Rich People Power

Print Friendly, PDF & Email

Kredit ilustrasi: Chantalle Grobstein


SEJARAH, boleh jadi, ialah pencemooh paling ulung. Lima tahun silam tepat di momen pemilu, Prabowo Subianto dan koalisi pendukungnya melakoni manuver yang nyaris persis dengan apa yang mereka lakukan hari ini. Ingatan kita pendek memang. Namun, Made Supriatma mengingatkan kita dengan baik.

Penggembosan KPU? Mereka melakukannya. Klaim-klaim kecurangan? Mereka, konon, punya bukti kecurangan pemilu sebanyak 10 truk. Kerusuhan? Kejutan: itu pun terjadi. Selepas gugatan kubu Prabowo ditolak Mahkamah Konstitusi, massa yang berunjuk rasa di depan MK nyaris merangsek masuk. Tiga buah truk Unimog menerabas pagar kawat yang sudah dibentangkan, dan belakangan terungkap tiga buah kendaraan tersebut dimiliki Djoko Santoso, mantan Panglima TNI, pendukung Prabowo.

Dan yang belum terjadi hari ini tetapi, kita tahu, tinggal tunggu waktu saja: Prabowo menuding para pendukungnya membelot.

Dua puluh satu tahun silam, Prabowo melindungi kekuasaan tuannya dengan siasat yang sama dengan bagaimana kelompok pendukungnya merongrong kekuasaan hari ini. Prabowo, kala itu merasa dirinya samurai yang tak akan meninggalkan mertua, ups, tuannya, menggelar buka puasa mengundang 5.000 ulama dan aktivis Islam di Kopassus. Ia membagikan buklet Konspirasi Menggulingkan Suharto. Di buklet tersebut digambarkan, orang Cina sedang berkonspirasi dengan Yahudi, Yesuit, dan CIA-Mossad untuk menjatuhkan Suharto yang akan memimpin kembali kebangkitan Islam. Ibu Tien, katanya, juga dibunuh oleh dokter Cina yang merupakan bagian dari persekongkolan tersebut.

Berselang tak lama sedari gelaran tersebut, berbagai kelompok Islam yang dekat dengan Kopassus menghelat unjuk rasa di depan Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Mereka menuding orang Cina bertanggung jawab atas krisis ekonomi yang mencekik rakyat, dan Wanandi bersaudara, punggawa CSIS, sebagai dalangnya. Peristiwa ini bukan kebetulan—tentu saja.

Dan tentu saja, Anda sudah tahu kepahitan yang tertoreh tak lama selepasnya. Kerusuhan 1998 pecah. Massa disinyalir kuat diarahkan untuk melampiaskan amarahnya kepada warga Cina. Prabowo tak segan mengambinghitamkan orang-orang Cina untuk melindungi mertua, ups, tuannya sebelumnya. Untuk apa kita berpikir Prabowo, yang waktu itu menjabat Panglima Komando Strategis Angkatan Darat, tak akan tega mengorkestrasi pengambinghitaman dalam skala yang lebih kolosal?

Sejarah memang gemar mencerca kita: ia membabarkan kepada kita kepandiran yang kita lakoni terus-menerus. Kita sudah pernah melintasi jalan ini dan terperosok ke lubang. Dan, kini, kita menempuh jalan yang sama lagi. Pertanyaan emasnya, mengapa masih begitu banyak orang memercayai sosok yang terus-menerus menarik kereta mereka ke lubang?

Prabowo adalah priayi yang percaya Indonesia merupakan hak bawaan lahirnya. “Ksatria”—dalam istilah Prabowo sendiri. Namun, ksatria yang majikannya adalah kepentingannya sendiri serta kroni-kroninya dan mengabdi kepadanya dengan menghalalkan segala cara. Saya berani bertaruh, tak sedikit dari antara pendukungnya akan mengabaikan fakta-fakta tersebut dan mengikutinya sebanyak apa pun ia berpartisipasi dalam pemilu. Dan pertanyaannya, mengapa?

Mungkin, karena itu memang kemampuan dari orang kaya: memikat kita, rakyat jelata. Orang kaya, ujar F. Scott Fitzgerald, adalah makhluk yang berbeda. Ia berbeda dari Anda dan saya. Ia memancarkan aura misterius yang sanggup menawan atau, bahkan, membutakan orang.

Saya sempat menanyakan kepada seorang aparatur sipil negara, apa alasan kolega-koleganya lebih memilih Prabowo ketimbang Jokowi. Apakah karena rezim Jokowi hanya sesekali menaikkan gaji ASN? Tidak, katanya. Jokowi, katanya, nampak lemah. Ia tak ada bedanya dengan rakyat biasa dan, sejatinya, tak mampu memimpin. Berbeda dramatis dengan sosok satunya lagi—Prabowo.

Saya tahu, kolega-kolega rekan saya tersebut hanya mencakup segelintir dari antara puluhan juta pendukung Prabowo. Pun, mereka tak mungkin mewakili ASN yang jumlahnya sejibun. Hanya saja, bukan kebetulan pula saya rasa persepsi serupa diutarakan oleh ASN di Ambon. Jokowi lemah. Prabowo yang seharusnya memimpin agar kedaulatan bangsa tegak. Dan bukan kebetulan rentengan narasi lainnya seperti Indonesia akan terjajah Cina, dibelenggu impor dan hutang ke asing bila terus dipimpin Jokowi berjangkit meluas. Mereka merupakan narasi yang mudah di-install ketika seseorang sudah terlebih dulu terpincut dengan fantasi Prabowo yang gagah, perkasa, bahkan hipermaskulin.

Hercules Rosario Marcal, orang kuat yang banyak dimitoskan itu, punya mitosnya sendiri tentang Prabowo. Hercules, katanya, pernah dibacok enam belas kali dan baik-baik saja. Peluru pernah menembus mata, kepala Hercules dan ia tidak tewas. Dan Prabowo, bagi Hercules, adalah sosok yang jauh lebih sakti darinya. “Prabowo,” ujar Hercules ketika diwawancara Ian Wilson, “adalah satu-satunya orang yang bisa memukul saya tanpa saya sempat menangkis.”

Hari ini, keyakinan Hercules tersebut bukan lagi milik satu-dua orang. Hercules rela melakukan apa pun untuk memastikan Prabowo memenangkan pemilu. Banyak orang kini juga sudi mempertaruhkan diri untuk hal yang sama. Belum percaya? Tanyakan saja kepada orang-orang tertentu di grup WhatsApp Anda—wabilkhusus lagi mereka yang membagikan berita hoaks, senyap ketika diingatkan, lantas membagikan berita hoaks lainnya (dan begitu saja terus sampai Lebaran Kuda).

Dan, bukan cuma Prabowo priayi yang saat ini meruapkan aura-aura mistis membius. Demikian juga dengan wakilnya, sang santri sekaligus ulama post-Islamisme, Sandiaga Salahuddin Uno. Dalam sebuah kebetulan yang membuat saya menepuk dahi, saya mendapati akun yang menyorot urat-urat di dahi Sandiaga Uno. “Subhanallah,” tulis akun tersebut sambil menunjukkan bagaimana urat-urat tersebut membentuk lafal Allah.

Namun, Ernest Hemingway benar kala ia bilang orang kaya sejatinya tak sedemikian berbeda dengan kita. Dalam cerita pendek “The Snows of Kilimanjaro”—versi orisinalnya sebelum Fitzgerald melayangkan keberatan—Hemingway menjadikan Fitzgerald salah satu tokohnya. Di sana, Fitzgerald fiktif mengulang pernyataan kondangnya ihwal orang kaya.

“Orang kaya berbeda dengan Anda dan saya,” ujar Fitzgerald.

“Benar,” timpal tokoh lain yang tak disebutkan namanya. “Mereka punya lebih banyak uang.”

Kita tak perlu lagi meragukan Sandiaga Uno, yang rutin masuk ke daftar orang terkaya Indonesia, memiliki lebih banyak uang dibandingkan kebanyakan dari kita. Dan saya percaya, kita bukan orang-orang yang naif. Uanglah yang membedakannya dari sederet penggawa partai agama yang berebutan posisi wakil presiden Prabowo beberapa bulan silam. Uanglah yang, kalau memang ia menyabet posisi wakil presiden Prabowo karenanya, memberikannya gelar-gelar religiusnya hari ini.

Dan citra Prabowo yang ibarat kata Satrio Piningit di antara banyak orang hari ini? Ia berinvestasi tak sedikit, tak sebentar untuknya. Banyak cerita perihal investasinya. Tetapi, yang paling menarik tentu ialah investasi gagalnya: presiden kita hari ini. Keluarganya membiayai kampanye Jokowi di Pilgub DKI dan, harapannya, mudah diterka, agar Jokowi mengerek citra Prabowo bila kelak ia menang. Sisanya adalah sejarah—sejarah yang menjelaskan polarisasi heboh Indonesia hari ini.

Pun, saya tak yakin Hercules tidak dapat mengelak dari pukulan Prabowo lantaran patronnya itu sakti tiada tara. Kalaupun Prabowo memang pernah menghunjamkan bogem kepadanya, Hercules, saya percaya, tak mau mengelak karena mengelak akan melukai hubungan mereka yang lukratif.

Jadi, jelas sudah semestinya. Orang kaya memang memancarkan aura. Akan tetapi, aura tersebut adalah aura yang dibeli. Tommy Soeharto, yang mengemban citra jetset, flamboyan, tamak dan licin, punya uang yang jumlahnya nyaris tak terbatas. Adalah tebak-tebakan paling mudah sejagat mengapa hari ini citra-citra tersebut lambat laun pudar dan di ia mulai mengawal “aspirasi umat” di sana-sini.

Jadi, dapatkah kita menyebut unjuk rasa tempo hari di mana orang-orang mempertaruhkan lehernya untuk mendudukkan Prabowo ke kursi kepresidenan sebagai gelagat people power? Tentu saja. Asal tambahkan satu kata di depannya. Sepatah kata saja:

Rich people power.***


Geger Riyanto, Mahasiswa Ph.D. Institut Antropologi Universitas Heidelberg

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.