Kredit ilustrasi: Cooperative Grocer
PEMILU yang menimbulkan polarisasi, secara formal, telah usai. Namun ketegangan di lingkar elite masih begitu panas. Apapun hasilnya, bagi gerakan kaum progresif, tidak memberikan celah manfaat. Semuanya sama. Nafas gerakan kembali terengah-engah menghadapi semakin kompleksnya permasalahan ekonomi politik di Indonesia. Tawaran agenda politik progresif setelah pemilu 2019 telah disampaikan oleh Airlangga Pribadi Kusuma serta Suarbudaya Rahadian dan Christian Yahya yang kemudian direspon dengan kritis oleh duet Abdil Mughis Mudhoffir dan Inaya Rakhmani. Adapun, dalam kesempatan ini saya tidak hendak memproblemtisir gagasan-gagasan yang telah hadir tersebut, namun ingin mengisi kekurangan, kalau tidak disebut kekosongan, diskursus yang kerap terlupakan: gerakan ekonomi kerakyatan. Tentang kemungkinan ekonomi yang progresif.
Terpilihnya Jokowi di tahun 2014 adalah momentum bagi gerakan ekonomi alternatif dengan Janji Nawacita dan Trisakti, namun situasi berbeda untuk tahun 2019. Harapan lima tahun lalu seakan lenyap dengan senyap. Belum lama ini, menjelang lebaran 2019, banyak kasus PHK massal yang menyerang para buruh di Indonesia. Di atas topangan sistem ekonomi kapitalisme, ternyata rakyat kecil adalah pihak yang melulu paling mudah dipukul habis-habisan. Waktunya bisa kapan saja, termasuk di saat-saat rakyat harusnya bisa berbahagia merayakan hari raya.
Tanpa ekonomi alternatif yang menjadi antitesa dari sistem kapitalisme, maka siapapun yang menjadi wajah pemimpin Indonesia, akan kembali pada krisis kemanusiaan yang sama. Oleh karenanya, membangun gerakan ekonomi yang memusatkan diri pada manusia harus kembali digalakkan. Ikhtiar-ikhitar gerakan politik dalam menjaga demokrasi harus diikuti intervensi pada perubahan kondisi material, basis strukturnya, yakni merintis corak produksi yang non-eksploitatif.
Dunia Berubah, Bagi Siapa?
Dalam beberapa waktu ini, istilah Revolusi Industri 4.0 menjadi trending topik dalam pembicaraan di lini masa, dunia bisnis dan juga dunia kampus. Narasi yang hadir dalam epos ini adalah tentang otomasi dalam pelbagai bidang yang konon akan menyerang kelas pekerja. Tentu, melalui ujaran-ujaran motivator manajemen arus utama, untuk menghadapi perubahan besar ini adalah perlunya adaptasi dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Saya tidak menafikan hal tersebut, karena secara dialektis, peradaban manusia terus berkembang dikarenakan adanya proses adaptasi dan peningkatan kualitas manusia. Dari mulai Revolusi Industri 1.0 abad 18 lalu, sampai saat ini, selalu ada proses adaptasi manusia dalam memahami apa yang harus dilakukan untuk bertahan dan melanjutkan hidup.
Dunia ekonomi pun kini semakin banyak polesan. Salah satu ciri khas dari Revolusi Industri 4.0 adalah keberadaan distrupsi dalam ekonomi yang didukung teknologi. Ada pola yang jauh lebih segar dari pola ekonomi konvensional. Istilahnya sangat manis: sharing economy.
Bisnis-bisnis incumbent yang berjalan monoton kelak akan terancam oleh distrupsi ini. Contoh kesuksesan yang sering dilayangkan adalah Uber yang telah memukul bisnis transportasi di beberapa negara. Menyoal hal ini, saya tidak akan memberikan analisis besar-besaran, karena untuk konteks Indonesia, Uber adalah contoh ketidaksuksesan itu sendiri. Uber tidak bisa bertahan lama, ia kalah oleh dominasi pesaingnya Gojek dan Grab. Di balik wajah manis sharing economy, ternyata wujud aslinya adalah ekonomi pasar. Kepemilikan bisnis masih dipegang oleh segelintir pihak, kemudian mereka berkompetisi, saling bertarung. Ekonomi berbasis digital yang diagung-agungkan menjadi titik perubahan pun hari ini tetap dikuasasi oleh para konglomerat yang itu-itu saja. Sedangkan, rakyat kecil hanya mendapatkan remah-remah dari sistem ekonomi tersebut.
Dengan latar situasi ini, setelah momen tahun politik, gerakan progresif harus kembali membangun gerakan ekonomi solidaritas. Sebenarnya, untuk memulai tidak perlu dimulai dari nol. Di Indonesia, gerakan-gerakan ekonomi alternatif sudah mulai banyak diinsiasi. Salah satunya adalah gerakan kooperasi yang sudah eksis, walaupun memang belumlah besar. Oleh karena itu, gerakan progresif yang berasal dari lintas sektor baik dari buruh, petani, nelayan, aktivis, intelektual, siapapun itu, bisa memulai program melakukan eksperimentasi dengan melakukan (ekonomi) kolaborasi.
Kooperasi memiliki potensi sebagai antitesa dari corak corak produksi kapitalistik karena kepemilikan bisnis dalam kooperasi bersifat sukarela dan terbuka, sehingga nilai lebih yang selalu diambil secara sistemik oleh kapitalis bisa kembali direngkuh.
Menimbang Agenda
Kapitalisme masihlah hegemonik. Indonesia dengan sukarela menjalankan sistem ekonomi ini dengan pintu terbuka, tidak jarang kebijakan pemerintah justru melakukan afirmasi terhadap agenda-agenda neoliberal untuk memuluskan capaian hasrat profit. Kapitalisme yang bersetubuh dengan negara seringkali berhasil membajak agenda-agenda kerakyatan. Misalnya, program-program pemberdayaan “versi neolib” yang disponsori Bank Dunia kerap ahistoris dan selalu ada upaya diam-diam memangkas negara (Hadiz, 2010). Oleh karena itu, ikhtiar yang bisa, sekali lagi sangat bisa, dilakukan dalam mewujudkan gerakan sosial ekonomi alternatif, adalah membajak narasi sekaligus anasir-anasir kapitalisme sebagai lawan tandingnya.
Cakrawala itu pada dasarnya terbuka. Ada pelbagai usaha yang bisa dilaksanakan untuk membendung ganas dan canggihnya kapitalisme. Dalam kesempatan ini, saya akan sampaikan beberapa model kooperasi yang bisa dikerjakan secara kolaboratif tersebut. Pertama, tentu adalah kooperasi pekerja. Kooperasi pekerja merupakan kooperasi yang dimiliki langsung oleh para pekerja yang terlibat di dalamnya. Model ini laik diperjuangkan dalam tuntutan politik buruh di Indonesia. Eksploitasi serta alienasi dalam proses produksi kapitalisme, dalam beberapa konteks, bisa dilenyapkan melalui kooperasi pekerja.
Kedua, model social cooperative. Model kooperasi ini diselenggarakan dengan tujuan pemenuhan pelayanan sosial dan publik, oleh karenanya berorientasi dan bermisi sosial, untuk menciptakan kesempatan kerja bagi orang-orang yang kurang beruntung dan mungkin sulit mendapatkan akses pekerjaan. Keanggotaan dalam model social cooperative bisa disusun secara kreatif, misal dengan membangun layanan bisnis yang dimiliki dan dikelola oleh orang-orang penyandang disabilitas. Ketiga, model community cooperative yakni kooperasi yang bertujuan untuk menyokong aktivitas suatu komunitas tertentu.
Keempat, dalam merespon ekonomi digital perlu dirancang pula model kooperasi yang mampu beradaptasi pada perubahan tersebut. Maka perlu untuk mengorganisir dalam pembangunan startup cooperative, yakni startup yang berbasis kooperasi pekerja. Dalam startup coop, para founder, co-founder, serta para pekerja yang ada di dalamnya ikut memiliki bisnis startup tersebut. Model ini untuk upaya “membajak” rintisan bisnis startup agar tidak masuk pada sirkulasi pendanaan ventura capital. Agar startup tidak lagi menjadi anak magang kapitalisme. Saat ini startup sedang menjadi trend, bahkan gaya hidup tertentu. Ini adalah momentum. Gerakan progresif (atau mungkin gerakan kiri!) jangan antipati terhadap fenomena banyak lahirnya startup sekarang-sekarang ini. Kemungkinan mengkreasi startup yang bisa menjadi daya dukung bagi gerakan progresif sangatlah terbuka.
Selanjutnya kelima, guna menopang keberlanjutan startup coop, bila skala ekonomi sudah membesar harus dibangun pula platform cooperative, yaitu platform bisnis yang diselenggarakan berbasis koperasi multi stakeholders. Artinya, pelbagai pihak yang terhubung dalam platform tersebut, bisa dari produsen, pekerja, konsumen dan yang lainnya bisa menjadi pemilik. Platform cooperative berupaya memberikan keadilan bagi semua pihak yang terlibat. Karena hadirnya teknologi tidak serta merta bisa menjadi jawaban bagi semua masalah. Lagi-lagi Uber sebagai contoh dari sharing economy yang difasilitasi oleh teknologi itu justru secara inheren bermasalah karena sang pemilik platform tetaplah si segilintir pihak. Para driver, walaupun jumlahnya jutaan, tidak memiliki kuasa dan kendali untuk menentukan kebijakan perusahaan.
Lima model yang telah dijelaskan di muka bisa didukung dengan membangun simpul-simpul gerakan kooperasi yang bisa dijalankan dengan keterlibatan lintas organisasi, bahkan individu. Simpul ini bisa menjadi ruang kolaboratif multi pihak untuk melakukan produksi dan distribusi pengetahuan serta merancang ragam inovasi agar kooperasi yang dijalankan senantiasa beradaptasi terhadap perubahan, berjalan secara dinamis dan tentunya tetap memegang erat pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai kooperasi. Individu-individu yang terlibat bisa dari para peneliti, aktivis, atau siapapun dengan ragam latar belakang profesi. Begitupula organisasi, pihak yang bisa turut andil dalam membangun simpul ini adalah kooperasi, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, kampus, ataupun lembaga-lembaga sosial lainnya.
Kooperasi adalah tentang operasi bisnis yang berlandas pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai, oleh karenanya jenis model kooperasi tidak akan berhenti pada model yang telah dijelaskan di atas. Model kooperasi masih memungkinkan diderivasi berdasarkan kebutuhan riil para anggotanya. Sudah waktunya kita bisa mengimajinasikan “dunia selain kapitalisme” kelak mampu eksis. Gerakan sosial ekonomi harus masuk dalam agenda bersama sebagai penyeimbang gerakan politik progresif. Mari mulai membalikkan keadaan, turut andil dan berpartisipasi dalam trasnformasi ekonomi yang dimiliki elite konglomerat menjadi konglomerasi sosial. ***
Dodi Faedlulloh adalah Dosen Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas Lampung dan Peneliti di Kopkun Institute