Partai Politik dan Harapan Kosong Pemilu 2024

Print Friendly, PDF & Email

Foto: Mural Presiden Indonesia (ANTARA/Arif Firmansyah) 


HARAPAN kosong lima tahunan itu mulai berseliweran. 

Masyarakat terpaksa melihat hiruk pikuk partai politik (parpol) yang sedang mempersiapkan jagoannya di Pemilu 2024. Baik parpol maupun elite nasional telah menyiapkan koalisi baru. Ada yang sudah mendeklarasikan bakal calon presiden, ada pula yang masih menimang-nimang. Selain terbentur aturan formal ambang batas dua puluh persen, kekuatan aliansi bisnis dan politik telah menutup rapat kesempatan calon presiden untuk maju tanpa dukungan mereka. Politik Indonesia memang telah berubah setelah Orde Baru tumbang, namun konfigurasi aliansi kekuasaannya tetap sama.

Politik pasca-Orde Baru telah membuka kotak pandora yang selama puluhan tahun dikunci rapat oleh rezim Soeharto, yakni terdistribusinya kekuasaan di berbagai ruang politik, tak terkecuali di tubuh parpol. Parpol yang berkecambah berkembang selama periode ini adalah hasil inkubasi aliansi bisnis dan politik, yang tak pelak menjadi bagian dari proses akumulasi kekuasaan-kapital.

Fakta tersebut terlihat dari relasi-relasi di dalam parpol dengan kekuatan kelas borjuasi. Aliansi bisnis dan politik makin kuat dan mendominasi parpol hari ini. Partai Golongan Karya (Golkar) harus ditempatkan di daftar pertama. Partai bentukan Orba ini tidak hanya terus menjadi pemain penting dalam konstelasi politik hari ini, tapi juga telah melahirkan dan membesarkan klik-klik borjuasi yang membentuk partai-partai baru. Sebut saja Prabowo Subianto yang mendirikan Partai Gerindra; Surya Paloh yang mendirikan Partai Nasional Demokrat (Nasdem), serta Wiranto yang mendirikan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). 

Aliansi bisnis dan politik ini bahkan melumpuhkan tokoh-tokoh reformis yang sebelumnya digadang-gadang menjadi harapan baru. Partai-partai yang mereka dirikan justru tidak punya pengaruh apa pun dalam mendorong proses penghancuran kekuatan oligarki tersebut. Kita saksikan itu pada Amien Rais yang menginisiasi Partai Amanat Nasional (PAN), Megawati Soekarnoputri yang memimpin Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mendaku sebagai partai dari-oleh-dan-untuk kader. Daya hidup dan pengaruh dari parpol-parpol ini sepenuhnya tergantung pada bagaimana konflik dan kolaborasinya dengan kekuatan-kekuatan oligarkis. 

Realitas politik kepartaian tersebut telah menunjukkan ingkarnya janji-janji Reformasi. Warga negara dihadapkan pada harapan kosong atas perubahan politik yang lebih baik pasca-krisis. Demokratisasi yang disuntikkan melalui agenda ekonomi neoliberal pasca-krisis ekonomi Asia (1997) nyatanya tidak membuat corak kekuasaan kita berubah secara substansial. Lembaga-lembaga baru, termasuk rezim elektoralnya, hanya membuat terdistribusinya kekuasaan lama ke medium baru, tak terkecuali parpol. Parpol yang seharusnya menjadi wahana perjuangan politik warga negara lagi-lagi tersandera kekuatan lama yang bengis: oligarki.

Dari fakta tersebut, kita patut skeptis terhadap janji perubahan melalui proses elektoral.


Pendekatan relasi oligarki sebagai analisis

Realitas politik elektoral hari ini dapat dibaca salah satunya dengan pendekatan analisis oligarki. Argumen utama tesis ini, sebagaimana dikemukakan oleh Robison dan Hadiz (2004), adalah bahwa relasi oligarki merupakan sistem relasi kekuasaan yang memungkinkan konsentrasi kekayaan serta pertahanan kekayaan.

Relasi oligarki telah mendasari beroperasinya tatanan ekonomi-politik dan perkembangan sosial yang lebih luas, dipertahankan dan direproduksi melalui aliansi predatoris yang terjalin antara politisi-birokrat dengan pengusaha. Aliansi ini terbentuk karena persaingan kepentingan antara politisi-birokrat yang memiliki sumber daya terbatas dengan pengusaha yang membutuhkan akses ke politik dan hukum. Mereka sama-sama bertujuan mengakumulasi dan mempertahankan kapital dan kekuasaan.

Perlu digaris bawahi bahwa pendekatan ini sering kali dianggap sama dengan pendekatan yang dikemukakan Winters (2010). Secara umum, bagi Winters, oligarki merupakan politik pertahanan kekayaan oleh aktor-aktor (oligark) yang memiliki material melimpah. Aktor-aktor ini terkadang bertindak kolektif, tapi sering pula tidak.

Politik elektoral merupakan salah satu saluran para oligark untuk mempertahankan kekayaan. Oligark dapat memilih untuk mendukung, membiayai, atau bahkan terlibat langsung sebagai elite politik. Praktis, kelompok oligark selalu mengupayakan keadaan kesenjangan material dan politik secara ekstrem. 

Argumen Robison dan Hadiz berbeda. Mereka menekankan pada penguatan hubungan negara dengan kelompok borjuasi. Salah satu argumen pentingnya adalah walaupun Orba telah tumbang, relasi-relasi lama tetap bertahan dan lebih terdistribusi melalui agenda desentralisasi. Lembaga-lembaga politik juga tidak bebas dari pengaruh kekuatan lama ini, termasuk parpol. Kekuatan politik lama ini justru menggunakan parpol sebagai wahana akumulasi kekayaan melalui proses-proses politik. Argumen relasi oligarki percaya bahwa kegagalan liberalisasi ekonomi politik disebabkan oleh relasi kekuasaan yang masih mencerminkan watak otoritarian, tak terkecuali di parpol.


Argumen ”transformasi relasi oligarki”

Pendekatan relasi oligarki dibangun di atas kritik mengenai kelembagaan baru pasca-otoritarian. Argumen penting dari pendekatan ini adalah bagaimana oligarki politik-bisnis secara kompleks mampu mengatur ulang kekuatan mereka dan mengamankan kepentingan kolektifnya. Kita bisa memeriksanya di dua krisis ekonomi Indonesia: krisis moneter 1997 dan krisis pandemi.

Relasi oligarki di masa krisis 1997 mampu menyesuaikan gejolak ekonomi. Oligarki yang kolaps karena menghadapi krisis akhirnya bisa mengorganisasi ulang kekuatannya dan menghadapi ”pendisiplinan pasar”. Robison dan Hadiz menyebutkan bahwa relasi oligarki telah mampu membentuk formasi sosial yang baru dengan cara membajak dan memanfaatkan lembaga-lembaga baru Reformasi.

Relasi kekuasaan yang terbentuk pasca-krisis 1997 terlihat juga pada krisis pandemi 2020, pada bagaimana relasi-relasi politik-bisnis menangani krisis dengan menempatkan kepentingan ekonomi sebagai agenda utama, hingga bagaimana konfigurasi kekuasaan yang bersifat predatoris terkonsolidasi pada situasi krisis kesehatan. 

Setidaknya ada tiga corak kekuatan relasi oligarki yang telah menyesuaikan diri dan bertransformasi pasca-Orde Baru. Pertama, tidak seperti pada era Orde Baru yang aliansi politik-bisnisnya selalu “merepotkan” ekonomi pasar, relasi oligarki pasca-Orde Baru telah mampu beradaptasi dengan kehendak pasar. Ini, misalnya, ditunjukkan dengan penanganan pandemi berbasis kebijakan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang pro-korporasi. Kedua, agenda desentralisasi sebagai resep ampuh pasar pasca-krisis 1997 telah membuat relasi oligarki terdistribusi dan menguat di level lokal. Dari level pemerintah pusat hingga level pemerintah daerah, simpul-simpul formasi politik-bisnis terbentuk dan menguat. Ketiga, terbentuknya kelembagaan baru yang “unik” pasca-Orde Baru yang kelak menjadi medium anyar bagi relasi-relasi oligarki. 

Parpol menjadi medium relasi oligarki yang strategis karena pasca-Orde Baru rezim elektoral menjadi agenda sentral dalam proses pertahanan dan perebutan kekuasaan yang sah. Parpol bahkan muncul sebagai medium peleburan kekuatan kepentingan politik dan bisnis. Sebagaimana dilaporkan Koran Tempo pada 2019, sebanyak 262 atau 45,5 persen dari 575 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) periode 2019-2024 memiliki afiliasi dengan (setidaknya) satu perusahaan atau figur berlatar belakang pengusaha. Belum lagi, hampir setengah parpol di Indonesia diketuai dari latar belakang konglomerat nasional seperti Surya Paloh (Partai Nasdem), Hary Tanoesoedibjo (Perindo), Airlangga Hartarto (Partai Golkar), Suharso (PPP), hingga Tommy Soeharto (Partai Berkarya).


Pemilu 2024 sama saja? 

Selain mengumumkan nama-nama lama, lanskap Pemilu 2024 telah mengorbitkan calon presiden “baru” seperti Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Puan Maharani. Tetapi, kalau kita telisik lebih saksama, di balik nama-nama baru ini bercokol pula para oligark sebagai patronnya. 

Surya Paloh, seorang konglomerat media sekaligus pendiri dan pemilik Partai Nasdem, dalam rapat kerja nasional (Rakernas) Partai Nasdem Juni lalu mengumumkan tiga nama bakal calon presiden 2024 hasil rekomendasi dari seluruh DPW Partai Nasdem: Anies Baswedan, Andika Perkasa, dan Ganjar Pranowo. Ketiganya, ujar Paloh, memiliki peluang yang sama untuk menang dalam Pilpres 2024.

Bahkan baru-baru ini dalam reportase majalah Tempo edisi 25 Juni 2022 terungkap jalinan konsolidasi antara Thomas Lembong (mantan Menteri Perdagangan Jokowi), Sunny Tanuwidjaja (pendiri Partai Solidaritas Indonesia/PSI), dengan Anies Baswedan. Jika laporan Tempo benar, maka cekcok harian antara loyalis Jokowi dan Anies Baswedan yang selama ini terlihat kritis bisa diabaikan.

Ganjar Pranowo menjadi nama capres berikutnya yang sering terdengar. Politisi PDIP ini selalu dibandingkan dengan anak perempuan Ketua Umum PDIP, Puan Maharani, yang juga disebut-sebut sebagai bakal calon presiden. Di luar PDIP, Ganjar didukung oleh elite-elite politik nasional melalui Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) besutan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto. KIB yang merupakan koalisi dari Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan PAN disebut-sebut sebagai “sekoci” Ganjar apabila tidak dicalonkan PDIP. Nama Luhut Binsar Panjaitan, veteran Golkar, tangan kanan Jokowi dan salah satu konglomerat tambang, juga disebut mendukung koalisi. 

Tidak hanya figur-figur baru yang muncul dalam bursa Pilpres 2024. Konglomerat pun turut langsung ‘’turun gunung” meramaikan. Mereka adalah Sandiaga Uno dan Erick Thohir. Laporan Project Multatuli (2020) berjudul ‘’Profil & Peta Koneksi Bisnis dan Politik 10 Oligark Batubara Terbesar di Indonesia di bawah Pemerintahan Jokowi’’ menunjukkan bagaimana geliat bisnis tambang milik keduanya. Keduanya secara masif memperkenalkan diri sebagai bakal calon presiden baik melalui ‘’deklarasi-deklarasi” pendukungnya di berbagai daerah. Celakanya, keduanya merupakan menteri di kabinet Jokowi. Praktis, ini menguntungkan bagi keduanya karena secara mudah memanfaatkan agenda pemerintah untuk kepentingan pencalonan mereka.

Dari konfigurasi politik ini, terlihat jelas bagaimana jagoan capres 2024 itu akan sangat ditentukan oleh relasi oligarki. Walaupun aliansi-aliansi ini masih sangat temporer, jelas bahwa parpol beroperasi bukan berdasarkan pada ideologi dan kekuatan suara arus bawah partai, alih-alih didasarkan pada kepentingan ekonomi politik elite nasional semata.


Mempertimbangkan letupan kekuatan gerakan progresif

Artikel ini memang sangat pesimistis dengan rezim elektoral. Selain karena alasan kelembagaan baru yang menempatkan relasi-relasi sosial lama terutama di tubuh parpol pasca-Orde Baru, lemahnya kekuatan sipil progresif yang terorganisir juga menjadi salah satu faktor utama.

Pendekatan relasi oligarki melihat genosida 1965 secara paripurna menghancurkan kekuatan sipil progresif, lalu rezim militer yang mengambil alih dan melakukan konsolidasi kekuasaan menciptakan aliansi politik-bisnis yang menjadi penuntun pembangunan kapitalisme Indonesia. Di luar itu, pendekatan tradisi pluralis agaknya juga perlu diperhatikan, yaitu sejauh mana kekuatan kelompok progresif mampu berpengaruh pada politik elektoral. 

Aspinall (2014), misalnya, menilai kekuatan dan aktor-aktor lain di dalam sistem politik formal tidak bisa diabaikan begitu saja meskipun relasi kekuasaan didominasi struktur oligarki serta kekuatan-kekuatan lama Orde Baru. Argumen dominan bahwa lemahnya kelompok aktivis dan gerakan sosial kiri disebabkan oleh genosida 1965 tidak begitu kuat. Justru problem kekuatan politik kiri—begitu juga aliansi-aliansi yang tercerai berai—ada pada keterserapan kelompok ini pada struktur politik ‘’arus utama” Indonesia yang didominasi ekonomi kerakyatan dan nasionalis. 

Praktis, kelompok aktivis dan gerakan kiri sebenarnya hanya mengalami problem konsolidasi, yang berarti kekuatan ini terasing saat menghadapi politik formal. Hal ini ini didukung argumen Mietzner (2015) yang menyatakan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir, partai politik ‘’arus utama” telah merekrut mantan-mantan aktivis progresif dan memanfaatkan keterampilan dan kapasitas mereka untuk kepentingan partai. Walaupun ‘’politisi aktivis’’ ini belum mampu mendominasi parlemen daerah maupun pusat, peran mereka cukup signifikan. Katakan saja UU Ketenagakerjaan hingga yang terbaru RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT).

Realitas politik yang cukup menggairahkan semangat juga terlihat pada fenomena populisme kiri di tempat lain yang telah menemukan momentum terbaiknya. Misalnya Bernie Sanders di Amerika Serikat dan Jeremy Corbyn dan Inggris. Mereka secara efektif mengorganisasi gerakan sosial alternatif untuk masuk pada sistem kelembagaan politik formal. Sanders mendeklarasikan diri pada 2016 untuk maju dalam konvensi calon presiden dari Partai Demokrat. Dia telah didukung oleh kerja-kerja kreatif dan konsolidasi yang solid dari akar rumput. Ini yang membuat Sanders berbeda dengan nama-nama calon presiden AS kala itu, seperti Hillary Clinton atau Donald Trump, yang sama-sama keturunan keluarga mapan. 

Sedangkan Partai Buruh di bawah Corbyn menunjukan hasil memuaskan di pemilu 2017. Kemenangan Partai Buruh tidak lain juga karena kekuatan aktivis progresif yang tergabung dalam Momentum, yaitu aliansi gerakan progresif organik yang berafiliasi langsung dengan Partai buruh. Aliansi ini secara konsisten mendorong perubahan di dalam Partai Buruh. 

Di satu sisi bukti-bukti tersebut telah menunjukan kepada kita bagaimana suramnya Pemilu 2024 esok. Namun, di sisi lain, analisis awal ini menjadi peringatan dini pada gerakan progresif untuk membentuk aliansi yang lebih efektif menggempur kekuasaan oligarki.

Artikel ini mengajukan dua strategi: Pertama, ”agenda pembajakan” parpol melalui penyerapan aliansi aktivis dan kelompok progresif ke dalam parpol mapan yang secara bertahap akan efektif (setidak-tidaknya) memengaruhi kebijakan parpol di parlemen maupun di eksekutif, bahkan figur capres 2024. Kedua, melembagakan gerakan sosial progresif sehingga mampu berafiliasi berbagai gerakan sipil multi-kelas dan akhirnya memiliki kekuatan politik yang (cukup) diperhitungkan di luar politik formal.

Pada akhirnya, jika kita hanya diam tidak melakukan apa pun, yang kemudian menjadi pertanyaan buat kita: apakah kita hanya akan menjadi penonton dari permainan catur politik para oligark ini?***


Kepustakaan

Ford, M., & Pepinsky, T. B. (Eds.). 2014. Beyond Oligarchy: Wealth, Power, and Contemporary Indonesian Politics. Cornell University Press. 

Koran Tempo. 3 Oktober 2019. Mayoritas Pimpinan DPR Miliki Perusahaan. Jakarta

Rainditya. Deda R & Saraswati, Sandry. 2021. Penanganan Pandemi di Bawah Rezim Predatoris. IndoProgress. (Dalam https://indoprogress.com/2021/09/penanganan-pandemi-indonesia-di-bawah-rezim-predatoris/)

Robison, Richard, dan Vedi R. Hadiz. 2004. Reorganising Power in Indonesia. New York: Routledge.


Deda R. Rainditya adalah lulusan ilmu politik unair. saat ini bekerja sebagai peneliti lepas

 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.