Gantungkan Kapitalmu Setinggi Langit

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Springmag


KOMET sedang menuju Bumi dan akan menghantam permukaan enam bulan ke depan. Dua orang astronom kelas teri yang mengetahui keniscayaan ini kemudian melakukan semua cara yang mungkin untuk menghindari kiamat, termasuk bicara kepada presiden. Tapi presiden, juga pers dan masyarakat, masa bodoh.

Sebuah perusahaan kemudian menyelinap untuk mengambil kesempatan dalam kesempitan. Alih-alih menggunakan teknologi untuk menghancurkan komet tersebut—yang potensi keberhasilannya besar—mereka justru hendak memanfaatkannya. Perusahaan melihat bahwa komet itu bak lokasi tambang super yang memiliki beragam mineral langkah bernilai triliunan dolar.

Proyek pertambangan komet gagal total bahkan sebelum dimulai. Komet tetap meluncur deras ke Bumi dan… selesai sudah. Kiamat. Gelap.

Cerita di atas memang hanya garis besar dari film berjudul Don’t Look Up (2021). Tapi apa yang digambarkan adalah peristiwa konkret yang sedang kita semua alami. Dua tahun lalu NASA mengumumkan bahwa mereka akan membayar material yang ditambang perusahaan swasta di bulan, termasuk batu, tanah, dan bahan lainnya (ilmuwan memperkirakan di bulan ada cadangan besar isotop, bahan bakar potensial untuk reaktor nuklir). Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Cina, dan Rusia juga tengah bersiap melakukannya dengan membangun pangkalan permanen.

Tapi eksplorasi (atau eksploitasi) luar angkasa tak hanya tentang menambang material yang semakin sedikit di Bumi—atau tidak ada sama sekali. Ia juga tentang, misalnya, turisme luar angkasa. Bahkan, dan ini adalah ide yang tampaknya paling gila, adalah menjadikan Mars sebagai koloni atau tempat tinggal masa depan.

Perlombaan menuju luar angkasa memang bukan barang baru, tapi ada kekhususan pada zaman kiwari. Di era Perang Dingin, AS dan Uni Soviet menjadikan ruang angkasa sebagai barometer kedigdayaan alias lebih kental dengan unsur-unsur politis. Era ini disebut dengan nama ejekan “old space”. Di era sekarang, terutama sejak 2010-an, yang oleh para pelaku industri disebut “new space”, aspek ekonomi menjadi faktor dominan. Perlombaan saat ini lebih banyak didorong oleh perusahaan swasta, bukan lagi negara, dan yang terdepan adalah SpaceX milik Elon Musk dan Blue Origin kepunyaan Jeff Bezos.


Bukan Demi Manusia

Elon Musk, orang terkaya di dunia, mengatakan bahwa karena Bumi akan semakin tidak layak untuk dihuni karena pemanasan global, perang, dan lain-lain—yang pada ujungnya adalah kiamat—umat manusia harus memikirkan cara supaya menjadi multi-planetary species. Ia kemudian menatap Mars. Musk membayangkan pada 2026 manusia mulai menciptakan infrastruktur permanen di sana dan pada 2050 telah tercipta koloni satu juta manusia—tentu saja sang agen perjalanan adalah perusahaannya.

Musk mengatakan hal ini harus dilakukan untuk menyelamatkan manusia. Sungguh tampak sangat mulia. Tapi alasan ini tidak unik. Banyak pihak yang mendorong penjelajahan luar angkasa mengatakan hal bernada serupa. Para ahli mengatakan menambang Bulan akan menyelamatkan kehidupan di Bumi, ada pula yang percaya bahwa itu akan menghapus kemiskinan.

Bisa jadi ada ilmuwan yang benar-benar percaya bahwa solusi masalah Bumi dan umat manusia ada di luar atmosfer sana. Tapi tentu naif jika kepercayaan serupa diberikan pada pemilik korporasi luar angkasa—yang jumlahnya tumbuh pesat dalam beberapa tahun terakhir.

Dengan melihat bagaimana cara kerja kapitalisme, kita tahu bahwa semua alasan yang keluar dari mulut mereka hanya akal-akalan.

Kapitalisme dimulai ketika borjuis membelanjakan uang (m) mereka ke dalam modal konstan (mesin, bahan baku, dll) dan modal variabel (buruh) untuk memproduksi komoditas (c). Komoditas kemudian dipasarkan dengan harga yang lebih tinggi dari yang telah dikeluarkan (m’). M’ inilah yang dalam literatur marxis disebut “nilai lebih”. Siklus tak berhenti ketika m’ terealisasi. Tujuan satu-satunya kapitalisme adalah akumulasi. Maka dari itu nilai lebih dimasukkan kembali ke dalam sirkuit produksi dan siklus m-c-m’ pun berulang.

Siklus m-c-m’ tak selamanya mulus. Selalu ada retakan yang disebut krisis. Krisis bukanlah penyimpangan seperti yang kerap dikatakan para ekonom arus utama, tapi memang inheren dari sistem itu sendiri.

Dalam kacamata marxisme, salah satu indikator sentral penyebab krisis adalah terjadinya akumulasi berlebih (overaccumulation). Kalimat ini tidak keliru. Sebuah sistem yang tujuan satu-satunya adalah akumulasi memang dapat rusak ketika akumulasi telah melebihi batas.

Kapitalisme adalah sistem yang kontradiktif. Komoditas yang dihasilkan lewat sistem tersebut dihasilkan dengan cara yang amat terencana lewat pembagian kerja detail para pekerja. Tapi, ketika dilempar ke pasar, yang terjadi adalah anarki. Hanya orang yang mampu—dan merasa butuh—yang membelinya. Semua konsumen di mata kapitalis memang anonim dan angka belaka.

Komoditas tidak dibuat untuk dikonsumsi, melainkan hanya sarana untuk mendapatkan untung. Maka kapitalis menciptakan sistem yang semakin efisien agar yang dijual bisa lebih banyak. Misalnya dengan mengadopsi teknologi dan manajemen termutakhir. Antara satu kapitalis dan kapitalis yang lain terus berlomba tanpa henti.

Pada satu titik, pasar kebanjiran komoditas tapi dalam situasi kurangnya permintaan. Investasi nilai lebih pada siklus sebelumnya tak lagi menghasilkan kembalian seperti yang diharapkan. Akumulasi mandek karena terlalu banyak.

Dalam The Limits to Capital (2018), David Harvey menyebut akumulasi berlebih adalah situasi ketika “nilai lebih yang dihasilkan kapitalis tidak dapat lagi diserap secara menguntungkan.” Proses akumulasi melambat. Stagnasi terjadi. Penampakan akumulasi berlebih cukup kentara, misalnya banyaknya komoditas, inventori, dan modal yang tidak terpakai, juga meledaknya tenaga kerja (yang selain produsen asli juga sekaligus konsumen) setengah pengangguran.

Berhenti berakumulasi adalah seharam-haramnya hukum bagi kapitalis. Maka mereka memutar otak, menghasilkan jalan keluar yang oleh Harvey disebut sebagai “spatial fix”. Dalam artikel yang terbit di jurnal Geographische Revue (2/2001), Harvey menyebut beberapa contoh konkret spatial fix, yaitu menciptakan pasar baru di dunia kapitalis, terlibat perdagangan dengan ekonomi non-kapitalis, serta mengekspor surplus modal ke daerah yang belum berkembang atau terbelakang. Dua contoh pertama mencoba mengatasi masalah permintaan yang rendah; sementara yang terakhir adalah dalam rangka menampung kelebihan modal.

Dalam artikel yang lebih lama, ditulis pada 1975, Harvey mengatakan “ruang baru untuk akumulasi harus ada atau diciptakan jika kapitalisme ingin bertahan hidup.” Tapi masalahnya solusi ini pun bukan jalan keluar permanen karena kelak akumulasi berlebih akan juga muncul di tempat baru tersebut. Solusi permanen dari kapitalisme tidak lain adalah menghapus sistem tersebut sama sekali. Oleh karena itu nama solusi ini lengkapnya adalah spatio-temporal fixes.

Konsep yang ditawarkan Harvey di atas mampu menjelaskan mengapa para kapitalis menatap dan mencoba merengkuh angkasa (dan segala yang ada di dalamnya) di luar alasan humaniter yang konyol. Seperti yang dikatakan Victor Shammas dan Tomas Holen (Humanities and Social Sciences Communications, 10, 2019), luar angkasa berfungsi sebagai “spatial fix yang memungkinkan kapital melampaui batasan-batasan terestrial yang melekat padanya. Dengan cara ini perbaikan spasial terakhir mungkin adalah (luar) spasial itu sendiri.”

Eksplorasi luar angkasa tidak lain adalah ekspansi yang didorong oleh logika akumulasi kapital. Luar angkasa didefinisikan ulang sebagai ruang tak bertuan yang siap dipakai untuk keuntungan segelintir orang.

Dengan ruang angkasa sebagai lokus akumulasi baru, kelebihan modal sangat mungkin disalurkan ke industri terkait yang sedang berkembang. Selain roket, pencitraan satelit dan komunikasi adalah dua sektor yang cukup krusial. Sepanjang tahun lalu ekonomi ruang angkasa global secara keseluruhan menghasilkan pendapatan sebanyak 386 miliar dolar AS, meningkat empat persen dibanding 2020 (sebagai gambaran, cadangan devisa Indonesia per Juni 2022 kurang dari setengahnya, hanya 136,4 miliar dolar AS). Industri satelit menyumbang 72 persen di antaranya.

Penjelajahan luar angkasa juga pada gilirannya membutuhkan banyak sekali riset dan inovasi teknologi yang, sekali lagi, menyediakan spatial fix yang sangat luas bagi para kapitalis. Ini semua belum termasuk sumber daya baru yang dapat mereka kuasai. Peter Diamandis, CEO Zero Gravity Corporation, pernah mengatakan dengan girang bahwa di luar sana “ada cek senilai dua puluh triliun dolar menunggu untuk diuangkan!


Proyek yang Merusak

Kolonialisme tak hanya berlangsung persis dengan logika spatial fix, tapi juga segala embel-embel pembenarannya. Para penjajah bisa saja mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan membuat beradab masyarakat lokal dan memodernisasi dunia, tapi kita tahu bahwa di balik itu semua motif mengeruk keuntungan bagi diri sendiri berada di urutan paling atas.

Tentu saja sanggahan langsung muncul: bahwa luar angkasa adalah ruang kosong yang jika dieksploitasi tak merugikan siapa pun. Menambang bulan, misalnya, berbeda dengan menambang Halmahera yang membuat ladang, sawah, dan tambak tercemar limbah sehingga tak lagi produktif. Begitu pula dengan wisata luar angkasa. Siapa yang dirugikan ketika orang-orang super kaya melihat Bumi dari luar barang beberapa menit? Agaknya tidak ada. Lalu kolonisasi Mars. Sampai sekarang belum ada bukti kehidupan di sana.

Asumsi tersebut sepenuhnya keliru. Eksplorasi luar angkasa secara langsung memperparah kondisi planet kita persis karena semuanya dimulai di sini.

Natalie Pierson (RAIS Conference Proceedings, Agustus 15-16, 2021) mengatakan roket dari SpaceX menggunakan mesin berbasis minyak tanah dan metana yang tidak lain merupakan gas rumah kaca. Memang sampai sekarang jumlah peluncuran roket belum cukup signifikan untuk merusak atmosfer, tapi menurutnya lama kelamaan akan begitu karena tujuan akhirnya adalah mencapai Mars. Tidak heran jika pada 2018 lalu Organisasi Meteorologi Dunia memasukkan roket sebagai masalah potensial di masa depan.

Temuan serupa, bahwa di masa depan peluncuran roket akan menghasilkan masalah signifikan bagi Bumi, terdapat dalam riset Robert Ryan dkk (Earth’s Future, Volume 10, Issue 6). Selain itu mereka menemukan bahwa partikel BC atau jelaga atau karbon hitam dari roket hampir lima ratus kali lebih efisien menghangatkan atmosfer ketimbang gabungan semua sumber jelaga lain. Sementara temuan lain menyebut satu penerbangan turisme luar angkasa selama satu setengah jam menghasilkan polusi yang setara dengan penerbangan trans-Atlantik selama 10 jam.

Temuan-temuan di atas kembali menegaskan bahwa bukan manusia secara umum yang menyebabkan krisis ekologis, melainkan kelas kapitalis—merekalah yang punya kemampuan untuk membongkar pasang Bumi semaunya. Faktanya 10 persen orang terkaya berkontribusi terhadap 49 jejak karbon, sementara setengah orang termiskin hanya menghasilkan 7 persen pada 2015. Kerusakan disebabkan oleh kelas kapitalis yang menggunduli hutan, menambang lahan, mencemari laut, dan kini menjelajah luar angkasa.

Dampak merusak lainnya adalah potensi jatuhnya sampah antariksa ke permukaan. Sampah-sampah ini akan semakin banyak melayang bebas di orbit seiring dengan semakin intensifnya peluncuran. Department of Defense AS memperkirakan ada 27 ribu keping sampah antariksa di sekeliling Bumi. Riset lain menyebut jumlahnya 34 ribu yang berukuran lebih dari 10 cm dan jutaan keping lain yang ukurannya lebih kecil.

Jatuhnya benda sisa penjelajahan luar angkasa pernah terjadi beberapa kali di Indonesia. Pada 2017 lalu, di Sungai Batang Sumatera Barat, jatuh sebuah logam bulat berdiameter 110 cm dan berat sekitar 7 kilogram. Sampah ini diduga sisa penyimpanan bahan bakar roket.

Sampah-sampah antariksa ini bahkan menghasilkan spatial fix baru, yang tidak lain adalah jasa pembersihannya. Salah satu yang bergerak di bidang ini adalah Star Technology and Research (STAR).

Sialnya, penjelajahan luar angkasa tak hanya mungkin berkat upaya akumulasi kapitalis seorang. Di balik kemampuan mereka menjelajah alam tak terbatas itu ada sokongan kuat dari pemerintah yang mengalokasikan mereka banyak uang dari pajak. SpaceX, misalnya, telah disubsidi 4,9 miliar dolar AS oleh pemerintah AS.

Kelindan antara kapitalis-pemerintah juga dalam hal proyek. Tahun lalu SpaceX dapat kontrak dari NASA sebesar 2,9 miliar dolar AS untuk proyek pendaratan di bulan. Sementara STAR yang membersihkan puing luar angkasa mendapat kontrak dari NASA dengan nilai sebesar 1,9 juta dolar AS (kontrak seperti ini juga banyak terjadi pada perusahaan-perusahaan Silicon Valley).

Jadi, alih-alih mengalokasikan banyak dana untuk memperbaiki bumi (laporan terbaru dari PBB menyebutkan biaya yang dikeluarkan untuk memerangi perubahan iklim saat ini mencapai 3,8 triliun dolar AS per tahun), negara-negara memilih untuk menyokong akumulasi kapitalis. Negara memang kepanjangan tangan pemilik modal.

Patut dicatat meski proyek luar angkasa jelas-jelas langsung merusak Bumi, bukan berarti faktor utama yang memungkinkan itu terjadi, yaitu teknologi, bermasalah dalam dirinya sendiri. Teknologi itu netral, tergantung siapa yang menguasainya. Dalam kapitalisme, teknologi semata dibuat demi profit, bukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Para kapitalis hanya mengembangkan alat baru yang mendukung kepentingan ekonomi, sosial, dan politiknya.

Penguasaan terhadap teknologi bersamaan dengan semakin besar dan terkonsentrasinya kekuasaan kapitalis terhadap kelas pekerja atau mayoritas. Karl Marx dalam Capital menyatakan bahwa mesin adalah “senjata paling ampuh untuk menindas pemogokan.” Produksi tetap dapat berjalan meski sebagian besar buruh berhenti bekerja. Hal ini dimungkinkan karena dengan mesin para pekerja hanya mengerjakan hal-hal sesederhana menekan tombol-tombol. Pengetahuan (dan tenaga) yang dimiliki buruh telah “dibekukan” dalam alat-alat baru. Penerapan teknologi juga pada gilirannya mempertahankan tentara cadangan tenaga kerja sehingga kapitalis mudah saja merekrut orang baru saat yang lain memberontak.

Maka, jika ada yang disebut “tugas sejarah” kelas pekerja, inilah salah satunya: membebaskan teknologi dari tangan pemilik modal.


Lompatan Besar Pemodal

Penjelajahan luar angkasa adalah seperangkat gagasan atau ideologi yang hendak mencekoki kita kepercayaan bahwa solusi atas semua masalah Bumi berada di luar angkasa, bukan dengan melakukan perubahan radikal terhadap sistem kapitalisme itu sendiri. Mereka hendak membuat kita percaya bahwa masa depan yang cerah ada di luar sana, dan dengan demikian lebih pasrah atas apa yang terjadi di Bumi.

Ketika Neil Armstrong berhasil mendarat di bulan pada 1969, dia mengatakan bahwa itu adalah “satu langkah kecil untuk seorang manusia,” tapi pada saat yang sama merupakan “satu langkah besar bagi umat manusia.” Sebuah langkah yang membuka peluang tak terbatas untuk mencapai hidup yang lebih baik. Tapi alih-alih langkah besar bagi umat manusia, penjelajahan luar angkasa saat ini lebih tepat disebut “langkah besar bagi kelas kapitalis.” Luar angkasa memberikan spatial fix yang hampir tak terbatas untuk akumulasi modal sembari terus membuat Bumi semakin rusak.

Mark Fisher (2009) menyebut fenomena ini sebagai “capitalist realism”, yaitu pemahaman bahwa “kapitalisme bukan hanya satu-satunya sistem politik dan ekonomi yang layak, tapi juga tidak mungkin bahkan untuk sekadar membayangkan alternatif yang koheren terhadapnya.”

Kita dipaksa untuk percaya bahwa lebih sulit membayangkan berakhirnya kapitalisme ketimbang akhir dunia.***

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.