Kredit ilustrasi: chrisgoringe
Respons terhadap Airlangga Pribadi Kusman serta Suarbudaya Rahadian dan Christian Yahya
PEMILIHAN presiden (pilpres) 2019 yang lalu memperparah pembelahan aspirasi politik yang telah terjadi sejak tujuh tahun terakhir di Indonesia, baik di antara publik secara umum maupun kaum inteligensia. Di antara publik, secara garis besar, ada kelompok yang mendukung petahana, penantangnya, dan juga golput (golongan putih) politis. Di antara inteligensia, lebih spesifik lagi di antara penulis dan pembaca IndoPROGRESS, pembelahan terjadi antara mereka yang mendukung petahana dan menyerukan golput. Dukungan atas petahana dijustifikasi dengan berbagai alasan, salah satunya menolak terpilihnya kandidat penantang yang dianggap merepresentasikan fasisme religius dan memiliki rekam jejak buruk dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Para pendukung petahana juga meyakini adanya kesempatan politik yang lebih luas dan terbuka bagi gerakan pro-demokrasi untuk mewujudkan agenda-agenda politik ‘progresif’. Narasi yang muncul bersinggungan dengan persona petahana yang dianggap lebih merakyat dan bukan bagian dari oligarki. Lebih jauh lagi, jika kandidat penantang—yang menurut para pendukung petahana berwatak fasis—memenangkan pemilu, kesempatan untuk mendesakkan agenda reformasi pro-demokrasi akan dibatasi oleh kecenderungannya menjalankan kekuasaan secara otoriter.
Sementara itu, para penyeru golput melihat rekam jejak kedua kandidat kurang lebih serupa, baik dalam menuntaskan penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM), menggunakan cara-cara represif untuk membungkam kritik maupun menggunakan politik identitas dalam kontestasi kekuasaan. Konstelasi oligarki di Indonesia juga dianggap tidak akan berubah secara mendasar siapa pun yang akan memenangkan pemilu. Dorongan perubahan ‘progresif’ dari dalam kekuasaan politik maupun pemerintahan juga hanya bisa direalisasi sejauh tidak mengganggu permainan politik penguasa.
Hingga pemilu usai, dua posisi politik inteligensia progresif yang saling bertentangan itu tampaknya masih sulit bersepakat dalam membangun strategi kolektif. Namun, menurut kami, perdebatan ini jauh lebih produktif ketimbang pertentangan antara kubu petahana dengan penantangnya, khususnya yang memanfaatkan politik identitas agama dan nasionalisme sempit untuk memenangkan kompetisi menuju kekuasaan. Setelah mengetahui hasil penghitungan resmi pemungutan suara dan kemenangan petahana, pertanyaan pokok pasca-pilpres 2019 yang kami ajukan adalah: apa yang bisa dilakukan inteligensia dalam membangun agenda politik progresif yang kolektif?
Tulisan Airlangga Pribadi berjudul ‘Refleksi Gerakan Progresif Pasca Pilpres 2019’ meyakini kemenangan petahana memberi peluang besar bagi agenda politik progresif untuk membangun basis sosial gerakan. Bertolak dari keyakinan ini, Airlangga mendorong agar elemen gerakan masyarakat sipil dapat memanfaatkan kesempatan itu dalam membangun basis sosial serta memberi jalan bagi para politisi yang lahir di luar lingkaran dinasti politik melanjutkan kepemimpinan kerakyatan Joko Widodo (Jokowi) pada pemilu berikutnya. Airlangga menekankan pendekatan personalistik dalam melihat kesempatan politik terjadinya suatu perubahan.
Pemahaman Airlangga mengenai basis sosial juga beranjak dari polarisasi dalam pilpres yang lalu: antara kekuatan sosial pengusung kebhinekaan dan/atau eksklusivisme agama. Dengan cara pandang begini, upaya membangun basis sosial gerakan progresif menjadi sekadar jargon yang membungkus dukungan untuk petahana. Sikap partisan ini juga tampak dalam penyebutan “tokoh-tokoh muda di luar kantong politik dinasti”, seperti Tri Rismaharini dan Khofifah Indar Parawansa, yang dengannya Airlangga terlibat secara personal sebagai konsultan politik. Bertolak dari sini, tulisan Airlangga mesti ditanggapi secara reflektif. Kami menekankan pentingnya disclaimer di antara para intelektual, jika ingin disebut progresif, untuk memilah secara jernih argumen yang merupakan bagian dari agenda politik partisan, dengan analisis untuk pemajuan agenda-agenda progresif kolektif.
Kami berpendapat bahwa agenda politik progresif hanya mungkin dicapai jika inteligensia memiliki refleksivitas, ditandai dengan otonomi dari elemen-elemen dan kepentingan-kepentingan pemangsaan sumber daya publik untuk kepentingan pribadi (predatorial). Secara mendasar kami memahami politik progresif dalam dua hal. Pertama adalah praktik yang mempersempit jurang ketimpangan ekonomi dan sosial. Jurang inilah yang menjadikan kelas menengah dan bawah dapat dimanipulasi dalam politik identitas. Kedua adalah praktik untuk mengurai dan menantang dominasi hubungan-hubungan kekuasaan yang predatorial, baik yang dilakukan para elite maupun quasi-elite (inteligensia), yang turut melanggengkan ketimpangan sosial dan ekonomi ini.
Memperkuat basis sosial gerakan adalah salah satu prasyarat untuk mewujudkan agenda politik progresif secara kolektif. Namun, bukan basis sosial partisan seperti yang dikemukakan Airlangga atau yang berfokus pada mereka yang belum ‘teracuni oleh faksi cebong-kampret’ seperti dalam pandangan Suarbudaya Rahardian dan Christian Yahya dalam tulisan tanggapannya kepada Airlangga. Polarisasi sosial hasil dari antagonisme pilpres yang lalu atau lebih jauh lagi sejak kasus pemilihan Gubernur Jakarta 2017, sesungguhnya bersifat buatan atau engineered. Tugas intelegensia seharusnya membongkar hubungan-hubungan kekuasaan yang melanggengkan pembelahan sosial itu, bukan turut mereproduksinya dengan harapan membangun aliansi dengan penguasa. Adanya pembelahan buatan ini juga tidak seharusnya diabaikan untuk menjaga kemurnian politik progresif seperti yang dikemukakan oleh Suarbudaya dan Christian.
Polarisasi sosial pasca-pilpres 2019 mesti dipahami sebagai hasil dari mobilisasi politik identitas para politisi yang berupaya mengonsolidasikan dukungan dalam kontestasi kekuasaan. Mobilisasi ini dimungkinkan karena partai politik di Indonesia tidak memiliki basis massa yang kuat, sehingga manipulasi massa mengambang adalah konsekuensi logis darinya. Ideologi politik partai-partai politik juga tidak dapat dibedakan satu sama lain di mata para pemilih dalam pasar demokrasi. Tidak heran, aliansi politik dapat terjadi di antara partai yang selama ini dianggap merepresentasikan konservatisme keagamaan dengan yang sekuler nasionalis, seperti aliansi penantang petahana dalam pemilu terakhir. Politisasi sentimen keagamaan dan nasionalisme sempit adalah jalan pintas murah meriah untuk mengatasi tidak sambungnya partai dengan basis sosial itu.
Artinya, baik pendukung petahana maupun oposisi sebenarnya terseret arus mobilisasi sentimen keagamaan maupun kebangsaan. Mobilisasi ini bersifat lintas-kelas karena secara fundamental mereka yang terbawa pusaran politik identitas itu sesungguhnya mengalami kecemasan yang sama di tengah pasar kerja yang precarious. Para pemilih menemukan pegangan dalam artikulasi narasi keagamaan dan nasionalisme sempit yang menjanjikan kejelasan, kepastian, atau kebebasan. Padahal dalam banyak kasus, seperti ditunjukkan berbagai studi, sumber kecemasan itu tidak selalu berasal dari kekosongan identitas, melainkan dari absennya jaminan keamanan masa depan baik terkait pendidikan, kesehatan, perumahan serta persoalan ekonomi secara umum.
Kecemasan ini dengan kata lain adalah hasil dari persoalan struktural yang berkelindan dengan kapitalisme global. Persoalan ini didominasi oleh logika pemangsaan sumber daya publik untuk kepentingan elite ekonomi dan politik. Refleksi ini yang mendasari argumen bahwa siapa pun pemenang pilpres, kepentingan masyarakat, terutama lapisan bawah, akan tetap marginal dan cenderung diabaikan dalam pengambilan keputusan publik mayoritas. Usai pilpres, mereka yang bersitegang dengan mengusung narasi keagamaan maupun kebangsaan kembali harus berjuang mengatasi kecemasan hidup sendiri-sendiri. Kekayaan material tetap tidak terdistribusikan melalui jaminan sosial tanpa terkecuali, baik yang disebut cebong maupun kampret, melainkan tetap dan makin terkonsentrasi di tangan segelintir elite. Prinsip redistribusi kekayaan ini yang menurut kami seharusnya dijadikan dasar dalam membangun basis sosial gerakan progresif.
Oleh karena itu, gerakan progresif mesti bisa menawarkan “penyebut umum terendah” (lowest common denominator), sebuah tujuan mendasar yang dirasakan semua orang tanpa diskriminasi agama, kelas, gender, ras, etnisitas dan lainnya—yang sesungguhnya bersifat sosialis. Melaluinya, basis sosial gerakan dapat diperluas dan dikonsolidasikan. Tujuan ini menawarkan penguraian narasi identitas yang melahirkan polarisasi buatan serta menunjukkan kesamaan sosial yang lebih nyata seperti, di antaranya, ditanggungnya biaya kesehatan, pendidikan dan perumahan. Atas dasar itu, kami berusaha menunjukkan bahwa pertentangan yang nyata bukan antara konservatisme versus liberalisme; atau monisme versus pluralisme; melainkan antara kepentingan mengakumulasi sumber daya material secara privat dengan kepentingan untuk redistribusi kekayaan yang telah memusat.
Melalui tulisan ini, kami menyerukan agenda politik progresif yang memperkuat institusi-institusi publik dalam memberikan layanan dasar kepada siapapun sebagai jalan tempuh, baik dari kelompok masyarakat sipil, birokrat reformis, intelektual publik, dan yang lainnya. Upaya konsolidasi basis sosial gerakan progresif, dengan demikian, mesti ditempuh inteligensia, semua orang yang memeroleh akses pendidikan formal maupun informal, dengan mengukuhkan jalan tempuh ini. Tanpa ini, dukungan kepada figur-figur politik yang dianggap ‘reformis’ hanya akan melanggengkan pemusatan kekayaan di tangan segelintir orang.***
Abdil Mughis Mudhoffir adalah kandidat PhD di The University of Melbourne, Australia
Inaya Rakhmani adalah dosen ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia, Depok dan direktur Komunikasi Akademi Ilmuwan Muda Indonesia