Foto: Associated Press
PADA 21 Januari 2022 lalu, Presiden sosialis terpilih Cile, Gabriel Boric, secara resmi menetapkan susunan kabinet pemerintahannya. Pengumuman kabinet Boric menjadi pernyataan simbolis bahwa pemerintahannya akan mendorong transformasi besar untuk membangun Cile yang lebih setara dan adil. Dari 24 menteri yang ditetapkan, 14 nama yang dipilihnya adalah perempuan. Bercokol nama seperti Maya Fernandez yang merupakan cucu dari Presiden Cile, Salvador Allende, yang dikudeta oleh rezim junta militer pimpinan jenderal Augusto Pinochet pada 11 September 1973. Ada pula nama Camila Vallejo, mantan aktivis dan pemimpin gerakan mahasiswa yang juga kader Partai Komunis Cile. Vallejo menjabat sebagai juru bicara kepresidenan. Selain Vallejo, mantan aktivis mahasiswa yang juga ketua Serikat Medis Cile Izkia Siches, bahkan ditempatkan menjadi Menteri Dalam Negeri. Inilah untuk pertama kalinya jabatan Mendagri dipimpin oleh perempuan. Rata-rata usia dari anggota kabinet tersebut adalah 49 tahun.
Kita di Indonesia tentu akan iri melihat apa yang terjadi di Cile. Ketika banyak dari kita mengharapkan kebaruan politik, yang kita dapatkan justru “botol baru dengan isi lama”. Penampilan boleh saja “muda”, “milenial”, atau “2.0”, tapi substansi politik tidak jauh berbeda dengan apa yang sudah ada sebelumnya. Sampai sekarang, politik yang berlaku tetaplah politik elite oligarki tapi dengan operator baru yang berbeda dan dengan kulit yang lebih kencang.
Banyak yang akan berkilah bahwa Indonesia bukanlah Cile. Siapapun yang punya nalar sehat tentu menyetujui pernyataan tersebut. Namun setiap pelajar sejarah modern yang serius juga tahu bahwa ada afinitas yang kuat antara Indonesia dan Cile. Dua negara ini sama-sama pernah mengalami masa kejayaan Gerakan Sosialis yang mendominasi peta politik demokrasi di era 1960an. Kelas borjuasi reaksioner di dua negara ini juga saling berbagi metode kekerasan yang hampir identik ketika mereka secara sistematis menghancurkan kekuatan sosialis. Tidak heran, “Operasi Jakarta” menjadi sandi operasi penggulingan Allende oleh Pinochet pada 1973 sebagai bentuk apresiasi terhadap pembantaian komunis yang dipimpin oleh jenderal Soeharto.
Bahkan setelah jatuhnya otoritarianisme di Indonesia dan Cile, perbedaan politik yang terjadi antara dua negara ini sangat tipis. Demokrasi pasca-otoritarianisme di Indonesia dan Cile sama-sama dikooptasi oleh kekuatan lama. Sebagai warisan dari kekerasan yang dipromosikan negara, kekuatan Kiri yang muncul pasca-demokratisasi sama-sama mengalami kekalahan. Mungkin ada kekuatan Kiri di Cile yang diwakili oleh aliansi kiri-tengah seperti Concertation, tetapi sebagaimana banyak kekuatan kiri tengah setelah runtuhnya Soviet, aliansi kiri-tengah ini adalah ‘sosialis KTP‘, yang sama sekali jauh dari aspirasi sosialis. Dengan kata lain, ruang politik di era demokrasi di Cile dan Indonesia bukanlah ruang demokrasi yang ideal bagi promosi agenda sosialisme.
Namun, dengan pelbagai kemiripan sejarah tersebut, mengapa sampai sekarang gerakan sosialis di Indonesia masih terjerembab dalam lumpur kekalahan, sementara sosialis Cile mampu bangkit dari kubangan lumpur tersebut dan menyongsong keberhasilan dengan kemenangan Boric? Banyak faktor penjelas yang bisa diungkap. Namun, saya melihat faktor yang cukup penting yang membedakan perbedaan hasil walau memiliki banyak kesamaan itu terletak pada organisasi. Gerakan sosialis Cile berhasil mempertahankan vitalitas agenda sosialis dengan melanjutkan panggung perlawanan massa ke ranah yang lebih institusional. Singkatnya, mereka sukses membangun agenda perlawanan dari mobilisasi protes ke organisasi politik.
Hal ini setidaknya bisa dilihat dari pengalaman pribadi Boric sendiri yang kemudian berujung pada terpilihnya dia sebagai presiden. Nama Boric tidaklah asing dari dinamika perlawanan mahasiswa Cile tahun 2011. Ia adalah bagian dari aktivisme mahasiswa yang melakukan perlawanan besar-besaran terhadap praktik neoliberalisme di dunia Pendidikan tinggi di Cile. Pada saat itu, Boric yang sedang menempuh studi hukum di Universitas Cilea, adalah pimpinan Federasi Mahasiswa Universitas Cile (University of Chile Student Federation) dan bergabung dalam kolektif kiri-otonomis. Sebagai pimpinan serikat mahasiswa, ia terlibat langsung memobilisasi protes-protes mahasiswa dalam menuntut kerangka baru kebijakan Pendidikan tinggi Cile yang lebih sosialistis, dimana negara bertanggung jawab untuk memenuhi kepentingan publik ketimbang swasta. Protes ini sendiri berlangsung dalam kurun waktu dua tahun (2011-2013) dan ditengarai sebagai kurun waktu yang relatif lama dalam kamus gerakan perlawanan mahasiswa.
Setelah terlibat di gerakan mahasiswa, Boric tetap kembali aktif di kancah politik formal. Ia terpilih sebagai anggota Kongres pada tahun 2013. Menariknya, ia melihat bahwa untuk memastikan platform politik yang diusungnya ketika mahasiswa dapat diperjuangan lebih lanjut, menjadi penting untuk mengorganisasikan platform tersebut dalam bentuk organisasi. Karena itu, pada 2017 ia mendorong pembentukan Front Luas (Broad Front), yang merupakan front politik kiri elektoral di Cile. Sementara pada 2018, Boric menjadi salah satu pendiri partai Konvergensi Sosial (Social Convergence) yang berideologikan sosialisme dengan sedikit warna libertarianisme.
Pengalaman Boric bukanlah pengalaman yang unik dalam konteks Cile. Banyak mantan pimpinan aktivis mahasiswa yang sepantaran dengannya juga melihat pentingnya melanjutkan platform politik perjuangan semasa mahasiswa tersebut ke dalam agenda politik organisasi. Salah satu mantan pimpinan serikat mahasiswa Giorgio Jackson, misalnya, memutuskan untuk mendirikan Revolucion Democratica (RD) sebagai wadah perjuangan bagi agenda sosialisme yang partisipatif. Sementara nama-nama aktivis lain seperti Karol Cariola, dan tentu saja Camila Vallejo, memutuskan untuk memperjuangkan platform politik mereka di organisasi sosialis lama, Partai Komunis Cile.
Banyaknya organisasi sosialis Cile yang dipengaruhi oleh aktivis mahasiswa medio 2011-2013 ini tentu berimplikasi pada dinamika politik negara secara lebih luas. Agenda radikal yang diusung oleh para aktivis mahasiwa tersebut dimungkinkan untuk bertahan bahkan ketika mereka bukan mahasiswa lagi. Pada 2018, misalnya, pemerintahan Michelle Bachelet memutuskan untuk melakukan reformasi pendidikan tinggi yang lebih berpihak pada rakyat kecil karena tekanan baik dari mobilisasi jalanan dan juga dari tekanan politik di parlemen yang diisi oleh para mantan aktivis Mahasiswa itu.
Radikalisasi melalui organisasi ini kemudian berujung pada dinaikkannya tuntutan referendum pada 2020, untuk melakukan amandemen konstitusi Cile yang dianggap tidak dapat lagi mengakomodasi kebutuhan rakyat luas akan keadilan dan kesejahteraan. Konstitusi yang ada selama ini dianggap hanya menguntungkan segelintir orang kaya Cile, yang membuat agenda perubahan radikal menjadi musykil. Hasil dari referendum ini menghasilkan keputusan bahwa konstitusi perlu diamandemen.
Tentu saja kita juga harus tetap mempertahankan kewaspadaan dalam melihat fenomena Boric ini. Sebab walau ia mengaku sosialis, garis sosialis yang dianutnya masih terlalu moderat. Dalam susunan kabinetnya, terlihat jelas Boric berupaya untuk mempertahankan garis tengah pemerintahan, yang tercermin pada pilihannya atas figur-figur yang berasal dari partai-partai tengah. Selain itu, khususnya terkait dengan politik luar negeri, Boric cenderung melihat negatif perjuangan sosialisme di Nikaragua, Venezuela, dan Kuba hanya karena mereka gagal memenuhi kriteria “HAM” versi Amerika Serikat.
Terlepas dari keterbatasan ini, terpilihnya Boric tentu harus menjadi pelajaran berharga buat kita. Sebab kita juga memiliki banyak pengalaman mobilisasi masif yang terkulminasi pada tahun 2020 lalu dengan adanya mobilisasi anti-omnibus law. Soalnya adalah, hingga kini kita belum mampu menangguk keuntungan dari mobilisasi perlawanan ini. Bahkan rezim elite yang berkuasa kini masih dengan seenaknya mempromosikan serangkaian kebijakan anti-rakyat. Dalam hal ini, kita bisa melihat bahwa mobilisasi, sebesar apapun, tidak lagi mencukupi. Perlu ada perlawanan yang lebih terorganisir, yang mengusung agenda rakyat untuk tidak sekadar melawan tapi juga menawarkan alternatif kebijakan, sebagaimana yang terjadi di Cile.
Pertanyaan pentingnya kemudian, jika di Cile bisa dilakukan, mengapa di Indonesia tidak?***
Muhammad Ridha adalah mahasiswa PhD di Northwestern University, Chicago, AS dan aktif di Partai Rakyat Pekerja (PRP)