Kerja-Kerja yang Kabur dalam Kapitalisme

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Illustruth


PROGRAM magang mahasiswa dalam Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) mendapat sorotan. Ekspolitasi terselubung atas nama “pengalaman” dan “bagian dari pendidikan” menjadi pangkal soalnya. Kelindan erat rezim komersialiasi pendidikan dan link and match antara dunia pendidikan dan industri (yang tak jelas-jelas amat blueprint-nya) menjadi konteks dari program keluaran Kementerian Pendidikan tersebut.

Selain itu, praktik program magang ini pun tak lepas dari konteks eksploitasi dalam kapitalisme. Dalam hal ini, kapitalisme telah memisahkan secara ketat sekaligus mengaburkan batasan kerja produktif dan reproduktif, yang hingga kini juga masih menjadi pedebatan di dunia akademik. Pengaburan-pengaburan kerja ini bisa juga dilihat pada apa yang dialami ribuan mahasiswa di Indonesia yang saat ini tergabung dalam program magang di bawah Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).

Untuk mencari tahu lebih jauh soal ini, Joan Aurelia dari IndoPROGRESS TV (IPTV), berbincang-bincang dengan Dhia ul-Uyun, dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dan Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademis (KIKA) dan F. Fildzah Izzati, peneliti di Pusat Penelitian Politik BRIN dan editor IndoProgress. Naskah wawancara ini ditranskrip dan telah dipadatkan. Berikut petikannya.


Joan Aurelia (JA): Menurut kalian, definisi kerja itu apa?

Fildzah Izzati (FFI): Definisi kerja sendiri banyak banget, ya. Tapi, karena kita hidup di bawah sistem ekonomi politik kapitalisme, tentu yang dianggap kerja, yang di-value sebagai kerja oleh kapitalis adalah kerja-kerja yang bersifat “produktif”. Kerja-kerja produktif ini biasanya diasosiasikan dengan pekerjaan laki-laki. Sementara kerja-kerja yang dianggap tidak memberikan kontribusi langsung terhadap ekonomi biasanya bersifat reproduktif dan diasosiasikan sebagai pekerjaan perempuan.

Dari pemisahan kerja yang ketat di dalam kapitalisme mengenai kerja produktif dan reproduktif ini, kemudian timbul banyak problem. Banyak scholar feminis yang telah menganalisis hal tersebut. Pemisahan kerja produktif dan reproduktif di dalam kapitalisme ini kemudian mengubah hidup masyarakat dan terutama kehidupan perempuan, sebagai pihak yang paling banyak terkena dampak dari pemisahan ketat kedua jenis kerja.


JA: Kalau menurut Dhia?

Dhia ul-Uyun (DU): Karena ini soal kerja, saya coba ambil dari background saya di fakultas hukum. Ketika kita bicara tentang kerja, maka itu terkait dengan jasa dan barang. Jadi, kerja itu adalah soal memproduksi barang, jasa, beserta timbal baliknya, yaitu upah. Tapi, dalam konteks yang lebih umum, kerja itu adalah melakukan sesuatu. Apapun yang kita lakukan adalah kerja. Tinggal kita memaknainya dalam dunia apa.

JA: Fildzah, tadi kan sempat dibahas soal kerja produktif dan reproduktif. Mungkin sekarang bisa dibahas lebih detail lagi.

FFI: Sekarang, kita bicara dulu apa yang dimaksud sebagai kerja produktif dan reproduktif itu sendiri. Di dalam sistem kapitalisme, kerja-kerja produktif adalah kerja-kerja yang menghasilkan nilai lebih (surplus value), memberikan kontribusi bagi peningkatan akumulasi di dalam sistem kapitalisme. Sementara itu, kerja-kerja yang tidak dianggap memberikan kontribusi secara langsung bagi ekonomi itu dianggap sebagai kerja-kerja yang tidak bersifat produktif.

Dalam perkembangannya, seiring perubahan-perubahan misalnya di dalam rezim pasar tenaga kerja, sektor kerja produktif juga justru sebenarnya sangat diuntungkan oleh keberadaan konstruksi sosial yang patriarkal di tengah masyarakat. Dalam hal ini, kerja-kerja produktif pada akhirnya cenderung memilih perempuan untuk terlibat di dalamnya. Kenapa? Karena perempuan dianggap sebagai pekerja yang bisa memberikan potensi ekonomi yang lebih karena beberapa hal, yang nanti kita bahas.

Kerja-kerja reproduktif seperti merawat, memelihara yang membuat tenaga kerja di bidang produktif agar bisa melangsungkan kehidupannya, sering dianggap sebagai kerja-kerja pinggiran. Padahal posisinya sangat sentral di dalam akumulasi kapital. Kerja-kerja reproduktif ini hampir selalu diasosiasikan dengan kerja-kerja perempuan karena dalam sejarahnya, kerja-kerja untuk bertahan hidup atau subsisten, ditanggung oleh perempuan, dan itu terus berlangsung. Hari ini, pemisahan kerja produktif dan reproduktif pun berkembang menjadi semakin kabur karena kerja-kerja reproduktif pada akhirnya juga menyatu ke dalam kerja-kerja yang produktif. Jadi, di satu sisi ada pemisahan yang ketat dan di sisi lain, ada juga pengaburan di dalam pemisahan itu dalam konteks untuk kepentingan akumulasi.

JA: Tadi dijelaskan bahwa kerja-kerja produktif lebih banyak melibatkan perempuan. Sebelum kita masuk ke ranah mahasiswa dan kerja-kerja magang, kapan sih perempuan mulai masuk ke kerja-kerja produktif itu dan kemudian apa yang membuat demand itu terus berkembang dan akhirnya mengaburkan batasan antara kerja produktif dan reproduktif?

FFI: Pertama, sebetulnya banyak kerja perempuan yang memberikan kontribusi langsung terhadap ekonomi itu dianggap sebagai bukan kerja yang produktif. Jadi, ada kerja-kerja yang dilupakan oleh kapitalisme dan dianggap sebagai kerja-kerja yang pinggiran. Ambil contoh, kerja-kerja di bidang agrikultur, atau pekerjaan-pekerjaan yang terinformalisasi, yang tidak terlalu dianggap penting di dalam perhitungan ekonomi. Padahal, sebetulnya kerja-kerja itu berkontribusi langsung terhadap ekonomi. Banyak perempuan yang terlibat di dalamnya.

Kedua, secara umum, sejak tahun 1970an, tingkat partisipasi perempuan di dalam pasar tenaga kerja secara global lebih rendah dibanding laki-laki. Akan tetapi, tingkat partisipasi tersebut terus meningkat hingga saat ini. Ini karena ada faktor feminisasi kerja di dalam kapitalisme yang memanfaatkan nilai-nilai patriarkal untuk merekrut perempuan, misalnya perempuan itu dianggap punya “jari-jari yang lentik”, “cekatan”, “perempuan itu docile”, “gampang diatur”, “penurut”, dll. sehingga kelas kapitalis cenderung merekrut perempuan karena dianggap dapat lebih mudah diatur untuk peningkatan surplus value.

Di sisi lain, sejak kapan sih perempuan itu jadi seolah-olah terjebak di dalam mekanisme itu? Karena memang ada keterdesakan ekonomi juga di dalam kehidupan perempuan. Seiring dengan berkembangnya neoliberalisme, misalnya, di mana social protection sudah semakin tidak ada lagi, perempuan tidak memiliki pilihan selain terlibat dalam pasar tenaga kerja. Jadi, di satu sisi ada nilai-nilai patriarkal yang menguntungkan kapitalisme, dan di sisi lain juga ada kebutuhan ekonomi dari perempuan yang memaksa mereka untuk terlibat di dalam kerja yang bersifat produktif tadi, yang menghasilkan pemasukan (income) untuk perempuan.

Sementara itu, untuk kerja-kerja reproduktif yang lebih banyak di sisi unpaid work, seperti misalnya kerja-kerja di dalam rumah tangga (kerja-kerja domestik), seiring dengan berjalannya neoliberalisme, semakin banyak perempuan yang tidak bisa mengakses itu dengan bebas (misalnya mengakses daycare, dll). Jadi, mau tidak mau perempuan tidak punya pilihan selain menjalankan kerja-kerja reproduktif itu.

Ketiga, bagaimana kerja produktif dan reproduktif bisa kabur. Ada satu tulisan dari seorang scholar feminis, Alessandra Mezzadri, yang menganalisis bagaimana pada akhirnya kerja-kerja reproduktif menyatu di dalam kerja-kerja produktif.Dia mencontohkan bagaimana mess atau bedeng atau asrama buruh (di tempat kerja) bisa mengaburkan batasan mana kerja produktif dan reproduktif. Di sisi lain, ada juga debat tentang bagaimana nilai (value) di dalam kerja reproduktif dapat dilihat sehingga bisa menentukan apakah kerja reproduktif ini sentral, dan se-penting apa reproduksi sosial ini sehingga perlu dikembalikan ke dalam posisinya (yang sentral tadi).

Pertanyaan berikutnya apakah betul kerja reproduktif itu tidak memiliki nilai (value)? Dan ada juga pertanyaan apakah kerja reproduktif itu merupakan kerja produktif juga? Jadi ada macam-macam debat yang perlu kita lihat.

Contoh yang paling gamblang di Indonesia bisa dilihat dalam mekanisme kerja putting-out-system di mana mesin-mesin pabrik dipindahkan ke rumah-rumah buruh karena anggapan bahwa lokus buruh perempuan itu, ya, di rumah untuk mengerjakan tugas-tugas reproduksi sosial tak berbayar. Sistem ini merugikan perempuan karena semua mesin dipindahkan ke rumah buruh perempuan sehingga semua risiko kerja yang harusnya ditanggung pihak perusahaan/pabrik, jadi ditanggung oleh buruh. Selain itu, jam kerja juga menjadi kabur; mana yang reproduktif dan produktif sudah tidak kelihatan lagi. Dalihnya, perempuan sudah kerja “sebisanya” saja sembari mengurus rumah tangga. Padahal, kenyataannya mereka bekerja dari pagi sampai sore dan pekerjaan rumah atau kerja-kerja domestik pun jadi tidak terurus. Selain itu, upah yang mereka terima pun tidak sama karena mereka tidak dianggap seperti bekerja di pabrik secara langsung. Pekerjaan mereka kadang dianggap sebagai pekerjaan “tambah-tambah” saja.

Contoh lainnya, di home-based labour. Misalnya di pabrik boneka, banyak pekerjaan misalnya menambahkan manik-manik itu dioutsource-kan, dikerjakan di rumah-rumah buruh perempuan, dan kemudian pekerjaan itu dianggap sebagai pekerjaan tambahan iseng-iseng karena dikerjakan di luar pabrik.


JA: Oke, sekarang saya berangkat dari contoh kasus. Saya baca di Project Multatuli, mereka bikin serial naskah soal magang. Naskah terbaru (tulisan Ann Putri) menceritakan soal mahasiswa magang. Nah, saya jadi ingat yang tadi Fildzah bilang, ini bukan hanya jadi kabur tapi kaburnya juga sudah kacau. Nah, bagaimana pendapat Dhia soal program magang mahasiswa ini?

DU: Sejak awal diluncurkan, “Kampus Merdeka” sudah menimbulkan masalah karena banyak pergeseran dalam tata kelola universitas yang mengarah ke komersialisasi pendidikan. Pendidikan yang mestinya semangatnya itu education for all, kini jadi eksklusif. Jadi, orang yang diakui pendidikannya adalah yang bisa menghasilkan uang atau meraih jabatan-jabatan. Akhirnya pendidikan turun tingkat, padahal pendidikan sendiri tidak memiliki fungsi ke arah seperti itu.

Hal ini terjadi di seluruh tingkatan di universitas, bagaimana relasi antar dosen, bagaimana dosen mengarahkan mahasiswanya, bagaimana mahasiswanya, manajemen universitasnya, bagaimana komposisi pengambil kebijakan di dalam universitas. Contohnya kita lihat misalnya, bagaimana dosen rangkap jabatan komisaris di UI yang kemudian menimbulkan masalah. Ketika ada aksi demonstrasi oleh mahasiswa) respon dari rektor jadi berlebihan, seperti terlihat dalam aksi kritik “Jokowi lip service”.

Kemudian, ada situasi-situasi bargaining dalam universitas dalam pemberian gelar honoris causa. Terjadi obral dalam pemberian gelar honoris causa, obral gelar profesor. Sementara mahasiswa misalnya, harus berkeringat sekali untuk meraih gelar sarjana. Bagiamana orang yang sebetulnya tidak layak menerima gelar-gelar akademik menjadi dapat menerima gelar-gelar akademik tidak lain karena adanya komersialisasi ini.

Di sisi lain, kemampuan berpikir kreatif dan kritis mahasiswa semakin tergerus karena mereka hanya)diarahkan nanti harus kerja dengan sistem yang sudah ditentukan dan ditanamkan pada diri mahasiswa sebagai sistem yang ideal. Dengan kata lain, program ini cukup sukses mengurangi sikap kritis mahasiswa terhadap apa yang terjadi di lingkungan sekitar mereka, karena laporan MBKM ini sangat banyak secara administratif dan sangat birokratis.

JA: MBKM ini bagian dari komersialisasi pendidikan ya. Tapi, apa ada mekanisme yang bisa menahan itu

DU: Secara umum, kreativitas itu dilindungi. Ada di UU (tentang kebebasan akademik). Tapi, pada kenyataannya, mahasiswa tidak mungkin kritis ketika dijejali banyak pekerjaan administratif—yang juga menjerat para dosen. Kerja-kerja administratif ini juga terjadi hampir di semua tingkatan kampus sehingga semua jengah.

Dalam program MBKM ini, mahasiswa harus bertanggung jawab selain pada kampus dan tempat magang. Belum lagi kalau tempat magangnya tidak mengetahui bahwa mahasiswa yang magang tersebut masih berkuliah, dll. Akhirnya si mahasiswa magang diberikan beban-beban kerja yang tidak seharusnya.

Mengenai ada tidak proses secara sistemik? Sebetulnya sudah ada, tapi kebanyakan juga tidak didengar. Itu yang jadi masalah. Kritik tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) sudah luar biasa banyak, tapi sekarang juga masih tetap berlangsung.


JA: Apa tidak ada yang bisa tetap menjaga pendidikan pada martabatnya?

FFI: Kalau kita lihat sejarahnya, Indonesia sudah memulai komersialisasi pendidikan jauh sebelum BHP disahkan. Dulu, awal tahun 2000an, ada BHMN, kemudian beranjak jadi ada RUU BHP yang merupakan (bagian dari) Structural Adjustment Programs (SAPs) dan kemudian RUU BHP disahkan menjadi UU pada 17 Desember 2008. Setelah mendapat penolakan yang luas, UU BHP pun dibatalkan oleh MK tahun 2010.

Nama boleh berganti, tapi sistem tidak berubah. UU hanya alat. Jadi, setelah UU BHP dibatalkan, mereka membuat lagi UU dengan nafas yang sama, yakni UU Dikti. Sebetulnya kita ada di rezim komersialisasi pendidikan sejak 2000an awal itu tadi.

Soal mengapa dan bagaimana kita tidak beranjak dari situasi tersebut, saya jadi ingat kemenangan gerakan kiri di Cile baru-baru ini, Pada 2011, mereka juga menolak komersialisasi pendidikan besar-besaran di sana. Sekarang Boric, salah satu aktivis yang melawan saat itu, jadi presiden di Cile. Bikin iri, ya. Kemudian kabinetnya juga diisi tokoh-tokoh yang menolak komersialisasi pendidikan di sana. Pertanyaannya, kenapa kita tidak bisa seperti itu? Jawabannya banyak, ya. Selain ketiadaan partai ideologis seperti di Chile, dan adanya “link and match” antara pendidikan dan industri (yang tidak jelas juga arahnya ke mana), orientasi pendidikan pun berakhir menjadi mesin profit saja, tanpa melihat aspek-aspek lainnya.


JA: Dari sisi perlindungan hukum untuk mahasiswa?

DU: Terima kasih Fildzah udah mengingatkan. UU BHP memang kacau sekali. Kalau universitas dapat BHP, mestinya ia sudah mandiri, sudah lepas dari pemerintah. Tapi, ternyata dana serapannya lebih besar ketika jadi BHP dan jumlah UKT-nya lebih banyak. Siapa yang menyedot keuntungan?

Perlindungan sebenarnya ada dalam UU, tapi sebagai warga negara. Untuk proses magang sendiri bisa dibilang tidak ada. UU 39 tahun 1999 sifatnya deklaratif sehingga tidak ada sanksi terhadap pelanggaran. Jadi, kalau bicara sudah diatur atau belum, ya diatur. Tapi di Indonesia, penerapan pengaturan, itu selalu terkait dengan pengaturan-pengaturan teknis dan itu yang tidak ada.

Sekarang, kita baru move on dari luring ke daring, itu saja masih beradaptasi. Kemudian ada MBKM, dan perubahan dari kuliah yang biasa dengan kuliah dengan melibatkan banyak universitas. Itu semua masih adaptasi dan pola-pola pengawasan kontrol itu tidak berjalan juga. Kontrolnya mau diberikan kepada siapa? Dosen? Sementara dosen sudah dipusingkan dengan banyak pekerjaan adminstrasi sehingga tidak mungkin mengontrol mahasiswa satu per satu. Itu sekilas carut marut yang tidak dipertimbangkan dalam proses pengambilan kebijakan. Soal UKT, misalnya, lebih urgent mana menurunkan UKT atau memberikan laptop? Ternyata menteri memilih laptop. Padahal banyak sekali mahasiswa yang tidak berkuliah karena tidak dapat membayar UKT, bahkan banyak yang mengambil cuti karena itu. Kemudian, mengenai MBKM, MBKM juga menyedot dana dari mahasiswa.

JA: Jadi apa yang bisa dilakukan ya? karena programnya juga terus berlanjut, apa yang bisa dilakukan untuk melindungi?

DU: Yang bisa dilakukan adalah memperkuat mahasiswa agar mereka bisa memilih dan memberikan alternatif lainnya (di luar program MBKM). Tapi, kebanyakan mahasiswa datang dengan ketidaktahuan. Jadi, mereka baru tahu mengenai program magang setelah merasakan magang itu sendiri di mana banyak dari mereka merasakan dampak-dampak yang tidak terprediksi sebelumnya. Tidak perlindungan sama sekali. Seperti kasus yang terjadi di Universitas Lambung Mangkurat yang menyasar korban pada saat proses magang. Universitas tidak bisa mengatakan bahwa mereka tidak tahu karena bagaimanapun proses magang harus dilakukan dengan kontrol dan pengawasan dari kampus.


JA: Sekarang kita balik lagi ke soal kerja secara umum, mendasar. Fildzah, kenapa kerja reproduktif diidentikkan dengan perempuan?

FFI: Kalau ditelusuri, kerja reproduktif seperti kerja-kerja unpaid work yang ada di rumah tangga (mengurus anak, mengurus rumah, dll) memang selalu diasosiasikan sebagai pekerjaan perempuan. Itu ada sejarahnya. Sebelum kapitalisme ada, kebanyakan pekerjaan dilakukan untuk subsistensi. Dan di masa feodal itu, pemisahan kerja produktif dan reproduktif juga tidak seketat di zaman kapitalisme. Di era kapitalisme, pemisahan kerja produktif dan reproduktif jadi semakin ketat, terpisah, dan dianggap sebagai pekerjaan perempuan, karena nilai-nilai patriarkal yang dilanggengkan di dalam masyarakat.

Selain itu, dalam kapitalisme, kerja-kerja yang dianggap sebagai kerja-kerja yang sepele, terberi, sudah natural utk perempuan—padahal sebetulnya tidak seperti itu—dianggap sebagai kerja pinggiran padahal sentral perannya dalam kapitalisme.

Kemudian, berkaitan dengan kerja magang yang dialami mahasiswa dan pelajar, sebetulnya ada irisan, ya. Kerja magang seringkali dianggap sebagai bukan sebuah kerja yang “sungguhan” karena dianggap tidak memberikan kontribusi langsung bagi ekonomi dan kita bisa lihat masalah muncul dari sana. Pelajar dan mahasiswa yang magang seringkali dieksploitasi tanpa diberitahu bahwa mereka itu sedang bekerja seperti pekerja lainnya (yang ada di tempat kerja tersebut).

Saya beri contoh, banyak para pelajar atau mahasiswa yang magang di sebuah kantor melakukan kerja-kerja (yang sama dengan pekerja) tapi tidak mendapatkan hak yang sama seperti para pekerja lainnya. Mereka tidak mendapatkan upah dan jaminan-jaminan pekerjaan yang lain. Kenapa? Salah satu faktornya adalah karena kerja magang tidak dianggap kerja karena dianggap bagian dari pendidikan. Banyak mahasiswa atau pelajar, misalnya di sektor perhotelan, mengalami hal seperti ini. Mereka magang di hotel-hotel. Pekerjaannya sama dengan para pekerja di hotel tapi tidak dibayar seperti yang seharusnya, dengan dalih “bagian dari pendidikan” tadi.

Apa yang bisa dilakukan untuk melindungi mereka? Saya pikir harus melibatkan ada MoU yang aktif antara institusi pendidikan dan tempat kerja. Jadi harus ada kesepakatan yang jelas sehingga kedua tempat ini harus melindungi mahasiswa dan pelajar yang magang. Saya sendiri belum tahu ini apakah ada peraturan seperti ini?

DU: Ada kasus itu Fildzah. Ada pelajar SMK yang bekerja di tempat hiburan keluarga dan mereka dipaksa (dengan kekerasan) untuk bekerja dan mereka tidak dibayar. Padahal, di UUK 13/2003 itu jelas indikator mengenai kapan seseorang dianggap bekerja, kemudian ketika bekerja mereka berhak mendapatkan hak-hak sebagai pekerja, termasuk hak untuk memilih pekerjaan, mendapatkan upah.

Kemudian, di lingkungan (institusi) pemerintahan, malah lebih banyak mahasiswa yang bekerja daripada pegawai. Akhirnya, eksploitasi yang terjadi dan itulah yang buruk dari sistem kerja magang: tanpa job description yang jelas dan di fase ini sangat rawan sekali institusi-institusi yang ada melakukan perbudakan atau melakukan proses pembiaran ketika terjadi. Selain itu, (proses magang) ini juga membuat mahasiswa yang mestinya belajar tentang keilmuan, menjadi lebih mem-value hal-hal yang punya nilai ekonomis. Itu akan menurunkan masyarakat kita jadi komersil sekali.

Soal regulasi, ada di UUK 13/2003 dan ada juga konvensi ILO, pekerja laki-laki dan perempuan itu seharusnya mendapatkan upah yang sama. Kalau dari yang Fildzah sampaikan tadi, ternyata perempuan dan laki-laki upahnya tidak sama. Belum lagi kalau mereka difable, dll. kondisimya bisa semakin buruk. Kebanyakan dari mereka masuk dalam kelompok yang tidak punya bargaining, mereka tidak dapat menerima keuntungan dalam proses tersebut.

Menurut saya kok MoU seperti itu tidak dapat mencegah, ya, karena program-program semacam ini kan sudah ‘cacat’ sejak lahir. Mau dibuat turunan yang baik pun, kalau aturan payungnya sudah buruk, ya, tetap saja buruk.

FFI: Tapi mungkin saya pikir begini. Ini kan fenomenanya sudah terjadi. Setidaknya, sembari mengatasi problem strukturalnya, mungkin bisa dibuat MoU antara kampus dan tempat magangnya. Sepertinya itu yang paling mungkin. Sementara kita mengusahakan mengubah akarnya, kenapa tidak mengatasi dulu fenomena yang sudah terjadi dengan MoU-MoU dulu.

DU: Kita berandai-andai, ya bisa. Kalau pun demikian—dibuat MoU—semoga posisinya setara antara kampus dan perusahaan. Kalau tidak setara, otomatis tidak akan masuk pasal perlindungan itu. Mungkin MoU bisa jadi salah satu cara untuk melindungi dan mungkin pengawasan juga bisa dilakukan. Pengawasan ini penting karena kalau tidak ada kontrol dari pihak lain yang independen, mungkin sekali eksploitasi terhadap para mahasiswa yang magang akan terjadi.


JA: Pertanyaan terakhir, seperti apa kita bisa merumuskan kerja yang adil di sini?

FFI: Sebelum menjawab itu, menarik sekali ya perbincangan mengenai kerja magang dan link and match pendidikan dan dunia kerja ini karena sampai sekarang saya sendiri belum menemui sinergi antara Kemendikbud dan Kemenaker ini dalam mengatasi persoalan ini. Sepertinya tidak ada ya?

DU: Iya sepertinya tidak, karena ini programnya Kemendikbud. Kemendikbud dan Kemenaker saling lempar.

FFI: Padahal sebetulnya mereka bersinergi ya.

JA: Karena banyak permasalahan oleh pemerintah itu dianggapnya sektoral saja, tidak mau diselesaikan bersama-sama, kan jadi bingung, ya.

FFI: Iya, padahal saling terkait ya.

DU: Iya, tidak ada itu misalnya ada masalah kemudian berbagai kementerian saling merapat untuk menyelesaikan permasalahan itu. Kalau di institusi pemerintahan, tidak ada surat tugas, tidak ada tupoksi, maka mereka tidak mau mengerjakan.

JA: Iya makanya mungkin butuh aturan turunan, tapi ternyata problematis juga, ya.

FFI: Iya, jadi saling terkait tapi saling lempar. Tapi, di sisi lain, kita bisa lihat bahwa sebetulnya ada paradoks. Di Omnibus Law, misalnya, berbagai macam peraturan bisa disatukan. Jadi di satu sisi, untuk hal-hal yang penting, berbagai kementerian ini saling lempar tanggung jawab, tidak mau saling bersinergi. Tapi, kalau urusan yang menguntungkan kepentingan akumulasi kapital, bisa ya jadi bersatu—di.Omnibus Law tadi misalnya. Ini paradoks yang semakin menampakkan wajah asli dari kapitalisme.

Kembali lagi ke pertanyaan Joan mengenai definisi kerja yang adil, menurut saya, kerja yang adil itu adalah kerja ideal yang tidak ada di bawah kapitalisme. Seperti kata Marx “From each according to their ability, for each according to their needs”. Itu yang ideal, yang tidak mungkin ada di bawah kapitalisme dan harus kita terus perjuangkan, karena di masa depan sangat mungkin ada kerja seperti itu.

Tapi, sembari menuju yang ideal tadi, kalau ditanya mengenai kerja yang adil, saya sendiri melihatnya sebagai kerja yang demokratis. Dalam arti ada demokratisasi kerja di mana sebetulnya pemisahan kerja yang ketat (antara kerja produktif dan reproduktif) tidak merugikan the vast majority, dalam hal ini terutama perempuan dan kaum yang termarjinalisasi. Jadi kerja-kerja yang adil itu adalah kerja-kerja yang tentu saja yang tidak eksploitatif, memanusiakan manusia, atau kerja-kerja yang tidak membuat the vast majority ini terdehumanisasi. Di bawah kapitalisme saat ini, bisa dikatakan bahwa tidak ada kerja yang adil, yang bisa dijadikan contoh.

Salah satu bentuk demokratisasi kerja yang tadi saya singgung adalah ketika perempuan, misalnya, bisa terlepas dari konstruksi mana yang merupakan “kerja perempuan” dan mana yang bukan. Terkait itu, banyak sekali scholar—ini juga debat yang cukup klasik juga—yang berdebat mengenai apakah pasar tenaga kerja yang produktif akan membebaskan perempuan, atau sebetulnya apa pun bisa membebaskan asalkan mereka bisa memilih dengan kehendak bebas mereka.

Saya sendiri setuju dengan pendapat beberapa feminis Marxis bahwa kerja yang membebaskan itu adalah kerja-kerja yang menghapuskan fungsi tradisional ibu rumah tangga (housewives) di dalam kapitalisme. Kenapa? Karena, misalnya, ada ide tentang “kerja reprodusi sosial ditanggung jawabkan secara sosial ke dalam komunitas/masyarakat”, pada akhirnya yang akan dirugikan ya perempuan juga. Tetap perempuan yang akan menjadi penanggung jawab (atas kerja-kerja tersebut) di dalam komunitas. Jadi bisa dibilang, demokratisasi kerja itu kuncinya. Gampangnya itu.

JA: Kalau Dhia gimana?

DU: Dalam bahasa yang lain, sebenarnya saya berpikir bahwa kerja yang adil itu ada ketika pemimpinnya adil. Dalam arti, pemimpin di tempat kerja berani mengambil sikap atas apa yang menjadi keinginan para pekerjanya. Saya ingat tulisan Marx, yang kemudian saya dalami, bahwa melihat kebutuhan individu pekerja itu penting. Apa yang dibutuhkan masing-masing kelompok bisa jadi sangat berbeda dengan kelompok lainnya. Ada yang butuh upah yang lebih tinggi, ada yang butuh kenyamanan, dll. Dalam sistem kerja, yang perlu dibangun itu adalah bargaining position pekerja dan itu bisa ditingkatkan melalui serikat pekerja agar menimbulkan kesetaraan yang pastinya membuat nyaman para pihak.

Selain itu, setahu saya, dalam analisis risiko, ketika buruh merasa perusahaan itu adalah rumah mereka, maka mereka akan bekerja dengan lebih baik dibanding kalau tidak, akan lebih terpaksa.

JA: Karena kita bahasannya lagi soal kerja, mahasiswa dan magang, bagaimana Dhia memandang ini agar kondisi kerja bisa lebih baik untuk mahasiswa?

DU: Sebenarnya mereka harus tahu hak-haknya, ya, sehingga bisa punya bargaining. Selain itu, perlu juga ada MoU dari stakeholders yang menjelaskan hak dan kewajiban masing-masing. Kemudian, saya ingat para buruh migran diberikan buku yang berisi nomor darurat dan barangkali itu juga perlu diberlakukan oleh Kementerian Pendidikan kita (untuk para mahasiswa magang). Banyak universitas yang mahasiswa-mahasiswanya itu bingung dengan output dari MBKM ini tapi mereka tidak dibebaskan untuk mengetahui apa yang akan mereka dapatkan, hak mereka apa, termasuk mengenai perlindungan bagi mereka.

JA: Sedih, ya. Kapitalisme mengaburkan segalanya.

FFI: Iya dan kalau kita bahas tentang magang ini sebetulnya kan akarnya udah salah. Kenapa? karena para mahasiswa pada akhirnya tidak diberikan kesempatan untuk melihat kenyataan sosial dari sudut pandang lain yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Yang dilihat sebatas realitas dunia kerja yang kapitalistik saja.

Kemudian, kapitalisme memang mengaburkan kerja-kerja dan salah satu yang tercermin di dalam kerja magang pelajar/mahasiswa ini, kerja-kerja yang dilakukan oleh pelajar/mahasiswa seringkali tidak dianggap sebagai kerja alih-alih hanya dianggap sebagai pengalaman, bagian dari pendidikan, sehingga jadi pembenaran untuk memanfaatkan tenaga kerja mereka dengan tidak dibayar.

Saya tekankan lagi, kerja-kerja yang sifatnya reproduktif seringkali dianggap bukan pekerjaan. Di dunia industri kreatif, mislanya, pekerjaan mendesain, seringkali dianggap bukan sebagai pekerjaan, karena “Ah, cuma pakai aplikasi di komputer”, “gampang”, dll. Kemudian, kalau dari riset saya, misalnya, pekerjaan (admin) sosial media, seringkali dianggap bukan pekerjaan karena “Ah, itu kan main Instagram aja”, “iseng-iseng aja” atau dianggap “Ah, itu kerjaan tambahan aja” sehingga pekerjaan ini semakin kabur. Chat, memelihara hubungan dengan customer dianggap “kegiatan iseng-iseng” saja, padahal itu pekerjaan juga. Kemudian, di institusi pemerintahan, sebagaimana yang telah disinggung Dhia, harus diakui itu terjadi.


JA: Kira-kira kita harus kasih batasan yang kayak gimana Dhia?

DU: Batasannya itu sebenarnya jelas, merujuk di UUK 13/2003, antara kurikulum kerja magang dan pendidikan. Selain itu, harus jelas pekerjaan yang dimagangkan, kewajiban-kewajiban dan arenanya juga. Kemudian, ketika batasan-batasan itu dilaksanakan, harus ada monitoring proses kerja magang sesuai dengan yang diharapkan. Saat ini, universitas-universitas masih pusing sekali dengan pengawasan kerja magang ini dan dari proses itu belum terlihat output dari mahasiswa setelah melakukan kegiatan magang, sehingga belum bisa dikaji sejauh mana dampaknya bagi proses pendidikan mahasiswa. Itu yang saya belum lihat dari proses kerja magang ala MBKM ini. Mungkin karena baru setengah tahun ini berjalan.

JA: Tapi katanya bakal diterusin, kan?

DU: Iya pemerintah optimis sekali sepertinya, ya, karena akan banyak tenaga kerja yang terserap. Padahal, bukan masalah tenaga kerja yang terserap itu yang utama tapi bagaimana mahasiswa bisa menciptakan pekerjaan mereka sendiri. Kondisinya, kita bersaing dengan negara-negara lainnya di tengah globalisasi. Ketika bicara tenaga kerja Indonesia, pada akhirnya, kita selalu bicara tentang tenaga kerja yang menerima dipekerjakan kapan pun dan diberhentikan kapanpun. Dengan kata lain, sebagai tenaga kerja murah. Apalagi dengan adanya Omnibus Law, ini bisa semakin parah, semakin tidak ada lagi perlindungan.

JA: Kasarnya, program ini dibuat untuk men-supply tenaga kerja murah?

DU: Iya, tapi itu harus dibuktikan dengan riset dulu, ya. Tapi, arahnya ke sana, bahwa program magang ini tidak murni untuk meningkatkan kemampuan seseorang, apalagi ada di dalam semester-semester tengah ke akhir. Jadi, otomatis yang terekam itu pengalaman-pengalaman di semester-semester yang terakhir. Nilai-nilai yang diperoleh selama magang itu yang menghancurkan yang ideal yang ada di dalam pendidikan.

JA: Fildzah mau menambahkan?

FFI: Sebetulnya sebelum ada kebijakan MBKM ini, praktik kerja magang mahasiswa dan pelajar sudah berlangsung. Jadi, bisa dikatakan, kebijakan MBKM ini hanya melegalisasi saja. Apakah arahnya untuk menciptakan tenaga-tenaga kerja murah? Kita bisa klaim itu benar karena kalau kita lihat, praktik magang di level pendidikan yang menengah pun arahnya ke sana. Memang perlu dibuktikan lebih lanjut untuk program MBKM ini karena baru berjalan setengah tahun. Tapi, untuk praktik magang di kalangan mahasiswa dan pelajar yang sudah berlangsung sejak lama, arahnya memang untuk membiasakan jadi tenaga kerja yang murah tadi. Karena, apa ada pendidikan khusus yang membekali mahasiswa, misalnya, tentang hak-hak sebagai pekerja? Tidak ada kan? Dulu di UI tidak ada, kecuali di mata kuliah tertentu yang tidak semua mahasiswa pula diberi pengetahuan tentang hak-hak sebagai pekerja. Jadi, sementara orientasi pendidikan mengarahkan mahasiswa dan pelajar untuk jadi pekerja, tapi pengetahuan tentang hak-hak sebagai pekerja tidak diberikan. Ada paradoks, ada kontradiksi-kontradiksi di dalamnya.

JA: Terimakasih banyak Dhia dan Fildzah atas waktunya di IndoProgress. Teman-teman, demikian wawancara Forum IndoPROGRESS TV kali ini, semoga bermanfaat. Saya Joan Aurelia, sampai ketemu di program IndoPROGRESS TV selanjutnya.***

 

 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.