Mitos Kesenjangan Generasi: Sebuah Teori Bias Kelas

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Jonpey


Orang-orang muda hari ini tidak memikirkan apa pun selain diri mereka sendiri. Mereka tidak memiliki rasa hormat kepada orang tua atau seniornya. Mereka tidak sabar menghadapi segala bentuk pengekangan. Mereka berbicara seolah-olah mereka tahu segalanya, dan apa yang kita anggap bijaksana adalah kebodohan bagi mereka. Adapun para gadis, mereka terlalu maju, tidak sopan dan tidak seperti layaknya perempuan dalam ucapan, perilaku, dan pakaian mereka.”

Khotbah Peter the Hermit, 1274


“OK, Boomer!”

INI adalah sergahan yang menjadi jalan pintas untuk mengatakan berbagai hal, seperti: “Hei, kamu sudah tua,” atau “Kami beda dari kalian,” atau “Kalian tidak mengerti kami.” Hal-hal semacam itu. Semua ini merujuk pada paham mengenai “kesenjangan generasi” (generational gap). Menurut pandangan ini, satu generasi manusia memiliki perbedaan dalam budaya, pandangan hidup, nilai, dan moralitas dari generasi sebelumnya. Satu generasi didefinisikan berdasarkan rentang waktu 25-30 tahun, sesuai siklus umur rata-rata manusia ketika memiliki anak pertama.

Tapi apakah “kesenjangan generasi” ini adalah satu kenyataan? Ataukah sebenarnya pandangan ini, sebagaimana banyak pandangan lainnya tentang masyarakat, telah terinfeksi oleh bias kelas dan, dengan demikian, merupakan bagian dari hegemoni pasar bebas?


Asal-usul Teori Kesenjangan Generasi

Paham tentang “kesenjangan generasi” diawali oleh sebuah esai yang ditulis Karl Mannheim. Pada 1928, sosiolog Hungaria keturunan Yahudi yang kemudian mengungsi ke Jerman itu menerbitkan esai berjudul Das Problem der Generationen. Esai ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada 1952 dengan judul The Problem of Generations.

Mannheim aslinya adalah murid Georg Lukacs. Mereka berpisah jalan secara ideologis ketika Lukacs ‘murtad’ menjadi komunis. Ketika Laksamana Horthy merebut kekuasaan di Hungaria dan mendirikan rezim fasis pada 1920, Lukacs dan Mannheim terpaksa mengungsi. Mannheim pergi ke Jerman dan bekerja di bawah bimbingan Alfred Weber, adik kandung Max Weber. Ia kelak akan kembali harus mengungsi pada 1933, melarikan diri dari persekusi Nazi yang mulai menguat di Jerman.

Sebagai seorang sosiolog yang terlatih baik dari tradisi Marxian maupun Weberian, minat Mannheim tentunya adalah pada soal kelas sosial. Das Problem pun sebenarnya bicara tentang posisi kelas, yang menurutnya ditentukan oleh posisi seseorang atau satu kelompok dalam realitas kesejarahan, dan didasarkan pada dinamika dan perubahan struktur ekonomi dan kuasa di zaman tertentu (Mannheim, 1952: 290).

Bagi Mannheim, lokasi sosial seseorang atau satu kelompok akan menentukan bagaimana mereka memandang zaman di mana mereka hidup (Mannheim, 1952: 291-2). Sekalipun lokasi generasional menentukan pengalaman historis apa yang sama dijalani oleh seluruh masyarakat, lokasi sosial seseorang atau satu kelompok membatasi aspek yang mungkin dilihat dari pengalaman tersebut. Dengan demikian, satu kelompok orang yang usianya sepantaran dapat digolongkan sebagai sebuah generasi aktual; namun generasi aktual ini terbagi lagi dalam unit-unit generasional, yang merupakan kelompok orang yang memahami situasi kesejarahannya dengan cara serupa (Mannheim, 1952: 304).

Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta adalah salah satu contoh konkretnya. Dari lokasi generasional, mereka yang masih berusia 20-an pada tahun itu akan memandang peristiwa ini dengan cara berbeda dari mereka yang telah berusia 50-an, karena himpunan pengalaman mereka berbeda. Di antara mereka yang berusia 20-an, seorang prajurit akan berbeda cara melihat peristiwa ini dengan seorang buruh pabrik, atau seorang anak pejabat, atau seorang anak muda keturunan Tionghoa. Inilah perbedaan dari sudut lokasi sosial.

Mannheim juga menyebut (1952: 289-290) bahwa kesadaran kelas dapat mendorong seseorang untuk mengadopsi pandangan kelas tertentu, yang tidak selalu sama dengan posisi kelas-nya. Ini dapat mengarah pada pembentukan satu kelas yang sadar. Namun, Mannheim tidak menindaklanjuti pembahasan tentang kesadaran kelas ini.

Jika perbedaan-perbedaan tajam tentang “pemaknaan peristiwa” terjadi bahkan dalam satu generasi aktual, bagaimana bisa muncul stereotipe atas “satu generasi”? Mannheim (1952: 313) menyebut bahwa cap ini biasanya dimunculkan oleh kelompok sosial yang paling berpengaruh pada zamannya. Dengan demikian, dominasi sosial satu kelompok akan menjadi penentu bagi munculnya stereotipe atas satu generasi.

Berbasis pada analisanya, Mannheim berkesimpulan (1952: 286) bahwa problem generasional bukanlah terletak pada penetapan interval generasi secara teratur (misalnya per dasawarsa, atau per 25 tahun) melainkan pada kecepatan perubahan sosial (1952: 310). Selama berpuluh tahun barangkali masyarakat tidak mengalami perubahan sosial yang berarti. Namun, di masa pergolakan dan krisis ketika perubahan sosial terjadi cepat dan berderap, barangkali akan tercipta banyak unit generasional secara beruntun—yang masing-masing memunculkan respons khasnya sendiri terhadap perubahan itu.

Oleh karena penciptaan unit generasional ditentukan oleh kecepatan perubahan sosial, maka persoalan generasi ini tetap penting dan relevan. Karena, menurut Mannheim (1952: 300-1), satu-satunya pengalaman yang dimiliki generasi yang lebih muda di tengah situasi krisis adalah perubahan itu sendiri, sehingga mereka menjadi lebih akrab dengan masalah zaman kiwari dan “destabilisasi” menjadi bagian dari kesadaran sosial mereka.

Dari sudut pandang ini, akan terlihat bahwa—terutama di masa krisis—generasi yang lebih tua akan kebingungan menghadapi perubahan yang terjadi cepat ini, dan respons-respons yang tadinya manjur menjadi tidak jalan sama sekali. Pada titik inilah relasi tua-muda dan guru-murid harus terjadi secara dialektik: yang muda belajar dari yang tua dan sebaliknya, yang guru belajar dari para murid dan sebaliknya.


Apa Kata Sains tentang Kesenjangan Generasi?

Seperti yang kita lihat setelah menelaah langsung apa yang ditulis Mannheim, kita bisa paham bahwa Mannheim sama sekali tidak berminat menaruh label atau stereotipe pada satu generasi. Namun kenyataannya, media, baik yang konvensional maupun sosial, mengamplifikasi berbagai macam istilah seperti Gen-X, Gen-Y, Milenial, atau Gen-Z. Apakah istilah-istilah ini berbasiskan kenyataan, sebagaimana dibuktikan oleh sains? Ataukah ini hanya sebuah konstruksi sosial belaka?

Pada 2012, sebuah penelitian meta-analisis atas 20 penelitian lain tentang “kesenjangan generasi” menemukan bahwa banyak faktor menentukan perbedaan “antar generasi” ini, tapi tidak ditemukan perbedaan signifikan antar “generasi” ini—dengan kata lain, “generasi” bukanlah prediktor kuat terhadap “karakter” individu, bahkan kelompok umur tertentu (Constanza, et al, 2012). Misalnya, usia dan kepastian kerja merupakan prediktor[1] kuat atas tingkat kepuasan kerja—bukan apakah seseorang adalah anggota generasi tertentu. Untuk soal komitmen kerja, faktor yang lebih menentukan adalah partisipasi dalam pengambilan keputusan, dukungan organisasional, atau karakter pekerjaan. Penelitian meta-analisis ini menemukan bahwa karakter pekerjaan (apakah pekerjaan ini memberi peningkatan keterampilan, memberi ruang otonomi bagi pekerja, atau memiliki makna) merupakan prediktor yang lebih kuat untuk komitmen seseorang pada pekerjaan, ketimbang apakah orang itu merupakan anggota generasi tertentu.

Penelitian lain (Arnett, et al, 2013) menunjukkan bahwa dari segi prioritas hidup dan nilai yang dianut, generasi yang berbeda tidak menunjukkan perbedaan yang mencolok. Baik “Baby Boomers” maupun “Millenials” sama-sama memprioritaskan kehidupan keluarga yang baik, keamanan kerja, persahabatan, dan memberi hidup yang lebih baik bagi anak-anak mereka. Kedua “generasi” juga sama-sama tidak memprioritaskan untuk mengurangi kesenjangan sosial atau menjadi pemimpin di komunitas. Ada sedikit perbedaan dalam urutan prioritas maupun bobot yang diberikan pada tiap item tapi kecenderungan umumnya serupa.

Yang lain (Rudolf, et al, 2021) melangkah lebih jauh dengan mengatakan bahwa teori generasi (setidaknya dalam bentuknya yang sekarang, menurut hemat penulis) bukanlah sebuah teori yang dapat difalsifikasi (tidak ada cara untuk membuktikan apakah teori ini salah, melalui observasi langsung). Dalam paradigma Popperian, sebuah teori yang tidak dapat difalsifikasi bukanlah teori yang dapat dianggap ilmiah.

Kita bisa menjentreng bukti-bukti ilmiah bahwa “kesenjangan generasi” tidaklah sehebat yang dibayangkan dan digambarkan. Tapi, itu tidak ada gunanya karena media, terutama media sosial, terus mereproduksi kehebohan tentang “kesenjangan generasi” ini. Pertanyaan terbesar adalah mengapa kita tidak pernah mempertanyakan apakah ada agenda di balik paparan media massa yang begitu rajin bicara tentang “kesenjangan generasi” ini?


Mengapa Media Berkampanye tentang Kesenjangan Generasi?

Media massa, termasuk media sosial, seringkali dipuja-puji sebagai “tiang demokrasi”. Namun, tradisi Marxian tidak pernah tertipu sloganisme ini. Marx telah menjelaskan dalam the German Ideology (1932) bahwa:

“Ide-ide kelas penguasa di setiap zaman adalah ide-ide yang berkuasa; yaitu kelas yang merupakan penguasa kekuatan material dalam masyarakat, pada saat yang sama adalah penguasa kekuatan intelektual. Kelas yang memiliki alat-alat produksi material, sekaligus juga memegang kendali atas alat-alat produksi mental, sehingga dengan demikian, secara umum, ide-ide mereka yang tidak memiliki alat-alat produksi mental tunduk padanya. Ide-ide berkuasa tidak lebih dari ekspresi ideal dari hubungan material yang dominan, hubungan material dominan yang dipahami sebagai ide.”

Pertama-tama, Marx menggarisbawahi bahwa kesadaran yang dominan dalam masyarakat mencerminkan pandangan ideal kelas berkuasa tentang bagaimana masyarakat harus diatur, bagaimana seharusnya relasi kerja dan relasi sosial terjadi dalam masyarakat.  Kedua, kelas berkuasa, dengan uang mereka, mempengaruhi (bahkan mengendalikan) pembentukan kesadaran khalayak ini melalui media massa.

Tiap zaman memiliki metodenya sendiri untuk pengendalian kesadaran massa ini, metode yang ditentukan oleh perkembangan teknologi yang tersedia dan dapat diakses oleh kelas berkuasa. Lonceng gereja atau takbir di masjid merupakan salah satu “media massa” di zamannya, memanggil orang untuk mendengarkan pesan-pesan moral kelas berkuasa melalui khotbah-khotbah. Buku dan koran menyusul kemudian. Lalu radio dan televisi. Dan, sekarang, media sosial. Semua media ini dikontrol langsung (melalui kepemilikan) atau tidak langsung (melalui pengaruh, aturan perundang-undangan, atau tekanan politik lainnya) oleh kelas berkuasa.

Mustahilkah media massa lepas dari cengkeraman ide-ide kelas berkuasa ini? Tentu saja bisa. Sejarah dunia ini mencatat terjadinya berbagai peristiwa ketika kelas berkuasa, atau setidaknya faksi berkuasa, digulingkan dari tahtanya setelah kesadaran massa berbalik melawan mereka. Dan dalam semua peristiwa ini, kesadaran massa ini berhasil direbut setelah media dominan berhasil dikenali cara kerjanya dan disubversi.

Satu per satu, media yang pernah digunakan oleh kelas berkuasa berhasil dikenali dan disubversi—mulai dari mimbar agama, buku, radio, bahkan televisi dan film—tinggal media sosial yang masih berada di luar jangkauan subversi, karena belum dikenali dan diakui sebagai alat kelas berkuasa untuk mengendalikan cara pandang khalayak atas dunia.

Pertama-tama, media sosial menciptakan sebuah struktur hierarkis berbasiskan “influencers” dan “buzzers”. Para “pendengung dan pemengaruh” ini adalah bentuk kekuasaan baru yang tidak punya mekanisme kontrol dan akuntabilitas. Dan, yang kedua, yang sebenarnya lebih penting, adalah “keberhasilan” di media sosial diukur dari sebuah logika yang sepenuhnya logika pasar: engagement—yang pada dasarnya adalah ukuran sukses sebuah kampanye pemasaran. Unggahan di akun media sosial adalah komoditi yang “dijual” sementara pengikut dan pembaca merupakan konsumennya. Seorang pembentuk opini akan melihat apa yang digemari pasar dan menyediakan produk untuk di-Like dan di-Share—pada dasarnya, sebuah posting media sosial adalah produk entertainment.

Memang belum ada yang membuat penelitian secara mendalam tentang hal ini, tapi sekilas pandang saja kita bisa melihat bahwa kelompok pemengaruh ini (terutama di Indonesia) didominasi mutlak oleh tokoh-tokoh borjuis dan borjuis kecil. Di Indonesia, nyaris tidak ada (jika tidak dapat dibilang “sama sekali tidak ada”) pemengaruh yang berasal dari kelas pekerja. Pada akhirnya, media sosial tetaplah sebuah media yang dikendalikan oleh anggota-anggota kelas berkuasa, yang memiliki akses pada alat produksi, untuk mengkampanyekan pemikiran dan cara pandang kelas berkuasa.

Termasuk di antaranya, pemikiran tentang “kesenjangan generasi”.


Bias Kelas dalam Teori Kesenjangan Generasi

Sebagaimana yang dapat kita lihat setelah meninjau langsung tulisan Mannheim, yang dijadikan pondasi ilmiah untuk “kesenjangan generasi”, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa teori Mannheim telah dipelintir dan disalahgunakan. Mannheim mendorong orang untuk melihat bagaimana perubahan struktur ekonomi dan politik dapat mempengaruhi cara pandangan orang, terutama yang berbeda generasi, terhadap dunia; namun teori ini dipuntir menjadi “generasi menentukan bagaimana orang memandang dunia”.

Dalam teori Mannheim, posisi kelas seseorang tetaplah merupakan faktor utama yang menentukan cara pandangnya atas dunia. Dalam teori Kesenjangan Generasi yang diamplifikasi oleh media massa hari ini, generasi adalah faktor utama perbedaan cara pandang atas dunia.

Persis di sinilah bias kelas telah meracuni teori Kesenjangan Generasi: dengan menimpakan kesalahan pada “kesenjangan generasi”, media massa mengalihkan perhatian publik dari faktor-faktor perubahan sosial yang nyata (Little dan Winch, 2017). Jadi, alih-alih melihat kegelisahan generasi muda dari faktor-faktor kelas, ras, gender, dan ketimpangan sosial, pemberontakan generasi muda ini dianggap disebabkan semata oleh “generasinya”.

Dengan melabel “Gen-Z” sebagai “kurang komitmen pada pekerjaan” atau “mudah berganti-ganti pekerjaan”, kita pun lalai melihat bahwa neoliberalisme telah memaksakan (secara kasar atau halus) sistem hubungan kerja yang makin hari makin “fleksibel”. “Kerja fleksibel”, istilah lain dari “pelucutan jaminan kepastian kerja” atau “penghancuran kerja layak”, memaksakan sistem kontrak yang tidak menjamin seseorang bisa bekerja lama di satu perusahaan. Jika dunia bisnis tidak lagi bersikap loyal pada pekerjanya, mengapa pekerja harus loyal pada perusahaan?

Atau, dengan melabel “Gen-Z” sebagai “narsisistik”, kita lalai melihat bagaimana model kampanye iklan kapitalis mengandalkan “citra” sebagai pendorong orang untuk melakukan pembelian. Castro (2015) menyebut bahwa neoliberalisme melangkah lebih jauh dengan menjadikan konsumen sebagai agen pemasaran. Neoliberalisme mendorong “partisipasi” konsumen dalam membangun citra sebuah produk. Ini masih terkait juga dengan pembangunan struktur “pendengung dan pemengaruh” sebagaimana disinggung di atas. Dengan membangun ilusi “partisipasi” dan “kebebasan bicara”, neoliberalisme menciptakan jenis penghisapan baru yang disebut “kerja tak kasat mata (invisible work)”—yang pada dasarnya adalah kerja tak dibayar—berbasis pada “citra diri” ini (Anthony, 2020).

Lalu, bagaimana dengan tuduhan bahwa “Gen-Z” kecanduan media sosial? Dari segala zaman, kecanduan akan media yang dapat menyediakan hiburan adalah keniscayaan. Pada zaman Romawi Kuno, kecanduan dan hooliganisme berbasis pertunjukan gladiator telah lama tercatat. Pada zaman abad pertengahan Eropa, ada permintaan yang sangat besar untuk para penyair keliling—sebuah profesi yang disebut bard. Lalu generasi yang lahir pasca Perang Dunia II mengidap kecanduan televisi. Kebutuhan untuk hiburan bagi massa ada di setiap zaman. Kondisi hidup yang penuh tekanan di bahwa sistem dunia yang tidak adil mendorong orang untuk mencari kelegaan dan hiburan. Media sosial hanyalah entry terakhir dari sekian banyak cara yang dipakai khalayak untuk meredakan tekanan sosial yang sehari-hari dirasakannya. Dan kebetulan, media sosial adalah yang medium yang paling tersedia luas untuk diakses khalayak.

Singkatnya, teori Kesenjangan Generasi telah dipuntir untuk mencegah publik membuka mata atas faktor-faktor ekonomi-politik yang menentukan bagaimana sebuah “generasi” manusia akan merespons perubahan-perubahan struktur kuasa, relasi produksi, atau relasi sosial yang dialaminya.


OK, Boomer! OK, Millenials! OK, Gen-Z!

Lalu, jika memang tidak ada perbedaan berarti antargenerasi, bagaimana kita harus menyikapi Generasi Media Sosial ini?

Pertama-tama, harus disadari bahwa Generasi Media Sosial ini tumbuh di tengah krisis ekonomi dan politik yang tidak kunjung usai. Kemenangan neoliberalisme terjadi bersamaan dengan runtuhnya rezim-rezim militer pendukung neoliberal pada 1990-an. Revolusi komputasi dan digital, yang menjanjikan hidup yang lebih baik dan mudah, terjadi bersamaan dengan makin berkurangnya kepastian kerja. Penguatan berbagai mekanisme HAM terjadi bersamaan dengan ekspansi korporasi multinasional yang menimbulkan pelanggaran HAM di mana-mana. Globalisasi dan kebebasan yang terbuka di mana-mana terjadi bersamaan dengan peningkatan terorisme dan gerakan-gerakan anti-demokrasi berbasis agama atau ras. Semua serba kontradiktif dan membingungkan.

Kedua, telah terjadi pembajakan gerakan sosial oleh neoliberalisme, melalui proses formalisasi demokrasi dan restrukturisasi gerakan menjadi serangkaian proyek yang tergantung pada agenda donor. Di satu pihak, kampanye tentang demokrasi dan pembangunan kesadaran tentangnya sudah berlangsung cukup lama dan menyentuh cukup banyak orang. Namun, gerakan sosial yang seharusnya memperjuangkan demokrasi ini justru terjebak dalam proyek-proyek jangka pendek, yang tidak menyasar perubahan pada struktur sosial, struktur kekuasaan, apalagi struktur kelas. Dengan kata lain, gerakan sosial telah menjadi “pemadam kebakaran”, menangani berbagai kasus ketidakadilan tanpa menangani atau mengubah struktur sosial yang melahirkan ketidakadilan itu. Hal ini juga menumbuhkan satu kebingungan, kelelahan, dan ketidakpastian masa depan bagi generasi ini.

Ketiga, generasi ini memiliki akses yang sangat luas pada informasi; keterbukaan informasi yang tidak pernah dinikmati generasi-generasi sebelumnya. Sementara itu, tidak ada bimbingan bagi mereka bagaimana menyaring dan mengolah informasi yang sampai pada mereka. Ditambah lagi, untuk mengacaukan dan merancukan arus informasi, kelas berkuasa (secara langsung atau melalui kaki-tangan mereka) menggelontorkan arus disinformasi—yang sekarang populer dinamai fake news atau hoax.

Setidaknya tiga hal ini harus dipertimbangkan ketika melakukan komunikasi dengan Generasi Media Sosial ini. Generasi Media Sosial memiliki potensi jauh lebih besar untuk dapat memahami kompleksitas permasalahan, untuk membangun jembatan dialog antar isu dan komunitas, untuk menjadi sebuah gerakan global—bahkan untuk meruntuhkan sistem masyarakat lama yang dipenuhi ketidakadilan.

Namun, sebagaimana di isu lain, kemenangan propaganda neoliberalisme memang tidak dapat disangkal. Melalui berbagai media, termasuk media sosial, neoliberalisme telah berhasil menanamkan satu citra diri tertentu pada Generasi Media Sosial ini. Melalui konsep “kesenjangan generasi”, neoliberalisme juga sukses membuat Generasi Media Sosial ini mengabaikan ekonomi-politik, menjerumuskan mereka ke dalam berbagai macam stereotipe.

Metode komunikasi yang dapat dipahami generasi baru ini barangkali memang berbeda dengan apa yang dipahami generasi sebelumnya. Namun, kebaruan ini tidak boleh mereduksi konten, dengan menganggap generasi baru ini tidak sanggup mencerna sebuah isu kompleks, tidak sanggup berpikir jangka panjang, sistemik, ataupun struktural. Di pundak generasi baru, Generasi Media Sosial, inilah nasib masa depan demokrasi dan keadilan sosial akan ditentukan.

Tentu, cara komunikasi dengan Generasi Media Sosial harus disesuaikan dengan kebiasaan dan budaya yang dikembangkan dan menjadi identitas generasi ini. Tapi, generasi ini juga tidak boleh dimanjakan; misalnya, dengan meminta mereka hanya mengkonsumsi hal-hal yang sudah “disederhanakan”. Generasi ini harus didorong untuk bersedia memikirkan hal-hal yang kompleks dan mengambil tanggung jawab atas masa depan demokrasi.

Dengan kata lain, jika Generasi Media Sosial ini dibiarkan terus-menerus memamah biak Teori Kesenjangan Generasi, dibiarkan melupakan analisis ekonomi-politik, dan tenggelam dalam stereotipe dan “penyederhanaan isu”, masa depan demokrasi ini akan berada dalam bahaya. Karena, jika generasi ini dibiarkan terus tenggelam dalam citra diri yang selama ini ditanamkan media massa pada mereka, mereka tidak akan sanggup mempertahankan demokrasi dari rongrongan yang semakin lama semakin kuat dan terorganisir. Generasi Media Sosial ini akan tercatat sebagai generasi yang kehilangan demokrasi dan membiarkan kediktatoran kembali berkuasa.***

Jakarta, akhir Juli 2022


[1] Prediktor adalah unsur yang memiliki tingkat pengaruh signifikan pada satu gejala, bisa dibilang “meramalkan” apakah satu gejala akan muncul atau tidak. Misalnya, mendung adalah prediktor akan munculnya gejala hujan. Tidak semua mendung akan memunculkan hujan, namun mendung adalah prediktor kuat akan munculnya hujan. Sebuah prediktor hanya dapat diketahui melalui analisis statistik yang mendalam—bukan melalui stereotipe. Contohnya: pakaian yang bagus biasanya adalah prediktor bagi status ekonomi orang yang bersangkutan, namun bukan prediktor atas moralitas orang tersebut atau apakah orang tersebut dapat dipercaya. Pakaian yang bagus biasanya digunakan sebagai stereotipe untuk kepribadian seseorang, padahal gejala ini bukan prediktor untuk kepribadiannya.***


Kepustakaan

Anthony, J. Edwards. (2020). “Dream Work — Unpaid Labor in the Gig Economy”. Cornell Research Papers. https://research.cornell.edu/news-features/dream-work-unpaid-labor-gig-economy

Arnett, J. J., Trzesniewski, K. H., & Donnellan, M. B. (2013). “The Dangers of Generational Myth-Making: Rejoinder to Twenge.” Emerging Adulthood, 1(1), 17–20. https://doi.org/10.1177/2167696812466848

Castro, Julio Cesar Lemes de. (2015). “The consumer as agent in neoliberalism.” Matrizes. 9. 273-288. https://www.researchgate.net/publication/305905614_The_consumer_as_agent_in_neoliberalism

Costanza, D. P., Badger, J. M., Fraser, R. L., Severt, J. B., & Gade, P. A. (2012). “Generational Differences in Work-Related Attitudes: A Meta-analysis.” Journal of Business and Psychology, 27(4), 375–394. doi:10.1007/s10869-012-9259-4

Little, Ben and Alison Winch. “Why the idea of ‘generation’ needs to be articulated more carefully in politics.” British Politics and Policy. 10 October 2017. https://blogs.lse.ac.uk/politicsandpolicy/generation-in-political-discourse/

Marx, Karl. (1932). The German Ideology. Marx-Engels Collected Works, Vol. 5. https://www.marxists.org/archive/marx/works/1845/german-ideology/index.htm

Ngai, Edward. (2021). “”OK, Generation X:” growing up under neoliberalism and beliefs about a just world.” Harvard University working paper. https://scholar.harvard.edu/edngai/okboomer

Rudolph, Cort & Rauvola, Rachel & Costanza, David & Zacher, Hannes. (2021). “Generations and Generational Differences: Debunking Myths in Organizational Science and Practice and Paving New Paths Forward.” Journal of Business and Psychology. 36. 10.1007/s10869-020-09715-2.

 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.