Buruh PT Shinwon memegang poster tuntutannya dalam sebuah aksi protes di Jakarta. Sumber foto: LIPS
Tulisan ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama bisa dibaca di sini.
Dampak pelanggaran hukum bagi buruh
KELEMAHAN pengawasan menyebabkan kekerasan dan pelanggaran atas hak-hak buruh, seperti pelecehan seksual, pencurian upah, PHK sepihak tanpa pesangon, hingga penggunaan alihdaya (outsourcing) secara berlebihan. Kejahatan-kejahatan hukum ini berlalu begitu saja tanpa mendapat sanksi hukuman.
Mengenai hubungan kerja, telah terjadi kecenderungan penggunaan pekerja kontrak dan alihdaya yang meluas dan melebihi batas yang ditentukan oleh UUK 13/2003 (Nugroho dan Tjandraningsih, 2007:16). Situasi ini melibatkan perusahaan penyalur tenaga kerja. Juliawan (2010) mencatat bahwa perusahaan atau lembaga penyalur tenaga kerja menjamur dan bertindak seperti predator dengan mencari untung dari situasi di mana buruh tidak terlindungi hukum. Beberapa dari pemilik lembaga penyalur ini antara lain adalah aparat keamanan, pegawai disnaker, pegawai pemda, maupun keluarga mereka.
Predatorisme mewujud dalam praktik mafia lamaran kerja, yaitu praktik di mana calon buruh harus membayar sejumlah uang kepada para sindikat mafia agar mereka bisa bekerja di pabrik. Mereka terdiri dari para pemilik lembaga penyalur tenaga kerja, staf balai latihan kerja, pengurus organisasi vigilante yang bermarkas di kawasan industri, dan pada beberapa kasus melibatkan pegawai Disnaker. Di sejumlah kawasan industri, seperti di Serang, Cakung, Bekasi, Karawang, jumlah uang yang harus dibayarkan oleh buruh perempuan untuk mendapat pekerjaan dengan status kontrak di sebuah perusahaan rata-rata nilainya di atas 5 juta rupiah. Bagaimanapun, kompetisi untuk mendapatkan pekerjaan cukup tinggi dan karena itu orang rela membayar pungutan liar kepada para sindikat mafia lamaran kerja ini, walaupun tidak sedikit dari mereka menjadi korban penipuan.
Di pabrik-pabrik pemasok industri otomotif di daerah Karawang, buruh-buruh magang mengatakan mereka harus membayar 5 juta hingga 6 juta rupiah untuk bisa mengikuti program magang. Dalam proses mengirimkan lamaran magang, mereka diiming-imingi oleh para sindikat mafia bahwa mereka akan diterima magang dan setelah itu diangkat sebagai pekerja di perusahaan tersebut. Namun setelah periode magang selesai, mereka tidak pernah diterima bekerja. Praktik-praktik ini masih berlangsung sampai sekarang dan telah dianggap lumrah (wawancara MH, KL, SU Maret 2020).
Terkait perusahaan alihdaya, di sisi lain mereka merupakan tempat bagi perusahaan utama untuk melempar resiko dan masalah hubungan ketenagakerjaan. Dengan begitu, perusahaan utama dapat berkelit dari tanggung jawab hukum. Kontrak perusahaan alihdaya dan perusahaan utama juga bersifat pendek. Buruh yang telah bekerja lama kadang menyaksikan bagaimana mereka dioper dari satu perusahaan alihdaya ke perusahaan alihdaya lain, padahal pekerjaan mereka bukan pekerjaan sampingan, melainkan pekerjaan tetap. Hal ini terjadi pada buruh sopir tangki atau yang dikenal sebagai awak mobil tangki (AMT), yang bekerja untuk PT Pertamina Patra Niaga (anak perusahaan PT Pertamina Persero).
Salah satu dari beberapa bisnis Patra Niaga adalah perniagaan, yaitu pendistribusian bahan bakar ke konsumen, baik masyarakat maupun industri. Merujuk pada Pasal 56 UUK 13/2003, usaha perniagaan BBM dari Patra Niaga bukanlah usaha yang bersifat sementara atau musiman, namun termasuk bisnis utama/inti (core business). Dengan demikian, para buruh AMT tidak bisa dipekerjakan sebagai buruh alihdaya. Mereka harus menjadi buruh tetap karena sifat pekerjaan mereka tetap, bukan sementara atau musiman. Namun Patra Niaga justru berkelit dengan hukum dan selama bertahun-tahun menyerahkan urusan buruh AMT pada perusahaan alihdaya. Padahal banyak buruh AMT telah bekerja di atas 7 tahun untuk mendistribusikan bahan bakar bagi wilayah Jawa Barat, Banten, dan Jakarta.
Selama bekerja, para buruh AMT mencatat bahwa telah banyak perusahaan alihdaya yang secara bergantian bekerjasama dengan Patra Niaga. Hal ini membuat hak-hak buruh semakin sulit ditegakkan. Ini meliputi jam kerja yang tidak pasti, kondisi kerja yang buruk, pembayaran bonus yang tidak adil, maraknya pungutan liar di sepanjang jalur distribusi bahan bakar, dan ketiadaan kepemilikan asuransi kesehatan. Terkait asuransi kesehatan ini, beberapa buruh mengalami keadaan dimana kartu BPJS kesehatan mereka tidak bisa dipakai ketika berobat ke rumah sakit (wawancara, MT IR, November 2018). Padahal perusahaan alihdaya memotong upah buruh tiap bulan untuk iuran BPJS. Banyak ditemukan pola di mana perusahaan tidak menyetor potongan upah buruh kepada BPJS Kesehatan, atau terjadi kesalahan yang dilakukan perusahaan alihdaya dalam mekanisme pembayaran, namun akibat dari kesalahan itu ditanggung buruh.
Ketidakpastian kerja dan kesusahan begitu nyata dialami buruh dalam situasi yang predatoris. Hal ini banyak dihadapi oleh buruh-buruh perempuan. Sebuah penelitian oleh organisasi Perempuan Mahardika di Kawasan Berikat Nusantara Cakung—salah satu kawasan berikat garmen tertua di Indonesia—mengungkapkan bagaimana buruh bekerja dengan status kontrak terus menerus dalam waktu lama. Dari 773 buruh yang menjadi responden penelitian, sebesar 67,14% buruh bekerja dengan status kontrak. Dari angka buruh berstatus kontrak ini, 21 ,99 persen buruh bekerja di atas 10 tahun, 14,62 persen buruh bekerja di atas 7 tahun, dan 13,45 persen buruh bekerja di atas 4 hingga 6 tahun. (Perempuan Mahardika, 2017:16).
Banyak dari buruh kontrak harus bertarung membayar uang kepada para mafia untuk bisa mendapatkan pekerjaan. Karena upah mereka kecil sementara kebutuhan ekonomi tinggi, mereka kemudian terjebak hutang dari lintah darat yang beroperasi di kontrakan buruh. Riset ini juga menunjukan masalah lain yang patut menjadi perhatian, yaitu tingginya angka pelecehan seksual. Tata ruang pemukiman buruh dan lokasi KBN Cakung rentan menyeret buruh perempuan ke dalam praktik kekerasan dan pelecehan.
Persoalan yang juga menjadi sorotan tajam gerakan buruh adalah PHK yang dilakukan oleh perusahaan ketika mereka melakukan relokasi dan ekspansi ke kawasan industri. Perusahaan-perusahaan ini, sebagian besar adalah perusahan garmen dengan modal dari Korea Selatan, memecat buruhnya tanpa pesangon dan hanya memberi uang “terima kasih”. Ada yang kabur sama sekali dan membiarkan buruh bertarung merebut pesangon lewat jalur hukum yang susah diharapkan. Pelanggaran-pelanggaran seperti ini banyak terjadi dan begitu ditolerir. Ketika perusahaan-perusahaan ini pindah ke kawasan industri baru, terutama di Jawa Barat (Majalengka, Indramayu, Kuningan) dan Jawa Tengah (Klaten, Solo, Kendal), mereka tidak mendapatkan hukuman. Malah sebaliknya, mereka disambut dengan keringanan pajak, keleluasaan pengamanan, peraturan upah murah, dan subsidi industri lainnya. Setelah memecat buruh dengan brutal dan kemudian kabur, mereka masih diperbolehkan untuk beroperasi di tempat lain dan tidak menutup kemungkinan melakukan tindakan brutal yang sama.
Melawan Omnibus Law, merevisi UUK 13/2003, dan mendesak penegakan hukum
Seperti telah dijelaskan, Omnibus Law tidak lahir dari situasi perburuhan yang Pancasilais dan harmonis. Jelas bahwa UU Cipta kerja dan peraturan teknisnya tidak akan melindungi dan memperbaiki kesejahteraan buruh. Buktinya, tidak lama setelah Omnibus Law disahkan, Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah mengeluarkan surat edaran yang menyatakan bahwa upah buruh tidak akan naik sepeser pun pada tahun depan.
Dalam aspek ketenagakerjaan, tugas UU baru ini tidak lain hanyalah memperluas cakupan pasar tenaga kerja fleksibel yang sudah dipelopori UUK 13/2013.Ia mengatur kemudahan berbisnis bagi pengusaha dan keinginan pemerintah menciptakan lapangan kerja. Lebih luas lagi, ia memperkuat landasan legal bagi penggunaan buruh murah sebagai upaya menyambut modal yang sedang berbaris menuju kawasan Asia Tenggara.
Sebelum Omnibus Law, pemerintah telah berulang kali mendorong perluasan pasar tenaga kerja fleksibel. Beberapa dari upaya tersebut berhasil, namun tidak sedikit juga yang gagal. Upaya revisi UUK 13/2013 yang diajukan beberapa kali oleh politisi dan pengusaha mendapat penolakan keras dari gerakan buruh. Aksi-aksi demonstrasi dan mogok kerja juga dapat dilihat sebagai hambatan bagi agenda perluasan pasar tenaga kerja fleksibel. Periode 2009 – 2013 merupakan periode yang patut dicatat di mana aksi-aksi protes oleh aliansi serikat buruh seperti demonstrasi Komite Aksi Jaminan Sosial, aksi mogok nasional, grebek pabrik di kawasan industri, dan mogok kawasan industri, berhasil memberikan kemenangan yang tidak sedikit bagi buruh (Panimbang dan Mufakhir, 2018).
Aksi-aksi tersebut meloloskan tuntutan buruh dan memberikan kekuatan tambahan pada gerakan. UU Jaminan Sosial diberlakukan, upah naik rata-rata di atas 30 persen, dan berkat desakan yang kuat dari gerakan buruh pekerja kontrak dan outsourcing yang telah secara ilegal dipekerjakan lebih dari 3 tahun diangkat menjadi pekerja tetap. Yang terakhir ini bisa dilihat pada aksi grebek pabrik yang berlangsung hampir delapan bulan di tahun 2012. Motor dari grebek pabrik ini adalah aliansi serikat buruh di kawasan Bekasi. Mereka merazia pabrik-pabrik yang secara ilegal mempekerjakan buruh kontrak dan outsourcing melampaui ketentuan UUK 13/2013. Pengusaha dan manajemen “ditawan” untuk segera menandatangani surat pengangkatan pekerja kontrak menjadi pekerja tetap. Tidak sedikit buruh kontrak diangkat menjadi buruh tetap dengan proses yang cepat. Grebek pabrik dalam hal ini jauh lebih efisien ketimbang proses hukum (legal) yang sepenuhnya tidak bisa diandalkan.
Perlawanan terhadap Omnibus Law sudah pasti terus didukung oleh gerakan buruh, dan jika berhasil digagalkan, gerakan buruh perlu melancarkan perlawanan lanjutan untuk mendorong revisi UUK agar lebih melindungi buruh. Revisi ini terutama perlu diterapkan pada pasal-pasal yang memperbolehkan penggunaan alihdaya (outsourcing), yang mana telah terbukti menjadi sumber masalah di sektor perburuhan hingga hari ini. Pada Januari 2012, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan beberapa tuntutan buruh dengan mengeluarkan putusan tentang tidak diperbolehkannya penggunaan buruh alihdaya dan kontrak pada bisnis yang bersifat tetap. Hal ini dapat menjadi dorongan hukum bagi upaya revisi atas UUK 13/2003. Selain itu, yang juga penting adalah penegakan hukum ketenagakerjaan. Gerakan buruh perlu mendesak terus agar hukum ketenagakerjaan ditegakan (Marulloh, 2020).
Saat ini telah banyak kawasan-kawasan industri baru dibangun di berbagai daerah berupah murah dan pengusaha telah memindahkan pabriknya ke kawasan-kawasan tersebut. Sayangnya, penciptaan kawasan industri baru ini tidak diimbangi dengan peningkatan kapasitas Disnaker dan bagian pengawasannya. Sementara di sisi lain, akses terhadap PHI juga tidak dibuat mudah bagi buruh. Situasi ini akan semakin memperluas situasi perburuhan yang busuk tersebut ke berbagai tempat, di mana banyak calon buruh upahan akan datang bekerja dengan harapan yang sulit dicapai bahwa mereka akan menciptakan kesejahteraan bagi keluarganya.***
Alfian Al-Ayubby, peneliti di Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS)