Benarkah Adorno Seorang Elitis?

Print Friendly, PDF & Email

Musik dan Masyarakat ditulis oleh Karina Andjani dan diterbitkan oleh Marjin Kiri (Juli 2022, 284 halaman). Foto: Marjin Kiri


KITA hampir pasti tidak bisa menghindar dari kegiatan mendengarkan musik, entah itu disengaja ataupun tidak. Selain dipilih dengan sadar lewat aplikasi seperti Spotify atau Apple Music, musik juga kerap diputar di mal, kafe, restoran, bioskop, toko buku dan ruang publik pada umumnya sebagai latar dari beraneka kegiatan kita.

Theodor Ludwig Wiesengrund Adorno (1903-1969) dikenal membenci musik-musik populer. Mengapa? Dalam buku berjudul Musik dan Masyarakat: Filsafat Musik Theodor Adorno (Marjin Kiri, 2022), Karina Andjani mengutip Wayne D. Bowman yang menerjemahkan pandangan Adorno tentang musik populer dalam pernyataan sebagai berikut: “(…) musik yang buruk melayani konsumsi, membius dalam arti negatif, menumpulkan kesadaran sebagai individual, dan menciptakan kenyamanan pikiran yang memudahkan indoktrinasi kolektif.”

Bagaimana Adorno bisa berpikir demikian? Bukankah musik-musik populer justru dekat dengan rakyat? Jika ia sedemikian menganggap musik populer adalah musik yang buruk, lantas, apa yang ia tawarkan?

Buku karya Karina ini adalah buku kedua tentang Adorno dalam bahasa Indonesia yang kebetulan sama-sama terbit di tahun 2022. Buku lainnya, terbit lebih awal, berjudul Seni sebagai Pembebasan: Sebuah Telaah tentang Estetika Adorno (Circa, 2022) yang ditulis oleh Syakieb Sungkar. Pada dasarnya kedua buku ini sama-sama mengenalkan sosok Adorno, posisi pemikirannya dalam lanskap filsafat Barat—khususnya Neo-Marxisme, gagasannya tentang dialektika “pencerahan” dan dialektika negatif, serta tentu saja, pandangannya mengenai musik (yang membuat filsafat Adorno cukup otentik karena objek bahasannya).

Bedanya, Musik dan Masyarakat lebih rinci sekaligus lebih teknis dalam membahas filsafat musik Adorno. Hal ini tidak bisa dipisahkan dari kenyataan bahwa Karina adalah orang yang bergelut di dunia musik. Sebagai orang yang berprofesi sebagai guru piano klasik, tidak sukar bagi alumna jurusan filsafat Universitas Indonesia tersebut untuk mengurai pemikiran Adorno dalam membela teknik dua belas nada yang dirumuskan oleh komposer favoritnya, Arnold Schoenberg. Teknik dua belas nada ini ditawarkan Adorno sebagai perlawanan terhadap musik populer yang ia sebut “musuh kebenaran musikal”. Untuk menggambarkan pentingnya gagasan tersebut, mari meminjam pernyataan Karina (hlm. 190):

“Teknik dua belas nada bukan hanya mengupayakan kemajuan, perubahan, kebebasan nada-nada dari batasan musik konvensional, menjunjung kebebasan nada, individualitas, dan multiplisitas, tetapi juga tidak mengarah pada suatu resolusi.”

Dalam paragraf berikutnya, Karina meneruskan perkataan Adorno bahwa teknik dua belas nada sekaligus menandai sebuah musik yang hebat, yakni musik yang mampu menegaskan otonominya, mengkritisi material musikalnya, serta menolak pengaruh dan kemudahan konsumsi yang muncul dari budaya industri.

Jadi, apa itu teknik dua belas nada? Untuk memahaminya, secara teknis kita mesti membayangkan jumlah nada pada skala kromatik yang contohnya adalah seperti ini:


 

Keterangan: F# dan Gb, G# dan Ab, A# dan Bb, C# dan Db, D# dan Eb adalah nada yang sama, yang hubungannya disebut dengan enharmonis. Meski nadanya sama, penulis menganggap penting untuk memasukkan semua peristilahannya (termasuk dalam contoh-contoh berikutnya).


Teknik dua belas nada menerapkan aturan yang membuat kedua belas nada muncul bergantian dalam sebuah komposisi. Karina kemudian mengilustrasikannya lewat contoh berikut ini:

Potongan notasi yang diambil dari karya Luigi Dallapiccola berjudul Goethe-Lieder, no. 2, for Mezzo Soprano and E-flat Clarinet (1953) tersebut menunjukkan bagaimana keseluruhan dua belas nada dimainkan dengan urutan sebagai berikut:

Meski demikian, dalam partitur Goethe-Lieder yang dikutip oleh Karina, penomorannya tidak dimulai dari 1 hingga 12, melainkan 0 hingga 11 (supaya bisa diinversi), sehingga lebih persisnya menjadi seperti ini:

Jika kita menyusun penomorannya berdasarkan urutan nada dan G# dianggap sebagai nada awal atau 0, maka penomorannya menjadi seperti berikut ini:

Dari penomoran tersebut semakin jelas bahwa tidak hanya nada-nada dalam potongan notasi Goethe-Lieder itu tidak ada yang diulang (dari 0 sampai 11 masing-masing muncul satu kali), tapi juga tidak ada yang dimainkan secara berurutan (0, 1, 2, 3, dst …). Deret nada dasar tersebut disebut juga dengan prime form yang disimbolkan dengan P0. P0 ini jika keseluruhannya dinaikkan satu semitone, maka istilahnya menjadi P1 (jika mengambil contoh deret nada dasar dalam Goethe-Lieder, nada awalnya menjadi A dari sebelumnya G# dan rentetan nada berikutnya ikut naik satu semitone). Demikian halnya jika naik dua semitone, maka simbolnya menjadi P2, naik tiga semitone menjadi P3 dan seterusnya bisa hingga P11. Prime form ini dapat diubah urutannya lewat tiga kemungkinan yaitu retrograde (R), inversion (I) dan retrograde inversion (RI). R berarti memainkan prime form dari belakang yang hubungannya dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut:

Sedangkan I berarti menyusun pencerminan dari P yang dalam bentuk notasi dapat digambarkan sebagai berikut:

 

Contoh yang diambil dari karya Stravinsky berjudul Requiem Canticles tersebut menunjukkan bahwa setiap pergerakan yang dilakukan dalam P, akan dilakukan secara sebaliknya dalam I sehingga rupanya menjadi seperti cermin. Misalnya, pada P, dari nada pertama (F) ke nada kedua (G) naik dua semitone, sehingga dalam versi inversinya, nada pertama (F) turun dua semitone ke nada kedua (D#). Berikutnya, pada P, dari nada kedua (G) ke nada ketiga (D#) turun tiga semitone, sehingga dalam versi inversinya, nada kedua (D#) naik tiga semitone ke nada ketiga (G).  Hal ini berlangsung seterusnya hingga nada kedua belas. Jika kita sudah memahami apa itu R dan I, maka RI sesederhana memainkan bentuk inversi dari belakang. Melanjutkan contoh dari Requiem Canticles di atas, maka versi RI-nya adalah sebagai berikut:

Penjelasan tentang teknik dua belas nada ini adalah semacam penyederhanaan dari paparan Karina dalam Musik dan Masyarakat yang ditulis secara lebih lengkap dan rinci. Justru bagian ini, yang mungkin bagi sebagian orang dianggap terlalu teknis, adalah kekhasan filsafat musik Adorno yang menitikberatkan gagasannya pada pembelaan terhadap pemikiran Schoenberg. Adorno, sebagai pianis sekaligus komposer yang berguru pada Alban Berg, menilai teknik dua belas nada sebagai teknik yang membuat setiap nada diperlakukan sama kuat dan tidak ada satupun yang dianggap lebih istimewa. Namun dalam tulisannya, Karina menegaskan bahwa Adorno sudah mewanti-wanti para pendengar bahwa teknik dua belas nada bukanlah sesuatu yang membuat nyaman (hlm. 50): “Dengan krisis tonalitas, akor-akor disonan yang ambigu dan seakan meninggalkan tanda tanya, juga rangkaian nada dan irama yang tidak biasa akan membuat kebingungan atas cara mendengarkan musik-musik tersebut dan kekaburan estetis antara yang biasa dan yang luar biasa.”

Pertanyaan lanjutannya, bagaimana teknik musik semacam ini dapat menjadi perlawaan bagi musik populer? Sebelum menjawabnya, mari memasuki lebih dalam pandangan Adorno berkenaan dengan musik populer dan mengapa ia menyetarakannya dengan watak fasisme dan otoritarianisme. Tipe-tipe musik populer yang dimaksud Adorno adalah musik-musik “ringan”, musik latar belakang, musik film, dan musik yang dibuat untuk hiburan (pada masa itu, termasuk menurutnya jazz—yang pendapat Adorno ini sering dikritisi) (hlm. 119). Keseluruhan tipe musik populer tersebut memiliki tema mudah diingat, bagian-bagian indah, nada-nada manis, mengarahkan pada suasana hati tertentu, sejalan dengan usaha budaya industri yang terus mendorong masyarakatnya untuk bersenang-senang dan menghindari upaya serius pada waktu luangnya setelah kerja (hlm. 120).

Bukankah tidak persis demikian watak fasisme dan otoritarianisme sebagaimana yang kita bayangkan dilakukan oleh, katakanlah, Nazi? Adorno, yang hidup dalam trauma akibat kekejaman Nazi, menilai sebaliknya: budaya populer, termasuk musik populer, punya tendensi untuk menyeragamkan orang-orang, menumpulkan daya kritis dan membuai mereka dalam bayangan-bayangan menyenangkan. Kalaupun dalam budaya populer terdapat individu-individu menonjol seperti misalnya artis pop, bagi Adorno hal demikian tidak lebih dari sekadar citra palsu hasil fabrikasi, yang disebutnya sebagai pseudo-individualisasi (mungkin ibarat pahlawan perang Nazi yang tidak lebih dari karangan penguasa yang diromantisisasi).

Bagi Adorno, musik Schoenberg adalah usaha jitu untuk menghadapi musik yang fasis dan otoriter tersebut. Teknik dua belas nada selalu menginterupsi, mengganggu kenyamanan baik ritmis, melodis, maupun harmonis, sehingga dalam dirinya sendiri punya sifat emansipatoris. Adorno menolak musik populer karena seolah menenggelamkan orang-orang pada optimisme semu dan pencerahan samar-samar, sementara pergerakan sejarah, baginya, tidak bergerak maju seperti yang dibayangkan Hegel, melainkan lebih seperti bentuk atonal dalam teknik dua belas nada: resolusi yang “tanpa resolusi” dan tiket pergi tanpa “jalan pulang”.


Adorno Elitis?

Melihat betapa rumitnya teknik dua belas nada dan bunyinya yang tidak familiar bagi mereka pendengar musik paling fanatik sekalipun, mungkin di antara kita ada yang bertanya-tanya: Benarkah tawaran Adorno bersifat emansipatoris? Bukankah teknik dua belas nada memerlukan prasyarat pengetahuan musik dan teori musik yang lebih dari memadai? Bisakah membayangkan musik dengan teknik dua belas nada diputar di ruang publik sebagai perlawanan terhadap musik populer? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini berpotensi memojokkan Adorno pada posisi elitis.

Dalam dirinya sendiri, Adorno memang sudah seorang elitis. Christian Fuchs, teoritisi Marxis kontemporer mengakui bahwa posisi Adorno sebagai petinggi di Universitas membuatnya berada pada posisi nyaman sebagai akademisi. Posisinya tersebut, bela Fuchs, membuatnya punya cukup waktu luang untuk merumuskan dan memperbaharui teori Marxis demi kemajuan pengetahuan (Fuchs, 2016: 78-79). Namun kita tidak akan berdebat panjang lebar tentang posisi administratif Adorno, karena hal yang lebih penting adalah menajamkan pertanyaannya: Apakah filsafat musik Adorno adalah gagasan yang elitis?

Jika kita membandingkannya dengan manifesto realisme sosialis yang mendorong seni agar sebisa mungkin merepresentasikan realitas, mudah dipahami oleh rakyat dan berorientasi pada ideologi sosialisme, tentu saja pandangan Adorno berkenaan dengan teknik dua belas nada adalah hal yang sungguh berkebalikan. Sederhananya, berapa banyak orang yang bisa mendengarkan musik dengan teknik dua belas nada? Bahkan kalaupun hendak memahami, mesti pergi ke mana orang-orang itu untuk mengakses pengetahuan tentang teknik dua belas nada? Teori musik sederhana saja tidak cukup: seseorang mesti punya akses terhadap teori musik tingkat lanjut. Sementara perkara apresiasi, ini yang tidak mudah dijawab: kalau kita menganggap teknik dua belas nada sebagai teknik yang menghasilkan musik yang rumit dan berat, apakah memang benar demikian karakter musik tersebut pada dirinya sendiri, atau jangan-jangan kita sudah terlalu terbiasa dengan musik 4/4 dan 3/4 dengan melodi yang repetitif dan akor paling banyak delapan?

Pertanyaan terakhir ini yang membuat kita semestinya merenungkan kembali posisi keelitisan Adorno. Ia justru tengah menyerang ke jantung kesadaran kita soal musik dan selera, yang seolah-olah merdeka padahal sekujur tubuhnya sudah dirasuki musik pabrikan sampai-sampai tidak lagi punya kemampuan untuk bersikap kritis terhadap melodi dan ritmik. Sederhananya, Adorno seolah hendak mengatakan, “Bagaimana kita bisa kritis terhadap kapitalisme, jika terhadap melodi dan ritmik yang dicekoki oleh kapitalisme saja kita tidak sanggup mengomentari?”

Lewat Musik dan Masyarakat, Karina menuliskan pembelaannya terhadap Adorno:

“Dalam filsafat musiknya, upaya mengkritisi dan menyadarkan untuk perubahan yang lebih baik dan lebih benar, entah melalui filsafat ataupun musik, tidak bisa dicapai karena yang menjadi sasaran tidak berkapasitas memahami. Mereka telah begitu lama bermimikri dengan salah dan telah begitu lama terbius candu-candu. Manusia dengan bertindak aktif dapat terlibat untuk mengonstruksi pengetahuan, tetapi juga sebagai individu dan makhluk sosial, manusia berada dalam pandangan dominan yang berlaku, otoritas tertentu, situasi, ideologi, budaya, dan sistem ekonomi tertentu di masyarakatnya yang memengaruhi pilihan, selera, kapasitas, serta pengetahuannya.” (hlm 268)

Adorno hidup dalam lanskap pemikiran awal abad ke-20 dan mungkin sudah menduga bahwa musik dengan teknik dua belas nada akan ‘kalah’ (dari musik populer) di masa yang akan datang. Bahkan dalam periode kita hidup sekarang ini, para pendengar Schoenberg mungkin tidak banyak dan kalaupun ada, mereka adalah orang-orang yang memilih untuk mendekam di kamarnya tanpa punya kesadaran revolusioner. Meski demikian, kenyataan sejarah ini tidak serta merta menunjukkan kegagalan pandangan Adorno. Kritik imanen Adorno terhadap struktur musik, dengan segala kelemahannya dalam menilai keragaman musik populer (termasuk pandangannya terhadap musik jazz yang agak prematur), tetap merupakan kekuatan gagasan yang patut diperhitungkan. Pemikirannya tentang musik bukanlah pemikiran elitis, melainkan kecurigaan serius terhadap kekuatan dominan yang menyebabkan orang lebih memilih tinggal dalam kenyamanan ketimbang melawan. Adorno, dalam filsafat musiknya, justru berusaha membongkar pemikiran elitis dalam budaya populer yang saking elitisnya, hingga membuat orang-orang enggan menyebutnya sebagai sesuatu yang elitis.

Tentang kemungkinan Adorno jatuh pada posisi elitis ini juga diakui oleh Karina meski ia sekaligus membantahnya:

“(…) filsafat musiknya tidak berangkat dari posisi elitis, justru berangkat dari kepedulian dan kesadaran sosial yang mengupayakan kebenaran dalam filsafat dan musik untuk membawa pada perubahan dari situasi masyarakat yang mencemaskan. Di satu sisi mungkin ia dapat dipandang elitis lagi dengan gagasan otonomi seni. Tetapi ia tidak elitis sebab bagi Adorno otonomi seni bukanlah seperti yang dipahami sebelumnya seperti seni yang murni, seni yang tinggi, atau seni untuk seni.” (hlm 175)

Bukti bahwa Adorno enggan terjebak dalam posisi elitis adalah pandangannya yang tidak berhenti pada Schoenberg. Karina mengingatkan lewat karya Adorno, Philosophy of New Music (1949), yang memandang teknik dua belas nada memiliki problem yakni pemberlakuan aturan ketat yang membuatnya menjadi hierarkis dan otoriter. Menurut Adorno sebagaimana dituangkannya bersama Max Horkheimer dalam Dialectic of Enlightenment (1944), hal demikian dianggap tidak ada bedanya dengan berbagai gerakan yang memiliki niat untuk mencerahkan, membebaskan dan memajukan tetapi malah mengkhianati tujuannya. Selain itu, atonalitas dan pembaruan deret nada juga, bagaimanapun, masih tetap berada dalam domain tonalitas (hlm. 199-200). Meski dalam arti tertentu dianggap mengecewakan, tetapi Adorno tetap menganggap teknik dua belas nada lebih menawarkan kejujuran dan secercah kebenaran sebagai kritik atas kepalsuan realitas dalam masyarakat dan sejarah (hlm. 114). Hanya saja, Adorno berusaha tidak membakukan teknik dua belas nada agar tidak hegemonik.

Atas dasar itu, Adorno menawarkan istilah “musik informal” sebagai musik yang bebas dan spontan, yang sepertinya berakar dari keinginan untuk lepas dari penjara formalisme yang membuat musik manapun menjadi elitis. Sayangnya, Adorno, sebagaimana dituliskan Karina, tidak menunjuk persisnya “musik informal” itu seperti apa. Mungkin lebih seperti proyek ideal Adorno yang justru menyuruh kita untuk memikirkannya. Melalui gagasannya tentang “musik informal”, semakin tegas bahwa Adorno enggan menaruh posisi pemikirannya dalam singgasana kaum elit, melainkan mesti selalu terbuka untuk ditumbangkan oleh gerak sejarah yang bebas dan spontan.


Tanggapan

Musik dan Masyarakat yang ditulis oleh Karina, sebagaimana ditekankannya di bagian Prelude, bukanlah buku tentang musik, melainkan lebih tepat dikatakan sebagai buku filsafat. Dalam buku ini, Karina menjejali pembacanya dengan sejarah filsafat dari mulai pemikiran estetika Kant, pandangan dialektika Hegel, keragaman filsafat abad ke-20, hingga masuk ke Mazhab Frankfurt. Meski demikian, pada bab tertentu, buku ini justru menjadi “buku musik”: Karina menunjukkan kapasitasnya sebagai seorang teoritisi musik dengan mengurai landasan teknik dua belas nada lewat kecakapan yang luar biasa.

Buku setebal 284 halaman ini adalah buku yang amat bergizi, yang tidak hanya menyuguhkan pandangan Adorno, melainkan juga beberapa fragmen dalam lanskap sejarah pemikiran Barat, termasuk perdebatan dalam hal musik, sebagaimana dicontohkan lewat perbandingan antara musik Schoenberg dan Stravinsky. Buku ini, bersama dengan buku Seni sebagai Pembebasan-nya Syakieb yang terbit di tahun yang sama, adalah angin segar bagi literatur mengenai Adorno yang selama ini seolah hanya menjadi bagian dari etalase para pemikir Mazhab Frankfurt. Literatur yang khusus membahas pemikiran Adorno ini menjadi sangat penting sebagai perangkat kritis dalam mengurai hegemoni di sekitar kita, yang justru sudah demikian menubuh sampai-sampai kita tidak sadar telah menghidupinya dalam keseharian.

Sedikit catatan, Musik dan Masyarakat, meski isinya padat, tetapi tidak bisa dikatakan ringan bagi mereka yang berharap bisa langsung mengenali gagasan Adorno dalam sekali baca. Buku ini dipenuhi peristilahan teknis yang rumit, terutama dalam bidang musik, yang membuat pembaca mesti menyelami bidang lain untuk melengkapi pembacaannya terhadap Adorno. Namun jangan-jangan, laku semacam itu juga yang diharapkan oleh Karina: menempatkan musik sebagai bagian dari laku pemikiran kritis.***


Syarif Maulana, pengajar di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, mahasiswa program doktoral di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, dan inisiator kelas belajar filsafat daring Kelas Isolasi.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.