Sebelum UU Cipta Kerja Disahkan, Situasi Perburuhan di Indonesia Sudah Buruk (Bagian I)

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Jonpey


PRESIDEN Jokowi akhirnya menandatangani produk hukum kontroversial Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) pada 13 November 2020 di tengah demonstrasi yang tidak surut. Sudah banyak kritik yang berbobot diarahkan pada Omnibus Law dengan menguliti kesalahan substansial pasal-pasalnya, metode hukum omnibus itu sendiri, maupun pembahasannya yang tidak partisipatif dan anti demokrasi. Kritik-kritik yang ada juga secara tepat menunjukan bahwa hanya kepentingan pengusaha dan oligarki yang diwakili dari UU cacat tersebut.

Klaster ketenagakerjaan merupakan satu dari sekian klaster yang dirombak oleh Omnibus Law. Dari keempat UU yang dipermak dalam kluster ketenagakerjaan (UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dan UU 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia), yang banyak mendapat tantangan dan kemarahan luas adalah perubahan pasal-pasal penting terkait perlindungan buruh di UUK 13/2013. Pasal-pasal ini terkait hubungan kerja kontrak dan outsourcing (alihdaya), pesangon, hak-hak maternitas, jam kerja, pesangon.

Tulisan ini membahas situasi ketenagakerjaan (perburuhan) yang buruk di Indonesia akibat dari diberlakukannya pasar tenaga kerja fleksibel, yang secara legal disponsori oleh UUK 13/2013. Situasi buruk ini ditandai oleh lemahnya pengawasan dan penegakan hukum ketenagakerjaan. Dari sini kita dapat melihat bahwa tugas dari UU Cipta Kerja, secara spesifik pada klaster ketenagakerjaan, hanya memperluas cakupan pasar tenaga kerja fleksibel dan membuat situasi perburuhan menjadi semakin buruk lagi. Tulisan ini ingin menganjurkan bahwa perjuangan melawan Omnibus Law mesti diteruskan dengan mendesakan tuntutan atas revisi UUK agar lebih melindungi kepentingan rakyat pekerja dan mendorong penegakkan hukum ketenagakerjaan.


Pasar Tenaga Kerja Fleksibel di Indonesia

Pasar tenaga kerja fleksibel sudah mulai diatur secara legal di UU No 25/1997 Tentang Ketenagakerjaan. Namun UU ini dicabut karena mendapat tantangan keras dari gerakan buruh. UUK 13/2013 kemudian dibuat untuk mengganti UU Ketenagakerjaan lama. Pengaturan tentang pasar tenaga kerja fleksibel di UUK 13/2003 ada pada pasal-pasal yang membolehkan penggunaan pekerja kontrak dan alihdaya (pasal 56, 57, 58 59, 60, 63, 64, 65, 66). Beberapa peraturan hukum turunan dari UUK yang juga mendorong fleksibilisasi pasar tenaga kerja adalah Permenaker 19/2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain dan PP 78/2015 Tentang Pengupahan.

Pasar tenaga kerja fleksibel adalah satu dari berbagai item dalam resep yang diberikan oleh Dana Moneter Internasional (IMF)—yang merupakan benteng dari sistem ekonomi neoliberal—ketika Indonesia meminta uluran tangan mereka agar bisa keluar dari lilitan krisis ekonomi. Dalam Letter of Intent (LoI) antara IMF dan pemerintah Indonesia pada Maret 2003, dorongan akan pasar tenaga kerja fleksibel itu tertuang cukup jelas:

Kami bekerja dengan buruh dan kalangan bisnis untuk memastikan bahwa undang-undang (UUK) mencapai keseimbangan yang tepat antara melindungi hak-hak pekerja, termasuk kebebasan berserikat, dan mempertahankan pasar tenaga kerja yang fleksibel (IMF, 2003).

Konsep pasar tenaga kerja fleksibel paling tidak menekankan beberapa hal. Pertama, kemudahan dalam perekrutan dan pemecatan (hire and fire) buruh sesuai dengan permintaan dan kebutuhan produksi. Kedua, pengaturan jam kerja yang lentur sesuai dengan target produksi. Ketiga, kemudahan mempekerjakan buruh dalam berbagai aktivitas dan tugas kerja (buruh didorong memiliki ragam skill). Serta keempat, kebijakan upah yang mencerminkan sisi permintaan dan penawaran di pasar kerja (Atkinson, 1984:11-12; Juliawan, 2010:28-29).

Mengenai ‘kemudahan dalam perekrutan dan pemecatan buruh’, hal ini mensyaratkan penggunaan buruh kontrak dan buruh alihdaya (outsourcing) yang bekerja dengan kontrak jangka pendek. Mereka bisa saja dikontrak langsung oleh perusahaan utama (perusahaan pengguna), maupun direkrut dan dipasok oleh perusahaan/yayasan alihdaya untuk dipekerjakan di perusahaan utama. Sebutan buruh alihdaya biasanya merujuk pada buruh yang direkrut oleh perusahaan alihdaya untuk dipasok ke perusahaan utama.Buruh kontrak dan alihdaya dapat diberhentikan sewaktu-waktu jika periode kontraknya berakhir dan tidak berhak atas uang pesangon.

Para penganjur pasar tenaga tenaga kerja fleksibel berpandangan bahwa jika konsep ini diterapkan, ada banyak orang yang sebelumnya bekerja di ekonomi (sektor) informal yang rentan dan tidak dilindungi hukum, yang akan terhisap ke ekonomi formal. Dengan begitu, lapangan kerja semakin meluas dan problem pengangguran perlahan bisa diatasi. Buruh yang berpindah ke ekonomi formal akan mendapatkan peningkatan keterampilan (skill upgrading), perlindungan hukum, jaminan sosial, pensiun, dan jaminan kesehatan (Nugroho dan Tjandraningsih, 2007). Pasar kerja yang fleksibel juga disebut-sebut menyediakan kemudahan dan kebebasan dalam berpindah kerja, di mana buruh tidak lagi bergantung pada satu pemberi kerja. Buruh memiliki keleluasaan untuk berpindah pabrik dan sektor industri.

Dari sisi negara, mengikuti prinsip ekonomi neoklasik, perannya diharapkan adalah minimal. Negara tidak boleh ikut campur dalam dinamika yang terjadi di pasar kerja karena itu akan menciptakan penyimpangan (Juliawan, 2010:28). Tugas dari negara adalah membuat aturan yang menjamin pasar kerja berjalan sesuai dengan prinsip kebebasan dan efisiensi. Apa yang terjadi di pasar kerja, prosesnya, dinamikanya, sepenuhnya urusan pemberi kerja dan pekerja. Dari pendapat dan pandangan seperti ini, pasar tenaga kerja fleksibel dipercaya sebagai juru selamat atas problem tingginya informalisasi dan pengangguran.


Meluasnya Informalisasi Tenaga Kerja

Sudah banyak pengkaji perburuhan membuktikan akan ketidakmanjuran mantra pasar kerja fleksibel yang terus dikampanyekan IMF, Organisasi Buruh Internasional (ILO), dan yang didukung oleh pemerintahan di berbagai negara. Kemudahan dan kebebasan berpindah kerja yang menjadi ciri pasar tenaga kerja fleksibel dicapai dengan mengorbankan prinsip penting yang diinginkan buruh: kepastian kerja. Kepastian kerja dalam hal status pekerja tetap dengan segala hak yang melekat di dalamnya (pesangon, kontrak kerja, bonus, jaminan sosial, hak berserikat) tidak dijamin karena dianggap oleh pengusaha sebagai hambatan.

Asumsi bahwa penerapan pasar tenaga kerja fleksibel akan menarik banyak orang untuk berpindah ke ekonomi formal tidak terbukti benar. Habibi dan Juliawan (2018) mencatat bahwa dalam hampir tiga dekade (1986– 2014) pembangunan di Indonesia, lebih dari setengah angkatan kerja Indonesia bekerja dalam kondisi yang rentan (precarious). Inilah yang disebut Marx sebagai reserve army of labour (tentara cadangan pekerja) atau surplus populasi relatif. Surplus populasi relatif ini tersusun dari buruh-buruh industri (jasa dan manufaktur) yang bekerja dengan kontrak sangat pendek, buruh informal, buruh-buruh di sektor agraria, dan pengangguran (Habibi dan Juliawan, 2018:7).

Kecuali pengangguran, buruh yang dikategorikan sebagai surplus populasi relatif adalah mereka yang bekerja baik di dalam sektor formal maupun informal, namun tidak dilindungi oleh hukum, tidak memiliki jaminan sosial, tidak mendapat pemenuhan hak-hak buruh lainnya. Pada tahun 2006, jumlah surplus populasi relatif adalah 65.512.641 orang dari total angkatan kerja 106.388.935 orang. Pada tahun 2014, jumlah surplus populasi relatif adalah 71.180.507 orang dari total angkatan kerja sebanyak 121.872.931 orang (2018:15).

Disamping kegagalan ekonomi formal dalam menyerap banyak tenaga kerja, perlahan ia juga mengalami informalisasi (Benanav, 2019). Sebagai contoh, jenis industri manufaktur padat modal seperti elektronik dan otomotif, yang sebelumnya identik dengan pekerja formal dan tetap serta berupah tinggi, kini telah menggunakan pekerja informal pada rantai pasoknya (Sassen, 1997; Chang, 2009). Di Sukabumi, Jawa Barat, sebuah perusahaan pemasok earphone untuk brand terkenal seperti Samsung, Apple, dan LG mempekerjakan warga yang tinggal di sekitar pabrik untuk mengerjakan bagian tertentu dari komponennya. Mereka ini dikenal sebagai pekerja rumahan dan kebanyakan perempuan berumah tangga. Manajemen perusahaan menarasikan hubungan kerja seperti ini sebagai kesibukan di waktu luang setelah melakukan pekerjaan rumah tangga.

Para buruh perempuan pembuat earphone ini bekerja tanpa kontrak kerja dan menerima upah sesuai hasil yang mereka setor. Tentu jumlahnya lebih kecil dari ketentuan upah minimum. Mereka diberikan material produksi yang mengandung zat kimia namun tidak diberi alat pelindung diri. Perusahaan terlihat memindahkan tempat kerja dan resiko-resiko kecelakaan serta penyakit akibat kerja ke luar tembok pabrik. Masalah-masalah yang mengancam kehidupan buruh dibuang ke rumah dan komunitas.

Bagi Chang (2009), meluasnya ekonomi informal terutama di negara-negara Asia tidak lepas dari pergerakan kapital mencari ruang-ruang produksi baru yang kemudian mendesak dan menghancurkan kehidupan sosial non-kapitalis, lalu menghisapnya ke dalam pabrik global dengan informalisasi tenaga kerja sebagai ciri utamanya.


Kelemahan Pengawasan dan Penegakan Hukum Ketenagakerjaan

Berlakunya pasar tenaga kerja fleksibel telah melemahkan sistem pengawasan dan penegakkan hukum ketenagakerjaan. Pengawasan tidak berjalan efektif, sementara problem ketenagakerjaan terus bermunculan. Kelemahan ini salah satunya disebabkan oleh inkompetensi para pegawai Dinas Tenaga Kerja (Disnaker), yang merupakan salah satu ujung tombak penegakan hukum. Banyak pengurus serikat melaporkan bahwa dalam mediasi konflik perburuhan pegawai Disnaker gagal dalam bersikap netral. Nota pemeriksaan yang mereka keluarkan cenderung menyudutkan buruh dan menguntungkan manajemen/pengusaha.

Pada level kelembagaan, instansi-instansi Disnaker mengalami kekurangan pengawas dan tidak mampu melakukan pengawasan secara berkala di pabrik. Hal ini membuat pelanggaran hukum yang berlangsung di tempat kerja berlalu begitu saja. Untuk sebuah kota atau kabupaten yang memiliki ratusan pabrik, hanya tersedia belasan orang pengawas. Selain itu, para pegawai Disnaker—terutama pimpinannya—merupakan birokrat yang dirotasi dari instansi lain di mana mereka tidak memiliki pemahaman tentang masalah perburuhan. Pengawas atau pimpinan Disnaker ada yang dipindahkan dari pengawas pasar tradisional, satpol PP, dinas peternakan hewan dan pertamanan, inspektorat umum, dinas kebersihan (Tjandraningsih, 2012:415).

Sebagai catatan, kita bisa melihat latar belakang pimpinan Disnaker di beberapa provinsi dan kabupaten/kota yang saat ini sedang menjabat. Kepala Dinas Tenaga Kerja Provinsi DKI Jakarta, Andri Yansah, adalah bekas Kepala Dinas Perhubungan. Sakina Rosellasari, Kepala Disnaker Provinsi Jawa Tengah, memiliki latar belakang pendidikan sarjana perikanan dan merupakan pegawai di Dinas Kelautan dan Perikanan. Elia Buntang, Kepala Disnaker Kota Bogor, merupakan mantan pegawai di Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota. Kepala Disnaker Kabupaten Karawang, Okih Hermawan, adalah bekas birokrat di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Kepala Disnaker Provinsi DI Yogyakarta, Aria Nugrahadi, merupakan mantan pegawai di Dinas Pariwisata. Mereka inilah yang menjabat di daerah-daerah dengan konsentrasi kegiatan industri, terutama manufaktur, yang tinggi dan tidak sepi dari masalah perburuhan.

Dalam konteks desentralisasi, rotasi pegawai seperti itu memang merupakan kewenangan pemerintah daerah. Namun dalam level tertentu, ia menunjukan rendahnya prioritas pemerintah atas bidang ketenagakerjaan (perburuhan). Ketenagakerjaan dipandang bukan sebagai bidang yang menangani urusan-urusan kompleks, di mana ia membutuhkan pegawai-pegawai cekatan dan memiliki pengetahuan serta kapasitas yang sepadan untuk mengatasi masalah yang ada. Pemerintah sendiri tidak menganggap penting bidang ketenagakerjaan dan enggan melakukan ‘investasi’ sumber daya manusia dan sistem pengawasan di bidang ini.

Aspek penting lain dari penegakkan hukum yang merugikan buruh adalah penyelesaian masalah perburuhan di pengadilan (Toha, 2010; Suziani dan Arifin, 2016). Sudah menjadi rahasia umum bahwa proses penyelesaian perkara di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) berjalan lambat dan putusan-putusannya tidak ditaati oleh pengusaha. Terlebih lagi, dalam berperkara, buruh harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk melakukan perjalanan jauh sebab PHI hanya beralamat di ibukota provinsi, sementara mereka tinggal di kawasan-kawasan industri yang jauh dari PHI.

Sebagai gambaran, salah seorang buruh yang pernah terlibat dalam proses hukum di PHI terkait pesangon, harus mengikuti proses hukum dan menunggu hingga 4 tahun untuk keputusan pesangon dari pengadilan yang hanya menganjurkan pesangon maksimal senilai 2 juta rupiah. Padahal biaya yang dikeluarkan dalam mengikuti proses yang ada dan menunggu ternyata lebih dari jumlah pesangon tersebut (wawancara HJ, Maret 2019). Suramnya proses berperkara tersebut membuat banyak dari buruh dan serikat yang kritis terhadap sistem hukum memilih menghindar dari PHI. Mereka cenderung memilih menyelesaikan masalah perburuhan secara politik, dalam arti berdemonstrasi, negosiasi, kampanye, untuk mendesak pengusaha menjalankan kewajiban mereka.*** (Bersambung)


Alfian Al-Ayubby adalah peneliti di Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS)

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.