Jalan Mentok Gerakan Islam

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Illustruth


PADA 19 Desember 2014 lalu, Indoprogress mempublikasikan perbincangan antara saya dan Indoprogress dalam tulisan berjudul Tarbiyah yang Dikembangkan oleh PKS sudah Mentok. Sebetulnya itu hanya obrolan santai di warung burjo, yang isinya berpusat pada Forum Diskusi KAMMI Kultural dan aktivisme Jamaah Shalahudin tahun 1990an. Tak disangka, tulisan itu direspons berlebihan dan heboh oleh banyak kalangan. Senior-senior di gerakan mahasiswa tiba-tiba ribut; seorang ‘ustaz’ yang tidak saya kenal menuduh kami “kemasukan paham komunis”; dan orang lain yang juga tidak dikenal menulis panjang di blognya bahwa yang dibawa oleh KAMMI Kultural adalah “wacara absurd.”

Kini enam tahun telah berlalu. Politik nasional menjadi seperti roller coaster—meliuk tapi tak tajam. Dalam beberapa tahun terakhir, partai politik Islam tidak lagi jadi aktor utama dalam pentas politik nasional. Peta politik Islam bergerak, sebagaimana dibilang oleh peneliti, ke “balikan konservatif.” Tokoh-tokoh seperti Rizieq Shihab, Novel Bamukmin dan sejenisnya menjadi penggerak demonstrasi dan mobilisasi politik menggantikan ketua-ketua partai yang kini terjebak dalam politik tenda besar yang dibawa oleh rezim politik.

Selain itu, yang lebih menakjubkan adalah partai-partai politik Islam kini tengah dilanda kegembiraan dengan lahirnya ‘adik-adik kandung’ baru. Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang selama satu dekade terakhir mendominasi politik nasional, resmi punya ‘adik’ bernama Partai Gelora, didirikan oleh mantan presidennya, Anis Matta. Partai Amanat Nasional (PAN) menyusul punya ‘adik’ setahun kemudian, didirikan oleh Amien Rais, dengan nama Partai Ummat. Sementara Partai Bulan Bintang (PBB) sepertinya tinggal tunggu waktu menyusul dua partai lain dalam bentuk Partai Masyumi (baru).

“Jalan mentok” yang kami diskusikan enam tahun lalu sepertinya tidak sepenuhnya ‘mentok’ karena ternyata tarbiyah dan gerakan-gerakan politik Islam punya masa depannya sendiri-sendiri di tahun pandemi ini.

***

Perbincangan kami bertiga bertahun-tahun yang lalu itu berkisar pada tarbiyah—gerakan anak-anak muda yang tampil di masa reformasi 1998. Saya dan Tia Pamungkas pernah menjadi bagian dari gerakan itu di dua masa yang berbeda. Awal-awal 1998, tarbiyah tampil dengan nafas baru gerakan politik Islam. Pada masa itu, sebagaimana kata Tia, adalah “masa-masa yang politis.” Soeharto tampak tak lagi bakal bertahan lama dan semua elite politik mengonsolidasikan diri. NU berkonsolidasi di Gus Dur; Muhammadiyah di bawah Amien Rais; Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) menyusun tenaga bawah dua pemimpin muda mereka, Yusril Ihza Mahendra dan Ahmad Soemargono.

Pun demikian dengan tarbiyah, gerakan yang telah muncul sejak 1980an, terinspirasi (atau memang terpengaruh) oleh gagasan-gagasan politik Ikhwanul Muslimin dari Mesir. Muhammad Najib dan Andi Rahmat, dua juru bicara gerakan ini di masa pendirian, menyebut kemunculan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)–representasi organisasi dari tarbiyah—sebagai “gerakan perlawanan dari masjid kampus.” Pernyataan ini sekaligus menunjukkan basis sosial perkaderan generasi mereka: kampus-kampus negeri.

Quinton Temby menyebut gerakan ini dibawa oleh almarhum ustaz Hilmi Aminuddin, aktivis yang di medio 1970an menempuh pendidikan di Timur Tengah.

Ikhwanul Muslimin pada pada masa itu tengah bangkit kembali setelah 15 tahun direpresi oleh rezim nasionalis Gamal Abdel Nasser yang meninggal tahun 1970. Ia digantikan oleh Anwar Sadat, perwira militer moderat. Ia membebaskan pemimpin-pemimpin Ikhwan dari penjara dan memberikan konsesi pada mereka: silakan kembali ke masyarakat, tapi tidak boleh berpolitik. Pemimpin baru Ikhwan saat itu, Syaikh Umar At-Tilmisani, lantas mengorientasikan ulang gerakan Ikhwan. Dibantu oleh Abbas as-Sisi, pendakwah keagamaan terkemuka, Tilmisani merekrut banyak aktivis mahasiswa, profesional, bisnis, hingga anak-anak muda Mesir untuk bergabung dengan Ikhwan.

Tilmisani juga membangun jejaring global. Di Eropa, perkembangan Ikhwan di antaranya dipimpin oleh Said Ramadan, menantu Hasan Al-Banna yang tidak lain merupakan pendiri Ikhwan, yang eksil di Swiss. Anaknya, Tariq, menjadi intelektual Muslim Eropa kenamaan di kemudian hari. Salah satu Ikhwan, Muhammad Qutb, diterima oleh Raja Faisal di Arab Saudi, dan beberapa yang lain seperti Yusuf Al-Qaradhawi pindah ke Qatar.

Corak Ikhwan era Tilmisani berbeda dengan masa sebelumnya. Pada masa Hasan Al-Banna, Ikhwan cukup kental dengan nuansa ‘Pan-Islamisme’ dan nostalgia akan Khilafah. Sementara di bawah Tilmisani, Ikhwan menjadi gerakan sosial yang efektif. Mereka membangun serikat pengacara dan serikat profesional di Mesir (di antaranya Issam al-Erian dan Abdul Mun’im Abul Futuh). Beberapa kemudian menjadi pebisnis (seperti Khairat AL-Shater) atau akademisi (seperti almarhum Mohammad Morsy). Di luar negeri, jejaring masjid berdiri dengan bantuan dana dari pengusaha-pengusaha Muslim.

Dari sinilah pertemuan antara generasi baru Ikhwan dengan aktivis-aktivis muslim Indonesia bermula.

Di medio 1980an-1990an, gerakan tarbiyah melakukan apa yang disebut Antonio Gramsci sebagai ‘revolusi pasif’—membangun basis sosial dan menantang dua gerakan Islam lain yang sudah mapan, NU dan Muhammadiyah. Secara politik, mereka dekat dengan DDII yang berakar dari sesepuh-sesepuh Masyumi. Kelak, beberapa aktivis DDII dan eksponen Masyumi lama memilih mendirikan PBB, yang membuat beberapa aktivis tarbiyah gamang.

Tahun 1998: momentum datang. Ketidakpuasan terhadap Soeharto mengemuka dan semua gerakan berkonsolidasi. Gerakan-gerakan kiri yang memang sudah lebih dulu dihajar rezim bertumpu di bawah Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan organ-organ progresif lain. Amien Rais dan Gus Dur tampil sebagai dua figur oposisi di bawah Muhammadiyah dan NU, sementara kelompok Marhaenis kian solid di bawah kepemimpinan Megawati Sukarnoputri. Sementara aktivis-aktivis tarbiyah, melalui Forum Silaturrahmi Lembaga Dakwah Kampus, mendirikan KAMMI pada akhir Maret 1998 di Malang dengan dua pemimpin utama: Fahri Hamzah dan Haryo Setyoko.

Mei 1998, ketika Soeharto jatuh, semua gerakan itu berlomba-lomba mendeklarasikan kendaraan politik mereka. Amien Rais mendirikan PAN, Gus Dur membuat PKB, Megawati mendeklarasikan PDIP, dan Yusril membangun PBB. Sementara aktivis tarbiyah maju ke gelanggang dengan mendirikan partai sendiri: PKS. Semua gerakan itu bertransformasi menjadi gerakan politik elektoral dengan pilihan politiknya sendiri-sendiri.

********

22 tahun sudah berlalu. Partai politik adalah partai politik dengan segala kompleksitasnya. PKS lantas masuk ke pemerintahan bersama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)—mantan jenderal tentara, presiden dua periode sejak 2004, yang memang akomodatif terhadap kelompok Islam. Selama pemerintahan SBY, partai politik Islam—termasuk PAN dan PKB—menyemai padi. Di PKS sendiri situasi ini memunculkan dinamika internal. Sayup-sayup terdengar kabar persaingan dua kelompok besar, antara ‘faksi keadilan’ dan ‘faksi kesejahteraan’. Tentu kabar itu tidak boleh beredar di halaqah-halaqah pengajian kader. Semuanya diharuskan untuk tsiqah (percaya) terhadap keputusan elite-elite jamaah.

Pada titik inilah muncul beberapa otokritik yang konon tidak begitu populer di masa itu tapi sebenarnya sederhana: gerakan mahasiswa melupakan basis sosial mereka di masyarakat, luput terhadap problem-problem nyata yang dihadapi oleh umat Islam, dan melupakan pijakan nalar intelektual kritis. Mereka hanya akan menghadapi jalan mentok, digilas oleh nalar politik yang menghisap, dan kehilangan daya kritisnya terhadap kekuasaan. Akibatnya adalah gerakan-gerakan Islam dan partai politik sekadar menjadi kendaraan para pemodal, dimobilisasi oleh elite tertentu, untuk kepentingan yang jauh dari semangat memperjuangkan hak-hak dan kehidupan ekonomi umat Islam di level yang terbawah.

Kritisisme ini pernah kami lontarkan di forum diskusi KAMMI Kultural. Menariknya, pada waktu itu, kami malah dianggap seperti ‘benalu’ di tubuh jamaah dakwah.

Tapi toh waktu juga yang memberikan jawaban. Tak sampai lima tahun berselang, jamaah dakwah pecah. Sebagian tetap bersama dengan ‘jamaah’, dan sebagian lagi—dipimpin mantan presidennya—membentuk jamaah dakwah baru yang (konon kabarnya) ingin lebih ‘progresif’ dari pendahulunya. Tapi setelah setahun berselang, tidak ada yang progresif dari partai baru itu. Orang-orangnya tetap orang-orang yang dulunya, 20 tahun lalu, dianggap sebagai anak muda. Tidak ada pula tawaran kebijakan progresif untuk memperbaiki keadaan umat Islam.

Akhirnya gerakan-gerakan ini menghadapi kutukan sebagai ‘kendaraan politik’ jangka pendek yang habis manis sepah dibuang kekuasaan. Orde Baru awalnya sangat mendukung NU, tapi justru meminggirkannya tahun 1980an. Begitu juga dengan Muhammadiyah dan organisasi lain.

Pengalaman Orde Baru seperti terulang di Pemilu 2014 dan dampaknya terasa hingga sekarang. Polarisasi identitas diembuskan tidak hanya di grup-grup Whatsapp dan Twitter, tetapi juga (sayangnya) dikhotbahkan di mimbar-mimbar Jumat. Nostalgia dengan masa tahun 1955, ketika partai Islam terkonsolidasi di bawah Masyumi, NU dan PSII, menghampiri. Ini tentu tidak salah. Tapi, ketika itu diembuskan bersamaan dengan aspirasi kebencian terhadap identitas, atau dengan mendatangkan kembali ‘hantu’ yang sudah lama meninggal dunia, yang ada justru mobilisasi tanpa tujuan yang produktif.

Apa yang kemudian terjadi adalah gairah-gairah politik ‘atas nama’ umat Islam kian menguat tapi tidak dengan kebijakan yang partai-partai tersebut bawa di parlemen. UU yang melindungi muslimah dari kekerasan seksual tak juga disahkan, sementara peraturan yang melegalkan penindasan terhadap pekerja muslim dan muslimah melenggang kangkung. Alih-alih menperjuangkan perbaikan nasib umat Islam yang terhimpit oleh rezim upah murah, kehilangan tanah yang dicaplok oleh pengusaha tambang dan sawit, dan hak-hak bekerja yang dirampas, partai politik Islam malah menyuarakan hal-hal yang tidak penting. Mereka juga mengalihkan isu omnibus law dan korupsi ke moralitas dan kebencian terhadap identitas tertentu. Sudah itu, punya kebiasaan berpecah belah pula.

‘Ala kulli hal, mungkin partai dan gerakan Islam, sejak tahun 2014, memang sudah menemui jalan mentok. Partai dan gerakan Islam yang kian berjarak ini menjadikan mereka kian tidak relevan, kecuali sebagai tukang stempel oligarki yang tidak peduli dengan nasib umat.

Untuk itulah jalan mentok ini perlu ditinggalkan dengan jalan lain yang lebih terang benderang: jalan sosialisme yang berpihak pada umat Islam—yang jumlahnya banyak itu. Bukan jalan oligarki elite yang hobi memperkaya diri sendiri tanpa peduli pada nasib orang lain.

Ihdinash shirathal Mustaqiim.***


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar adalah mahasiswa PhD di The University of Queensland – UQ, Australia

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.