Refleksi Gerakan Progresif Pasca Pilpres 2019

Print Friendly, PDF & Email

PEMILIHAN Presiden (Pilpres) 2019 baru saja selesai. Satu hal yang patut dirisaukan adalah menguatnya pembelahan sosial sebagai konsekuensi dari pemihakan dan posisi politik yang berlangsung ketika momen pilpres berlangsung. Yang paling merisaukan bukanlah semata-mata pembelahan sosial antara pendukung Jokowi dan Prabowo yang semakin menguat, tapi juga bumbu ujaran-ujaran kebencian yang mengeraskan pembelahan itu. Pembelahan lain yang juga merisaukan terjadi di kalangan gerakan progresif dalam  bentuk pilihan politik untuk bersikap Golput atau tetap memilih Jokowi sebagai Presiden selama lima tahun ke depan.

Konsekuensi dari peruncingan sikap yang masih menguat sampai saat ini menyebabkan diskusi di kalangan progresif tentang peta sosial yang dihadapi saat ini dan ke depan dan pilihan politik seperti apa yang dapat dirundingkan bersama dan diambil untuk memajukan agenda politik progresif ke depan tidak kunjung tampil sebagai agenda politik strategis. Efeknya gerakan progresif di Indonesia semakin jauh dari proses konsolidasi dan semakin lama semakin mengecil, berserak dan saling berjibaku satu sama lain.         

Dalam perhitungan hasil suara yang telah berlangsung sampai saat ini, hampir bisa dipastikan Jokowi akan kembali terpilih sebagai Presiden Indonesia sampai 2024. Namun ada yang berbeda pada kemenangan Jokowi di 2019 ini bila dibandingkan dengan kemenangannya pada 2014. Lima tahun lalu, kemenangan Jokowi atas Prabowo dalam pertarungan Pilpres memunculkan ledakan antusiasme dan harapan besar bagi kemajuan agenda gerakan progresif untuk memengaruhi ruang politik di Indonesia. Kini yang tersisa jika bukan kecurigaan adalah dukungan tanpa prasyarat pada Jokowi.


Menciptakan Basis Sosial

Tapi lupakan momen Pilpres, karena ada pertanyaan yang tersisa, “apa yang harus dilakukan oleh gerakan progresif?” Sebelum kita menentukan arah politik, strategi yang harus diambil, maupun model organisasi dengan gambaran aliansi sosial yang dibangun oleh gerakan progresif di Indonesia, ada beberapa hal yang patut untuk dipertimbangkan. Dalam keterbatasan basis politik yang dihadapi oleh gerakan progresif saat ini, maka agenda politik yang harus dicanangkan di masa depan bukan hanya melawan kekuatan pendukung dari sistem kekuasaan kapitalisme bercorak oligarki yang masih dominan. Tugas yang mendesak bagi kekuatan progresif adalah menciptakan basis sosial sebagai tumpuan dari pemajuan gerakan progresif di Indonesia.

Prasyarat utama dari kerja-kerja politik penciptaan basis sosial adalah kemampuan melakukan komunikasi, dialog, bergerak dan kemudian dipercaya oleh basis sosial yang menjadi tumpuan kita bergerak. Di sini kita dihadapkan pada pilihan-pilihan politik untuk membangun aliansi sosial bagi masa depan gerakan progresif. Apakah kita akan membangun komunikasi intensif dan bergerak bersama dengan lapisan besar massa lintas kelas (sebagian besar dari kalangan kelas bawah, pendidikan rendah dan menengah, sebagian besar tinggal di desa) dari kekuatan sosial yang dalam posisi politik terkini mengusung agenda kebhinekaan Indonesia, memperjuangkan toleransi dan menolak fanatisisme yang kecenderungan terbesarnya memilih Jokowi dalam Pilpres 2019. Atau merapat pada aliansi kelas yang cenderung termakan dengan propaganda sektarianisme, isu-isu berbasis antagonisme budaya dan retorika proto fasisme, sebagian besar dari kalangan berasal dari basis kelas menengah urban rentan dan berpendidikan tinggi (precariat middle class) yang cenderung lebih banyak memilih Prabowo sebagai presiden.

Saya sendiri berpendapat, pilihan politik yang harus diambil oleh gerakan progresif adalah merangkul dan menjadi bagian dari kekuatan aliansi kelas sosial yang mayoritas berada pada posisi marjinal dengan kesamaan pada isu-isu politik inklusif. Pilihan ini, menurut saya, akan membuka potensi politik yang kuat bagi pemajuan gerakan progresif di Indonesia ke depan. Tentu saja hal ini juga dilakukan seiring dengan kerja-kerja kritik terhadap efek-efek negatif dari perluasan ekonomi ekstraktif bagi rakyat dan lingkungan hidup, eksploitasi terhadap kelas pekerja dan semakin menguatnya ketimpangan ekonomi akibat dari penguasaan sumber daya negara oleh oligarki yang menjadi akar keresahan sosial dari bangkitnya kekuatan populisme kanan.   

Penglihatan terhadap afiliasi basis pendukung ini menjadi penting, agar kita tidak selalu melihat dinamika politik Indonesia dari perspektif pertarungan sosial di tingkat oligarki. Apalagi jika kita sepakati bahwa langkah strategis yang harus dilakukan oleh gerakan progresif tidak sekadar berlawan tapi juga menciptakan basis sosial, maka satu hal yang perlu dipertimbangkan adalah sudah seharusnya gerakan progresif tidak membelakangi massa, tapi ikut menjadi bagian dari massa, berkomunikasi, berdialog dan memajukan agenda-agenda mereka. Tanpa masuk ke dalam basis sosial yang telah berhimpun pada isu-isu yang sejalan dengan agenda kaum progresif, maka gerakan progresif di Indonesia akan tidak bergerak lebih jauh dengan semakin kuatnya peruncingan didalamnya.


Ruang Kesempatan Politik

Satu hal lagi yang perlu untuk dipertimbangkan dengan seksama adalah terkait bagaimana kalangan aktivis gerakan progresif memaknai konfigurasi kekuasaan di level negara dengan segenap kebijakannya dalam rangka merumuskan struktur kesempatan politik. Berkaca pada pemerintahan Jokowi periode pertama, maka pemerintahan Jokowi pada periode kedua sepertinya tidak hanya memunculkan wajah gelap yang tidak ramah terhadap agenda HAM dan demokrasi, tapi juga Jokowi akan terus bergantung pada dukungan oligarki karena hanya dengan demikian maka kebijakan ekonomi neoliberalnya bisa berjalan lancar. Di sini gerakan progresif harus jeli untuk melihat dimana keterbatasan politik dari rezim Jokowi dan pada sisi mana tersedia ruang kesempatan politik yang dapat dimanfaatkan untuk memperluas dukungan sosialnya.

Selain gambaran muram tentang penguasaan lahan dan bisnis ekstraktif kaum oligarki yang menghancurkan lingkungan, praktik korupsi dan penjarahan asset negara, terdapat agenda-agenda penting yang patut dipertimbangkan untuk diintervensi oleh kalangan progresif di Indonesia. Misalnya, orientasi reforma agraria yang menjadi bagian dari kebijakan Jokowi setelah sedemikian lama tenggelam sejak jatuhnya Soekarno oleh kudeta merangkak Orde Baru, kebijakan pemajuan kebudayaan Nusantara sebagai antitesa dari penghancuran kebudayaan sebagai ruh dari basis politik di Indonesia pada era Soeharto, serta skema pembangunan yang menjadikan desa sebagai poros utama adalah kebijakan yang memberi potensi bagi kalangan progresif untuk memajukan gerakannya. Ketika bicara tentang potensi-potensi tersebut bukan berarti semata-mata bernegosiasi dalam transaksi kekuasaan jangka pendek, namun bagaimana kebijakan tersebut dapat dimanfaatkan oleh gerakan progresif untuk masuk didalamnya dan memberdayakan ruang kuasa bagi rakyat.

Yang saya bayangkan, dalam memanfaatkan potensi ruang kesempatan politik dalam kebijakan tersebut adalah berbagai pilihan kerja-kerja sosial konkret yang jarang sekali didiskusikan gerakan progresif namun memiliki pengaruh signifikan bagi pemajuan basis sosial gerakan progresif itu sendiri. Sebagai contoh adalah bagaimana intervensi gerakan progresif dalam dalam aksi kebudayaan sedekah bumi, bersih desa, pemajuan kultur pesantren yang tujuannya untuk menghalangi ekspansi gerakan populisme kanan yang menghancurkan solidaritas di bawah atas nama eksklusifisme dan fanatisme berkeyakinan. Bagaimana kontribusi gerakan progresif dalam membantu penguatan ekonomi pedesaan yang menjadi fokus arah kebijakan pemerintahan Jokowi. Adalah benar bahwa rantai sistem feodalisme dan klientalisme politik adalah penghambat utama dari program kebijakan desa, namun dalam skema program tersebut gerakan progresif dapat memanfaatkan ruang kesempatan politik dan memperkuat kapasitas sosialnya untuk memahami problem konkret  warga di pedesaan sebagai bagian dari upaya memperluas basis sosialnya. Problem konkret itu, misalnya, bagaimana memikirkan pemberdayaan kekuatan ekonomi warga maupun persoalan belenggu rantai distribusi tengkulak yang menghisap produktivitas petani. Bagaimana kemampuan dari kalangan gerakan progresif untuk membantu kalangan masyarakat pedesaan mengawal dana desa agar tidak dimanfaatkan oleh segelintir kelompok elite yang menjadi kaki tangan rantai oligarki kekuasaan di tingkat atas. 

Perkembangan dinamika politik yang juga perlu dicermati kalangan progresif terkait kemenangan Jokowi pada Pilpres 2019 ini, adalah peneguhan dari perubahan corak kepemimpinan politik di Indonesia. Di tengah masih dominannya kekuatan oligarki politik dalam menguasai panggung politik di Indonesia, peta kepemimpinan di tingkat nasional maupun lokal memperlihatkan kemunculan kekuatan elite baru yang tidak bersandar pada politik dinasti maupun corak keagamaan kanan yang tengah tumbuh di Indonesia. Hadirnya figur-figur pemimpin politik yang merintis karir dari bawah seperti Khofifah Indar Parawansa di Jawa Timur, Ridwan Kamil di Jawa Barat, Ganjar Pranowo di Jawa Tengah, dan Tri Rismaharini di Surabaya, yang lima tahun lagi berpotensi menjadi kandidat-kandidat pemimpin nasional baru di luar mereka yang terlahir dari politik dinasti. Dalam konteks pembacaan aliansi sosial, tentu kita tidak boleh  abai dengan tentakel kekuasaan oligarki baik yang memfasilitasi maupun yang membatasi ruang gerak mereka. Yang penting untuk dipertimbangkan oleh kaum progresif adalah bagaimana kita mampu memetakan dan membangun komunikasi dengan lapisan sosial para pendukung atau massa yang memungkinkan tokoh-tokoh muda di luar kantong politik dinasti ini tampil menjadi pemimpin. Bagaimana kalangan progresif mampu berdialog, menyatu dan bergerak bersama dengan kekuatan massa yang menjadi tulang punggung aktor-aktor politik elektoral ini.

Berbagai pertimbangan terkait kecerdasan dan sensitivitas dari kita untuk membaca kekayaan realitas politik ini yang perlu dipertimbangkan sebelum kita merumuskan bentuk konkret organisasi seperti apa yang akan kita bangun. Tanpa wawasan dan ketajaman politik untuk melihat realitas sosial di sekitar kita, maka gerakan progresif akan tetap terisolir dari lingkungan sosial disekitarnya. Tanpa kemampuan melakukan pemahaman peta sosial dan cara mengintervensi realitas politik yang berjalan dinamis, gerakan progresif hanya akan menjadi macan di media sosial., tapi ompong dan lumpuh dalam kenyataan politik praktis.***


Airlangga Pribadi Kusman adalah Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, Surabaya

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.