh, hegemoni Orde Baru Soeharto dapat dipahami dalam hal keberhasilannya dalam menetapkan makna penanda-penanda seperti “pembangunan”, “demokrasi”, dan “Pancasila” dengan cara mengartikulasikannya dengan isi dan agenda partikularnya.

Jika teori politik pasca-marxis Laclau mengandaikan adanya kondisi-kondisi tertentu di mana politik yang dikandung oleh teori tersebut menjadi mungkin (kita dapat menyebut kondisi-kondisi seperti itu sebagai kondisi hegemoni yang kuasi-transendental), kita dapat mempertanyakan apakah kondisi-kondisi tersebut telah berubah dengan cara yang tidak dapat diprediksi atau dijelaskan oleh teori tersebut. Fenomena post-truth, misalnya, dapat dirumuskan sebagai tantangan terhadap pasca-marxisme. Sementara beberapa penulis telah mencoba untuk bekerja dalam koordinat yang ditetapkan oleh pasca-marxisme Laclau dalam analisis post-truth,13Misalnya: Ignas Kalpokas, A Political Theory of Post-Truth (Basingstoke: Palgrave Macmillan, 2019). saya lebih tertarik dengan proposal Sergei Prozorov untuk menganggap post-truth secara serius sebagai perkembangan baru dan berbeda yang luput dari pemahaman kerangka Laclau.

Instansiasi ideologis post-truth seperti putinisme dan trumpisme beroperasi dengan cara-cara yang tidak dirancang sebelumnya oleh teori pasca-marxis, sejauh mereka adalah ideologi yang kemanjurannya sebenarnya terdiri dari merongrong kemanjuran simbolis, yaitu, dalam generasi wacana “psikotik”, bukannya membangun kembali. Meskipun berkurangnya kemanjuran simbolis bukanlah hal baru di era kapitalisme akhir (seperti yang ditunjukkan oleh karya-karya Žižek tentang ideologi), tantangannya adalah bahwa jika sebelumnya berkurangnya kemanjuran simbolis dapat dipahami sebagai logika status quo yang mencegah mobilisasi politik, post-truth tampaknya menunjukkan bahwa dukungan massa dan aksi politik tidak lagi bergantung pada produksi penanda kosong, seperti yang diandaikan oleh teori politik Laclau—yang tidak diragukan lagi merefleksikan pengalaman Laclau sendiri sebagai seorang aktivis sosialis di tengah-tengah gerakan Peronis pada abad ke-20. 

b) Dekolonisasi pasca-marxisme?

Meskipun kematiannya telah membuat harapannya, yang diungkapkan di awal kumpulan esai terakhirnya The Rhetorical Foundation of Society,14Ernesto Laclau, The Rhetorical Foundations of Society (London: Verso, 2014). untuk menyajikan presentasi sistematis dari pemikiran-pemikiran terbarunya menjadi tidak mungkin untuk dipenuhi, pemikiran Laclau selalu berkaitan dengan ontologi politik tertentu (untuk rekonstruksi paling orisinal dan ambisius dari ontologi politik tersebut hingga saat ini, lihat buku Oliver Marchart dari tahun 2018, berjudul Thinking Antagonism).15Oliver Marchart, Thinking Antagonism: Political Ontology After Laclau (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2018). Meskipun ketertarikan pada ontologi politik ini tampaknya memiliki beberapa resonansi dengan “peralihan ontologis” yang lebih baru dalam ilmu sosial dan terutama ketertarikan pada “political ontology” dalam antropologi kontemporer, para ahli teori pasca-marxisme sebagian besar tetap menjaga jarak dengan peralihan ontologis (atau “spekulatif” atau “indigenous”) dalam antropologi (dan teori sosial, secara lebih luas). 

Namun, jika salah satu tujuan politik konkret dari teori pasca-marxis adalah untuk mengilhami dan mendukung politik demokratis yang plural dan radikal,16Stanislaus Sunardi, “Logika Demokrasi Plural-Radikal,” Retorik: Jurnal Ilmu Humaniora 3, no. 1 (2012): 3–20. dapat ditanyakan apakah pengandaian yang tampak jelas dari pasca-marxisme tentang ontologi tunggal politik—ketika menyatakan bahwa yang-sosial diliputi oleh kemustahilan imanen (diteorisasi melalui konsep antagonisme, dislokasi, dan heterogenitas oleh Laclau), suatu kondisi yang pada gilirannya memengaruhi semua konstruksi identitas sosial—bertentangan dengan aspirasi pluralisme dari teori tersebut. Secara lebih tegas, apakah pasca-marxisme itu sendiri membutuhkan “dekolonisasi”? Mendekati teorisasi pasca-marxis tentang antagonisme dan pembentukan identitas dari perspektif yang diinformasikan oleh eksplorasi antropolog Eduardo Viveiros de Castro tentang kosmovisi Amerindian, Ben Turner telah membuat kasus yang meyakinkan tentang perlunya pasca-marxisme untuk berinteraksi secara lebih mendalam dengan pemikiran pluriversal.17Ben Turner, “Affinity and Antagonism: Structuralism, Comparison and Transformation in Pluralist Political Ontology,” Philosophy & Social Criticism 45, no. 1 (1 Januari 2019): 27–49, https://doi.org/10.1177/0191453718797985.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

c) Kembalinya materialitas?

Meskipun beberapa kritik awal terhadap pasca-marxisme yang menyatakan bahwa ia adalah “idealisme linguistik” adalah salah kaprah karena gagal mengakui bahwa wacana tidak dapat dipisahkan dari praktik material, tetap saja ada kemungkinan untuk mempertanyakan apakah pemahaman pasca-marxisme tentang materialitas itu memadai.

Dalam konsepsi pasca-marxis, materi murni atau kebendaan sederhana tetap menjadi penerima pasif makna dalam dan melalui praktik diskursif. Namun, dengan munculnya tren “materialis baru” dalam filsafat (yang diwakili oleh para ahli teori seperti Karen Barad dan Bruno Latour) dapat ditanyakan apakah pasca-marxisme mengabaikan peran yang lebih aktif dari materi dalam konstruksi makna.18Upaya menuju sintesis pasca-marxisme dan materialisme baru telah dilakukan oleh para peneliti yang terinspirasi oleh kedua kecenderungan tersebut. Lihat, sebagai contoh: Nico Carpentier, The Discursive-Material Knot: Cyprus in Conflict and Community Media Participation (New York: Peter Lang, 2017).

Peran materialitas juga dapat disinggung dari pendekatan teoretis yang berbeda. Sebagai contoh, para ahli geografi kritis telah secara meyakinkan menunjukkan bahwa proses kapitalisme kontemporer cenderung mengarah pada (socio-ecological) fix.19Lauren Crabb, Celal Cahit Agar, dan Steffen Böhm, “Internal Colonialism as Socio-Ecological Fix: The Case of New Clark City in the Philippines,” Antipode, 19 Desember 2023, https://doi.org/10.1111/anti.13015. Dengan mempertimbangkan makna ganda dari kata “fix”, ada kebutuhan simultan untuk pendekatan teoretis wacana—yang ditawarkan oleh pasca-marxisme—yang menganalisis bagaimana proses-proses tertentu menampilkan diri mereka sendiri sebagai solusi dan sebuah pendekatan—di luar teorisasi pasca-marxisme—ruang-waktu tempat proses-proses tersebut menancapkan diri mereka sendiri yang memiliki dampak membentuk, atau membatasi, berbagai praktik sosial yang mungkin terjadi.

Interaksi antara wacana dan materi di sini berpotensi lebih dalam dan lebih dinamis daripada yang diandaikan oleh pasca-marxisme. Pasca-marxisme menekankan otonomi politik terhadap ekonomi, dan dalam konteks ini penanda “material” sering dikaitkan dengan ekonomi. Namun, ekonomi hanyalah salah satu dari ranah material, dan luas dan dalamnya materialitas dalam berteori tentang intervensi politik mungkin perlu diperkaya. 

d) Yang politis tanpa politik?

Pasca-marxisme Laclau bukanlah teori normatif yang menguraikan cetak biru “Good Society”.20Maeve Cooke, Re-Presenting the Good Society (Cambridge: The MIT Press, 2006). Hasil etis-politis yang paling sentral dari visi demokrasi radikal pluralistik yang didukung Laclau adalah pelembagaan kemustahilan masyarakat, sehingga kontestasi politik yang menyetel ulang masyarakat dapat terus terjadi, tetapi dengan “isi” kontestasi yang bergantung pada “rakyat” dan bukan hak ahli teori politik untuk mendikte.21Oliver Harrison, Revolutionary Subjectivity in Post-Marxist Thought: Laclau, Negri, Badiou (Farnham, UK: Ashgate, 2014). Konsisten dengan pandangan tentang kemustahilan akhir dari masyarakat, pasca-marxisme berpendapat bahwa apa yang bermasalah dengan ideologi (atau mungkin lebih tepatnya, dimensi ideologis dari praktik sosial) adalah bahwa ideologi selalu merupakan upaya untuk menaturalisasi apa yang sudah ada dan menetralisir kontestasi—yaitu bahwa ideologi berdampak pada penutupan sosial.

Bahkan ketika visi demokrasi yang pluralistik dan radikal dari pasca-marxisme secara tepat mempersoalkan penutupan atau totalisasi sosial oleh satu proyek hegemonik, masih harus kita tanyakan apakah pasca-marxisme dapat mendukung, dengan cara yang konsisten dengan premis-premis teoretis dan visi demokratisnya, komitmen yang kuat untuk mengejar tujuan politik tertentu. Secara ringkas: karena berusaha untuk memperjelas “yang politis”, pasca-marxisme telah menghabiskan waktu yang relatif lebih sedikit untuk memikirkan “politik”, yaitu proyek tertentu. Kita dapat membandingkan sikap pasca-marxis—yaitu, jaraknya dari penegasan secara teoretis terhadap visi politik tertentu—dengan sikap filsuf pasca-marxis Prancis, Alain Badiou, yang refleksi-refleksinya tentang politik secara konsisten menganjurkan gagasan politik sebagai “prosedur kebenaran (truth procedure)” yang didasarkan pada “kesetiaan (fidelity)” ke momen awal perpecahan inspirasi, yang disebutnya “peristiwa (event)”.22Alain Badiou, Ethics: An Essay on the Understanding of Evil, trans. oleh Peter Hallward (London: Verso, 2002).

Meskipun Laclau dan para pengikutnya telah memberikan kritik-kritik yang menonjol terhadap pendekatan Badiou terhadap politik,23Lihat, misalnya: Ernesto Laclau, “An Ethics of Militant Engagement,” dalam Think Again: Alain Badiou and the Future of Philosophy, ed. oleh Peter Hallward (London: Continuum, 2004), 120–37. apa yang masih belum jelas adalah model alternatif komitmen politik yang sesuai dengan pasca-marxisme dan visinya tentang demokrasi radikal (Martin Hägglund telah menyinggung inti dari kesulitan ini, yang bersifat internal bagi pasca-marxisme: ketegangan antara definisi Laclau mengenai demokrasi dan teorinya tentang komitmen politik sebagai “investasi radikal.”24Lihat bab tentang Laclau dalam: Martin Hägglund, Radical Atheism: Derrida and the Time of Life (Stanford: Stanford University Press, 2008). Lihat juga: Ernesto Laclau, “Is Radical Atheism a Good Name for Deconstruction?,” diacritics 38, no. 1–2 (2008): 180–89; Martin Hägglund, “Time, Desire, Politics: A Reply to Ernesto Laclau,” diacritics 38, no. 1–2 (2008): 190–99. Bisa dikatakan, tidak sepenuhnya salah, bahwa membela suatu proyek konkret berada di luar jangkauan teori pasca-marxis. Namun, ketika umat manusia dihadapkan pada krisis-krisis besar—seperti krisis iklim global—dan kurangnya imajinasi untuk mengatasinya, bukankah bisa dikatakan bahwa pasca-marxisme tidak boleh menghindar untuk mengartikulasikan dan membela proyek konkret menuju masa depan?25Upaya ke arah ini telah dilakukan oleh pemikir pasca-marxis kontemporer, termasuk Mouffe: Chantal Mouffe, Towards a Green Democratic Revolution: Left Populism and the Power of Affects (London: Verso, 2022). 


Penutup

Seperti yang berlaku untuk teori sosial-politik apa pun yang layak untuk zaman kita, pasca-marxisme Laclau ditandai oleh kekhasan historisitasnya sendiri. Pemikiran ini muncul dari latar belakang peralihan bahasa dalam filsafat, gerakan-gerakan sosial dan alter-globalisasi baru, pemikiran pascastrukturalis yang mencengkeram imajinasi begitu banyak pemikir di Eropa setelah peristiwa-peristiwa yang dilambangkan pada Mei 1968, dan problematisasi “krisis marxisme” yang didasarkan pada pembacaan khusus dan terkadang kontroversial atas sejarah pemikiran marxis sejak Internasional Kedua. Ada banyak tantangan dan pertanyaan baru—beberapa di antaranya telah saya sebutkan dalam esai ini, tetapi tentu saja masih banyak lagi—yang muncul sejak konsepsi awal pasca-marxisme, sekitar empat puluh tahun yang lalu.

Meskipun beberapa orang mungkin berpendapat bahwa transformasi lanskap teoretis dan historis selama beberapa dekade terakhir telah mengurangi relevansi pasca-marxisme Laclau, saya ingin menutup dengan menarik kesimpulan yang sedikit berbeda.

Merupakan suatu pujian bagi Laclau bahwa pemikirannya mengundang seseorang untuk tidak hanya mengikutinya, tetapi juga berpikir bersamanya. Apa yang Laclau tetapkan dan telah terlibat dengan adalah masalah atau serangkaian pertanyaan yang tidak dapat dengan mudah ditinggalkan. Sepuluh tahun setelah wafatnya, saya cenderung mengkarakterisasi pemikiran Laclau sebagai salah satu keterlibatan yang paling intens dengan pertanyaan berikut: apakah yang dimaksud dengan berpikir secara politis? Selama hal ini masih menjadi pertanyaan, pemikiran Laclau juga akan tetap layak untuk diperbaharui.


Daftar Pustaka

Anderson, Perry. “The Heirs of Gramsci.” New Left Review, no. 100 (Agustus 2016): 71–97.

Badiou, Alain. Ethics: An Essay on the Understanding of Evil. Diterjemahkan oleh Peter Hallward. London: Verso, 2002.

Bowman, Paul. Post-Marxism Versus Cultural Studies: Theory, Politics and Intervention. Edinburgh: Edinburgh University Press, 2007.

Carpentier, Nico. The Discursive-Material Knot: Cyprus in Conflict and Community Media Participation. New York: Peter Lang, 2017.

Cooke, Maeve. Re-Presenting the Good Society. Cambridge: The MIT Press, 2006.

Crabb, Lauren, Celal Cahit Agar, dan Steffen Böhm. “Internal Colonialism as Socio-Ecological Fix: The Case of New Clark City in the Philippines.” Antipode, 19 Desember 2023. https://doi.org/10.1111/anti.13015.

Gandesha, Samir, dan Vladimir Safatle. “The Brazilian Matrix: Between Fascism and Neo-Liberalism: Vladimir Safatle and Samir Gandesha in Conversation.” Krisis: Journal for Contemporary Philosophy 40, no. 1 (2020): 215–33. https://doi.org/10.21827/krisis.40.1.37054.

Grossberg, Lawrence. “On Postmodernism and Articulation: An Interview with Stuart Hall.” Journal of Communication Inquiry 10, no. 2 (1 Juni 1986): 45–60. https://doi.org/10.1177/019685998601000204.

Hägglund, Martin. Radical Atheism: Derrida and the Time of Life. Stanford: Stanford University Press, 2008.

———. “Time, Desire, Politics: A Reply to Ernesto Laclau.” diacritics 38, no. 1–2 (2008): 190–99.

Harrison, Oliver. Revolutionary Subjectivity in Post-Marxist Thought: Laclau, Negri, Badiou. Farnham, UK: Ashgate, 2014.

Howarth, David, dan Ernesto Laclau. “An Interview with Ernesto Laclau.” Dalam Ernesto Laclau: Post-Marxism, Populism and Critique, disunting oleh David Howarth, 257–71. London: Routledge, 2014.

Kalpokas, Ignas. A Political Theory of Post-Truth. Basingstoke: Palgrave Macmillan, 2019.

Kim, Min Seong. “Radically Invested: Laclau’s Discursive Ontology and the Universality of Hegemony.” Philosophia: International Journal of Philosophy 23, no. 2 (30 Juni 2022): 262–80. https://doi.org/10.46992/pijp.23.2.a.2.

Laclau, Ernesto. “An Ethics of Militant Engagement.” Dalam Think Again: Alain Badiou and the Future of Philosophy, disunting oleh Peter Hallward, 120–37. London: Continuum, 2004.

———. “Is Radical Atheism a Good Name for Deconstruction?” diacritics 38, no. 1–2 (2008): 180–89.

———. On Populist Reason. London: Verso, 2005.

———. “The Impossibility of Society.” The Canadian Journal of Political and Social Theory 7, no. 1–2 (Agustus 1983): 21–24.

———. The Rhetorical Foundations of Society. London: Verso, 2014.

Laclau, Ernesto, dan Chantal Mouffe. Hegemony and Socialist Strategy: Towards a Radical Democratic Politics. 2 ed. London: Verso, 2001.

Marchart, Oliver. Thinking Antagonism: Political Ontology After Laclau. Edinburgh: Edinburgh University Press, 2018.

Mouffe, Chantal. Towards a Green Democratic Revolution: Left Populism and the Power of Affects. London: Verso, 2022.

Rowcroft, Andrew. “Theory in Film and Cultural Studies: A Reply to Paul Bowman.” Dalam Reflections on Post-Marxism: Laclau and Mouffe’s Project of Radical Democracy in the 21st Century, disunting oleh Stuart Sim, 79–83. Bristol: Bristol University Press, 2022.

Sunardi, Stanislaus. “Logika Demokrasi Plural-Radikal.” Retorik: Jurnal Ilmu Humaniora 3, no. 1 (2012): 3–20.

Townshend, Jules. “Living with the Fragments: Further Thoughts on Norman Geras’s Critique of Post-Marxism.” International Critical Thought 7, no. 4 (Oktober 2017): 459–75.

Turner, Ben. “Affinity and Antagonism: Structuralism, Comparison and Transformation in Pluralist Political Ontology.” Philosophy & Social Criticism 45, no. 1 (1 Januari 2019): 27–49. https://doi.org/10.1177/0191453718797985.

Wood, Ellen Meiksins. The Retreat From Class: A New True Socialism. 2 ed. London: Verso, 1998.

Žižek, Slavoj. The Sublime Object of Ideology. London: Verso, 1989.


Min Seong Kim adalah Dosen Magister Kajian Budaya, Universitas Sanata Dharma. Ia bisa dihubungi melalui e-mail minseong.kim@outlook.com.

Catatan kaki

Catatan kaki
1 Elemen dalam bagian ini diadaptasi dari karya saya yang diterbitkan sebelumnya: Min Seong Kim, “Radically Invested: Laclau’s Discursive Ontology and the Universality of Hegemony,” Philosophia: International Journal of Philosophy 23, no. 2 (30 Juni 2022): 262–80, https://doi.org/10.46992/pijp.23.2.a.2.
2 Ellen Meiksins Wood, The Retreat From Class: A New True Socialism, 2 ed. (London: Verso, 1998), xi.
3 Perry Anderson, “The Heirs of Gramsci,” New Left Review, no. 100 (Agustus 2016): 80–81.
4 David Howarth dan Ernesto Laclau, “An Interview with Ernesto Laclau,” dalam Ernesto Laclau: Post-Marxism, Populism and Critique, ed. oleh David Howarth (London: Routledge, 2014), 261.
5 Ernesto Laclau, “The Impossibility of Society,” The Canadian Journal of Political and Social Theory 7, no. 1–2 (Agustus 1983): 21–24.
6 Jules Townshend, “Living with the Fragments: Further Thoughts on Norman Geras’s Critique of Post-Marxism,” International Critical Thought 7, no. 4 (Oktober 2017): 459–75.
7 Lawrence Grossberg, “On Postmodernism and Articulation: An Interview with Stuart Hall,” Journal of Communication Inquiry 10, no. 2 (1 Juni 1986): 56, https://doi.org/10.1177/019685998601000204. Untuk studi yang canggih mengenai hubungan antara kajian budaya Hall dan pasca-marxisme Laclau, lihat: Paul Bowman, Post-Marxism Versus Cultural Studies: Theory, Politics and Intervention (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2007).
8 Slavoj Žižek, The Sublime Object of Ideology (London: Verso, 1989), 163.
9 Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, Hegemony and Socialist Strategy: Towards a Radical Democratic Politics, 2 ed. (London: Verso, 2001), 178. Penekanan ditambahkan.
10 Ernesto Laclau, On Populist Reason (London: Verso, 2005).
11 Lihat: Samir Gandesha dan Vladimir Safatle, “The Brazilian Matrix: Between Fascism and Neo-Liberalism: Vladimir Safatle and Samir Gandesha in Conversation,” Krisis: Journal for Contemporary Philosophy 40, no. 1 (2020): 215–33, https://doi.org/10.21827/krisis.40.1.37054.
12 Andrew Rowcroft, “Theory in Film and Cultural Studies: A Reply to Paul Bowman,” dalam Reflections on Post-Marxism: Laclau and Mouffe’s Project of Radical Democracy in the 21st Century, ed. oleh Stuart Sim (Bristol: Bristol University Press, 2022), 79.
13 Misalnya: Ignas Kalpokas, A Political Theory of Post-Truth (Basingstoke: Palgrave Macmillan, 2019).
14 Ernesto Laclau, The Rhetorical Foundations of Society (London: Verso, 2014).
15 Oliver Marchart, Thinking Antagonism: Political Ontology After Laclau (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2018).
16 Stanislaus Sunardi, “Logika Demokrasi Plural-Radikal,” Retorik: Jurnal Ilmu Humaniora 3, no. 1 (2012): 3–20.
17 Ben Turner, “Affinity and Antagonism: Structuralism, Comparison and Transformation in Pluralist Political Ontology,” Philosophy & Social Criticism 45, no. 1 (1 Januari 2019): 27–49, https://doi.org/10.1177/0191453718797985.
18 Upaya menuju sintesis pasca-marxisme dan materialisme baru telah dilakukan oleh para peneliti yang terinspirasi oleh kedua kecenderungan tersebut. Lihat, sebagai contoh: Nico Carpentier, The Discursive-Material Knot: Cyprus in Conflict and Community Media Participation (New York: Peter Lang, 2017).
19 Lauren Crabb, Celal Cahit Agar, dan Steffen Böhm, “Internal Colonialism as Socio-Ecological Fix: The Case of New Clark City in the Philippines,” Antipode, 19 Desember 2023, https://doi.org/10.1111/anti.13015.
20 Maeve Cooke, Re-Presenting the Good Society (Cambridge: The MIT Press, 2006).
21 Oliver Harrison, Revolutionary Subjectivity in Post-Marxist Thought: Laclau, Negri, Badiou (Farnham, UK: Ashgate, 2014).
22 Alain Badiou, Ethics: An Essay on the Understanding of Evil, trans. oleh Peter Hallward (London: Verso, 2002).
23 Lihat, misalnya: Ernesto Laclau, “An Ethics of Militant Engagement,” dalam Think Again: Alain Badiou and the Future of Philosophy, ed. oleh Peter Hallward (London: Continuum, 2004), 120–37.
24 Lihat bab tentang Laclau dalam: Martin Hägglund, Radical Atheism: Derrida and the Time of Life (Stanford: Stanford University Press, 2008). Lihat juga: Ernesto Laclau, “Is Radical Atheism a Good Name for Deconstruction?,” diacritics 38, no. 1–2 (2008): 180–89; Martin Hägglund, “Time, Desire, Politics: A Reply to Ernesto Laclau,” diacritics 38, no. 1–2 (2008): 190–99.
25 Upaya ke arah ini telah dilakukan oleh pemikir pasca-marxis kontemporer, termasuk Mouffe: Chantal Mouffe, Towards a Green Democratic Revolution: Left Populism and the Power of Affects (London: Verso, 2022).

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.