DALAM salah satu pernyataannya yang seringkali disalahpahami, Karl Marx konon pernah mengajukan kritik terhadap agama: “Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of a heartless world, and the soul of soulless conditions. It is the opium of the people” . Agama adalah keluh kesah dari masyarakat yang tertindas, hati dari dunia yang tidak berhati, dan jiwa dari keadaan tidak berjiwa. Agama adalah candu masyarakat.
Kalimat ini sudah sering dijadikan argumen salah kaprah yang melihat sosialisme sebagai ideologi anti-agama, kendati sudah banyak kritik yang mencoba menempatkan kalimat itu pada konteksnya yang tepat, bahwa bukan soal “agama” yang jadi kritik Marx, tapi pada “peran agama dalam masyarakat” yang menjadikan agama menjadi kehilangan ruh progresifnya.
Tapi ada yang menggelitik dari tulisan Marx di kitabnya yang sama. Marx menulis,
It is the immediate task of philosophy, which is in the service of history, to unmask self-estrangement in its unholy forms once the holy form of human self-estrangement has been unmasked. Thus, the criticism of Heaven turns into the criticism of Earth, the criticism of religion into the criticism of law, and the criticism of theology into the criticism of politics.
Menurut Marx, adalah tugas filsafat, yang juga tugas sejarah, untuk menyingkap pengasingan diri dalam bentuk-bentuknya yang tidak suci begitu bentuk-bentuk pengasingan diri yang suci tersebut sudah disingkap. Jadi, kritik terhadap surga harus juga diturunkan menjadi kritik terhadap bumi, kritik terhadap agama harus diturunkan menjadi kritik terhadap hukum, dan kritik terhadap ‘teologi’ menjadi kritik terhadap ‘politik’.
Di sinilah, saya kira, kritik Marx terhadap agama menjadi relevan.
***
Kita berada di penghujung tahun 2019. Pemilu parlemen dan Pilpres sudah usai. Hasilnya tidak ada yang mengejutkan. Hanya, mungkin kekalahan baik bagi mereka yang mendaku diri progresif dan yang mendaku diri Islami. Tidak ada yang progresif dan Islami dalam politik transaksional yang dihadirkan oleh kedua belah kubu di Pemilu tahun ini. Bahkan juga di Pemilu tahun 2014 silam.
Pilpres 2014 silam, konon, memberikan banyak pelajaran bagi partai-partai Islam. Kita bisa melihat, di tahun 2014 partai-partai Islam memainkan peran yang jelas-jelas tradisional. Klise. Tidak ada gagasan atau wacana baru yang mereka tawarkan di Pemilu. Kita bisa lihat dengan mata kepala sendiri apa yang “dijual” oleh partai-partai Islam: tidak jauh-jauh dari peci, sarung, atau serban. Mungkin ditambah sedikit dalil dan ceramah. Sedikit yang lain berjualan filantrofi, sembako murah, atau aksi sosial. Lalu kalau ada yang mau mengucurkan dana, diterima.
Tapi yang terjadi di tahun 2019 tidak lebih baik. Politisasi agama muncul dalam bentuknya yang paling profan: saling menuding satu kubu “didukung ulama” dan kubu yang lain “penista agama”. Yang terjadi bukanlah menurunkan ide-ide Islam dalam kebijakan publik, sebagaimana yang sering diceramahkan dalam halaqah dan komunitas-komunitas pengajian. Atau, mungkin, dengan membela para pembela lingkungan dan kyai-kyai rakyat yang berada di akar rumput untuk membela tanah dan lingkungan dari kerusakan dan perampasan. Yang terjadi adalah sekadar melakukan “klaim” atas tindakan yang paling Islami, melakukan politisasi atas praktik-praktik keagamaan, tanpa pernah mengejawantahkan itu ke dalam kehidupan yang nyata.
Partai-partai Islam hari ini, tanpa pernah sadar, melaksanakan apa yang sudah dikritik oleh Marx berabad-abad silam: menjadikan “Islam” sebagai candu bagi masyarakat, menghilangkah ruh agama sebagai penolong kesengsaraan umum, dan menjadikan Islam berada dalam wujudnya yang paling profan.
***
Sepuluh tahun di era “rezim” Susilo Bambang Yudhoyono lalu, kita melihat partai-partai Islam berduyun-duyun masuk pemerintahan. Mereka tak ingin ketinggalan dalam pembagian “harta rampasan perang”. Jadilah kita temui banyak Menteri dari partai Islam. Menteri Kominfo dari partai a, Menteri Sosial dari partai b, Menteri Agama dari partai c.
Berada di pemerintahan sebenarnya bisa menjadi menjadi semacam “laboratorium ideologis” dari partai politik untuk menerjemahkan visi-visi Islami yang dibawa oleh partai-partai Islamn tersebut menjadi kebijakan. Jadi Menteri itu amanah yang mulia sekaligus berat. Sebab, yang dibawa ketika jadi Menteri itu adalah kepentingan umat; dan sang Menteri harus mampu menerjemahkan apa yang diinginkan konstituen, atau apa yang dipercayai dalam haluan partai, menjadi kebijakan yang real.
Tapi apa yang terjadi? Sepuluh tahun berada di dalam kabinet, sepuluh tahun itu pula partai Islam bermain-main dengan kebijakan. Alih-alih menjadikan program kementeriannya “ideologis”, mereka malah membawa para broker untuk menghamburkan uang negara. Kita akhirnya pun jadi tahu banyak yang terjerat kasus korupsi: dari Dana Haji, Impor Daging Sapi, Bantuan Sosial yang semuanya beredar di sekeliling kementerian yang berada di bawah amanah partai Islam.
Dua problem bisa kita lihat di sini: Pertama, partai-partai Islam menjadikan Kementerian itu hanya sebagai lokasi transaksi politik. Kedua, mereka sama sekali tak punya visi Islam, bahkan lebih parah: tak paham dengan pendekatan-pendekatan dalam membuat kebijakan dan tak paham cara mengartikulasikan Islam dalam kebijakan. Akibatnya, siapapun Menterinya, pendekatan yang mereka pakai adalah pendekatan lama, bahkan tak jarang yang digunakan adalah pendekatan dari donor! (yang dianggap oleh banyak aktivis partai Islam sebagai “kafir”).
Kita bisa lihat satu contoh ironis: partai-partai Islam umumnya sangat alergi dengan yang namanya “neoliberalisme” atau “intervensi asing”. Tapi, persoalannya, dimana partai-partai itu ketika ada pembahasan UU Pendidikan Tinggi yang jelas-jelas dibiayai melalui skema pinjaman Bank Dunia dan memakai framework Bank Dunia? Undang-Undang itu sah dengan mulusnya, diamini oleh para Ustadz di Komisi yang membidangi pendidikan, dan di saat kampanye 2014 dan 2019 lalu mereka mengatakan: tolak intervensi asing dan bangun kedaulatan.
Padahal, Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an Surah Ash-Shaff ayat 3: Kabura Maqtan ‘Indallaahi ‘an taquulu maa laa taf’aluun. Amat besar kebencian di sisi Allah jika engkau mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.
***
Akibatnya, wajar kalau partai-partai Islam tertatih-tatih di Pemilu 2014 dan gelagapan di Pemilu 2019. Partai-partai Islam hari ini memang punya politisi yang handal dalam memobilisasi massa, ahli dalam lobi politik, piawai dalam tikung-menikung dan membuat manuver politik. Akan tetapi, ketika membuat kebijakan, yang terjadi adalah para teknokrat, broker, dan konsultan-konsultan neoliberal yang bermain. Para politisi dari berbagai macam ideologi –tak terkecuali partai Islam –gagap dalam membuat kebijakan.
Padahal, umat Islam tidak butuh ceramah dan retorika kampanye yang kebanyakan normatif dan sampah itu. Umat butuh kebijakan untuk menyelesaikan problem-problem real di masyarakat.
Implikasi parah yang dihasilkan dari hal ini adalah munculnya kader dan simpatisan partai yang fanatik. Mereka fanatik bukan karena kerja atau visi-misi partainya, tetapi pada tubuh partainya. Partai, meminjam Marx, menjadi semakin fethish. Di media sosial banyak orang-orang menyebalkan seperti ini. Banyak media “Islam-Islaman” yang mati-matian membela simbol Islam tapi tidak ada gaungnya ketika pertarungan wacana terjadi dalam pembuatan Undang-Undang.
Masalahnya sederhana: partai tidak dibangun dengan gagasan dan visi yang konkret. Kita bermain dengan jargon, dengan kebanggaan masuk sebagai staf khusus, tapi tanpa topangan ideologi dan basis intelektual yang jelas, tanpa adanya keterikatan dengan umat Islam yang berjuang dengan masalah mereka di akar rumput.
Kita akhirnya melahirkan orang-orang yang fanatik dengan Islam, berteriak-teriak untuk “membela” Islam, tapi kebingungan ketika berdiskusi tentang fondasi fiqh dari kehidupan sehari-hari. Fanatisme semacam inilah yang, sadar atau tidak, membuat banyak orang illfeel dengan politikus-politikus yang mendaku diri mereka Islami. Di media sosial, pembelaan-pembelaan yang muncul jarang yang disertai dengan argument sehingga yang terjadi adalah debat kusir. Sama sekali tidak mencerahkan dan tidak mendidik kita secara politik.
Semakin mengerikan lagi, partai-partai Islam gemar dengan teori konspirasi. Hanya karena mata yang sipit, lalu ditudinglah lawan politik sebagai Cina. Hanya karena pemberitaan positif di media-media internasional, muncullah tudingan intervensi asing. Atau, yang lebih parah, hanya karena berfoto di makam Boris Yeltsin, dituduhlah lawan politiknya sebagai PKI! Tuduhan-tuduhan di atas belum termasuk lluminati, konspirasi Yahudi, dan Kristenisasi.
Akhirnya, karena gemar berkonspirasi, umat Islam justru gampang sekali tersesat isu-isu yang tidak bisa dibuktikan dengan jelas. Inilah yang membuat partai-partai Islam terkena kutukan “partai menengah”. Digdaya di kandang sendiri, garang di hadapan jutaaan massa yang turun ke jalan, tapi tidak berdaya di hadapan oligarki dan elite-elite penguasa yang punya modal dan senjata.
***
Akhir tahun 2019, kita punya momen bagus untuk muhasabah akhir tahun. Pemilu tahun 2019 memperlihatkan tidak ada yang progresif dan Islami dari politik Indonesia; semuanya adalah soal kepentingan. Persoalannya, kepentingan siapa yang kita wakili? Apa yang mau didorong dalam politik?
Hal-hal di atas menunjukkan satu hal: partai Islam harus berbenah, melakukan Otokritik dan memperkuat basis pengetahuan mereka selama lima tahun ke depan. Cukuplah kita dipertontonkan oleh drama yang memuakkan di Pilpres 2019 kemarin. Kalau Partai Islam ingin keluar dari jerat mereka sebagai pelengkap penderita dalam politik Indonesia, maka tak ada pilihan lain selain kembali ke massa, kembali memperbaiki basis ideologis dan intelektual, dan memajukan pikiran tentang kemaslahatan umum alih-alih hanya berpikir untuk membajak fasilitas negara untuk kepentingan golongan.
Namun, masalah Pemilu 2019 bukan hanya soal elite-elite partai Islam yang semakin lama semakin ngehek. Biarlah itu menjadi urusan mereka. Yang menjadi persoalan adalah posisi kita sebagai umat Islam yang setiap lima tahun sekali menjadi konstituen mereka. Politik bukan hanya soal negosiasi elite. Politik adalah bagaimana mengejawantahkan visi-misi agama untuk kemaslahatan bersama. Sebagai pemilih, tak ada pilihan lain selain menjadi pemilih yang kritis –tidak hanya ketika Pemilu, tetapi juga dalam kebijakan-kebijakan. Jangan sampai kita mengorbankan demokrasi dan kebebasan berpendapat, yang selama ini sudah kita nikmati bersama-sama, hanya karena partai-partai politik tersebut impoten dalam memenuhi hak-hak kita sebagai warga negara.
Dan artinya, kita punya tanggung jawab untuk mendorong agenda kita sendiri dalam kebijakan, tanpa harus bergantung pada orang-orang yang mengklaim mewakili kita di pemerintahan dan parlemen. Hari ini, kita menyaksikan politik dalam bentuknya yang paling profan, lengkap dengan keanehan yang dipertontonkan sebagai hal-hal normal. Tugas kita adalah mengingatkan kalau para pengambil keputusan adalah orang-orang yang beragama; mengingatkan bahwa Islam bukan hanya soal ibadah mahdhah atau zikir yang dilafalkan ketika pagi dan sore, tetapi juga kritik terhadap perilaku politik dan kekuasaan yang menindas. Dan Nabi Muhammad sudah memberikan teguran keras pada para penguasa zalim,
“Sesungguhnya manusia yang paling dicintai oleh Allah pada hari kiamat dan paling dekat kedudukannya di sisi Allah adalah seorang pemimpin yang adil. Sedangkan orang yang paling dibenci oleh Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah adalah seorang pemimpin yang zalim.” (HR. Tirmidzi)
Nashrun Minallah wa Fathun Qariib.***