Dari Senopati ke Slipi: Kisah Singkat Mahasiswa yang Marah Pasca-Reformasi

Print Friendly, PDF & Email

Kredit foto: The Straits Times.


Masa Ospek…

‘DEMO? ngapain? Apa-apa udah enak gini kok masih aja demo.’

Kurang lebih, itulah yang dikatakan Zulfikar alias Fiki (21) kepada teman SMA-nya saat mengikuti orientasi mahasiswa di suatu kampus di bilangan Jakarta pada pertengahan tahun 2016. Saat itu ia masih berusia 18 tahun. Sudah merupakan rahasia umum kalau orientasi mahasiswa semacam itu tidak lain hanyalah berisi perkenalan dan ajakan untuk berpartisipasi di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan hal-hal yang berbau aktivisme pada umumnya.

‘Basi, udah gak jaman, Orde Baru udah runtuh, udah reformasi, udah gak ada diktator kayak Pak Harto siapa yang mau didemo coba,’ pikir Fiki setiap mendengar ajakan-ajakan seniornya saat itu. Dalam benaknya, kondisi Indonesia saat itu sudah jauh lebih baik dibanding era Orde Baru yang dia dengar dari orang tuanya atau bacaan-bacaan di media sosial.

‘Kalopun gak jauh lebih baik, seenggaknya udah berubah banyak! Mending gua pastiin jadwal anak-anak…jadi gak ya ntar malam di Senopati?’ pikir Fiki.

Fiki mungkin saat itu belum sadar kalau tumbangnya Soeharto tahun 1998 sebenernya masih menyisakan satu antagonis utama, yang masih ada bahkan tetap menggurita hingga sekarang, menunggu waktu yang tepat untuk menciptakan Soeharto-soeharto baru dan Soeharto-soeharto kecil: Oligarki.

Kehadiran oligarki dalam politik Indonesia pasca-reformasi bukan hal yang baru. 15 tahun yang lalu, Richard Robison dan Vedi Hadiz (2004) dalam bukunya yang berjudul “Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets” mengatakan bahwa oligarki yang memprivatisasi aset dan otoritas negara pada zaman Orde Baru telah berhasil untuk membajak proses reformasi dengan cara bersekongkol dengan para aktor politik oportunistik yang muncul seiring demokratisasi. Teori oligarki ini telah menjadi semacam acuan utama diskusi politik Indonesia di tingkat nasional maupun lokal di kalangan akademisi. Pengamatan mereka tertuju ke berbagai mekanisme penguatan oligarki seperti penjamuran dan penguatan ormas kekerasan (Beittinger-Lee, 2009; Wilson, 2015), kemunculan ‘raja-raja kecil’ yang menguasai politik dan ekonomi daerah (Okamoto dan Rozaki, 2006), serta penguasaan media mainstream oleh sejumlah elit politik papan atas (Tapsell, 2015).

Namun, pemikiran Fiki tidak sepenuhnya naif. Pasca reformasi 1998, Indonesia memang dilanda berbagai konflik horisontal yang perlahan reda sejak 2004. Agaknya, tidak berlebihan jika kita berpandangan kalau pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah menstabilkan Indonesia terutama dari segi ekonomi dan keamanan. Ironisnya, stabilitas ini merupakan dampak persengkokolan di antara oligarki itu sendiri. Di tingkat nasional, lanskap politik kepartaian relatif stabil di bawah hegemoni Golkar, PDIP, dan Partai Demokrat, serta elemen Islam politik yang berfragmentasi tetapi tetap pada orientasi moderat (Mietzner, 2008). Sementara itu, stabilitas di tingkat lokal telah tercapai berkat kehadiran sosok raja-raja kecil yang menggenggam kontrol atas pemerintahan, ekonomi dan tidak jarang juga kelompok kekerasan (Okamoto and Rozaki, 2006). Harga yang harus dibayar dari stabilitas tersebut adalah buruknya administrasi dan layanan publik yang merupakan pertanda dari kuatnya ikatan klientelisme di daerah yang bersangkutan (Berenschot, 2018).

Kondisi seperti inilah yang akhirnya membuat masyarakat mengidam-idamkan sosok pemimpin yang dianggap bersih, tidak birokratis, dan dekat dengan rakyat.

Nama-nama baru pun muncul dalam kancah politik Indonesia seperti Ridwan Kamil di Bandung, Risma di Surabaya, serta Joko Widodo di Solo, yang akhirnya menjadi Gubernur DKI bersama Basuki Tjahaja Purnama (BTP), dan kemudian memenangi Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) di tahun 2014.

Tentu saja, layaknya kelas menengah Jakarta pada umumnya, Fiki dan keluarganya juga berharap pada sosok-sosok yang biasa disebut ‘reformis populis’ (Mieztner, 2015; Hadiz and Robison, 2017) tersebut. Sosok-sosok yang dianggap bisa melampaui kebuntuan politik seperti biasanya, kebuntuan-kebuntuan dari business as usual, dengan pendekatan yang kelihatannya lebih dialogis dengan rakyat.

Ayah Fiki yang sebelumnya cenderung apolitis semenjak reformasi kini punya harapan dan senantiasa membagikan ‘harapan-harapan’ tersebut di grup WhatsApp keluarga.

Kebiasaan baru ayahnya ini terkadang mengusik Fiki karena pamannya merupakan pendukung  kelompok-kelompok Islam konservatif yang juga sangat suka berbagi ‘harapan’ di internet. Sejak 2013, grup WhatsApp keluarga Fiki menjadi gaduh layaknya pertandingan Persib vs. Persija di Senayan. Hanya saja, kali ini bangku penonton bukan berisi puluhan ribu pendukung melainkan puluhan ribu disinformasi dan kakofoni yang saling berteriak kepada satu sama lain.

Benarkah bahwa gelombang baru reformisme dan juga konservatisme ini adalah ‘harapan baru’?

‘Gak usah left bro, di mute aja,’ ujar Fiki kepada teman kuliahnya yang mengalami masalah serupa.


Harapan Palsu dan Game of Thrones

Kehidupan kemahasiswaan Fiki pada tahun-tahun setelahnya berlangsung ‘normal.’ Di tengah-tengah suasana sosial Indonesia yang begitu terpolarisasi sejak Pilkada DKI Jakarta dan Aksi Massa 212, Fiki memutuskan untuk tidak ingin berpartisipasi pada kegiatan BEM atau demonstrasi lainnya karena menurutnya aksi-aksi pada saat itu merupakan ‘titipan.’ Ia memutuskan untuk tetap ‘waras.’

Tanpa disangka, justru pengalaman sehari-harinya lah yang membuka matanya. Ia menyadari keberadaan ‘raja-raja kecil’ setelah sering ditraktir oleh seorang temannya yang merupakan anak Bupati dari Timur Indonesia. Mereka bersahabat baik, hingga dalam suatu perjalanan bersama tahun 2017, Fiki tak sengaja membaca artikel tentang aksi protes Ibu-ibu Kendeng di Twitter.

Perasaannya langsung campur aduk. Bingung. Di satu sisi, ia menikmati jalan tol buah karya pemerintahan Jokowi, tapi disisi lain, ia murka. Murka melihat hilangnya rasa kemanusiaan pemerintah. Hilang atas nama pembangunan.

Tentu, bukan hanya Fiki yang melihat hal serupa dalam karakter pembangunan pemerintahan Jokowi. Penelitian kontemporer mengenai politik Indonesia memberikan label ‘developmentalis kelas menengah’ bagi diskursus mengenai pembangunan Indonesia pada periode pertama kepemimpinan Jokowi (Baker, 2016). Hal ini jelas berseberangan dengan citra awal Jokowi yang dibungkus sebagai sosok yang dekat dengan rakyat kecil dengan metode blusukan-nya.

Tahun 2018. Kebingungan Fiki terhadap kondisi sosial di sekitarnya mulai bermetamorfosa menjadi keresahan. Kebiasaannya untuk mencari teori-teori tentang serial Game of Thrones di Reddit dan kutipan-kutipan galau di Tumblr untuk selanjutnya di-post di social media yang lain terhambat semenjak dua situs tersebut termasuk dalam daftar panjang situs yang diblokir di era pemerintahan Jokowi.

Tindakan pemblokiran merupakan gejala yang bisa dikaitkan dengan tendensi authoritarian turn atau belokan otoritarian-nya Jokowi, dimana pemerintahnya melawan iliberalisme populisme konservatif yang mengemuka pasca kekisruhan politik di sekitaran Pilkada Jakarta 2017 dengan iliberalisme atas nama ‘keberagaman’ dan ‘stabilitas’ (Mietzner, 2018). Kita bisa bilang bahwa beberapa tahun terakhir ombak populisme di Indonesia berubah menjadi ombak mobilisasi massa yang tak jarang lekat dengan nuansa intoleran dan keroyokan di ruang siber. Bagi pemerintah, ini tentu menjadi ancaman stabilitas negara dan demokrasi (prosedural). Namun, tindakan yang diambil pemerintah justru mempertajam polarisasi dan memperburuk masalah yang ada .

Dalam hal ini, tak dapat disangkal jika pemerintah memanfaatkan instrumen hukum, seperti misalnya penggunaan pasal-pasal karet dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk menyingkirkan salah satu basis dukungan oposisi (kelompok Islam puritan) yang semakin menguat dengan (Power, 2018). Namun, diskursus nasionalis versus Islam puritan pun akhirnya menjadi tidak relevan lagi sejak Jokowi memilih K.H Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden dalam Pilpres 2019.  Fenomena gembosnya gerakan Islam ini ternyata sejalan dengan prediksi sejumlah pengamat dimana populisme Islam tak punya kapabilitas untuk menantang oligarki Indonesia secara efektif (Hadiz dan Robinson, 2017). Bahkan, kita dapat mengatakan bahwa oligarki telah berhasil memanfaatkan gelombang baru populisme Islam konservatif ini.

Lantas, apakah polarisasi berakhir? Tidak sama sekali. Alih-alih mereda, diskursus nasionalis versus Islam bertransformasi menjadi tubir saling hujat antara ‘cebong’ vs ‘kampret.’

‘Jadi selama ini ternyata gua keracunan, keracunan omong kosong!’ pikir Fiki.

Ia hampir tenggelam dalam banjir disinformasi. Untungnya, ‘kewarasan’ Fiki masih dapat terselamatkan dengan memutuskan untuk ‘mendukung’ pasangan Nurhadi-Aldo dalam kontestasi pilpres 2019. Kekecewaannya muncul akibat adanya gap antara harapan dan realita. Di titik ini Jokowi sukses menghancurkan harapan Fiki, harapan orang tua Fiki, serta harapan para pemilih-pemilihnya di 2014.

‘Gila ini mah bapak gua juga langsung kecewa, udah rusuh-rusuh bertahun-tahun ternyata hanya drama,’ racau Fikri. Rasa kecewa Fiki semakin menjadi-jadi ketika melihat gerak-gerik Prabowo yang hendak merapat ke koalisi di saat para wakil rakyat secara kompak menyusun Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) dan sejumlah legislasi ancur lainnya yang lagi-lagi akan menjadi senjata bagi negara dan elit yang berkuasa untuk mengebiri ruang demokrasi dan hak-hak rakyat demi kepentingan mereka.


Aksi Generasi Z?

Fiki bukan lagi hanya kecewa terhadap Jokowi, melainkan kecewa terhadap semua tokoh-tokoh politik yang tadinya memberikan harapan besar bagi publik, para ‘reformis populis’ tersebut. Rupanya mereka gadungan semua. Dia sekarang yakin, kalau hal-hal yang mengusik ketenangannya, gaduh-gaduh di luar sana, ternyata betul-betul hanya sandiwara. Nonsense! Semuanya hanya business as usual bagi para elit itu.

Kembali ke kampus, Fiki tersadar kalau dia tidak sendiri. Banyak yang marah akan kebijakan pemerintah yang semakin anti-demokrasi akhir-akhir ini. Daftarnya panjang: awalnya bermula dari pelemahan upaya pemberantasan korupsi yang diimulai dari kasus penyiraman Novel Baswedan dan juga terlihat dalam proses pemilihan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan perumusan Rancangan Undang-undang (RUU) KPK. Kemudian, ada juga upaya untuk mengegolkan sejumlah UU yang merenggut hak-hak sipil warga negara serta mandeknya proses pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Semua ini semakin diperparah dengan buruknya penanganan kebakaran hutan yang meluas karena aktivitas korporasi hingga militerisasi di Papua. Masalah-masalah ini kemudian menggerakan elemen-elemen mahasiswa dan masyarakat sipil untuk turun ke jalan untuk menyuarakan dan memperjuangkan hak-hak warga negara selama September 2019.

Gelombang aksi ini terus membesar dan berlipat ganda setiap aksinya. Meme dan tagar-tagar dari para aktivis selama bulan September, ditambah berita serta video aksi yang semakin membesar di Hongkong dan belahan dunia lainnya yang tersebar di dunia maya mampu membakar semangat Fiki dan ribuan mahasiswa lain seperti dirinya. Di seluruh Indonesia.

Untuk pertama kalinya dalam 20 tahun terakhir, aksi turun ke jalan yang sebelumya terkesan banal kini menjadi sesuatu yang hype.

Kelompok-kelompok aksi yang tadinya bergerak sendiri-sendiri untuk isunya masing-masing mulai berkumpul, menyatukan kegelisahan dan kekecewaan hingga akhirnya ditemukan benang merah dari keresahan-keresahan mereka: reformasi yang dicita-citakan 21 tahun yang lalu sudah rusak, atau mungkin, memang belum pernah ada.

Bermula di Gejayan, Yogyakarta, tanggal 23 September 2019, gelombang massa turun kejalan dengan tujuh tuntutannya. Bukan untuk menurunkan Soeharto ataupun Jokowi, tapi untuk melawan sistem oligarki yang makin kapitalistik dan tendensi otoritarianisme secara keseluruhan.

Layaknya bola salju, semangat mereka semakin berlipat ganda. Di Jakarta, Fiki, bersama ribuan mahasiswa dan aliansi masyarakat sipil lainnya memutuskan untuk turun. Selain karena tidak mau ketinggalan hype, Fiki yakin kalau inilah satu-satunya cara untuk melampiaskan kekecewaan terhadap negara ini.

Sejak pekikan ‘Reformasi dikorupsi’ menjadi populer, banyak argumen yang beredar yang menekankan pada perbedaan generasi sebagai faktor utama yang membuat mahasiswa turun ke jalan. Diskursus mengenai generation gap ini sering berkutat pada pengaruh internet dalam membentuk pikiran generasi Z termasuk proses sosialisasi politik. Hal ini tentu tidak dapat dipungkiri, mengingat bagaimana hype aksi tersebut juga tersebar luas melalui meme yang beredar di ruang siber.

Namun, yang lebih penting, apa yang Fiki alami dan rasakan menunjukkan bahwa kegelisahannya beresonansi dengan kegelisahan mereka yang sudah lama berjuang melawan permasalahan sistemik di masing-masing sektor isu. Kegelisahan Fikri juga beresonansi dengan perjuangan jalanan generasi sebelumnya. Mereka semua ikut turun ke jalan. Artinya, proses sosialisasi politik Fiki berjalan paralel dengan proses pendalaman kuasa oligarki dan perlawanan terhadapnya di Indonesia. Artinya, bukan hanya Fikri yang merasa dikhianati oleh oligarki, tetapi juga kawan-kawannya, angkatan muda pada umumnya. Tugas kita selanjutnya jelas: mendukung perlawanan generasi muda ini dan mendorong aliansi gerakan rakyat yang lebih luas dan kuat.

Dan keesokan harinya, di tengah penjagaan ketat para aparat, sambil mendengarkan Mosi Tidak Percaya dari Efek Rumah Kaca dari handphonenya, Fiki alias Kawan Zulfikar berteriak dengan lantang:

‘Reformasi dikorupsi!’***

*Karakter Zulfikar alias Fiki dalam cerita ini adalah tokoh fiktif yang merupakan composite character dari kisah empat orang peserta aksi yang kami wawancara.


Referensi

Baker, J. (2016). The middle class president. New Mandala: https://www.newmandala.org/comfortable-uncomfortable-accommodations/

Beittinger-Lee, V. (2009). (Un)civil society and political change in Indonesia, A contested arena. New York: Routledge.

Berenschot, W. (2018). The political economy of clientelism: A comparative study of Indonesia’s patronage democracy. Comparative Political Studies, 51(12), 1563-1593.

Hadiz, V. R., & Robison, R. (2017). Competing populisms in post-authoritarian Indonesia. International Political Science Review, 38(4), 488-502.

Okamoto, M., & Rozaki, A. (Eds.). (2006). Kelompok kekerasan dan bos lokal di era reformasi. Kyoto: Center for Southeast Asian Studies, Universitas Kyoto.

Mietzner, M. (2008). Comparing Indonesia’s Party System in the 1950s and the Post-Soeharto Era: Centrifugal Centripetal Inter-Party Competition. Journal of Southeast Asian Studies, 39(3). 431-453

Mietzner, M. (2018). Fighting Illiberalism with Illiberalism: Islamist Populism and Democratic Deconsolidation in Indonesia. Pacific Affairs, 91(2), 261-282.

Power, T. (2018). Jokowi’s authoritarian turn and Indonesia’s democratic decline. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 54(3), 307-338.

Robison, R., 1943-, & Hadiz, V. R.,. (2004). Reorganising power in Indonesia: The politics of oligarchy in an age of markets. New York: Routledge

Tapsell, R. (2015). Indonesia’s media oligarchy and the “Jokowi phenomenon”. Indonesia, (99), 29-50.

Wilson, D., Ian. (2015).The politics of protection rackets in post-new order Indonesia: Coercive capital, authority and street politics. London; New York: Routledge.


Genta Kuno, Yuji Mizuno, dan Pradipto adalah mahasiswa pascasarjana di Kyoto University, Jepang. Ketiganya merupakan pegiat di kolektif Demachi Bergerak (Twitter id: @demachibergerak).

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.