Ilustrasi: Jonpey
PADA awal Oktober 2021 lalu, media sosial diramaikan oleh viralnya #percumalaporpolisi. Tagar itu kemudian memantik banyak kisah soal kinerja buruk polisi terutama dalam menangani aduan dari masyarakat. Sejak itu, hampir setiap hari muncul berita soal kekerasan yang dilakukan polisi. Ada polisi yang membunuh dan menyiksa sesama polisi, polisi memperkosa warga sipil, polisi melakukan penangkapan sewenang-wenang, hingga polisi memeriksa barang pribadi warga sipil.
Viralnya #percumalaporpolisi berujung pada pesimisme dan aktivisme akut pada lembaga kepolisian. Kita makin bertanya-tanya, apakah kinerja lembaga kepolisian yang semestinya menjaga dan melayani kepentingan publik bisa diperbaiki?
Untuk mencari tahu lebih jauh soal ini, Joan Aurelia dari IndoPROGRESS TV (IPTV), berbincang-bincang dengan Hizkia Yosie Polimpung, peneliti isu keamanan (Associate Chair Puskamnas Universitas Bhayangkara, Jakarta) dan Muhammad Ridha, mahasiswa PhD Ilmu Politik di Northwestren University, Chicago, AS. Berikut petikannya:
Joan Aurelia (JA): Menurut kalian, kenapa kinerja kepolisian sedemikian buruk di masa sekarang ini?
Hizkia Yosie Polimpung (HYP): Kita harus clear dulu, yah. Pertama, kinerja polisi buruk diukur dari mana? Dan kedua, kita mesti tahu juga Polri, seperti juga dosen, mahasiswa, buruh, dan petani itu tidak satu. Poinnya itu. Jadi, polisi huru-hara punya divisi sendiri. Ada Sabhara, ada Brimob, ada Intel, Lantas, Reskrim, belum lagi Reskrimsus dan seterusnya. Jadi, kecenderungan kita menilai sebuah lembaga, saya kira, sedikit banyak terpengaruh oleh viralitas. Pada saat ada satu fenomena muncul ke permukaan langsung kita generalisir menjadi kinerja Polri buruk hanya karena satu, dua, tiga kasus. Poinnya, pertanyaan saya lebih ke ukurannya sih.
JA: Kalau, kita batasi dulu pada kejadian belakangan ini, dari kasus Luwuk Timur yang viral dan kasus-kasus setelahnya yang memicu pemberitaan-pemberitaan lain terkait polisi, bagaimana Anda melihatya?
HYP: Nah, ini poin pertama yang perlu kita lihat. Kalau kita isolir oknum atau personel tertentu, apa yang dilakukan oknum tidak akan lepas dari sebuah aransemen yang lebih besar. Ada problem sistemik dalam kepolisian sendiri. Di sini saya harus bikin jarak, saya bukan ahli soal kepolisian. Kajian saya keamanan, lebih tepatnya strategi keamanan. Jadi, saya akan melihat persoalan-persoalan kepolisian dari perspektif keamanan. Kalau ditanya hukum atau institusinya, saya tidak menguasai.
Nah, kalau kita lihat polisi, kita tidak bisa lepas dari isu praetrorianisme Dunia Ketiga, yaitu bagaimana kultur militerisme itu masih ada di tubuh Polri. Jadi, bagaimanapun Polri menampakkan wajahnya yang kelihatannya lucu dan ramah, itu upaya mereka membaur menjadi sama dengan masyarakat. Tapi, tidak bisa kita lepaskan bahwa pembentukan kultur di kepolisian itu masih erat kaitanya dengan kultur militerisme yang umumnya terjadi di Dunia Ketiga. Itulah sebabnya kenapa disebut praetrorian. Praetorianisme itu gampangnya begini: negara-negara pascakolonial atau negara Dunia Ketiga menempuh kemerdekaan dengan jalan militer. Orang yang tadinya ”membebaskan” negaranya dari penjajah merasa bahwa mereka lebih memiliki andil ketimbang pihak sipil. Jadi, kita bisa melihat bagaimana militer masuk menyeruak ke dunia politik itu karena mereka ini merasa memiliki tanggung jawab untuk menjaga kemerdekaan.
Seiring reformasi sektor keamanan yang sampai hari ini masih debatable, sudah selesai atau belum, kita harus lihat bahwa upaya memprofesionalkan sektor keamanan itu juga bukannya tanpa masalah. Masalahnya banyak, mulai dari masalah bisnisnya, masalah politik, campur tangan kekuasaan dan seterusnya, yang intinya membuat sektor keamanan ini tidak profesional. Nah, pada saat Polri dipisah dari militer, dari Tentara Nasional Indonesia (TNI), kultur militerisme ini masih ada di dalam Polri. Sehingga mungkin sikap-sikap yang kita lihat hari ini, yang tampak arogan dan seterusnya itu, bisa terjelaskan karena mereka merasa lebih berhak atas negara yang mereka perjuangkan dengan menumpahkan darah. Sementara sipil, di mata mereka, cuma baca buku, nulis puisi, cuma bikin film dan seterusnya. Jadi, pskologi itu juga yang perlu kita pertimbangkan sehingga kalau kita mau melakukan reformasi akan kinerja Polri, kita tidak bisa melepaskan atau menutup mata dengan sejarah panjang kultur yang sudah masak di sistem kepolisian itu sendiri.
JA: Kalau menurut Bung Ridha, kenapa kinerja kepolisian bisa sedemikian buruk di masa sekarang yang, katanya, demokrasinya semakin terbuka dan partisipasi publik semakin meluas?
Muhammad Ridha (MR): Mungkin saya punya perspektif berbeda dari pernyataan Bung Yosie di sini. Menurut saya, struktur ekonomi politik itu menjadi unsur yang penting untuk diperhatikan lebih jauh. Kita harus membuang ilusi bahwa Kepolisian Republik Indonesia adalah suatu bentuk kepolisian yang bisa kita bangun profesional, mengayomi, melindungi masyarakat dan lain-lain. Karena secara struktur politik dan ekonomi, polisi sejarahnya muncul sebagai bagian dari instrumen politik kelas berkuasa. Karena kelas kapitalis adalah kelas yang berkuasa, maka polisi tentu digunakan untuk melindungi kepentingan mereka. Menurut saya, secara garis besar posisi struktural ini yang perlu diperhatikan.
Namun, kita juga perlu melihat bahwa—dan ini juga dikemukakan Bung Yosie—perihal pentingnya melihat polisi terkait dinamika struktural yang lebih luas. Walau saya sepakat bahwa polisi adalah instrumen kelas, dalam hal ini kelas kapitalis, tapi politik kelas itu dinamis. Kelas kapitalis, karena posisinya adalah kelas bekuasa, selalu memiliki kerentanan dan selalu mengalami, dalam bahasa marxisnya, perjuangan kelas. Jadi, tidak heran kalau kita lihat, walaupun kepolisian di mana-mana sifatnya sama, tapi ada variasi tentang bagaimana instrumentalisasi ini digunakan kelas berkuasa. Dalam arti ada institusi kepolisian yang sangat represif atau praetrorian—kalau pakai bahasa Bung Yosie. Tapi, di sisi lain, kita bisa menemukan, dalam konteks masyarakat tertentu, polisinya tidak terlalu represif. Di sini menjadi penting untuk memahami dinamika perjuangan kelas atau dinamika keseimbangan kekuatan sosial yang ada di masyarakat.
Penanganan demonstrasi tolak Omnibus Law. Sumber: Kompas
Nah, kembali ke pertanyaan mengenai problem performa kepolisian yang tidak sesuai harapan. Bagi saya, pertama-tama, justru kita jangan berharap polisi punya kepentingan internal, kepentingan retoris dan yang lain. Tapi kita berharap peranannya dapat diubah dalam batas tertentu—dalam arti sejauh mana kekuatan represif dari kepolisian itu bisa dikurangi. Karena sangat penting mendorong agar kepolisian tidak lagi menjadi sebatas kekuatan instrumen dari kelas berkuasa. Dan dalam konteks itu, perlu sekali meningkatkan kapasitas keterorganisiran kelas-kelas tertindas. Kenapa saya bilang itu penting? Kita belajar dari sejarah, kita ambil contoh di Jerman, Swedia, bahkan di Belanda, yang bisa dikatakan sanggup mengurangi jumlah personel kepolisiannya karena relasi antara kekuatan yang marjinal dan yang dominan atau kelas kapitalis relatif seimbang. Kelas marjinal, seperti kalangan buruh, menjadi bagian penting dari politik negara di sana. Ketika mereka menjadi bagian dari politik negara, maka tidak ada kepentingan bagi negara secara keseluruhan untuk mempertahankan kapasitas represif dari polisi.
Poin saya di sini, kinerja kepolisian yang buruk adalah buah dari absennya kekuatan oposisi dari politik negara yang biasa diisi oleh kelas-kelas tertindas, oleh kelas-kelas yang tidak mempunyai kepentingan akumulasi kapital. Kenapa ini penting? Karena ini menjadi prasyarat juga bagi reformasi kepolisian. Dalam studi reformasi kepolisian di Amerika Latin, salah satu prasyarat yang negara seperti Argentina atau Kolombia bisa mendorong institusi kepolisian menjadi lebih reformis, cenderung kurang represif dan juga akuntabel dihadapan publik, adalah keberadaan oposisi sosial yang berasal dari kelas-kelas sosial yang disingkirkan oleh sistem itu sendiri. Dalam konteks Kolumbia dan Argentina, oposisi sosial itu berasal dari kelas menengah terdidik yang tidak mendapat tempat di dalam sistem, dan dari kaum buruh tentu saja, juga kalangan petani yang sering kali mendapat represi dari negara.
Jadi, kinerja buruk Polri ini adalah buah dari relasi sosial di Indonesia yang memang tidak memberikan ruang bagi keterorganisiran oposisi masyarakat. Bagi saya, dan di sini mungkin saya setuju dengan posisi Bung Yosie, kita perlu melihat kepolisian bukan sebagai satu entitas militer absolut yang tunggal. Kalau dilihat fungsi-fungsi represifnya, polisi kita sangat efektif. Kalau Joan melihat bagaimana mereka bisa melakukan represi terhadap mobilisasi masyarakat pada tahun 2020 yang menentang UU Cipta Kerja (Omnibus Law), polisi bekerja sangat efisien dan efektif kala meredam perlawanan massa. Tapi mereka tidak efektif dan efisien ketika melayani kepentingan publik, untuk memastikan kasus diselesaikan secara adil, pelaku kejahatan bisa ditangkap dengan segera, dsb. Kalau kita baca secara struktural, itu karena fungsi dia memang bukan ke arah itu (melayani kepentingan publik). Jadi kalaupun kita mau ngomong tentang reformasi kepolisian, yang penting adalah kita perlu meruntuhkan dulu asumsi-asumsi bahwa polisi adalah suatu bentuk institusi yang profesional yang akan mengayomi masyarakat.
JA: Kembali ke Bung Yosie. Kalau menurut Anda, reformasi seperti apa yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah yang sistemik di Kepolisian ini?
HYP: Sependapat dengan apa yang disampaikan Ridha bahwa perlu ada oposisi dari kelompok-kelompok yang bisa memberi tekanan ke polisi. Nah, kita kurang di situ, sangat kurang. Saya dan teman-teman yang mengkaji studi keamanan, kita kayak kesepian gitu, karena [mengkaji] polisi dan TNI itu sudah langsung dianggap jelek, intel dan seterusnya. Sehingga teman-teman yang bisa berpikir kritis itu enggak masuk ke dalam ranah studi ini.
Jadi, apa yang dimaksud kelompok oposisi dan seterusnya? Walaupun saya sepakat sama argumen Ridha tapi saya sampai pada poin ini dengan trajektori yang berbeda, bahwa masih penting melihat polisi bisa profesional dan harus profesional. Dengan profesionalitas bukan mengurangi represi (tolong ini digaris bawahi), tapi yang lebih diperlukan adalah bagaimana mengontrol dan mengendalikan represi ini secara demokratis. Kalau kita baca tulisan Antonio Negri atau Giorgio Agamben dan seterusnya, rahasia sovereignty (kedaulatan) itu bukan di law (hukum) tapi di polisi. Dan karena polisi adalah yang menjaga kedaulatan, maka ia dipandang harus tetap ada. Maka, kalau mau menganalisis negara, analisislah polisinya. Artinya apa? Dia ujung tombak dalam menjaga kedaulatan negara. Balik ke persoalan demokrasi tadi, pada saat ujung tombak ini tidak bisa kita masuki dia akan dikuasai oleh kekuatan yang menguasai negara, kelas-kelas yang menguasai negara. Jadi, pertanyaan kemudian ketika kita ”mengarahkan” politik kelas, class action, dan seterusnya ke negara—dari perspektif keamanan kritis, ini useless (percuma).
Kenapa? Karena itu tadi, yang menjaganya tidak disentuh sama sekali. Sementara kita tidak punya orang-orang yang berpikir kritis yang bisa meletakkan analisis kelas, misalkan materialisme historis, untuk bisa membedakan pistol dengan senjata laras panjang atau laras pendek dengan milimeter tertentu dari balistiknya. Ketika analisis seperti ini absen, maka sektor keamanan di bagian ini akan cenderung melihat komunitas akademik sebagai pihak yang enggak paham dengan yang mereka kerjakan. Karena enggak paham, ngapain diajak ngobrol? Kalau ini yang terjadi, pertanyaannya ngajak ngobrol siapa? Tentu saja ngajak ngobrol mereka-mereka yang mendanai, mereka-mereka yang meloloskan anggaran, yakni DPR. Jadi, profesionalisme itu bagi saya beriringan dengan demokrasi, demokratisasi polisi. Demokratisasi bukan dalam artian liberal bahwa semua orang boleh jadi polisi, bahwa semua orang bisa mengambil tindakan-tindakan pemolisian macam ormas-ormas tertentu. Bukan itu. Kalau kita gunakan konsep Weber, polisi yang demokratis itu tetap memiliki monopoli kekuasaan, tapi monopoli kekuasaan itu harus tetap di bawah kontrol demokratik.
Agar polisi bisa profesional, maka harus ada yang menjaga. Masalahnya, orang yang menjaga ini mundur semua. Pada saat semuanya mundur, maka tidak ada lagi sarjana-sarjana yang bisa memberikan pandangan-pandangan kritis. Yang ada adalah sarjana-sarjana mapan dan bukan dari masyarakat sipil. Ya, okelah mereka mengaku dari masyarakat sipil tapi apa kepentingan masyarakat sipil atau bahkan kepentingan kelas pekerja yang mereka perjuangkan?
Kembali lagi poinnya apa yang harus dilakukan? Menurut saya intelektual organik mungkin tidak hanya masuk ke dalam sistem, tapi bisa berbicara dengan bahasa mereka, dengan bahasa keamanan, dengan bahasa-bahasa teknokratik bahkan bahasa-bahasa yang sangat teknikal, pada saat kita bicara analisis ancaman. Pokoknya, semua bahasa-bahasa itu harus kita obrolin, harus kita diskusikan, dan pada saat kita bicara seperti itu, apa yang bisa kita pengaruhi? Ancaman selalu merupakan persepsi tentang ancaman. Ini sebagai contoh: katakanlah guru dipersepsikan sebagai ancaman, maka guru jadi ancaman. Pada saat guru menjadi ancaman, polisi akan bertindak. Namun, mereka akan bertindak sebagai tool. Dan tool seperti ini akan tetap dibutuhkan.
Dalam rezim berbeda, polisi yang sangat represif tetap dibutuhkan untuk menghalau orang-orang yang menghalangi, merintangi, atau menyakiti kepentingan rakyat pekerja. Jadi, kepentingan polisi untuk profesional sebenarnya tidak universal. Kalau kesempatan ini kita buang, saya kira kita akan kehilangan momen.
Ini kan sama ketika dokter-dokter dipandang tidak profesional hanya karena dokter adalah manifestasi dari kapitalisme perusahaan farmasi. Riset-riset biotek didanai oleh kepentingan kapitalis seperti Elon Musk, misalnya. Kalau kita biarkan dokter enggak profesional, man, this is dangerous.
Logika yang sama ini perlu kita terapkan pada saat kita bicara dengan aparat-aparat keamanan. Mungkin terlihat mustahil, mungkin terlihat susah, tapi itu bukan sesuatu yang mustahil untuk diperjuangkan. Kalau saya berkaca pada pengalaman saya di dalam sistem atau di dalam komunitas ini, enggak semustahil itu diubah. Yang penting ada orang yang terlibat untuk membicarakan ini, tapi tidak secara normatif. Pembicaraannya harus teknikal-teknokratik. Nah, komunitas sarjana keamanan seperti ini, hari hari ini sangat minim, terutama kalau saya lihat di kalangan teman-teman progresif.
JA: Bung Ridha ada komentar dari apa yang disampaikan Yosie tadi?
MR: Ada beberapa poin. Pertama, saya sepakat dengan Yosie di sini soal klarifikasi ketika saya berbicara tentang represifitas. Saya bicara represi berdasarkan kelas. Jadi, saya salah satu orang yang tidak percaya bahwa ada represi punya nilai dalam dirinya sendiri. Represi selalu merupakan representasi dari kepentingan sosial tertentu, dan posisi kelas sangat menentukan untuk menjelaskan kenapa represi ini digunakan seperti itu. Ketika saya bicara represi, pada dasarnya itu adalah sinonim dari kepentingan kelas kapitalis yang sedang diejawantahkan. Sehingga ketika kita bicara tentang profesionalisme polisi, bayangan saya adalah kita bicara satu entitas kepolisian yang diharapkan berlaku tidak mewakili kepentingan sosial tertentu. Kalau dalam bahasanya Hegel, ia menjadi kekuatan universal melampaui kepentingan sosial tertentu. Sayangnya secara historis itu enggak mungkin. Bahkan di kasus negara-negara yang kepolisiannya sudah sangat reformis, seperti di Jerman atau di Swedia, kepolisian tetap bermasalah khususnya ketika berhadapan dengan kasus-kasus yang melibatkan imigran dan kelompok minoritas lainnya. Jadi, saya masih tetap melihat bahwa aspirasi tentang profesionalisme polisi harus kita tinggalkan.
Tapi, ini poin kedua yang saya setuju, kita harus punya agenda kepolisian sendiri. Dan di sini saya melihat Yosie spot on (akurat) terkait absennya agenda kepolisian versi kelas tertindas di Indonesia. Karena ketika kita sudah mengkritik bahwa kepolisian itu adalah instrumen kelas dengan represinya, kan bukan berarti problemya hilang dengan sendirinya. Kita harus punya jawaban tentang bagaimana situasi ini bisa direformasi.
Di sinilah saya melihat bahwa agenda reform menjadi penting untuk dibawa oleh kelas tertindas seperti kaum buruh dan kelompok progresif lainnya. Sebab, seperti dibilang Yosie, profesionalisme polisi ini enggak mungkin bisa dilakukan dengan menggunakan retorika profesionalisme semata, karena substansi utamanya bukan di sana. Subtansi utamanya adalah mengurangi represifitas kelas kapitalis yang membatasi aktivitas pengorganisiran kelas tertindas. Jadi, ketika saya bilang less repressive, yang saya maksud adalah kekuatan polisi yang enggak bisa merepresi aktivitas kebebasan dan keteroganisasian rakyat tertindas atau masyarakat secara luas. Misalnya, ketika demo kita harus pastikan bahwa demo yang dilakukan oleh kaum buruh bisa berlangsung secara aman tanpa ada ancaman represif.
Kalau kita bilang bahwa polisi enggak boleh represif untuk membawa agenda kelas yang dominan, itu juga berimplikasi bahwa dia juga bisa digunakan untuk kepentingan kelas tertindas. Dalam arti kalau kita mau, katakanlah, mendorong ada peningkatan pajak maka kita harus punya kekuatan koersi yang mumpuni agar bisa memaksa orang kuat seperti Elon Musk supaya membayar pajak sebagaimana dihendaki oleh negara. Itu adalah posisi yang, tentu saja, bagian dari agenda politik reformasi yang harusnya diperjuangkan oleh kelas tertindas.
Tetapi aktivitas ini hanya bisa dipenuhi kalau politik yang berlaku secara keseluruhan di negara dipengaruhi oleh kelas tertindas itu sendiri. Jadi, ketika saya bicara represi, saya memang secara sengaja mengontekstualisasikannya dalam kerangka represi di bawah kepentingan kelas kapitalis. Di sinilah letak perbedaan antara saya dengan dengan Yosie.
Tapi saya setuju dengan Yosie tentang perlunya engagement progresif terkait agenda reformasi kepolisian dan titik berangkatnya harus dimulai dengan menghilangkan argumentasi mengenai profesionalisme. Tapi, buat saya, prinsip utamanya adalah membangun kapasitas keteroganisiran rakyat tertindas atau kelas pekerja yang nantinya berperan sebagai social opposition untuk mendorong agenda reformasi kepolisian agar bisa membantu perjuangan kelas menjadi lebih maju.
JA: Dari penjelasan kalian tadi, apa sebenarnya yang membuat intelektual progresif absen dan luput memikirkan soal reformasi polisi ini?
HJP: Itu kecenderungan aktivis atau intelektual progresif di Indonesia. Ini dugaan awam saja, ya. Ada anggapan seolah peace itu sesuatu yang morally good, sementara violence adalah sesuatu yang yang morally bad. Sehingga kita langsung antipati kepada hal-hal yang berkaitan dengan violence. Marx menyebutnya beautiful soul, jiwa-jiwa cantik, yang merasa dunia ini kotor, sementara dia bersih, tidak mau terlibat dengan dunia yang kotor, sehingga dia mencaci-maki habis dunia kotor itu.
Jadi, balik lagi ke persoalan kenapa banyak intelektual progresif tidak masuk ke dalam sistem. Di sini saya harus clear, ketika saya ngomong intelektual progresif yang saya maksud adalah intelektual yang secara sadar dan yang mengaku secara verbal di publik bahwa dia, karya-karyanya, kajian-kajianya adalah untuk memperjuangkan kepentingan kelas pekerja. Intelektual progresif di Indonesia masih mengasosiasikan violence sebagai hal yang secara moral—ini perlu digaris bawahi, bukan secara objektif—buruk. Padahal dari awal violence itu morally neutral secara objektif. Persoalan siapa yang menggunakan kekerasan itulah yang menjadi kontestasi politik.
Polisi Indonesia dalam kekerasan pasca-referendum Timor Leste 1999. Sumber: easttimorgenocide.weebly.com
MR: Merujuk literatur klasik seperti Thomas Hobbes, violence itu sebenarnya public goods untuk mencegah konflik antar-manusia. Makanya harus ada yang mengontrol violence dan kontrol diperlukan untuk untuk memastikan bahwa masyarakat bisa berjalan. Saya juga setuju dengan Yosie bahwa banya kalangan progresif Indonesia melihat violence sebagai sesuatu yang sangat moralistik; karena ada kekerasan maka dengan sendirinya kekerasan itu salah. Bagi saya, dalam posisi sebagai intelektual yang menjadi bagian dari perjuangan kelas, violence sangat diperlukan.
Saya kasih ilustrasi si Elon Musk tadi. Gimana caranya kita bisa memaksa Elon Musk bayar pajak tinggi kalau dia sendiri enggak takut sama negara? Caranya kita harus punya sarana violence dan kapasitas koersi yang kuat. Itu hanya bisa dilakukan kalau kita punya skema security yang sesuai dengan kepentingan kelas pekerja.
Nah, jadi kalau mau dijawab mengapa intelektual progresif kita cenderung apatis sama agenda reformasi keamanan, karena mereka enggak melihat pentingnya politik negara yang violent ini untuk keperluan kelas. Mereka menganggap perjuangan kelas itu terjadi ujug-ujug muncul karena ada struktur kelas, orang miskin banyak, terus kemudian orang miskin sadar, dan mereka nantinya bisa bertempur melawan orang-orang kaya. Padahal semua hal itu hanya ada artinya kalau dimediasi oleh politik negara. Nah, kalau misalnya negaranya sangat represif, orang-orang miskin seperti kaum buruh, kaum tani dll pasti akan kesulitan untuk mengorganisir perlawanan. Bikin spanduk digebukin. Mau jalan ditembak polisi. Itu menunjukkan bahwa perlawanan, mobilisasi, keterorganisiran itu juga ditentukan oleh politik negara yang violent ini.
Makanya, kalau kita mau sukses mendorong agenda perjuangan kelas, penting untuk mengubah pola relasi violence yang ada di negara. Salah satu caranya adalah kita pahami dulu apa posisi struktural institusi kekerasan seperti kepolisian dalam skema masyarakat yang sekarang didominasi oleh kapitalisme. Dari sana kemudian kita bisa melihat kira-kira peluang-peluang apa saja yang bisa didorong agar ada reformasi yang dalam tahapan tertentu bisa berguna untuk mendorong pengorganisiran kelas tertindas.
Jadi, kalau secara umum ditanya kenapa kalangan progresif tidak mau masuk ke urusan reformasi kepolisian, ya karena mereka menganggap itu enggak ada gunanya buat perjuangan mereka.
JA: Oke, masih untuk Bung Ridha, apakah reformasi institusi kepolisian ini cukup untuk menjawab tuntutan perbaikan kinerja polisi seperti yang Anda bilang tadi itu, terutama di tengah struktur sosial ekonomi kita yang kebijakannya neoliberal? Bisa dijelaskan pakai contoh?
MR: Begini, ketika saya beragumen bahwa reformasi kepolisian itu penting, saya enggak mencoba untuk menawarkannya dalam skema yang biasa, seperti misalnya yang ditawarkan oleh Yosie tentang profesionalisme. Saya melihatnya dalam skema sejauh mana reformasi ini bisa memberikan ruang demokratis yang lebih luas bagi pengorganisiran rakyat tertindas, dalam artian, ia terkait dengan demokrasi yang lebih luas. Jadi, skema ini harus bisa memastikan bahwa setiap orang diperbolehkan untuk menyampaikan pendapatnya sendiri tanpa harus takut ada kekerasan yang akan menimpanya karena ada kepolisian yang menjamin kebebasan berekspresinya itu. Atau juga ketika ia mau melakukan aktivitas perlawanan dalam skema yang legal seperti mogok, mereka tidak harus takut bahwa polisi akan masuk dan menindas mereka.
Jadi, bagi saya yang penting adalah reformasi spesifik untuk menjamin aktivitas demokratis rakyat tertindas, karena kalau kita ambil tuntutan reformasi yang lebih luas, justru kita kehilangan fokus di sana.
Jadi, ketika saya ngomong reformasi kepolisian maka saya melihat ini sebagai kesempatan untuk bisa membangun kapasitas politik penekan dari bawah tersebut. Kalau ditanya apakah itu mencukupi? Tentu tidak mencukupi, tapi itu necessary step yang harus diambil sekarang. Bagi saya, di situlah gerakan progresif seperti gerakan buruh, gerakan tani, gerakan nelayan bisa ikut serta karena mereka juga punya kepentingan agar organisasi mereka tidak direpresi oleh negara. Kalau ditanya skema besarnya seperti apa, saya enggak punya jawaban. Tapi yang harus dilakukan sekarang ini adalah membangun oposisi sosial dan itu hanya bisa lakukan kalau kapasitas represi yang dipegang polisi hari ini bisa dikurangi. Itulah menurut saya yang perlu menjadi bagian dari agenda reformasi yang harus segera dibangun.
JA: Adakah yang seperti itu di negara-negara lain?
MR: Argentina mengalami demokratisasi ketika militernya turun dari kekuasaan. Kebetulan demokratisasi membuka ruang politik untuk masyarakat sipil dan itu membuat mereka relatif punya posisi lebih kuat terhadap aparatus-aparatus negara yang saat itu mengalami disintegrasi karena perubahan politik. Salah satunya kepolisian, karena kepolisian saat itu, seperti yang dibilang Yosie, menjadi bagian dari militer. Masyarakat sipil punya kesempatan untuk memengaruhi institusi kepolisian dan itu yang akhirnya menjadi kesempatan mereka untuk mereformasi institusi kepolisian. Jadi prasyarat utamanya adalah kekuatan dari bawah ini. Itu yang harus dibangun dulu.
Reformasi kepolisian kita harus menyasar itu. Kalau enggak ada itu (kekuatan dari bawah—ed.), saya enggak terlalu yakin kita bisa bangun agenda dan skema yang lebih besar, yang lebih ambisius.
JA: Kalau dilihat dari pengalaman di beberapa negara, perbaikan kinerja polisi mensyaratkan gerakan akar rumput, misalnya aksi-aksi di BLM (Black Lives Matter). Apa yang harus dilakukan rakyat untuk mengoreksi kepolisian?
HYP: Disclaimer: saya tidak sedang mengoreksi kepolisian karena itu bukan kajian saya. Saya jawab dengan common sense. Saya tidak menentang ide bahwa harus ada gerakan dari bawah, tapi saya kurang optimistis dengan gerakan dari bawah, khususnya hari ini. Profesionalitas penting. Tapi profesionalitas dalam artian mungkin enggak sih kinerja Polri atau kinerja sektor keamanan ini dikritisi oleh orang-orang yang secara hukum dimandatkan untuk mengawasi itu. Sehingga, pertanyaannya: mandat hukum itu turunnya ke siapa? Apakah turun ke akademisi, apakah juga turun ke masyarakat sipil. Inilah yang harus kita pertanyakan. Keterlibatan-keterlibatan elemen masyarakat sipil ini dibutuhkan juga. Menariknya, ini pengalaman pribadi saya, sebenarnya banyak anggota personil keamanan ini yang gerah dengan politik. Tapi mereka tidak kuasa saat atasan-atasannya berpolitik.
Jadi, ada dorongan untuk melakukan reformasi, bahwa mereka sadar bahwa ini adalah untuk keamanan—not necessarily kepentingan penguasa. Kesadaran itu ada walaupun enggak merata. Tapi poinnya adalah kita punya peluang untuk menegakkan kepolisian yang sifatnya akuntabel. Akuntabel dalam artian kita menyepakati rule of law. Menyepakati aturan-aturan atau standar-standar penggunaan kekerasan, pelibatan rule of engagement.
MR: Secara prinsip saya tidak ada problem dengan perlunya engagement (keterlibatan), terlebih jika ada ruang-ruang yang sudah disediakan oleh kekuasaan. Cuma keterlibatan itu kan mensyaratkan power dan power itu bisa dibuat, bisa dibentuk, dengan prasyarat ada perubahan relasi politik negara terkait monopoli kekerasan. Kalau kekerasannya yang terjadi selama ini relatif represif terhadap agenda kelas tertindas, maka itu yang harus diubah dulu pertama kali.
Jadi, enggak ada soal dengan engagement, tapi saya akan mempermasalahkan langkah-langkah apa yang bisa memastikan bahwa engagement yang dilakukan itu meaningful. Jangan sampai kemudian kita sudah engage lalu yang dilakukan adalah—karena enggak punya kuasa—cuma jadi stempel. Dan ini sudah jadi problem: ketika orang-orang masuk ke dalam selalu dituduh “Ah, lu cuma jadi stempel.” Ya karena mereka tidak mempresentasikan kekuatan sosial tertentu.
Nah, di sinilah kemudian saya melihat prioritas utama adalah building the power. Pembangunan kekuasaan itu bisa dilakukan kalau kita bisa mengubah hubungan dalam kekerasan negara.
Problemnya, bahkan untuk building power kita butuh agenda reformasi kepolisian. Dan di sini saya sepakat sama Yosie: enggak ada orang progresif yang ngomongin reformasi kepolisian versinya sendiri. Kebanyakan pihak bereaksi lebih karena sering kena pentung polisi. Ini pengalaman yang sangat empiris untuk bilang bahwa negara itu najis, kepolisian itu najis. Implikasinya, karena pengalaman kayak begitu, pandangan tentang kekerasan kepolisian dan negara jadi moralistik.
Saya juga punya pengalaman kena gas air mata dan pernah kena pentung polisi, tapi saya melihat bahwa kita harus membuang cara pandang yang moralistik seperti itu. Kalau kita ingin memajukan gerakan, kita juga harus bisa punya agenda reformis terkait kekerasan negara ini.
JA: Seberapa optimis kita bisa kayak begitu?
MR: Saya studi ilmu politik, jadi saya akan melihat masalah ini dari segi konjungtur-konjungtur politik. Kita coba lihat reformasi kepolisian di Kolombia. Salah satu hal yang membuat mereka bisa efektif itu adalah ada kapitalisasi skandal. Ada kasus-kasus di kepolisian di Kolombia yang berhasil diungkap ke publik dan kemudian menjadi skandal. Skandal publik ini kemudian mengaktifkan kritik masyarakat terhadap kepolisian. Sebenarnya prosesnya mirip dengan yang terjadi sekarang. Bedanya di Kolombia, ini sudah didahului oleh keberadaan masyarakat sipil yang relatif kuat. Salah satu penentunya adalah kelompok kiri FARC (The Revolutionary Armed Forces of Colombia). Mereka punya kaki di LSM yang mengampanyekan agenda Hak Asasi Manusia. Ketika ada skandal dan kemudian ketemu oposisi sosial yang relatif terorganisir, muncullah kesempatan itu.
FARC, Kolombia. Sumber: BBC
Problemnya di Indonesia enggak ada oposisi sosial. Skandal viral terjadi di mana-mana. Ada tagar #PercumaPercayaPolisi, misalnya, tapi enggak ada oposisi sosial. Nah, sekarang pertanyaanya, kita mau mulai dari mana kalau skandalnya ada tapi enggak ada oposisi sosialnya? Harusnya kita bikin oposisi sosialnya, kan? Oposisi sosial yang membawa agenda reformasi kepolisian itulah yang diperlukan sekarang. Kita punya banyak gerakan buruh ngomongin upah tapi enggak ada sama sekali gerakan buruh yang bicara tentang reformasi kepolisian, padahal itu salah satu bagian penting untuk mempertahankan organisasi mereka sebagai serikat. Kita punya mobilisasi tani yang besar, tapi kenyataannya mereka selalu direpresi dalam konflik tanah, dan anehnya enggak memunculkan aspirasi tentang reformasi kepolisian. Bagi saya ini aneh, karena mereka tidak melihat kepolisian sebagai bagian penting untuk perjuangan mereka.
Di situlah kita butuh duduk dan berefleksi. Agenda perjuangan kelas kaum progresif itu mensyaratkan keberadaan ruang-ruang politik di negara. Semakin sempit politik di negara semakin susah juga kita untuk mendorong agenda kelas.
JA: Terakhir buat Bung Yosie dan Bung Ridho. Jadi kesimpulannya, Anda berdua ini optimis atau tidak kalau kepolisiannya bisa diperbaiki?
HYP: Optimis sih enggak ya. Secara pribadi saya pesimis mengharapkan perubahan bisa muncul dari internal polisi. Tapi saya akan lebih optimis kalau melihat perubahan itu bisa dibawa oleh orang-orang eksternal yang menjadi mitra/partner polisi. Di situlah pentingnya pressure group. Dia bisa menekan kekuasaan partai atau penguasa politik untuk mengarahkan kepolisian. Tapi lagi-lagi ya susah kalau tidak ada massa yang besar dan agenda setting yang juga juga jelas. Sementara hari ini yang bisa dilakukan rakyat untuk men-challenge agenda setting yang ada pun masih sangat terbatas. Di sisi yang lain, masih ada kepercayaan dan peluang dari kelompok-kelompok akademisi atau intelektual progresif. Progresif dalam artian yang memang berjuang demi kepentingan kelas, demi kepentingan masyarakat, dan seterusnya.
Masalahnya, kita akan kembali ke persoalan penghidupan. Intelektual dan akademisi umumnya tidak punya kemandirian ekonomi. Semua masih tergantung pada negara, hibah, donor, konsultan, pemerintah, Kemendikbud, dan seterusnya. Artinya semakin sempit ruang, energi, dan nafas kita untuk bisa mengasah keterampilan dan pengetahuan tentang keamanan ini . Sementara kecenderungan untuk terkooptasi di lembaga-lembaga ini tinggi.
Kita perlu strategi yang sifatnya lebih holistik, dalam artian ada di level pengetahuan, tapi juga ada di level kehidupan sehari-hari. Selagi masyarakat sipil dan kelas pekerja berbenah untuk membangun kekuatan social bloc, penting juga bagi kalangan intelektual untuk juga membangun kekuatan-kekuatan ini. Karena apa? Kita butuh interlocutor, kita butuh membangun, menggabungkan kapital bersama untuk bisa menghidupi diri kita sendiri dan menghidupi penelitian yang sifatnya meaningful, daripada penelitian yang hanya untuk memecahkan problem-problem yang tidak kita ajukan sendiri.
Rakyat pekerja punya PR membangun kekuatan sosial. Kalangan intelektual juga punya PR: tidak hanya mengasah expertise di bidang keamanan tapi juga meng-cover kehidupan hariannya supaya dia tidak terkooptasi ketika sudah memiliki pengetahuan-pengetahuan ini. Itulah pentingnya membentuk serikat, paguyuban, arisan, atau whatever. Yang penting adalah pengorganisasian di kalangan kelas intelektual.
MR: Kalau agenda reformasi kepolisian enggak ada di gerakan sosial, saya tidak optimis. Pesimis bahkan. Prasyaratnya, kita sadar bahwa negara harus diintervensi, bahwa agenda reformasi harus didorong. Di situlah mungkin kita bisa bicara harapan. Yang dikatakan Yosie itu bisa dijawab dengan syarat ada agenda dan program intelektual yang harus dibangun. Tidak mungkin kita bicara reformasi kepolisian tapi tidak ada infrastruktur intelektual di sana. Karena kebijakan pada akhirnya mensyaratkan knowledge, know how, dan di situlah peran-peran intelektual.
Pertarungan di tingkat gagasan ini sangat penting. Ruang-ruang untuk ngomong bahwa gerakan rakyat harus membangun agenda reformasi kepolisian ini perlu diperbanyak. Sering kali gerakan rakyat hanya akan bergerak ketika ada dinamika wacana. Karena itu saya tidak melihat keinginan untuk mendorong agenda reformasi kepolisian itu bisa muncul tiba-tiba. Ia dikondisikan juga oleh situasi sosial. Dan di titik inilah salah satu peran sosial yang bisa dilakukan intelektual adalah membuka ruang ini sebanyak mungkin dan menyebarkan gagasan seluas mungkin, karena hanya dengan itu kemudian gerakan rakyat bisa melihat urgensinya.
Tuntutan tentang upah yang kemudian menjadi tuntutan untuk demokrasi sebagaimana muncul di banyak perjuangan gerakan buruh, bisa terjadi, salah satunya, karena ada perubahan diskursus intelektual di masyarakat. Ketika itu sudah menjadi program politik bagi rekan-rekan gerakan progresif, di situlah mungkin kita bisa bahwa bilang ada optimisme untuk mendorong perubahan institusi kepolisian.***
JA: Terimakasih banyak Bung Yosie dan Bung Ridho, untuk waktunya di Indoprogress. Teman-teman, demikian wawancara Forum IndoPROGRESS TV kali ini, semoga bermanfaat. Saya Joan Aurelia, sampai ketemu di program IndoPROGRESS TV selanjutnya.***