Onghokham dan Orde Baru: Sejarah yang Masih Perlu Diungkap

Print Friendly, PDF & Email

Foto: David Reeve dan Onghokham (Handout/SCMP, 1985)


MEMBACA buku berjudul To Remain Myself: The History of Onghokham (kira-kira berarti ‘Tetap Menjadi Diri Sendiri: Sejarah Onghokham’) karya David Reeve, yang sudah sangat dinanti-nanti dan baru terbit Juli 2022, membuat saya teringat bagaimana dulu bisa kenal sejarawan hebat ini. Pada suatu hari Senin di tahun 1983 (bulannya terus terang lupa), saya bergabung dengan kelompok mahasiswa yang ramai-ramai membaca Gita Mahasiswa, medium kampus Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, yang baru saja terbit. Itu kami lakukan di kantor redaksi Gita yang terletak di bagian belakang gedung balairung UKSW.

Tiba-tiba seorang bapak botak berkacamata menghampiri saya dan bertanya di mana kantor Arief Budiman. Tidak sulit dan tinggal menunjuk kantor yang sudah kelihatan dari tempat kami berkumpul. “Silahken bapak naik ke tingkat satu gedung itu, jalan terus ke bagian akhir gedung dan ketok kamar nomer 275 di sebelah kanan,” demikian saya jelaskan. Sesudah si bapak berterima kasih dan berjalan ke arah gedung LPIS (Lembaga Penelitian Ilmu-ilmu Sosial), kantor Arief Budiman, baru saya sadar orang itu adalah sejarawan terkenal Onghokham (1933-2007).

Sekitar dua jam kemudian, bersama beberapa teman lain, saya ketuk pintu kantor Arief Budiman, ingin bertanya-tanya soal penelitian yang diselenggarakannya. Siapa tahu kami bisa ikut sebagai enumerator alias pengumpul data. Onghokham masih ada di sana dan segera Arief memperkenalkannya kepada kami. “Kenalan dulu, ini Onghokham,” katanya. Begitu saya jabat tangan Ong, dia berkata, “Kita sudah bicara tadi, kan?” Arief langsung menyeletuk, “Kalau sama dia kamu Hollandssprekend aja, Ong.” Maksudnya, sang tamu bisa berbicara bahasa Belanda dengan saya. Seketika saya tersipu.

Perkenalan itu kemudian diikuti oleh pertemuan-pertemuan lain. Beberapa kali pertemuan di Amsterdam pada dekade 1990-an membuat saya lebih kenal dengannya. Beberapa kali Onghokham saya antar belanja di Pecinan Amsterdam. Tapi bukan itu yang berikut ini akan saya bahas.

Sudah barang tentu saya akan membahas buku karya David Reeve ini, terutama beberapa aspek kehidupan Onghokham yang baru saya ketahui begitu selesai membaca biografi lumayan kritis setebal 346 halaman ini. Ada tiga butir yang akan saya angkat, tiga-tiganya diuraikan panjang lebar dalam buku. Pertama, hal yang bagi saya paling menarik dalam buku ini, yaitu sikap Onghokham terhadap sesama kalangan Tionghwa Indonesia. Onghokham adalah Tionghwa, tapi menariknya terhadap sesama Tionghwa ia bersikap begitu zonder pardon alias tanpa ampun. Mengapa dan bagaimana bisa demikian?

Kedua, saling tindak antara Onghokham dengan penguasa rezim zalim Orde Baru, dalam hal ini kalangan militer. Onghokham memang beberapa kali direcoki tentara, bahkan sampai ditahan segala, tapi itu tidak berarti dia tidak pernah “mengisengi” tentara. Ini berkaitan dengan orientasi seksualnya. Sedangkan butir ketiga adalah upaya intelektual yang dilancarkan Onghokham terhadap tentara: adakah dia melakukan perlawanan tertentu dalam bentuk kajian historis karena pernah direcoki tentara?


Satu atau Tiga Kata?

Sebelum membahas itu semua, terlebih dahulu pantas kita bertanya tentang nama: Onghokham atau Ong Hok Ham? Satu atau tiga kata? Dalam sebuah tulisan tentang tradisi nama Tionghwa, Onghokham menulis bahwa keturunan Tionghwa, totok maupun peranakan, memiliki tiga kata. Kata pertama merupakan nama keluarga atau klan, lalu dua kata berikutnya adalah nama pemberian orang tua.[1] Maka Ong Hok Ham (sebelum diubah menjadi Onghokham) terdiri dari Ong yang merupakan nama keluarga, dan Hok Ham yang merupakan nama pemberian orang tua.

Dalam perjalanan sejarah, nama Tionghwa ini mengalami perubahan, dan menurut Onghokham ada empat penyebabnya. Pertama, pemberian atau pemakaian nama Jawa; kedua, pemberian atau pemakaian nama Islam oleh orang Tionghwa yang beralih memeluk Islam; ketiga, pemelayuan nama-nama Tionghwa; dan keempat, pembelandaan nama-nama Tionghwa.

Perubahan pertama dan kedua jelas karena asimilasi atau peleburan, yang berarti lenyapnya nama-nama Tionghwa. Perubahan ketiga terjadi pada akhir abad ke-19, ketika kalangan Tionghwa lebih memilih bahasa Melajoe ketimbang bahasa daerah, terutama bahasa Jawa. Sebagai kalangan yang dalam masyarakat kolonial berkedudukan lebih tinggi dari kalangan inlanders bumiputra, maka orang-orang Tionghwa yang (selain orang Arab, Keling, Iran, dan seterusnya) termasuk sebagai Vreemde Oosterlingen (Timur Asing) ini lebih memilih bahasa Melajoe. Mereka juga menggunakan kata-kata Melajoe untuk nama. Onghokham memberi contoh, misalnya, Tan Manis Nio, The Soeboer Nio, dan Han Bersih Nio.

Perubahan ketiga terjadi pada awal abad ke-20. Ketika itu bahasa Belanda bertambah fungsi, bukan melulu bahasa penguasa kolonial melainkan juga bahasa kaum terpelajar. Pengaruh Belanda tidak terhindarkan lagi, juga pada nama kalangan Tionghwa. Onghokham menyebut nama-nama yang terpengaruh Belanda seperti The Mien Nio (dipanggil Mientje), Tan Marie Nio, dan Han Lies Nio (dipanggil Lies). Anggota keluarga Ong, jelas karena ingin tampil terpelajar, juga memiliki nama-nama Belanda. Ayahnya bernama Klaas, ibunya Lies, dan kakak-kakaknya Freddy serta Olga. Onghokham sendiri dipanggil Hans di rumah.[2]

Pada zaman kolonial itu Onghokham juga menemukan orang-orang Tionghwa yang mengubah nama mereka dari tiga menjadi hanya satu kata. Dia mengambil contoh nama Ongkiehong (dari Ong Kie Hong) yang dilihatnya di Ambon dan ternyata juga menjadi nama keluarga yang diturunkan kepada anak cucu si pemakai nama. Itu terjadi setelah pengadilan memutuskan penulisan nama, yang juga berarti pergantian nama. Onghokham menegaskan, walaupun ia menulis namanya sebagai satu kata, Onghokham, itu bukanlah nama resmi, kecuali kalau dia melegalkannya lewat pengadilan. Bisa disimpulkan Onghokham melakukan penyatuan tiga namanya karena pengaruh orang Tionghwa di Ambon, walaupun itu tidak dilakukannya secara resmi, lewat pengadilan. Ini dilakukannya pada 1960, jadi masih sebelum Orde Baru memaksa kalangan Tionghwa ganti nama pada 1967.

Menariknya, dalam soal nama ini, Reeve berkesimpulan Onghokham mengikuti atau meniru kebiasaan orang Filipina.[3] Perjalanan ke luar negeri pertama yang dilakukan Onghokham memang ke negara tersebut, pada Januari sampai Juni 1959. Dalam beberapa tulisan, Onghokham juga menyatakan kagum atas integrasi keturunan Tionghwa di tetangga utara itu. Antara lain karena Filipina tidak membedakan keturunan Tionghwa dari keturunan asli; di sana hanya ada warga negara Filipina dan warga negara asing. Onghokham juga kagum atas peleburan 100 persen orang Tionghwa ke dalam masyarakat, yang salah satu indikatornya adalah tidak lagi menggunakan tiga nama, tapi meleburkannya menjadi satu.

Terlihat di sini ada dua pendapat. Si pemilik nama sedikit banyak menyatakan bahwa ia meniru cara orang Tionghwa di Ambon, sedangkan si penulis biografi menyatakan kebiasaan Filipina-lah yang ditiru. Reeve tidak sendirian. Mely G. Tan, cendekiawan teman baik Onghokham, juga berpendapat bahwa penyatuan nama “banyak dilakukan orang etnis Tionghwa di Filipina.”[4] Sulit menjawab mana yang benar. Onghokham sendiri juga tidak meresmikan nama satu kata itu lewat pengadilan. Saya serahkan kepada sidang pembaca saja. Dua pendapat ini tidak perlu dipertentangkan, keduanya sama benarnya, benar-benar ada (bukan bohong) dan menyangkut satu orang yang sama. Hanya di sini tampaknya kita pantas mengulang pertanyaan Shakespeare, sang pujangga Inggris: apalah arti sebuah nama?


Sikap anti-Tionghwa

Sebagai seorang keturunan Tionghwa, tulis Reeve, ternyata Onghokham sering marah dan frustrasi dengan kalangan sendiri, termasuk keluarganya. Apa sebabnya?

Kekesalannya adalah karena ketidakpedulian orang Tionghwa terhadap perkembangan sekitar, termasuk dunia politik. Hanya dengan melihat keluarganya sendiri, Onghokham mendapati betapa mereka hampir tidak bersentuhan dengan masalah-masalah Indonesia. Sikap acuh ini, bagi Onghokham, membuat mereka rentan terhadap sekecil apa pun pergeseran yang terjadi dalam politik. Setelah perubahan besar-besar yang keluarga mereka alami pada 1942, dengan jatuhnya Hindia-Belanda dan berawalnya pendudukan Dai Nippon (bala tentara Jepang), Onghokham melihat keluarganya tidak belajar apa-apa.[5]

Reeve mengangkat sebuah contoh yang lumayan menohok. Suatu saat Onghokham dan kakaknya, Olga, asyik membicarakan kabinet Perdana Menteri Djuanda dan perubahan politik yang tengah berlangsung di Indonesia pada tahun 1950-an. Tiba-tiba Olga bertanya, “Djuanda itu siapa?” Tentu saja sikap mengucilkan diri dari perkembangan politik sekitar seperti ini membuatnya marah.

Menurut Onghokham, dalih orang Tionghwa tidak peduli pada perkembangan sekitar, terutama situasi politik, adalah dalam rangka mempertahankan identitas ketionghwaan. Ketionghwaan seperti ini, menurut Onghokham harus ditanggalkan, bukannya malah dipertahankan sebagai identitas. Tatkala memberitahu keluarga soal amarahnya ini, mereka menganggap Onghokham aneh, bahkan mengejeknya sebagai “pecinta Indonesia.” Onghokham kemudian menyahut bahwa mungkin dirinya memang anti-Tionghwa.

Onghokham berpendapat bahwa satu-satunya cara agar kalangan Tionghwa bisa lebih maju adalah menjadi lebih “Indonesia”, persis seperti yang telah dilakukannya.

Sebenarnya kalangan Tionghwa Indonesia sudah pernah terintegrasi dalam masyarakat, kata Onghokham. Penjajah Belanda-lah yang secara kasar menceraikan keduanya lewat kebijakan diskriminatif dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan hukum. Maka, jika ada kalangan yang berpendapat bahwa kehadiran kalangan Tionghwa merupakan warisan zaman penjajahan yang bisa dipulihkan, Onghokham justru berpendapat bahwa yang merupakan warisan kolonialisme adalah kesenjangan yang muncul antara orang Tionghwa dan Indonesia, dan itulah yang harus dihapus.

Pada 1957, Onghokham yang meninggalkan bangku kuliah Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), bekerja sebagai asisten peneliti G. William Skinner, ahli sosiologi Universitas Cornell, Amerika Serikat. Dia menemani Skinner berkeliling Jawa, Madura, dan Bali. Reeve menyinggung fragmen ini karena perjalanan ke Madura mengungkapkan hal-hal yang tidak pernah mereka duga. Onghokham pernah membaca laporan seorang Jerman yang melawat ke Madura pada 1850, tapi ia tak menyangka daerah tersebut seindah yang waktu itu dilihatnya.

Selain itu, Skinner dan Onghokham juga gagal menemui keturunan Tionghwa yang bermata pencarian sebagai petani. Bupati Madura memberi tahu bahwa di Sumenep ada sekelompok warga setempat keturunan Tionghwa yang telah benar-benar berasimilasi. [6] Mereka berdua bergegas ke sana. Dan memang Onghokham mendapati kuatnya pengaruh Tionghwa di wilayah tersebut. Mereka diberi tahu bahwa istana serta masjid dibangun oleh seniman-seniman yang didatangkan dari Tiongkok oleh seorang pangeran Madura pada 1790-an. Pintu masjid dan atap istana bergaya separuh Tionghwa dan separuh Madura. Mereka juga melihat pengaruh Tionghwa dalam bentuk banyak atap bangunan atau rumah.

Mereka juga mengunjungi sebuah desa terpencil jauh dari jalur bus. Di desa ini, dan sebenarnya di Madura secara keseluruhan, istilah “peranakan” masih digunakan untuk merujuk pada kalangan Tionghwa yang memeluk Islam dan menggunakan nama setempat. Di Sumenep, Onghokham bertemu beberapa orang Tionghwa yang bertampang Madura dan diperlakukan sebagai orang Madura dan memiliki hak yang sama dengan warga setempat.

Dalam wawancara dengan Reeve, Onghokham menyatakan bahwa ia melihat dengan mata kepala sendiri betapa di Madura itu telah terjadi hampir 100% asimilasi kalangan Tionghwa ke dalam masyarakat setempat. Katanya lagi, akan susah dipercaya kalau dia tidak melihatnya dengan mata kepala sendiri.

Walau mungkin cuma perkecualian, fenomena di Sumenep itu jelas membuka mata Onghokham bahwa bukan hanya keturunan Tionghwa bisa terlibat langsung dengan masyarakat setempat, mereka juga bisa menyatu. Onghokham jelas merasa dirinya bukan Tionghwa yang terpisah dari lingkungannya. Dan ini ditegaskannya dengan sikap yang tegas terhadap kalangannya sendiri. Perasaan seperti ini tampaknya menjadi latar belakang kenapa dia memutuskan membangun rumah bergaya Bali. Reeve mengutip pernyataan Onghokham yang lagi-lagi mengecam kalangannya sendiri. Katanya, “Mereka punya begitu banyak uang, tapi mereka tidak tahu bagaimana harus punya rumah yang indah. Mereka tidak tahu bagaimana harus makan enak. Mereka tidak tahu bagaimana harus menikmati hidup. Mereka tidak tahu bagaimana harus bersukaria. Saya tidak punya uang, tetapi saya punya rumah yang mengagumkan.”[7]


Teman-Teman Lengkap: Kiri dan Kanan

Setelah empat tahun kuliah di FHUI dan tanpa prospek lulus sebagai sarjana hukum, pada akhir 1959 Onghokham memutuskan untuk pindah ke Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI). Perpindahan itu dimungkinkan karena dia terus memperbarui kartu mahasiswa, walau praktis sudah tidak kuliah lagi sejak 1957 (Onghokham diterima di FHUI pada 1955).[8] Untuk itu Onghokham harus terlebih dulu menjalani semacam ujian. Pertama tatap muka dengan ketua jurusan sejarah: Profesor Sukanto. Sempat terhambat karena motor yang ditumpanginya bersama sesama mahasiswa, Adri Lapian, rusak, untunglah perkenalan ini berjalan baik. Onghokham diterima sebagai mahasiswa jurusan sejarah. Tapi dia masih harus menghadapi ujian kedua yaitu berdebat dengan keluarga yang tidak setuju dengan pilihannya.

Tentang hal ini Paoke Hudyana, keponakan Onghokham, menjelaskan lebih lanjut sebagai berikut,

Dan karena bidang studi yang kali ini diambilnya yaitu sejarah adalah langka sekali, hal ini sempat menjadi topik pembicaraan di kalangan keluarga kami. Memang seperti biasanya di keluarga keturunan Tionghwa, bidang pelajaran yang terpopuler hanya bidang-bidang hukum, kedokteran dan teknik, yang bisa menjanjikan masa depan yang baik, sebagai sumber mata pencaharian. Maka bidang sejarah adalah bidang yang aneh untuk dipilih dan dianggap tidak ada masa depan, terutama bagi kaum lelaki. Tetapi rupanya panggilan bidang sejarah sangat kuat di dalam diri ku Ham (panggilan Paoke Hudyana kepada pamannya Onghokham, JW). sehingga segala anjuran tidak menggoyahkan langkahnya dalam mengarungi dunia sejarah. [9]

Penjelasan keponakan ini cocok dengan pendirian Freddy, kakak Onghokham. Dalam biografi ini bisa dibaca pendapatnya bahwa berlainan dengan lulusan Fakultas Hukum, lulusan Jurusan Sejarah tidak punya karier. Onghokham yang dituduh hanya ingin menyenangkan diri sendiri tidak berani membantah kakaknya. Dia malah membenarkan tuduhan itu. Maklum, ia masih tergantung pada sang kakak; dia tinggal bersamanya. Untungnya, selain omelan, mereka tidak menghalangi Onghokham mendalami sejarah. Pada 1960, Onghokham resmi kuliah pada Jurusan Sejarah FSUI.

Begitu diterima, Onghokham ternyata berteman akrab dengan Nugroho Notosusanto yang kelak menjadi sejarawan militer dan ideolog Orde Baru. Begitu dekatnya sampai-sampai Onghokham diajak menemani Nugroho berpacaran dengan Irma. Tentu saja Onghokham juga hadir pada upacara pernikahan Nugroho dengan Irma. Hadirin sering salah duga, mengira Onghokham adalah adik Nugroho.

Teman Onghokham tentu bukan hanya Nugroho Notosusanto.[10] Dalam biografi ini, Reeve mencatat bahwa Onghokham paling sedikit memiliki dua kelompok teman. Kelompok pertama adalah ilmuwan luar negeri yang datang untuk mengadakan penelitian di Indonesia. Selain Skinner, Onghokham juga dekat dengan ahli-ahli sejarah dan politik Indonesia terbaik pada zaman itu, seperti Dan Lev, Herbert Feith, Ruth McVey, Benedict Anderson, dan Mary Somers. Dengan pengalaman menjadi pemandu peneliti asing, Reeve mencatat bahwa Onghokham menyombongkan diri sebagai pemandu terbaik di Jakarta. Ilmuwan asing tahu soal ini, seperti Onghokham yang bukan hanya tahu tapi juga menikmati kerjanya sebagai pendamping dan penunjuk jalan ilmuwan asing.

Kelompok kedua adalah orang-orang Indonesia. Selain dengan Nugroho Notosusanto, Onghokham juga dekat dengan sesama mahasiswa Sejarah seperti Adri Lapian, R. Z. Leirissa, dan Soe Hok Gie, juniornya. Di luar “orang sejarah”, Onghokham juga sering terlibat dalam diskusi dengan tokoh GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) seperti Kartjono dan temannya Iwan Totok. Reeve juga menyebut nama Soedjatmoko, cendekiawan peminat sejarah dan tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI). Kalangan kiri seperti Kartjono dan Iwan Totok yang tergabung dalam GMNI menyebut PSI, dan karena itu juga Soedjatmoko, sebagai golongan kanan.[11]

Dengan berolok-olok Ben Anderson menanggapi jaringan teman Onghokham sebagai berikut: “Kok tidak ada kawan PKI atawa Muhammadijah?”. Ben yang sudah kenal Onghokham pada hari pertama datang di Indonesia pada awal Januari 1962 mencatat jawaban lugu Onghokham: “Jach, sama-sama engga bisa senang, puritan banget, djarang ketawa.”[12]

Reeve mencatat bahwa pada 1964, mungkin karena kritik Anderson, Onghokham akhirnya berkenalan juga dengan teman-teman Islam dan komunis. Teman-teman muslim yang saleh dikenalnya di Asrama Daksinapati, sedangkan teman-teman komunis dikenalnya lewat Hardoyo, seorang teman akrab yang ternyata bersahabat kental dengan kalangan komunis. Kalangan komunis menganggap Onghokham dekat dengan GMNI, tapi juga dengan tokoh PSI, Soedjatmoko. Karena itu bagi mereka Onghokham adalah seorang nasionalis, pluralis, dan ilmuwan yang objektif. Onghokham, di lain pihak, selalu memperingatkan kalangan komunis supaya berhati-hati.[13]

Sampai di sini jelas terlihat betapa Onghokham memiliki teman pada dua sisi, sisi kiri maupun sisi kanan. Dan itu dimungkinkan karena sejak kemerdekaan sampai awal 1960-an itu Indonesia memang masih lengkap, masih terdiri dari Indonesia kiri dan Indonesia kanan. Maklum, itu adalah zaman sebelum Orde Baru yang ketika tampil pada akhir 1965 melakukan pengganyangan kalangan kiri sampai ke akar-akarnya alias Genosida 65. Akibatnya, Indonesia kehilangan sayap kirinya. Orang tak mungkin lagi berperilaku seperti Ong, punya sahabat pada kedua sisi. Zaman berdarah-darah itu juga membawa dampak besar bagi kehidupan Onghokham.


Dua “Perlakuan Khusus”

Pada titik ini David Reeve mengungkap sesuatu yang cukup mengejutkan. Onghokham ternyata pernah menulis kajian tentang militer atas permintaan Nugroho Notosusanto yang pada awal 1964 ditunjuk oleh Jenderal A. H. Nasution menjadi kepala Pusat Sedjarah Angkatan Bersendjata Republik Indonesia (Pusdjarah ABRI). Nugroho sendiri sebenarnya ingin jadi tentara, tapi tidak diizinkan oleh ayahnya, pakar hukum Islam, profesor Notosusanto. Tulisan Onghokham berkisar tentang peran ABRI dalam memadamkan pemberontakan PRRI di Sumatra Barat itu terbit, demikian Reeve, pada akhir 1965 tatkala tengah berlangsung pembunuhan besar-besaran kalangan kiri Indonesia.[14]

Dengan jeli Reeve melihat sesuatu yang aneh dalam tulisan Onghokham yang berjudul “Sapta Marga Berkumandang di Sumatra: Operasi2 Menumpas Pemberontakan P.R.R.I” ini. Buku tipis setebal 15 halaman ini, menurut Reeve, secara langsung dan sederhana menuturkan keberhasilan tentara dalam memadamkan pemberontakan. Tetapi terbaca sesuatu yang aneh pada halaman pertama. Di situ terdapat beberapa alinea yang tidak berkaitan dengan sejarah, karena hanya berisi propaganda murni militer. Contohnya adalah alinea ketiga berikut:

ABRI adalah salah-satu kekuatan penting jang mengamankan Revolusi Indonesia. SAPTA MARGA menekankan hal ini dan membuat pradjurit satu dengan Revolusi, dengan Rakjat dan dengan Negara. Sebab dalam SAPTA MARGA pradjurit bersumpah untuk membela negara dalam segala seginja ⎯ menjatakan diri sebagai anggota masjarakat dan bersumpah untuk berbakti padanja, serta memegang teguh disiplin ketentaraan jang merupakan sendjata jang djaja dan ampuh dari Revolusi Indonesia. Dengan demikian mendjadi sekaligus teladan bagi kesatuan dan dinamika bangsa.[15]

Apa nilai sejarah alinea di atas? Lebih dari itu, mungkinkah seorang sejarawan menulis kalimat-kalimat yang menurut Reeve adalah “rip-snorting pro-military political rhetoric”?[16] (kira-kira berarti ‘ocehan retorika politik yang pro-militer’) begitu? Jawaban “tidak” jelas paling pas untuk dua pertanyaan ini. Selain itu, perbedaan nada antara beberapa alinea awal dengan isi selanjutnya membuat Reeve menduga keras bahwa alinea-alinea awal sarat propaganda tersebut merupakan tambahan yang dilakukan oleh Pusdjarah ABRI, walaupun nama pengarangnya tetap Onghokham. Mengapa Pusdjarah ABRI tidak menulis kata pengantar saja, sehingga lebih jelas bagi pembaca bahwa kata pengantar itu adalah propaganda tentara yang tidak ditulis oleh Onghokham? Mengapa bertindak lempar batu sembunyi tangan? Anehnya, buku tipis lain dalam seri yang sama karya Ariwiadi tidak didahului dengan propaganda militer serupa.[17] Penulis langsung mulai dengan masalah Aceh.

Inilah “perlakukan khusus” pertama kalangan militer terhadap Ong. Tak lama kemudian Onghokham mengalami “perlakuan khusus” berikutnya.

Corat-coret tambahan dan judul buku tipis ini juga memberi pelajaran penting bagi pembaca zaman sekarang. Pada kalimat pertama alinea di atas tertera kata-kata “salah-satu”, yang jelas berarti bahwa ABRI bukan satu-satunya kekuatan penting; pada zaman itu masih ada kekuatan-kekuatan lain yang mengimbangi tentara. Dan karena itu judul buku tipis ini juga memasang istilah “Sapta Marga”, yaitu sumpah prajurit, bukan, misalnya, merah putih atau bahkan Indonesia. Jelas pada zaman itu ABRI masih belum berani mengatasnamakan diri sebagai Indonesia secara keseluruhan. Masih berimbangnya kekuatan kanan dengan kiri membuat salah satunya (kanan maupun kiri) harus berhati-hati, tidak ada pihak yang berani menyatakan diri sebagai satu-satunya yang berhak atas Indonesia.

Onghokham sendiri merasa malu setiap kali memberitahu teman-temannya di luar negeri tentang kerja yang dilakukannya untuk kalangan tentara ini. Reeve mencatat bahwa Onghokham melakukannya karena Nugroho Notosusanto begitu antusias dan minta tolong padanya. “Aku diminta untuk mendukung dan berbuat sesuatu untuk kalangan militer, padahal aku sendiri tidak begitu percaya pada mereka,” demikian kata Onghokham seperti dicatat oleh Reeve.[18]

Pada Oktober 1965, Onghokham tiba-tiba menghilang, tak ketahuan rimbanya. Ternyata dia mengalami perlakuan khusus tentara jilid dua. Setiap kali militer mengambil alih kantor PKI, mereka selalu merampas dokumen-dokumen. Kemudian mereka memanggil kalangan sejarawan untuk meneliti dokumen-dokumen itu, mencari bukti bahwa telah terjadi konspirasi untuk merebut kekuasaan. Pada bulan itu, Onghokham bersama-sama Soe Hok Gie dan R. Z. Leirissa mendapat giliran memeriksa dokumen-dokumen PKI rampasan tentara dari kantor Jakarta Utara. Mereka bertiga harus datang ke Museum Fatahillah tempat dokumen rampasan itu disimpan.[19]

Mereka masuk museum mengenakan seragam hijau tentara. Teman-teman Onghokham terkekeh melihatnya berpakaian militer. Seragam itu segera dilepas begitu mereka sampai di dalam museum untuk membaca dokumen-dokumen rampasan. Seragam militer itu harus mereka kenakan lagi begitu keluar ruangan, bahkan ke kamar kecil sekalipun yang terletak di tingkat bawah. Yang terenyuh adalah bahwa setiap kali ke bawah untuk buang hajat, Onghokham akan melihat para tahanan politik yang berdesak-desakan di sana, orang-orang komunis atau sukarnois.

Seperti Onghokham duga, dia dan kawan-kawan tidak berhasil menemukan satu pun dokumen yang membuktikan bahwa PKI memang berencana merebut kekuasaan. “Tentu saja tidak ada,” Onghokham menjawab rasa ingin tahu David Reeve. Hal yang paling mengesankan Onghokham pada dokumen-dokumen yang dibacanya adalah tulisan orang-orang kecil dan para petani. Mereka menulis hal-hal yang cerdas tentang perjuangan kelas. Ini membuat Onghokham begitu kagum pada mereka, kalangan rakyat jelata.

Reeve mencatat pada saat itu Onghokham merasakan luapan simpati kepada PKI sebagai korban. Ia berharap dokumen-dokumen partai terlarang itu masih disimpan dalam Arsip Nasional, sebagai sumber yang tak ternilai harganya bagi sejarah sosial Indonesia. Dengan demikian orang bisa membaca kehidupan orang biasa, petani, dan semua ketidakadilan yang mereka alami. Onghokham juga menegaskan, setelah membaca arsip itu, sulit dipercaya bahwa tidak terjadi perlawanan, atau bahwa Indonesia dengan begitu gampang masuk perangkap diktator militer.

Bagi Reeve, komentar Onghokham itu tampaknya sudah cukup. Dia tidak merasa perlu lagi untuk memaknai lebih khusus peristiwa ini. Kenyataan bahwa Onghokham dan dua teman lain sampai harus menghilang (entah sampai berapa lama) dan mengenakan seragam militer segala jelas merupakan salah satu akal bulus tentara dalam mengganyang PKI. Walaupun sedikit terlibat dan itu pasti karena desakan Nugroho Notosusanto, syukurnya Onghokham tidak menemukan dokumen yang mereka cari. Keterlibatannya menjadi tidak berarti. Ini semakin jelas bahwa memang PKI tidak pernah berencana makar melalui G30S, dan tentara makin membabi buta menciptakan mitos untuk menutup-nutupi perpecahan internalnya.


Penjara dan Gangguan Mental

“Perlakuan khusus” ketiga tentara terhadap Onghokham adalah penjara. Ini paling sedikit sudah terlebih dulu diungkap oleh Adri Lapian, Benedict Anderson, Ruth McVey, Roger Paget, dan Paoke Hudyana (keponakan Ong) dalam buku yang terbit pada 2007 lalu untuk mengenang 100 hari kepergian Onghokham.[20] Murid Ben Anderson, Douglas Kammen, juga sudah mengungkap seberapa jauh penahanan Onghokham berkaitan dengan apa yang disebut Cornell Paper.[21] Dalam tulisan lain, Ruth McVey yang ditemani Onghokham meneliti PKI di Jawa Timur pada awal 1965 juga menyinggung salah satu kemungkinan sebab pemenjaraan itu: Onghokham memprotes pembunuhan massal 1965-1966.[22]

Dalam biografi ini Reeve dengan lebih rinci lagi mengungkap latar belakang pemenjaraan itu: berapa lama sebenarnya Onghokham harus mendekam dalam penjara serta kenapa sampai bisa separah itu. Pengungkapan rinci Reeve begitu mengharukan dan membuat pembaca seperti saya semakin marah terhadap zaman kediktatoran. Sayang disayang ada satu hal penting yang luput dari perhatian Reeve.

Pada tahun 2002, kepada Reeve, Onghokham memberi tahu bahwa dirinya pernah ditahan. Itu berarti pemberitahuan setelah mereka saling kenal selama 27 tahun, lebih dari seperempat abad. Tentu saja Reeve terkejut karena Onghokham sampai butuh waktu begitu lama untuk memberi tahu pengalaman buruk ini. Kenyataan bahwa dia butuh waktu begitu lama, tulis Reeve lebih lanjut, menunjukkan betapa pahit dan mendalam pengalaman ini.

Tatkala Reeve mendesak rincian penahanan, Onghokham malah memberinya dua tugas. Pertama, mencari tahu mengapa dia sampai ditahan. Onghokham tidak pernah didakwa melakukan tindak pidana tertentu (seperti juga dialami oleh semua orang yang ditahan pada 1965-1966, termasuk mereka yang dibuang ke Pulau Buru). Ketika pihak universitas mengirim surat kepada pihak berwajib untuk bertanya tentang penahanan ini, mereka juga tidak menerima jawaban. Tugas kedua adalah mencari tahu berapa lama penahanan itu berlangsung, karena memang waktu itu Onghokham benar-benar tidak tahu dan tidak punya catatan tentang keadaannya sendiri.[23]

Reeve terlebih dahulu ingin memastikan kapan persisnya Onghokham ditahan. Untuk itu ada dua cara yang ditempuhnya. Pertama menghubungi orang-orang yang kenal dekat Ong, dan kedua membaca surat-surat yang dikirim Onghokham kepada teman-temannya di luar negeri. Cara pertama, menghubungi orang-orang yang kenal Onghokham, masih dibagi menjadi dua pihak, keluarga dan teman-teman yang waktu itu akrab. Kedua pihak ternyata memberi pernyataan berbeda-beda, bahkan berlawanan. Jelas makin sulit memperoleh kepastian. Untungnya, dengan menggabung keterangan Onghokham serta penjelasan Adri Lapian, ditambah penjelasan Iwan Totok yang ditahan tak lama sesudah Onghokham, Reeve berkesimpulan bahwa Onghokham ditahan selama sekitar 150 hari, dari 10 Maret sampai 28 September 1966. Jelas tidak sampai setahun, seperti dikatakan dua keponakan Onghokham yang pernah menjenguknya di penjara.

Reeve juga membaca surat Herbert Feith kepada Dan Lev yang berkabar bahwa Onghokham ditangkap pada 10 Maret, persis seperti yang diduga Onghokham sendiri. Kemudian Reeve membaca surat yang dikirim Onghokham kepada Dan Lev bertanggal 11 Oktober 1966, berisi pemberitahuan bahwa dia sudah bebas selama dua minggu. Ini cocok dengan penjelasan Adri Lapian bahwa Onghokham dibebaskan pada 28 September 1966. Reeve sempat menyesal kenapa dia tidak langsung saja membaca surat-surat ketimbang harus diliputi ketidakpastian ketika menghubungi saudara atau sahabat karib Ong. Yang jelas, dua cara pembuktian ini menghasilkan kepastian yang tak terbantahkan lagi: Onghokham ditahan selama 150 hari, dari 10 Maret sampai 28 September 1966. Reeve begitu gembira memperoleh kepastian ini sampai-sampai dia serahkan sendiri surat Onghokham kepada Dan Lev itu.

Tapi apa penyebab penahanan itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, David Reeve menghadapi masalah yang lebih rumit lagi.

Selama berada dalam tahanan, Onghokham mengalami gangguan kejiwaan. Itu bukan saja diakuinya sendiri melainkan juga dari penuturan para penjenguk. Dalam pernyataan yang diumumkan oleh jurnal Indonesia edisi 85 tahun 2008 (setelah kematiannya), Onghokham menyatakan mendapati dirinya mengalami gangguan jiwa ketika berupaya mencari tahu mengapa bisa ditahan. Dia merasa mendengar banyak gaung, lalu beranggapan bahwa orang-orang yang dikurung bersamanya dalam tahanan militer dekat Lapangan Banteng sedang dipersiapkan untuk main sandiwara. Dia juga sempat merasa menjadi agen rahasia PKI, kemudian merasa roh pemimpin PKI, Aidit, berusaha merasuk ke badannya.

Ketika ditemui oleh kakaknya Olga atau keponakannya Paoke Hudyana, Onghokham diam saja. Dia tampak jauh, hidup dalam renungan yang tidak terjangkau orang lain. Onghokham juga tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan dalam bahasa Belanda tentang kenapa bisa berada di situ oleh temannya Fikri Jufri yang datang menjenguk orang lain. Sejenak Onghokham menoleh pada Fikri dengan pandangan hampa, tapi tak lama kemudian ia berpaling. Kelak Fikri Jufri memberi tahu bahwa dia beberapa kali menjenguk di penjara, tapi Onghokham sama sekali tidak ingat.[24]

Dua pihak berdaya upaya supaya Onghokham bebas: keluarga dan peneliti asing yang sempat dibantu. Mereka menghubungi Nugroho Notosusanto yang kemudian mendekati pihak militer dengan jaminan bahwa “kalau Onghokham komunis maka saya juga komunis.” Selain itu, kepada militer, Nugroho juga menulis surat yang dibawa oleh Saleh Asaad, teman Onghokham asal Malang yang berlatar belakang militer. Sayang biografi ini tidak menyebut kepada siapa surat itu ditujukan dan kepada siapa pula Saleh Asaad membawanya, padahal David Reeve sempat mewawancarai Asaad.[25]

Kenapa sasaran surat tidak disebut? Apa perlunya menyembunyikan identitas tokoh yang dikirimi surat itu? Paling-paling dia juga sudah meninggal dunia. Inilah hal penting yang tidak terungkap dalam buku ini.

Perkembangan mutakhir pelbagai kajian tentang kejahatan rezim Orde Baru tidak hanya mengungkap korban dan bagaimana persisnya peristiwa itu berlangsung, melainkan juga siapa sebenarnya pelaku yang paling bertanggung jawab bagi pelanggaran hak-hak asasi manusia seperti yang dialami Onghokham. Diungkap pula dokumen yang berisi perintah penindakan terhadap seseorang atau sekelompok orang. Jess Melvin dalam bukunya tentang genosida di Aceh dengan jelas dan rinci mengungkap ini semua.[26]

Pada bab tiga buku tersebut, Melvin mengungkap rantai komando pengganyangan PKI di Aceh. Ini berawal di pusat, Jakarta, tatkala Soeharto pada 1 Oktober 1965 mengangkat diri sebagai Panglima ABRI dan tidak ambil pusing pada perintah Presiden Sukarno supaya sore harinya dia meletakkan jabatan (Sukarno mengangkat Mayjen Pranoto Reksosamudro sebagai panglima). Komando kemudian turun pada Panglatu (Panglima Mandala Satu) Mayjen A. J. Mokoginta yang tetap menganggap Soeharto panglima, terus pada Pangdam Aceh Brigjen Ishak Djuarsa, sampai kepada Dahlan Sulaiman, pimpinan milisi PII (Peladjar Islam Indonesia). Dengan meniti rangkaian komando yang jelas merupakan insubordinasi itu, Melvin juga mengungkap tokoh-tokoh yang bertanggung jawab pada pengganyangan PKI alias banjir darah di Aceh. Selain itu, Melvin juga menampilkan pelbagai dokumen, mulai dari telegram yang berisi perintah Soeharto sampai notulen pidato-pidato Mokoginta dan Djuarsa.

Memang, keistimewaan penelitian Melvin adalah keberhasilannya menemukan fotokopi dokumen-dokumen militer Aceh yang berkaitan dengan operasi militer pengganyangan PKI di tanah Rencong. Dokumen-dokumen itu disebutnya “The Indonesian genocide files” (berkas-berkas genosida Indonesia).[27]

Sayang sekali Reeve tidak mengikuti perkembangan mutakhir ini. Dia hanya mengungkap Onghokham sebagai korban. Patut diselidiki lebih lanjut siapa sebenarnya yang memerintahkan penangkapan Onghokham pada Maret 1966, siapa pula yang memerintahkah penangkapannya kembali (berarti penangkapan kedua) pada Juli 1966. Apakah itu orang yang sama? Kalau bukan orang yang sama, bagaimana bisa muncul perbedaan itu? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu memperoleh jawaban yang memadai supaya orang punya gambaran lengkap tentang pelanggaran HAM pada zaman Orde Baru yang dialami Onghokham.

Seperti sudah disebut, akhirnya Onghokham dibebaskan pada 27 September 1966. Dengan meneliti surat-menyurat antara Herbert Feith, Benedict Anderson, Ruth McVey, Lance Castle dan Onghokham, Reeve mendapati bahwa pembebasan itu adalah pembebasan kedua. Begitu ditahan di kamp militer dekat Lapangan Banteng pada Maret, Onghokham ternyata sudah sempat dibebaskan pada bulan Mei, tapi kemudian ditahan lagi di Glodok pada Juli sampai September.

Selain lamanya ditahan, Reeve akhirnya dapat memastikan bahwa Onghokham ditahan karena dia sempat berteriak “Hidup PKI!” (melihat pembunuhan orang-orang PKI yang baginya sama sekali tidak bersalah) dan kecurigaan tentara bahwa dia adalah sumber utama Cornell Paper,[28]  yang secara garis besar menyimpulkan bahwa G30S adalah akibat dari perpecahan internal dalam tubuh ABRI, berlawanan dengan versi resmi bahwa G30S adalah ulah PKI. Ketika untuk pertama kalinya ditahan, tentara sebenarnya menemukan surat Ruth McVey dalam kantong celana Onghokham yang berisi garis besar Cornell Paper. Semula kalangan militer tidak begitu peduli pada surat ini. Tapi, ketika muncul kabar tentang Cornell Paper, yang dibuat oleh tiga peneliti dari Universitas Cornell, Benedict Anderson, Ruth McVey, dan Fred Bunnell, militer menjadi sangat khawatir. Segera mereka ingat pada surat Onghokham dan karena itu Onghokham kembali ditangkap.

Dalam keadaan jiwa yang begitu guncang, Onghokham jelas butuh perawatan. Soedjatmoko menganjurkan nama dokter Kusumanto Setyonegoro yang pernah merawatnya akibat depresi karena dipenjara pada zaman pendudukan Dai Nippon tahun 1944. Setelah rangkaian pemeriksaan, dokter Kusumanto memastikan bahwa Onghokham tidak menderita skizofrenia alias sakit jiwa paling parah. Onghokham dinyatakan menderita sejenis depresi yang bisa diatasi dengan obat-obatan serta konseling. Berkat perawatan dokter jiwa Kusumanto, Onghokham bisa jadi sudah sembuh dari depresi yang dideritanya. Tapi Ben Anderson mengamati adanya perubahan pada diri sobatnya.

Dia sudah banjak berubah, ngomongannja sering katjau dan emosional, ketawanja sedikit. Dia tjerita pada saja bahwa dia sulit tidur dan sering dihantui impian buruk jang mengerikan. Untuk pertama kali dalam hidupnja dia banjak minum alkohol, katanja supaja bisa tidur, dan tanpa mimpi buruk.[29]

Jelas guncangan jiwa yang dialami Onghokham akibat perlakuan rezim diktator militer meninggalkan bekas sangat dalam dan tidak tersembuhkan. Strok yang akhirnya diidap Onghokham pada akhir hidupnya bisa-bisa muncul karena dia terlalu banyak menenggak minuman beralkohol. Jelas terlihat betapa perlakuan yang dialami Onghokham akhirnya merupakan penyebab kematiannya, walaupun dibutuhkan waktu 40 tahun lebih.

Dokter Kusumanto juga bertanya soal kehidupan seksual pasiennya. Onghokham menjawab bahwa dia menyukai sesama pria dan berpendirian tidak akan secara terbuka menyatakan orientasi seksualnya, tapi juga tidak akan menyangkal.[30]

Dalam biografi ini Reeve banyak mengungkap kehidupan asmara Onghokham, termasuk beberapa pasangannya. Reeve berkisah tentang Anung, pasangan serius pertama Onghokham yang kemudian mengembara ke New York, sampai Jatmiko, pasangan terakhirnya. Sebagai seorang keturunan Tionghwa, ternyata Onghokham lebih menyukai pria-pria Jawa, walaupun ia sempat berpacaran serius dengan seorang pria Tionghwa juga, tapi putus karena orang ini sering cemburu. [31]

Yang mungkin paling menarik diungkap adalah petualangan Onghokham di Malang pada 1967. Ketika itu dia duduk di samping seorang prajurit saat menonton pertunjukan wayang kulit. Kaki-kaki mereka bersentuhan dan terus menempel sepanjang pertunjukan. Selesai menonton, mereka menuju ke sebuah taman dan berhubungan intim. Prajurit itu kemudian terus-terusan bertanya kenapa Onghokham tidak mengecupi sekujur tubuhnya seperti dilakukan orang lain. Rupanya yang dimaksud orang lain itu adalah prajurit yang lebih senior dan berdiri tidak jauh dari mereka. Onghokham mengaku sempat kepingin juga, tetapi terlalu malu.[32]

Mungkinkah langkah ini merupakan pembalasan Onghokham terhadap perlakuan militer terhadapnya? Kalau menggunakan kaidah zaman sekarang, balas dendam itu jelas mungkin sekali, terutama karena tentara atau polisi akan dihukum kalau sampai berani melakukan hubungan intim sejenis. Tetapi peristiwa ini terjadi pada 1967, tatkala negara dan hukum masih belum begitu jauh menjarah masuk dalam kehidupan pribadi warga. Soal bagaimana Onghokham membalas perlakuan tentara terhadapnya harus dicari pada aspek lain kehidupannya.


Skripsi dan Balas Dendam Tersamar

Pada 1967, Onghokham sedang sibuk menulis skripsi tentang berakhirnya penjajahan Belanda di Indonesia, tepatnya selama periode 1939 sampai 1942. Desember tahun itu ia menyurati Benedict Anderson untuk berkabar tentang pekerjaan ini, juga informasi tentang sumber-sumber yang dipakai, yaitu terbitan tahun 1940-an dan berbahasa Belanda. Ketika itu pembimbingnya tidak lain adalah Nugroho Notosusanto.[33] Onghokham butuh waktu setahun untuk menyelesaikan karya masif setebal 300 halaman ini, yang diberi judul Runtuhnya Hindia-Belanda. David Reeve mencatat bahwa pada saat itu penulisan sejarah di Indonesia selalu berpusat pada perjuangan kemerdekaan. Onghokham justru melenceng dengan menulis tentang roda kekuasaan kolonial Belanda.

Sebelum membahas isi skripsi itu, terlebih dahulu perlu dicatat pandangan Onghokham terhadap kolonialisme Belanda.

Sebagai negara kecil di laut Utara, laksana mukjizat saja Belanda bisa menguasai kepulauan Nusantara. Ini jelas meningkatkan pamor Belanda di Eropa. Sampai-sampai negara kolonial lain yang jelas lebih besar (misalnya Prancis) mengikuti perkembangan tanah ini. Onghokham tertarik melihat dampak penjajahan negara kecil atas Indonesia yang luasnya sampai tidak terbayangkan oleh kebanyakan orang Belanda pada waktu itu.

Dalam catatan Reeve, bagi Onghokham, kecilnya Belanda terlihat pada bahasanya yang bukan merupakan bahasa internasional. Jumlah penuturnya, juga pada zaman kolonialisme dulu, tidak sebanyak penutur bahasa Inggris atau bahasa Prancis.[34] Di Asia, jajahan Belanda juga cuma Indonesia. Bandingkan dengan Inggris yang menguasai India, Burma, dan semenanjung Malaya; atau Prancis yang menguasai Vietnam, Laos, dan Kamboja. Jika Indonesia dijajah oleh Inggris, Prancis, atau Amerika Serikat (yang pada akhir abad ke XIX menggantikan Spanyol dalam menjajah Filipina), maka mereka akan membawa wawasan internasional yang lebih luas, bahkan kesadaran akan adanya Samudra Pasifik, Amerika Latin, dan tentunya bagian Asia yang lain. Wawasan non-Eropa Belanda adalah Indonesia, sebaliknya Indonesia memandang dunia menggunakan “wawasan sempit” Belanda.

Akhir kolonialisme seperti inilah yang ditulis Onghokham sebagai topik skripsi sarjana sejarah. Menurut Reeve, skripsi yang 20 tahun kemudian (1987) terbit sebagai buku ini bisa dibaca dalam tiga makna. Makna pertama, dengan data begitu kaya, penuturannya terbaca seperti novel (sesuatu yang menyenangkan Ong). Makna kedua, hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman pribadi Onghokham dan keluarganya di Surabaya dan Malang, terutama tahun-tahun 1940 sampai 1942. Makna ketiga adalah kekejaman Kempetai, dinas intel Jepang. Soal yang terakhir, demikian menurut Reeve, sebenarnya Onghokham menulis tentang Orde Baru yang telah memenjarakannya. Onghokham membenarkan hal ini dalam wawancara dengan Reeve pada 2002.

Onghokham masih menambahkan satu makna lagi. Makna keempat: bahwa pemerintahan tanpa akar dukungan masyarakat pasti akan gagal, apakah itu penjajahan Belanda atau pemerintahan orang Indonesia sendiri: Orde Baru.[35]

Ada dua hal yang dapat dikatakan terhadap pendirian Onghokham ini. Pertama, jelas kritik terhadap apa yang disebutnya pemerintah tanpa akar dukungan ini diarahkan terhadap Orde Baru. Di sini tampak Onghokham melakukan balas dendam, hanya setahun setelah dia bebas dari tahanan si rezim tangan besi. Kedua, balas dendam itu bersifat tidak langsung, bahkan agak tersamar, karena Onghokham tidak langsung menulis tentang kekejaman Orde Baru, tapi tentang kekejaman Kempetai, dinas telik sandi bala tentara pendudukan Jepang. Onghokham melakukan telunjuk berkait, seolah-olah itu terarah ke Jepang, tapi kemudian ternyata berbelok arah menuding Orde Baru.

Mengkritik Orde Baru secara tidak langsung seperti ini sering dilakukan Onghokham setelah dia pulang dari studi lanjutan di AS, pada Universitas Yale, di bawah bimbingan Harry Benda, sejarawan keturunan Yahudi kelahiran Ceko. Salah satu contohnya ketika elite politik Jakarta geger pada September 1976 dalam peristiwa yang disebut affair Sarwito Kartowibowo. Singkat cerita, pensiunan pegawai negeri ini menghimpun tanda tangan tokoh masyarakat seperti mantan wakil presiden Mohammad Hatta, Jenderal T. B. Simatupang, dan Kardinal Darmojuwono dalam dokumen yang mendesak orang kuat Orde Baru supaya mundur saja dan menyerahkan wewenang kepada Hatta.[36]

Onghokham yang belum lagi setahun kembali dari studi lanjut di Amerika, mengantongi gelar doktor sejarah dari Universitas Yale, merespons dengan menulis dua kolom di mingguan Tempo. Dua kolom itu menurut Reeve cukup membuat kejutan sekaligus mengumumkan kehadiran kembali Onghokham dalam debat publik tanah air. Di sana ia menjelaskan konsep kekuasaan dalam tradisi Jawa. Di Jawa, kekuasaan bersumber pada wahyu, bukan dukungan rakyat. Onghokham juga menulis tentang tradisi Jawa dan perilaku raja-raja Jawa. Dia sama sekali tidak menulis tentang Orde Baru atau orang kuatnya.

Di satu pihak, pembaca Tempo pasti maklum bahwa telunjuk Onghokham berkait. Dia memang menunjuk tradisi Jawa sekaligus mengecam perilaku raja-raja Jawa. Tapi jelas Onghokham tidak hanya berbicara tentang Jawa. Telunjuknya pasti juga berbelok menuding Orde Baru. Ini jelas merupakan kesimpulan khalayak ramai, pembaca mingguan Tempo khususnya. Di lain pihak, pantas dipertanyakan apakah rezim Orde Baru dan orang kuatnya juga punya pemahaman serupa. Sudah terbiasa dari awal untuk bertindak bengis dan kejam, bisa jadi Orde Baru, terutama gembong-gembongnya, sudah kebal kritik. Mereka bisa-bisa tidak lagi punya kepekaan terhadap hal-hal yang implisit, seperti tulisan Onghokham tentang tradisi Jawa ini. Baik kecerdasan maupun hati nurani kalangan penguasa seperti mereka pasti juga sudah tumpul. Dengan kata lain, pesan yang ingin disampaikan Onghokham kemungkinan besar tidak sampai pada penguasa Orde Baru.

Walau begitu, Ruth McVey tetap menyebut tulisan-tulisan tidak langsung seperti tulisan Onghokham sebagai “cara efektif untuk menghindari sensor.”[37] McVey menulis bahwa Orde Baru hanya menyediakan ruang sempit bagi kebebasan ekspresi kalangan pembangkang. Karena itu orang berpaling pada sejarah, menunjuk aspek-aspek penting masa lampau dalam menghadapi masalah masa kini. Menariknya, dalam surat kepada Ben Anderson, Onghokham menulis betapa dia merasa geli dengan kasus Sawito ini. “Lucu, jenaka bercampur seram. Ini membuat tokoh-tokoh yang menandatangani dokumen Sawito tampak konyol,” demikian Reeve mencuplik surat itu.[38]

Di sini terlihat betapa akibat penindasan rezim diktator, Onghokham memilih taktik dua pendapat, yaitu pendapat umum dan pendapat pribadi. Dalam menulis untuk khalayak umum dia selalu berpaling pada sejarah, sedangkan dalam bersurat-suratan (terutama dengan teman-teman di luar negeri) ia lebih bersikap terus terang. Menghadapi taktik dua pendapat ini saya terdorong untuk bertanya mengapa Onghokham tidak langsung saja mengadakan penelitian terhadap asal-usul kesewenang-wenangan Orde Baru; seberapa jauh watak otoriter ini bisa ditelusur dalam sejarah; dan bagaimana pula alur genealogisnya? Juga, bagaimana sebenarnya sejarah Indonesia sampai bisa melahirkan rezim tangan besi seperti Orde Baru?

David Reeve sendiri ternyata juga tidak bertanya kenapa Onghokham tidak melakukan penelitian terhadap asal-usul Orde Baru. Dia malah membandingkan Onghokham dengan Sartono Kartodirdjo, sejarawan Universitas Gadjah Mada lulusan Universiteit van Amsterdam. Di AS, Onghokham menulis disertasi tentang Madiun, Jawa Timur, sedangkan disertasi Sartono tentang pemberontakan petani Banten [yang waktu itu berada] di Jawa Barat. Bagi Sartono, yang penting adalah struktur, bukan peristiwa. Bagi Onghokham, yang penting justru peristiwa, peristiwa sejarah tertentu dalam semua perincian dan keistimewaannya. Onghokham menggunakan struktur sosial yang juga tengah mengalami perubahan untuk menjelaskan kenapa muncul suatu peristiwa sejarah tertentu.[39] Di balik komparasi Reeve yang sangat canggih dan patut diacungi jempol ini, saya hanya ingin bertanya: di mana letak akar sejarah dan asal-usul Orde Baru di sini?

Harus diakui Onghokham tidak terus-terusan menulis secara tidak langsung begitu. Tatkala orang kuat Orde Baru akhirnya, setelah 32 tahun bertengger dalam kekuasaan, mundur juga, ia termasuk orang pertama yang menulis tentang peristiwa bersejarah ini.[40] Bisa ditebak Onghokham menulis tentang pengertian Jawa lèngsèr keprabon (berarti raja turun takhta) yang waktu itu, Mei 1998, banyak dibicarakan orang. Selain menulis bahwa dalam sejarah Jawa hanya ada dua orang raja yang benar-benar turun takhta, yaitu Hamengku Buwono VII dan Mangkunegoro VI, dalam tulisan ini Onghokham tidak hanya menyebut Sukarno diktator. Dia juga sudah berani menulis bahwa: “Soeharto menjadi penguasa mutlak (absolut) karena, seperti raja-raja Jawa, beliau adalah Paku Buwana. Bila Paku itu dicabut maka Buwana (alam semesta) akan kiamat.”

Tulisan itu bukan saja menegaskan bahwa Onghokham bisa menulis langsung. Jelas pula bahwa Onghokham juga tidak lagi menempuh taktik dua pendapat: pendapat di luar untuk umum yang berbeda dengan pendapat di dalam untuk kalangan sendiri. Kalimat itu terasa sebagai pancingan atau isyarat bahwa Onghokham akan mengadakan penelitian lebih lanjut untuk menjawab pertanyaan bahwa dunia belum juga kiamat walaupun orang kuat Orde Baru sudah terjungkal.

Sebelum sejauh itu, Onghokham justru menjelaskan bahwa selama berkuasa Soeharto menerapkan dua jenis politik: politik simbolisme Jawa yang jelas terlihat dan politik seorang penguasa mutlak yang tidak [begitu] kelihatan. Yang terlihat adalah pemindahan topeng Gajah Mada dari Bali dan gong keramat dari Keraton Solo ke Istana Merdeka. Kemudian pelbagai upayanya sekitar Semar, termasuk dokumen peralihan kekuasaan dari Sukarno yang disebutnya Supersemar. Menurut Onghokham, itu berarti bahwa Soeharto merasa diri menjadi satu dengan Semar atau Semar menjelma dalam dirinya. Dalam dunia pewayangan, Semar adalah lambang rakyat. Sedangkan politik seorang penguasa mutlak yang dijalankan Soeharto, demikian Onghokham, adalah upayanya untuk menundukkan elite politik, kultural, dan sosial masyarakat. Para menteri pembantu presiden, sebagaimana pembantu rumah tangga Indonesia, juga menjadi pembantu keluarga Soeharto.

Kritik yang lumayan tajam dan mengena ini, sayangnya, tidak diikuti dengan studi atau penelitian mendalam terhadap asal-usul pemerintahan mutlak Soeharto, atau kajian tentang budaya Jawa sebagai asal-usul kekuasaan absolutnya. Karangan tentang Soeharto yang dipaksa mundur itu berakhir dengan harapan bahwa sejarah Indonesia tidak lagi berputar sebagai siklus melainkan evolusioner yaitu berkembang maju. Untuk itu, menurut Onghokham, Indonesia memerlukan oposisi yang kuat dan kritis; bukan penguasa yang kuat.

Onghokham sempat sedikit menyinggung asal-usul Orde Baru dalam kata pengantar bukunya Dari soal Priyayi sampai Nyi Blorong, terbit tahun 2002. Tulisnya: “Studi [karya H.J. Benda tentang petani Jawa abad XIX] ini mempertajam fokus saya tentang zaman kolonial, yang pada 1930-an mirip dengan Orde Baru.”[41] Sayang Onghokham tidak menguraikan lebih lanjut kemiripan seperti apa yang dimaksudkannya, dan apakah dia bermaksud menelusuri lebih dalam lagi kemiripan itu. Yang jelas, periode 1930-an belum begitu memperoleh perhatian dalam historiografi Indonesia, sementara di bagian dunia lain (Jepang, Italia, Jerman) fasisme tengah berjaya.

David Reeve menulis bahwa pada 1994 Onghokham bertemu pasangan terakhirnya, Jatmiko, seorang pria Jawa yang tinggi, ganteng, berpendidikan, dan kosmopolitan. Sebelum Jatmiko, Onghokham sempat berpasangan dengan beberapa orang lain, termasuk seorang Tionghwa, Chandra, yang ternyata cemburuan. Dengan Jatmiko yang mendampingi Onghokham sampai ajal, demikian David, Onghokham merasa telah melakukan balas dendam terhadap Sucipto, pasangannya sebelum itu, yang mengembara ke Eropa. Jatmiko adalah balas dendam paling manis Onghokham terhadap Cipto, demikian tulis Reeve.[42] Kalau memang benar demikian, balas dendam ini pasti tidak hanya berkisar pada soal asmara. Kita pantas bertanya mengapa Onghokham tidak melakukan balas dendam terhadap Orde Baru yang pernah menahannya?

Dalam hal ini menarik bahwa menjelang akhir biografinya,Reeve menekankan cita-cita Onghokham yang tidak tercapai yaitu menulis beberapa buku, antara lain buku tentang semua aspek sejarah dan kehidupan Jawa. Bahkan menurut Reeve buku yang tidak sempat ditulis Onghokham ini juga paralel dengan buku Fernand Braudel (sejarawan Prancis pujaan Onghokham) tentang “jati diri Prancis”. Reeve sampai berani menegaskan bahwa Onghokham ingin sekali menulis buku tentang “jati diri Jawa”.[43] Mungkinkah ini termasuk sejarah Orde Baru yang begitu kejam yang sejauh ini hanya ditulis secara tidak langsung dalam skripsinya tentang runtuhnya Hindia Belanda? Orde Baru sudah mengganyang habis kalangan kiri Indonesia yang adalah juga teman-teman Onghokham. Bisa dipastikan sejarah rezim kanan tangan besi ini juga sangat menarik bagi Onghokham.


Tuyul di Rumah Arief Budiman

Sebagai penutup, ada baiknya mengakhiri karangan ini dengan lanjutan kisah awal di atas yaitu tentang Arief Budiman. Maklum, dia adalah salah satu teman Onghokham dan, yang terpenting, dosen terkasih saya. Tanpa menyebut tahun, Reeve menulis bahwa Onghokham berkenalan dengan Arief Budiman di rumah penyair Bibsy Soenharjo yang sering didatangi mahasiswa dan cendekiawan ibu kota. Tampaknya itu awal 1960-an, ketika Arief masih bernama Soe Hok Djin. Arief datang ke rumah Bibsy bersama perupa Zaini dan Onghokham sangat terkesan melihat Arief duduk di lantai sambil memainkan gitar.[44]

Sama-sama keturunan Tionghwa, Soe Hok Djin berbeda sekali dengan Onghokham. Pertama, keduanya berbeda generasi (Onghokham kelahiran 1930-an, Arief 1940-an), Onghokham dibesarkan di Surabaya (Jawa Timur), Arief di Jakarta. Sama-sama kuliah di Universitas Indonesia, Onghokham mendalami sejarah dan Arief psikologi. Sama-sama melanjutkan kuliah di AS sampai meraih gelar doktor, Onghokham menekuni sejarah di Universitas Yale, Arief ganti menekuni sosiologi di Universitas Harvard. Keduanya menulis tentang sejarah masa lampau, Onghokham tentang Madiun pada abad 19, Arief tentang Chile di bawah Salvador Allende, presiden yang beraliran sosialis. Begitu seterusnya: dari beberapa butir persamaan ternyata terungkap banyak juga perbedaan.

Dalam biografi ini, Reeve mencatat kesan Arief Budiman terhadap Onghokham pada tahun 1960-an, saat persahabatan mereka berawal. Onghokham, kata Arief, tidak pernah menghargai waktu dan privasi orang lain. Dia datang bertamu tengah malam dan mengajak tuan rumah bicara sampai dini hari. Dia selalu memaksa orang, keras kepala, dan tidak akan mendengarkan orang lain begitu punya pendapat sendiri. Dia egois, individualis, dan tidak pernah berhenti bicara. Tapi Arief tidak bisa membenci Onghokham, dia harus mengasihinya. Sebab, Onghokham akan menjelaskan satu masalah sampai menjadi sangat jelas, dan membahas pelbagai tokoh politik, serta posisi orang Tionghwa di Indonesia.[45]

Menurut Arief Budiman, Onghokham selalu membanggakan orang Jawa, sering tergila-gila oleh gagasannya sendiri tentang Jawa dan budaya Jawa. Arief melihat betapa luas pengetahuan Onghokham tentang Jawa. Walau demikian, Arief menilai Onghokham tidak berperilaku seperti orang Jawa. Baginya Onghokham lebih mirip orang Batak yang energik dan langsung tunjuk.

Arief Budiman adalah salah seorang penandatangan Manifesto Kebudajaan, lebih terkenal dengan sebutan Manikebu (ejekan pihak lawan yaitu para seniman Lekra). Onghokham, dalam catatan Reeve, menganggap pertentangan antara Lekra dengan Manikebu cuma sebagai ribut-ribut antara Wiratmo Soekito, Pramoedya Ananta Toer, dan Sitor Situmorang.[46] Mungkin karena merekalah yang paling sibuk melakukan keributan, sedangkan Arief Budiman (yang waktu itu masih menggunakan nama lahirnya) bisa jadi masih terlalu junior untuk memperoleh perhatian Onghokham. Onghokham sendiri lebih sering mengejek kalangan Manikebu ketimbang Lekra, karena menurutnya orang-orang Lekra tidak bisa diajak bergurau.

Ketika Arief sudah kembali dari AS dan bekerja di Salatiga, pendapatnya tentang Onghokham tidak begitu berubah. Menurut Arief, Onghokham memperlakukan seluruh dunia seperti miliknya sendiri. Dia sering tiba-tiba nongol dan walaupun tuan rumah tidak ada dia akan minta makan dan masuk kamar tamu. Bahkan Onghokham berani berkata bahwa rumah yang dirancang Romo Mangunwijaya itu terlalu bagus untuk Arief. Langsung bicara kepada Arief, Onghokham mengatakan dialah yang lebih pantas mendiami rumah itu. Tapi Arief juga memuji kepandaian Onghokham memasak.[47]

Reeve juga menulis pendapat Onghokham tentang tuyul. Pada Oktober 1985, Onghokham tampil di Semarang sebagai pembicara dalam konferensi tentang makhluk kecil jadi-jadian dalam tradisi Jawa ini. Reeve pertama kalinya menulis tentang topik ini pada buku kenangan Onghokham yang terbit pada 2007.[48] Dalam biografi ini ia meringkasnya: dalam kepercayaan Jawa, tuyul bertugas mencuri uang dan perhiasan. Itu berarti secara umum orang Jawa tidak membenarkan kekayaan. Kepercayaan akan tuyul bisa juga dikatakan sebagai protes terhadap orang kaya, penolakan kalangan proletariat pedesaan terhadap penumpukan kekayaan.[49]

Rasionalisasi atau penalaran tuyul seperti ini sebenarnya bukan pemikiran historis. Dengan berpendapat demikian Onghokham tidak tampil sebagai seorang sejarawan. Ia lebih memberi makna antropologis terhadap tuyul dalam tradisi orang Jawa. Dengan pendapat ini tampak jelas betapa Onghokham telah melebarkan sayap, tidak hanya menyibukkan diri dengan sejarah.

Karena ada di Semarang, Onghokham hanya butuh waktu sejam untuk melanjutkan perjalanan ke Salatiga, menemui sahabatnya, Arief Budiman. Dibanding dua tahun sebelumnya, tatkala Onghokham pertama kali datang, situasi kampus Satya Wacana sudah berubah. Di kampus menjamur kelompok diskusi mahasiswa, aktivitas khas mahasiswa 1980-an. Dalam jenjang sarjana (setelah lulus sarjana muda) saya bergabung dalam redaksi Gita Kampus, penerus Gita Mahasiswa. Kami segera berhimpun menyambut Onghokham yang menurut Arief Budiman akan bicara tentang tuyul. Akankah Onghokham mengulang ceramahnya di Semarang yang sudah ramai jadi pemberitaan pers? Begitu kami bertanya-tanya setengah tidak percaya.

Ternyata, omongan Onghokham tentang tuyul di Salatiga tidak sama dengan di Semarang, dan dengan begitu sedikit berbeda dengan ringkasan yang ditulis David Reeve dalam biografinya. Berlangsung di rumah baru Arief Budiman hasil rancangan Romo Mangunwijaya, Onghokham menyesuaikan pembicaraannya dengan selera si tuan rumah. Maklum, waktu itu Arief Budiman dikenal sebagai penganjur pembangunan sosialisme yang lebih menjamin pemerataan pendapatan, terutama bagi rakyat miskin. Berpegang pada sosialisme, Arief juga mengecam pembangunan model kapitalisme yang dilancarkan rezim Orde Baru. Politik pembangunan rezim ini hanya menguntungkan orang kaya dan semakin memelaratkan kalangan miskin.

Jalur pemikiran Arief Budiman ini sepenuhnya dipahami Onghokham. Tapi, dasar Onghokham, dia memulai pembicaraannya dengan pernyataan bahwa tuyul bukan saja dikenal dalam budaya Jawa. Orang Barat, tandasnya, juga punya tuyul! Tentu kami tidak percaya, tapi makin penasaran, ingin tahu siapa tuyul versi Barat itu? Dengan ketus Onghokham berkata, “Marx”. Segera kami terbahak, merasa dikibuli. Setelah melihat semua hadirin ingin mendengarkan ceritanya lebih lanjut, Onghokham segera bertutur dengan serius.

Menurutnya, tradisi orang Jawa bukan hanya komunalisme tapi juga sosialisme. Ia segera menyebut peribahasa Jawa, mangan ora mangan anggeré kumpul (makan tidak makan sebaiknya berkumpul). “Itulah sosialisme à la Jawa,” katanya pula. Maka, kalau ada orang Jawa yang mendadak kaya, masyarakat sekitarnya langsung kasak-kusuk soal tuyul. Mereka curiga si orang bisa kaya mendadak karena memelihara setan kecil bermulut vertikal dengan tugas mencuri uang dan perhiasan para tetangga untuk pemiliknya. Karena mendadak kaya, jelas orang itu bukan lagi sosialis, dia sudah jadi kapitalis. Dan si tuyul dianggap biang-keladi munculnya jurang lebar kaya miskin, apa yang dalam kosakata Marxis disebut polarisasi kelas. Mereka yang kaya terus melejit dalam kekayaan sementara yang miskin makin tenggelam dalam kemelaratan. Menurut Ong, gagasan tuyul dalam tradisi Jawa pas dengan pemikiran Marx yang anti-borjuasi, anti orang kaya.

Kembali tampak bahwa dalam soal tuyul ini Onghokham tidak berbicara mengenai sejarah, melainkan antropologi. Dalam konteks antropologi seperti ini, Onghokham berkata bahwa sebagai penganjur sosialisme Arief tidak pantas tinggal di rumahnya yang begitu indah. Dialah yang lebih pantas!

Pada dekade 1990an, beberapa kali saya bertemu Onghokham di Amsterdam. Beberapa kali pula saya antar dia jalan kaki ke Pecinan Amsterdam, beli segala macam sambal atau bumbu-bumbu lain. Yang cukup membelalakkan mata, pada suatu kesempatan dia juga membeli serentetan pisau untuk mengiris pelbagai macam daging, ikan, sayuran dan bumbu-bumbu lain sebelum dimasak. Dia paham bilah-bilah pisau itu harus dimasukkan koper kalau dia, dalam beberapa hari kemudian hwee cia alias pulang ke Jakarta. Dia tidak akan diperbolehkan membawa sendiri benda-benda tajam itu ke dalam pesawat. Itulah kenikmatan bicara dengan Onghokham, kami selalu menggunakan kata-kata bahasa/dialek Hokkein. Jadi bahasa Belanda yang sudah kami gunakan sejak pertemuan pertama tahun 1983, masih ditambahi beberapa kata Hokkien: jiek fuen atau hong giam. Betapa istimewa rasanya. Sedangkan dalam berbicara bahasa Belanda jelas terdengar bahwa Ong adalah orang sekolahan, ia pernah duduk di bangku sekolah Belanda. Kefasihannya berbahasa Belanda terdengar dari seringnya dia gunakan peribahasa dan perumpanaan (uitdrukkingen) dan tata bahasanya juga sempurna, walau pun kosakatanya agak ketinggalan zaman (karena tidak hidup di Belanda). Berbeda sekali dengan saya yang hanya memperoleh pelajaran bahasa Belanda di rumah, dari kakek dan nenek.

Walau sudah lulus HBS, sekolah menengah Belanda, di Surabaya pada 1953, David Reeve dalam biografi ini mencatat bahwa Onghokham mengulang lagi kelas terakhir SMA di Bandung untuk belajar bahasa Indonesia. Maklum di sekolah Belanda, Ong tidak belajar bahasa Indonesia. Dia fasih bahasa Belanda, Jerman, Prancis dan Inggris, tapi tidak bisa berbahasa Indonesia. Pantas saja kalau redaksi mingguan Star Weekly sampai menyebut bahwa dalam menulis Ong tetap berpikir dalam bahasa Belanda, karena walau pun tertera dalam bahasa Indonesia, tulisannya sulit dipahami, mereka harus sering melakukan perombakan bahasa/susunan kata.[50] Walau demikian, kenyataan bahwa dia sampai mengulang lagi kelas terakhir SMA, bagi Reeve, berarti bahwa Onghokham telah memilih Indonesia, tidak memilih Belanda, seperti tidak sedikit keturunan Tionghwa lain, termasuk beberapa sanak Ong yang pindah ke Belanda. Selain itu, pengulangan SMA ini juga berarti bahwa menjadi Indonesia bagi Ong dan keluarganya merupakan keputusan serius yang telah mereka pertimbangkan matang-matang.[51] Bukan hanya kali ini Ong memilih Indonesia. Sesudah meraih gelar doktor dalam ilmu sejarah pada Universitas Yale, dia juga memilih hwee cia (pulang) ke Jakarta. Walau punya kesempatan, tidak ditempuhnya karier sebagai akademikus di Amerika. Itulah untuk kedua kalinya Ong memilih Indonesia, demikian David Reeve.[52]

Dalam biografi ini David Reeve tidak hanya menampilkan Onghokham pada puncak kariernya sebagai sejarawan celebrity[50] yang diramaikan dalam pemberitaan pers. Sebelum itu, Reeve juga menulis betapa Onghokham sempat menjadi korban yang sampai dua kali mengalami penahanan, dan karena itu terguncang oleh gangguan kejiwaan. Sesungguhnya, dalam menampilkan Onghokham sebagai korban rezim Orde Baru, masih perlu diungkap juga siapa sebenarnya otak yang bertanggung jawab terhadap penahanannya! Apakah itu si diktator sendiri? Atau orang lain di bawahnya? Bagaimana pula rantai komandonya? Sejarah seperti inilah yang masih perlu diteliti dan dibuka selebar-lebarnya. Dengan begitu akan menjadi jelas bahwa memang sudah sejak awal kekuasaannya, rezim kanan tangan besi ini bertindak semena-mena.***


Joss Wibisono adalah sejarawan lulusan Kajian Holocaust dan Genosida Universiteit van Amsterdam


Catatan Akhir

[1] Onghokham, “Tentang Nama-nama Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghwa,” dalam Riwayat Tionghwa Peranakan di Jawa, (Depok: Komunitas Bambu, 2005), halaman 135-149.

[2] David Reeve, To Remain Myself: The History of Onghokham, (Singapura: NUS Press, 2022), halaman 14.

[3] David Reeve, To Remain Myself), halaman 103.

[4] Mely G. Tan, “Onghokham: seorang yang lain dari yang lain”, dalam David Reeve, JJ Rizal, Wasmi Alhaziri, (editor), Onze Ong: Onghokham dalam kenangan, (Depok: Komunitas Bambu, 2007), halaman 238.

[5] David Reeve, To Remain Myself, halaman 104-105.

[6] David Reeve, To Remain Myself, halaman 88.

[7] David Reeve, To Remain Myself, halaman 254.

[8] David Reeve, To Remain Myself, halaman 106.

[9] Paoke Hudyana, “Onghokham dalam kenangan keluarga,” dalam David Reeve, JJ Rizal, Warmi Alhaziri, (editor), Onze Ong: Onghokham dalam kenangan, (Depok: Komunitas Bambu, 2007), halaman 266.

[10] David Reeve, To Remain Myself, halaman 113.

[11] David Reeve, To Remain Myself, halaman 134.

[12] Benedict Anderson, “Onghokham Muda”, dalam David Reeve, JJ Rizal, Wasmi Alhaziri, editor, Onze Ong: Onghokham dalam kenangan, (Depok: Komunitas Bambu, 2007), halaman 58.

[13] David Reeve, To Remain Myself, halaman 139.

[14] David Reeve, To Remain Myself, halaman 142.

[15] Onghokham, Sapta Marga berkumandang di Sumatra: Operasi2 Menumpas Pemberontakan “P.R.R.I”, (Djakarta: Mega Bookstore dalam kerdjasama dengan Pusat Sedjarah Angkatan Bersendjata, 1965), halaman 3.

[16] David Reeve, To Remain Myself, halaman 142.

[17] Ariwiadi, Gerakan Operasi Militer VII, Penjelesaian Peristiwa Atjeh, (Djakarta: Mega bookstore dalam kerdjasama dengan Pusat sedjarah Angkatan Darat, S.A.B. tanpa tahun).

[18] David Reeve, To Remain Myself, halaman 142.

[19] David Reeve, To Remain Myself, halaman 155.

[20] David Reeve, JJ Rizal, Wasmi Alhaziri (penyunting), Onze Ong: Onghokham dalam Kenangan, (Depok: Komunitas Bambu dan Panitia 100 hari Onghokham, 2007).

[21] Douglas Kammen, “World Turned Upside Down: Benedict Anderson, Ruth McVey and the ‘Cornell Paper’”, dalam Indonesia 104 (Oktober 2017, halaman 1-26).

[22] Onghokham, “Statement of Onghokham, Djakarta September 4, 1967, Introduction by Ruth McVey”, Indonesia 85 (April 2008, halaman 126).

[23] David Reeve, To Remain Myself, halaman 160.

[24] David Reeve, To Remain Myself, halaman 158-159.

[25] David Reeve, To Remain Myself, halaman 165.

[26] Jess Melvin, The Army and the Indonesian Genocide, Mechanics of Mass Murder, (London: Routledge, 2018), terutama Bab 3, “The order to annihilate 1-6 October”, halaman 110-137.

[27] Jess Melvin, The Army and the Indonesian Genocide, halaman 1.

[28] David Reeve, To Remain Myself, halaman 166.

[29] Benedict Anderson, “Onghokham Muda”, dalam David Reeve, JJ Rizal, Wasmi Alhaziri, editor, Onze Ong: Onghokham dalam kenangan, (Depok: Komunitas Bambu, 2007), halaman 59.

[30] David Reeve, To Remain Myself, halaman 168.

[31] David Reeve, To Remain Myself, halaman 215.

[32] David Reeve, To Remain Myself, halaman 177.

[33] David Reeve, To Remain Myself, halaman 176.

[34] David Reeve, To Remain Myself, halaman 252.

[35] David Reeve, To Remain Myself, halaman 178.

[36] David Reeve, To Remain Myself, halaman 205.

[37] Ruth McVey, “Onghokham: Bhinneka Tunggal Ika”, dalam David Reeve, JJ Rizal, Wasmi Alhaziri, editor, Onze Ong: Onghokham dalam kenangan, (Depok: Komunitas Bambu, 2007), halaman 289.

[38] David Reeve, To Remain Myself, halaman 205.

[39] David Reeve, To Remain Myself, halaman 198.

[40]“’Prabu’ Soeharto dan Tradisi Monarki Jawa”, Kompas, 5 Juni 1998, halaman 4.

[41] Onghhokham, Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), halaman xxiv.

[42] David Reeve, To Remain Myself, halaman 266.

[43] David Reeve, To Remain Myself, halaman 262-263.

[44] David Reeve, To Remain Myself, halaman 119.

[45] David Reeve, To Remain Myself, halaman 134.

[46] David Reeve, To Remain Myself, halaman 138.

[47] David Reeve, To Remain Myself, halaman 234.

[48] David Reeve, “Onghokham and Tuyul”, dalam dalam David Reeve, JJ Rizal, Wasmi Alhaziri, editor, Onze Ong: Onghokham dalam kenangan, (Depok: Komunitas Bambu, 2007), halaman 95-101.

[49] David Reeve, To Remain Myself, halaman 245.

[50] David Reeve, To Remain Myself, halaman 98.

[51] David Reeve, To Remain Myself, halaman 71-74.

[52] David Reeve, To Remain Myself, halaman 71-74.


Kepustakaan

Anderson, Benedict. (2007). “Onghokham Muda”, dalam David Reeve, JJ Rizal, Wasmi Alhaziri, (editor), Onze Ong: Onghokham dalam kenangan. Depok: Komunitas Bambu.

Ariwiadi, Gerakan Operasi Militer VII, Penjelesaian Peristiwa Atjeh. Djakarta: Mega bookstore dalam kerdjasama dengan Pusat sedjarah Angkatan Darat, S.A.B.

Hudyana, Paoke. (2007). “Onghokham dalam kenangan keluarga,” dalam David Reeve, JJ Rizal, Warmi Alhaziri, (editor), Onze Ong: Onghokham dalam kenangan. Depok: Komunitas Bambu dan Panitia 100 hari Onghokham.

Kammen, Douglas. (2017). “World Turned Upside Down: Benedict Anderson, Ruth McVey and the ‘Cornell Paper’”, dalam Indonesia 104. Oktober 2017, hal.  1-26.

McVey, Ruth. (2007). “Onghokham: Bhinneka Tunggal Ika”, dalam David Reeve, JJ Rizal, Wasmi Alhaziri (editor), Onze Ong: Onghokham dalam kenangan. Depok: Komunitas Bambu.

Melvin, Jess. (2018). The Army and the Indonesian Genocide, Mechanics of Mass Murder. London: Routledge.

Onghokham. (1965). Sapta Marga Berkumandang di Sumatra: Operasi2 Menumpas Pemberontakan “P.R.R.I”. Djakarta: Mega Bookstore dalam kerdjasama dengan Pusat Sedjarah Angkatan Bersendjata.

Onghokham. (2002). “’Prabu’ Soeharto dan Tradisi Monarki Jawa”, dalam Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hal. 215-219.

Onghokham. (2002). Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Onghokham. (2005). “Warga Negara Filipina yang Mempunyai Darah Tionghwa”, dalam Riwayat Tionghwa Peranakan di Jawa. Depok: Komunitas Bambu, 2005, hal. 119-125.

Onghokham. (2005). “Tentang Nama-nama Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghwa,” dalam Riwayat Tionghwa Peranakan di Jawa. Depok: Komunitas Bambu, hal. 135-149.

Onghokham. (2008). “Statement of Onghokham, Djakarta September 4, 1967, Introduction by Ruth McVey”, Indonesia 85 (April 2008, hal. 125-136).

Reeve, David., Rizal, JJ. Alhaziri, Wasmi (editor). (2007). Onze Ong: Onghokham dalam Kenangan. Depok: Komunitas Bambu dan Panitia 100 hari Onghokham.

Reeve, David. (2007). “Onghokham and Tuyul”, dalam dalam David Reeve, JJ Rizal, Wasmi Alhaziri, editor, Onze Ong: Onghokham dalam kenangan. Depok: Komunitas Bambu, hal. 95-101.

Reeve, David. (2022). To Remain Myself, The History of Onghokham. Singapura: NUS Press.

Hudyana, Paoke. (2007). “Onghokham dalam kenangan keluarga,” dalam David Reeve, JJ Rizal, Warmi Alhaziri, (editor), Onze Ong: Onghokham dalam kenangan. Depok: Komunitas Bambu dan Panitia 100 hari Onghokham.

 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.