Diego Maradona, Sepak Bola, dan Gerakan Kiri

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Illustruth


Pada tahun 2005 Fidel Castro pernah melayani sebuah wawancara televisi.  Ia diwawancarai oleh seorang pria yang mengenakan kaos Ernesto “Che” Guevarra, beranting, berkalung salib, bercelana jin, dan bersepatu kets. Sementara Fidel memakai pakaian khasnya: Pakaian Dinas Luar (PDL) militer warna hijau. 

“Sudah berapa kali Anda diserang, comandante?,” tanya si pewawancara.

“Haha. Tidak ada, karena mereka tidak menembak,” jawab Fidel sambil tertawa.

“Baik, tapi ya syukurlah,” kata si pewawancara sambil tersenyum.

“Menurut semua badan intelijen, ada sekitar 600 kali,” sambung Fidel.

Fidel memang kerap jadi target percobaan pembunuhan semasa hidupnya. Berdasarkan pengakuan mantan diplomat Amerika Serikat di Havana, Wayne Smith, dinas intelijen Amerika Serikat (CIA) dan para pelarian politik Kuba menghabiskan waktu hampir setengah abad berkomplot untuk membunuh Fidel. 

Si pewawancara duduk dengan rileks. Sepasang matanya nyaris tak berkedip atau beralih dari Fidel. Sesekali ia menyilangkan kakinya sambil menyimak serius omongan Fidel. Beberapa kali ia tersenyum bahkan tertawa lepas mendengar lelucon yang dilontarkan pemimpin besar Kuba itu di sepanjang sesi wawancara yang dilakukan untuk program televisi bertajuk La Noche del 10 di mana Diego menjadi tuan rumah.  

Orang itu adalah Diego Armando Maradona. Lima belas tahun setelah wawancara itu, tepatnya pada 25 November 2020, ia meninggal dunia dalam usia 60 tahun. Ia meninggal dunia tepat empat tahun setelah Fidel Castro menghembuskan napas terakhirnya pada usia 90 tahun. Ia tutup usia bukan karena dibunuh musuh-musuhnya, melainkan sakit. 

Diego dan Fidel punya hubungan amat dekat. Diego mengaku berutang budi pada Fidel, karena menganggap El Comandante –sapaan banyak orang untuk Fidel–  menjadi satu-satunya pihak yang mengulurkan tangan ketika banyak pihak lain menolak. Diego menjalani terapi di Kuba saat narkotika menganggu karier gemilangnya di lapangan hijau. “Fidel membukakan pintu Kuba bagi saya ketika banyak klinik di Argentina menutup pintu,” kata Diego seperti dikutip laman resmi Badan Resmi Komite Sentral Partai Komunis Kuba

Selama pemulihan, Fidel memberikan dukungan bagi Diego. “Dia bicara banyak hal tentang narkotika dan soal pemulihan. Dia meyakinkan saya, bahwa saya bisa melewati ini.” Selama tinggal di klinik La Pradera di Havana, Diego mengaku tidak pernah putus asa. Fidel biasanya menelepon Diego jam dua pagi untuk ngobrol soal politik, bisbol atau olahraga apa pun.

Tak heran jika Diego menganggap Fidel sebagai ayah kedua. 


Propagandis Kiri yang Ulung

Selama hidupnya, Diego punya kedekatan tersendiri dengan tokoh-tokoh Kiri di Amerika Latin. Selain dengan Fidel, Diego juga bergaul akrab dengan, antara lain, mendiang Presiden Venezuela Hugo Chávez (1954-2013) dan mantan Presiden Bolivia Evo Morales.  

Fidel bahkan pernah mendorong Diego untuk terjun ke kancah politik, sesuatu yang tak pernah dipenuhinya hingga ajal menjemput. 

Meski demikian, Diego punya peran tak sedikit dalam mempromosikan gagasan para pemimpin Kiri itu melalui media internasional. Ia membantu dengan jalan memberi mereka daya tarik internasional yang lebih luas.  

“Semua yang dilakukan Fidel, semua yang dilakukan Chavez bagi saya adalah yang terbaik (yang bisa mereka lakukan),” kata Diego dalam sebuah acara televisi mingguan Chavez pada 2007.

“Mereka akan selalu bicara soal politik – Diego sangat tertarik pada politik,” kata Alfredo Tedeschi, seorang produser TV asal Argentina yang sekarang menetap di Belgia, dan menjadi teman dekat Diego selama bekerja untuk Reuters di Havana.

Tedeschi menyebut Diego sebagai alat propaganda bagi para pemimpin sayap Kiri Amerika Latin.


Rosario Istimewa

Fragmen lain dari kehidupan Diego Maradona adalah rosarionya yang “istimewa.”

Saya tak bisa bayangkan bagaimana raut wajah mendiang Paus Yohanes Paulus II, saat mendengar komentar Diego seusai keduanya bertemu di Vatikan tahun 1987, setahun setelah pria itu membawa Argentina jadi juara dunia.

Dalam sebuah wawancara pada tahun 2000 dari Kuba untuk program Punto doc (Azul TV), Diego tidak menyembunyikan kritiknya pada Paus Yohanes Paulus II dan menyatakan: “Dia tinggal di tempat dengan atap emas, sementara begitu banyak orang yang kelaparan, lalu dia pergi dan mencium tanah di negara-negara miskin.”

Bertahun-tahun kemudian, ketika Diego dan sejumlah orang mengadakan audiensi, Paus asal Polandia itu memberikan rosario pada masing-masing orang, dan menekankan bahwa rosario milik Diego sebagai sesuatu yang “istimewa”. Mantan bintang sepak bola itu menegaskan: “Tidak ada yang istimewa, rosario ini sama seperti milik orang-orang lain.” Paus menjawab: “Rosario milikmu diberkati”; dan sekali lagi, bintang bola itu bertanya pada Paus: “Memangnya rosario lain itu tidak diberkati?”

Tapi, Diego punya hubungan cukup baik dengan Paus Fransiskus, yang kita tahu, juga berasal dari Argentina. Keduanya berhubungan baik dan beberapa kali bertemu. Sehari setelah Diego tutup usia, Paus menyatakan ucapan belasungkawa. “Paus mengenangnya dalam doa, seperti yang dia lakukan di hari-hari sebelumnya ketika mengetahui kondisi kesehatan Diego,” kata juru bicara Vatikan dalam sebuah pernyataan singkat.

Paus kelahiran tahun 1936 itu beberapa kali bertemu dengan Diego. Pada September 2014, ia menerima Diego di kediaman pribadinya di Vatikan, Casa Santa Marta, untuk membahas sejumlah prakarsa pendidikan dan proyek yayasan kepausan “Scolas Occurrentes”.

Selain itu, “Pibe de Oro” (Si Anak Emas, salah satu julukan untuk Diego) berpartisipasi dalam dua “Pertandingan Damai” sepak bola yang dipromosikan Paus Fransiskus.

Keakraban antara kedua orang ini terjalin tak lama setelah Jorge Bergoglio (nama asli Paus Fransiskus) pada Maret 2013 terpilih sebagai paus asal Amerika Latin pertama dalam sejarah. Maradona saat itu berseloroh: “Dewa sepak bola berasal dari Argentina, dan sekarang paus juga berasal dari Argentina.”

Diego selalu menyebut dirinya sebagai “penggemar Fransiskus” dan menaruh kepercayaan pada Paus Fransiskus, bahkan dalam momen-momen tersulit sekalipun, seperti kala ia harus kembali dari Uni Emirat Arab ke Argentina pada Juni 2015 untuk menemani ayahnya, Don Diego, dalam kondisi kritis dan itu. Don Diego meninggal beberapa hari kemudian pada usia 87 tahun.


Perang Malvinas

Fragmen lain tentang ‘peperangan’ dalam hidup Maradona berada di luar lapangan sepakbola.

Pada tahun 1982 Inggris dan Argentina terlibat dalam perang panas yang memakan korban 255 jiwa prajurit Inggris, dan 655 jiwa serdadu Argentina. Perang itu harus terjadi karena kedua negara memperebutkan sebuah kepulauan. Argentina menyebutnya Kepulauan Malvinas, sedangkan Inggris menyebutnya Kepulauan Falkland. Argentina mengakui kekalahan saat pasukannya menyerah atas Inggris pada 14 Juni 1982.

Kekalahan itu tak luput dari perhatian Diego. Dua gol yang menyingkirkan Inggris pada babak perempat final  Piala Dunia 1986 diakuinya sebagai pembalasan. “Kami seperti mengalahkan sebuah negara, bukan tim sepak bola. Walaupun sempat mengatakan tidak ada hubungan dengan perang Malvinas, kami menyadari ada banyak anak meninggal di sana. Mereka ditumpas bagaikan burung-burung kecil. Inilah pembalasan kami,” tutur mantan mertua penyerang Manchester City Sergio Agüero itu.

Almarhum bapak saya pernah cerita sedikit soal perang ini waktu saya kecil tahun 1980an. Tapi tak banyak yang saya ingat, kecuali bahwa perang itu melibatkan Argentina dan Inggris.

“Inggris dipimpin Perdana Menteri Margaret Thatcher,” begitu kira-kira kata bapak saya saat itu.

Dalam kunjungannya ke Indonesia pada September 2012, Menteri Luar Negeri Argentina Hector Marcos Timerman kala itu sempat menyinggung isu sengketa Malvinas yang dialami negaranya dan Inggris. Timerman mengatakan, Indonesia mendukung klaim Argentina di kepulauan tersebut. 

“Rakyat Argentina menyampaikan pesan yakni berupa ucapan terima kasih atas dukungan pemerintah dan rakyat Indonesia atas klaim kedaulatan kepulauan Malvinas yang saat ini masih berada di bawah koloni Inggris,” ujar Menlu Tiemerman.

Namun hal berbeda diungkapkan oleh Menteri Luar Negeri Indonesia kala itu, Marty M Natalegawa. Menurut Marty, Indonesia tidak berpihak dalam sengketa wilayah antara Argentina dan Inggris tersebut.

“Yang senantiasa kita kedepankan adalah agar masalah ini diselesaikan melalui jalur diplomatik, melalui perundingan. Karenanya Argentina dan Inggris harus duduk bersama menyelesaikan masalah ini dengan berdialog,” sambung Marty.

Ada kesan kuat, kata seorang kawan saya, bahwa rakyat dan media di Indonesia kala itu cenderung bersimpati pada Argentina. Setidaknya itu terlihat dalam preferensi penggunaan kata Malvinas, bukan Falkland, yang lebih banyak digunakan orang Indonesia.


Melampaui lapangan hijau

Tak terbantahkan, Diego Armando Maradona adalah satu talenta terhebat yang pernah dikenal di dunia sepak bola. Di mana-mana, termasuk orang di kota hingga pelosok desa di Indonesia, mengenal sosoknya yang gempal sekaligus lincah meliuk-liuk di lapangan menggiring, menggocek bola, dan mengelabui lawan-lawannya. Lihat saja di sini bagaimana dia melewati dan mengelabui para pemain Inggris, termasuk kiper Peter Shilton pada Piala Dunia 1986. 

Rasanya, tak ada pemain lain yang popularitasnya melampaui jagoan Argentina itu.


Memang, soal raihan gelar ia masih harus mengakui keunggulan para pemain seperti Pele (membawa Brasil tiga kali juara Piala Dunia), Mario Zagalo (membawa Brasil dua kali juara Piala Dunia sebagai pemain, dan sekali sebagai asisten pelatih), Franz Beckenbauer (menjadi juara dunia sebagai pemain tahun 1974 dan sebagai pelatih Jerman Barat tahun 1990). Didier Deschamps pun pernah merengkuh gelar Piala Dunia sebagai pemain tahun 1998, dan sebagai pelatih Prancis dua dasawarsa kemudian. Diego pernah melatih beberapa klub dan tim nasional negaranya, tapi prestasinya tak pernah mentereng.

Tapi, kiprah Diego lebih dari sekadar kehebatannya mengolah si kulit bundar dan meraih gelar bagi timnasnya. Apa yang dilakukan Diego melampaui lapangan hijau. Dia seolah memanfaatkan popularitasnya untuk menunjukkan keberpihakannya pada tokoh-tokoh dan gerakan-gerakan Kiri di Amerika Latin. 

Ia juga punya rasa kemanusiaan yang tinggi. Dalam jumpa pers seusai tim asuhannya Dorados de Sinaloa dipastikan gagal lolos dari babak 16 besar Copa Mexico, ia mengaku tidak tertekan. “Tekanan itu dirasakan orang yang berangkat kerja pukul empat pagi dan tak bisa membawa pulang 100 peso. Itu baru namanya tekanan, karena ia harus memberi makan anak-anaknya. Saya tidak tertekan. Saya punya panci penuh dengan makanan di rumah, dan saya bersyukur,” katanya dalam jumpa pers dengan raut wajah serius.

Diego mengajarkan kita untuk tidak terkungkung pada satu bidang. Dia juga menunjukkan bahwa hidupnya tak cuma soal berlatih bola, bertanding, ikut turnamen, dan meraih gelar bersama timnas maupun klub. Diego juga memberi teladan bahwa harus ada nilai-nilai kemanusiaan dan solidaritas yang diusung, tak peduli apa profesi yang kita geluti, tak peduli di lapangan mana kita berkiprah.

Itulah sebagian kecil sisi kehidupan si jagoan bola legendaris: Diego Armando Maradona.

¡Muchisimas gracias por todo, Diego!***


Fransiskus Pascaries adalah seorang penikmat sepak bola, penulis dan penerjemah, tinggal di Jakarta.  

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.