Humor dan Kebejatan

Print Friendly, PDF & Email

Foto: Ngelmu.co

PISUHAN saya kali ini dipersembahkan oleh kegemasan saya terhadap para juru bicara humor gelap di Indonesia: mereka yang melontarkan lawakan tasteless dan membela lawakan itu dengan mengatakan bahwa manusia pada dasarnya jahat.

Benar. Anda tidak salah membacanya. Humor gelap kini mempunyai juru bicaranya. Coki Pardede, yang beberapa kali menjadi bulan-bulanan warganet karena lawakan kontroversialnya, adalah yang paling bawel dan menjadi bidikan khusus saya. Saya mulai mengenal nama ini dari banyolan awal tahunnya. Berbagai daerah di Jawa banjir bandang dan ia menyindir mereka yang rajin meneriakkan banjir sebagai laknat Allah serta melarang tahun baru lantaran rawan maksiat. “Kalau tahu sama-sama kena banjir, mending semalam mabok dan ng**we,” cuitnya.

Cuitannya tersebut kontan mengundang hujatan dari kiri dan kanan. Semua kurang-lebih menuduhnya tak bernurani terhadap korban banjir. Namun, cuitan ini bukan sekadar produk dari keseleo lidah. Setelah menelusurinya lebih jauh, saya tahu dari mana asal celetukan tersebut. Coki yakin, manusia pada dasarnya jahat bila tak terbelenggu norma. Humor ialah perasaan yang bergolak kala melihat pihak lain menderita. Humor gelap, yang diadvokasinya untuk membongkar kejumudan ranah komedi Indonesia, ialah semurni-murninya humor.

Saya yakin pikiran Coki—sebagai komika veteran—tak muncul dari ruang kedap. Ia menemukan komunitas dan audiens yang antusias dengan lawakan-lawakannya dan memacunya untuk berpegangan teguh dengan filosofinya itu. Pun terbukti, sejahat-jahatnya dan seburuk-buruknya guyonannya, ada saja yang kompak membelanya dengan apologi serupa resep telur ceplok anak kosan: selalu sama. Coki, katanya, menyampaikan humor gelap. Keterbukaan pikiran dibutuhkan ketika membaca ekspresinya.

Masalah saya sederhana. Saya paham di mana gelapnya lawakan tersebut. Tapi, di manakah humornya?

Mari kita ambil satu lagi celetukannya yang sama-sama berangkat dari filosofinya dan mengundang hujatan publik. Cuitannya ini dikirimkan pada akhir bulan Januari sewaktu COVID-19 sudah melumpuhkan China dan akan segera menghantam negara-negara lainnya. “Gong Xi Fa Cai!” cuit Coki. “Apakah di Tiongkok pas angpao dibuka isinya virus Corona?”

Apakah Anda bisa membayangkan saya mengernyit? Kalau ya, itu yang saya lakukan saat pertama kali mendengarnya—merasa aneh bahkan ada yang menganggapnya lucu.

***

Kini, saya cuplik satu humor Gus Dur yang konon dicelotehkannya sewaktu menjabat Presiden RI. Suatu hari, ujar Gus Dur, para pemimpin negara berdialog dengan Tuhan. Presiden AS bertanya kepada Tuhan, “Kapan negara kami makmur?” Tuhan menjawab, “Dua puluh tahun lagi.” Tak menyangka waktu yang dibutuhkan sangat lama, Presiden AS menangis. Presiden Prancis lantas mendapat giliran bertanya. Ia bertanya hal yang sama. “Kapan kami makmur Tuhan?” tanyanya. “Dua puluh lima tahun lagi,” jawab Tuhan. Presiden Prancis pun menangis. Setelah itu, Perdana Menteri Inggris turut bertanya. Pertanyaannya sama. “Inggris baru makmur tiga puluh tahun lagi,” jawab Tuhan. PM Inggris menangis lebih keras.

Terakhir, giliran Presiden Indonesia. “Tuhan,” tanyanya, “Kapan Indonesia bisa makmur?”

Tuhan yang menangis.

Apakah lelucon ini berhasil? Bila patokannya serendah candaan banjir dan Corona sebelumnya, saya rasa ia berhasil. Dan lelucon ini punya struktur yang dapat dibandingkan dengan banyolan Slavoj Zizek pada satu kesempatan. Yesus dan murid-muridnya, ujar Zizek, bermain golf. Ketika bola golf Yesus tercebur ke kolam, Yesus berjalan di atas air dan berusaha memukul bola yang ada di dasar kolam tersebut. Salah seorang murid lantas memperingatkan Yesus bahwa bolanya berada di posisi yang sulit. Hanya pegolf semahir Tiger Wood, lanjut sang murid, yang bisa memukulnya dengan baik.

“Hey! Aku ini Yesus! Aku bisa melakukan apa yang dilakukan Tiger Wood!” balas Yesus.

Tiba-tiba, sekelompok turis Amerika melintas dan melihat Yesus tengah berdiri di atas air. “Ya Tuhan, siapa orang ini?” salah seorang dari mereka berkomentar dengan kaget. “Apa dia pikir dia Yesus?”

Murid Yesus bilang, “Tidak, orang ini pikir dia Tiger Wood.”

Apa yang terdapat pada kedua lelucon barusan ialah yang tidak ada pada lelucon Coki. Keduanya menjadikan Tuhan subjek utamanya? Benar. Namun, yang saya maksudkan membedakan mereka dari lelucon Coki ialah, mereka bermain dengan penyimpangan ekspektasi. Dan anasir mendasar dari humor—saya cukup fundamentalis dalam hal ini—ialah pengkhianatan terhadap kelaziman. Dalam elaborasi Terry Eagleton, ia “menyeruak dari benturan di antara aspek-aspek yang tidak sebangun—peralihan sudut pandang mendadak, ketergelinciran makna yang tak terduga, disonansi dan ketidakcocokan yang memikat, momen di mana yang akrab menjadi asing dan lain sebagainya.”

Saya cukup yakin konsep ini tak mewakili humor naratif tertulis belaka. Resep lawakan berdikari, yang mana saya percaya Coki juga mengetahuinya, ialah manifestasi yang sangat rapi dari struktur barusan. Ada set up dan ada punchline. Ia dimulai dengan situasi yang terasa biasa-biasa saja, diakhiri dengan kejutan yang menjungkirbalikkan. Arie Kriting, misal, pernah mengeluhkan di depan panggung kemuakannya dengan stereotip orang Indonesia Timur sebagai “keamanan” dan bagaimana dirinya ditunjuk melulu sebagai seksi keamanan dalam kepanitiaan kuliah. Ia akhirnya protes ke dosennya. Dosennya mendengarkannya. Ia pun ditunjuk sebagai seksi konsumsi.

Punchline-nya? Di hari-H acara, ia ditugaskan menjaga makanan agar tidak ada yang mengutil. Arie, yang merasa tugasnya tidak ada bedanya dengan keamanan, tercenung.

Masih butuh contoh lainnya bagaimana humor mengulang-ulang struktur yang saya sebutkan? Coret-coretan jenaka di toilet umum bahkan mengindahkan asas ini. Satu coretan yang hinggap dari toilet ke toilet, misalkan: “bebas tapi sopan.” Coretan ini merupakan penyimpangan cerdas terhadap kecenderungan pejabat di Indonesia yang sok demokratis, yang selalu bilang mereka akan menjamin kebebasan asal mahasiswa atau warga tak melanggar suatu batasan yang penerapannya lebih mulur ketimbang karet gelang.

Sementara itu dalam pikiran Coki, humor direduksi menjadi olok-olok. Tak heran, beberapa leluconnya yang viral itu tampak diracik sambil pelawaknya terobsesi menyinggung orang ketimbang membangun pelintiran yang menggelitik akal dan perasaan. Cacing pita babi akan menjadi mualaf kalau sari-sari kurma masuk ke pori-pori babi? Ia jelas tidak lucu—kalau tak mau mengatakannya malas dan miskin imajinasi karena hanya mengincar merendahkan pihak lain tanpa memikirkan penyajiannya yang efektif.

Betapapun irisan di antara humor dan kenestapaan orang lain bisa dipahami, ia bukanlah jantung humor itu sendiri. Olok-olok yang mengena memantik ketidaksebangunan yang menggelitik. Slapstick ialah dan akan selalu menjadi genre yang sah dan lumrah dari humor. Semua banyolan yang saya jadikan ilustrasi di atas melibatkan pihak yang ambyar martabatnya. Namun, kalau Coki bilang adalah naluri kita untuk kontan menertawakan mereka yang terjatuh karena terpeleset kulit pisang, Anda tak akan menganggap lucu seseorang yang terjatuh dan belakang kepalanya membentur tanah. Anda tak akan tertawa menonton Jagal terlepas Joshua Oppenheimer berulang-ulang menggambarkan Anwar Kongo secra karikatural.

Mengapa kita punya genre bernama tragedi yang sama universalnya dengan komedi kalau kemalangan orang lain pada dasarnya cuma menggelitik?

***

Dan kini saya tiba di aspek paling berbahaya dan tak dapat diterima dari filosofi humor Coki Pardede.

Pernahkah Anda mendengar bagaimana para neofasis membela ujaran kebencian mereka? Mereka menjadikan demokrasi—yang sebenarnya mereka injak-injak—sebagai dalih belaka. Mereka mengolok-olok dan membahayakan minoritas—Anda sudah hapal ini. Alih-alih menawarkan program yang masuk akal, mereka mengatrol elektabilitas semata dengan menyerang yang lain dan menjadikannya kambing hitam segala macam krisis dan kenestapaan. Dan dalam mewajarkannya, mereka biasa berdalih bahwa mereka sedang bertindak dalam kerangka kebebasan berekspresi—dan adalah hak asasi mereka untuk menyuarakan keresahan mayoritas terhadap minoritas.

Bukan kebetulan hal ini mengingatkan saya dengan lawakan-lawakan gelap Coki dan apologinya maupun komunitasnya. Lawakan-lawakannya tidak berselera. Di sisi lain mesti diakui, mereka merupakan pengerek ketenaran yang ciamik. Coki membidik penanda-penanda yang paling mengaduk-aduk emosi dan mengantarkannya ke tengah perhatian publik setiap kali mengekspresikannya. “Infidel” merupakan nama Twitternya dan saya tak bisa menampik pikiran bahwa ia memilihnya karena menampakkan diri sebagai pembangkang sekaligus pahlawan.

Namun, apa dampak ketika kebebasan berekspresi dan humor dieksploitasi untuk membenarkan manuver semacam itu? Ia melazimkan praktik-praktik menyikat yang lain semata demi mengerek diri sendiri. Dan selagi melakukannya, ia mempromosikan citra manusia yang pada dasarnya jahat, individualis, gemar menjadikan yang lain bulan-bulanan. Filosofi humor Coki, yang mencitrakan lelaku mencari panggungnya sebagai praktik yang gagah dan mentereng, mengobjektivasi pandangan hidupnya yang tak bertanggung jawab.

Konsekuensi pandangannya, semurninya manusia ialah mereka yang menjahati yang lain demi tawanya sendiri. Terdengar tak asing untuk Anda yang hidup dalam situasi neoliberal? Dan dalam semesta pandangannya, humor adalah bukti paripurna akan kebejatan hakiki manusia tersebut.

Saya tak percaya humor memiliki watak bawaan progresif. Penulis seperti Alenka Zupančič memperingatkan bahwa komedi dapat melanggengkan penindasan. Lewat komedi, kita dapat digiring buat menormalisasi status quo dan merasa memiliki kebebasan terlepas bahwa ia hanya ilusi. Lewat acaranya yang menghibur, Stephen Colbert, misalnya, memotret invasi AS di Irak yang otoriter dan keji sebagai upaya mulia menghadirkan demokrasi di tanah Arab. Akan tetapi, manuver Coki ialah tendangan jorok ke selangkangan yang mesti saya tanggapi. Ia berpotensi menghasilkan para penggetol komedi dengan semesta bejat serupa, wabilkhusus dengan minimnya referensi teoretis tentang humor di sekitar kita. Pembela individualisme neoliberal sudah terlalu bejubel. Jumlah mereka tak perlu bertambah lagi.

Maka, sekali lagi saya katakan kepada Anda: ia ngawur. Lelucon-leluconnya jelek—dibilang receh pun belum bisa. Klaim gelapnya hanya selubung untuk provokasi yang mengundang reputasi. Filosofinya tak lebih dari manuver Public Relations untuk mendandani perburuan vulgar akan perhatian di era ekonomi perhatian. Tempatnya adalah di antara nama-nama peselancar kebisingan seperti Tengku Zulkarnain dan Permadi Arya.

Dan apa yang lebih baik untuk menutup tulisan ini selain satu guyonan yang menunjukkan humor gelap, SARA yang didambakan Coki tak selalu harus kejam belaka?

Sinterklas bertanya kepada seorang anak apa yang diinginkannya sebagai hadiah Natalnya. Sang anak menjawab ia menginginkan unicorn. “Wah, saya tak bisa memberikan itu, Nak,” timpal Sinterklas. “Coba minta yang lain yang lebih masuk akal.” Sang anak berpikir sejenak. Ia lantas teringat ibunya pernah mengeluh dengan sangat muram bagaimana gereja-gereja dipersulit mendapatkan izin, bagaimana gereja-gereja yang ada ditutup.

“Bagaimana kalau izin mendirikan tempat ibadah?” pinta sang anak.

“Jadi,” balas Sinterklas setelah tercenung beberapa saat, “kamu mau unicorn warna apa?”***


Geger Riyanto, Mahasiswa Ph.D. Institut Antropologi Universitas Heidelberg

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.