Kredit foto: minanews.net
SETELAH hiruk pikuk Pemilu 2019 yang memakan ratusan korban jiwa usai, kini kita harus kembali pada kehidupan masing-masing, menjalankan kembali rutinitas harian yang sama saja baik sebelum pemilu atau sesudah pemilu. Pemilu tahun ini memang kembali mengantarkan kita pada drama-drama Pemilu tahun 2014 lalu, dimana dalam pilpres hanya ada dua calon kandidat pilihan para oligarkh (orang yang melakukan praktik oligarki), yakni Joko Widodo dan Prabowo Subianto.
Berdasarkan laporan organisasi Lembaga Swadaya Masyarakat Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), disebutkan bahwa bisnis tambang merupakan penyokong terbesar dana kampanye. Tak hanya pada tingkat pusat, Jatam juga melaporkan bahwa sejak desentralisasi diberlakukan, dimana ijin pertambangan dan usaha lain diserahkan pada pemerintah daerah, jumlah ijin penambangan menjadi semakin meroket yaitu naik dari 750 pada pertengahan tahun 2001 menjadi lebih dari 10 ribu pada tahun 2010.
Ini baru di sektor tambang. Bidang-bidang lain seperti perdagangan juga sarat dengan praktik monopoli dimana salah satunya pada bisnis ritel, yang terbukti mengancam eksistensi pasar tradisional. Akibatnya, pedagang kecil pribumi semakin melemah dan tak mampu bertahan. Dalam situasi seperti ini apakah masyarakat disuruh beralih menjadi buruh di ritel-ritel modern yang upahnya selalu mepet di angka UMR?
Di masa yang akan datang, seperti diprediksi oleh ilmuwan politik Jeffrey A. Winters dari Northwestern University, AS, ketika semua sumber daya alam habis maka masa depan Indonesia berada di antara dua pilihan: apakah Indonesia dalam perjalanan ke arah Cina, yaitu dengan industrialisasi; atau justru ke arah Filipina yang karut-marut. Namun Prof. Winters lebih memprediksi Indoneia akan berjalan ke arah Filipina, sebab para penguasa hanya melihat satu ancaman dan satu kepentingan yaitu mendapatkan sebanyak mungkin dari kekayaan yang ada. Antara satu oligarkh dengan oligarkh lain juga akan sangat iri jika ada yang dapat keuntungan lebih di antara mereka, sehingga praktik ‘bagi-bagi’ kekayaan menjadi pilihan para oligarkh. Maka sebuah partai politik yang menang harus melakukan praktik bagi-bagi kekuasaan untuk mengamankan kedudukannya, hingga sebuah kabinet menjadi warna-warni bagai pelangi yang tersusun dari banyak partai.
Demikian juga orang-orang super kaya sangat khawatir kekayaannya akan diambil oleh siapa saja karena ancaman ada dimana-mana. Khususnya ancaman dari bawah, yaitu rakyat yang aktif dengan organisasi yang terorganisir dan sadar seperti organisasi buruh, organisasi tani dll, yang mempunyai partai politik, mempunyai ideologi dan mempunyai calon untuk duduk di pemerintahan yang agenda politiknya membuat sistem ekonomi menjadi lebih merata (more fair).
Tetapi sayangnya ancaman dari bawah ini tidaklah eksis di Indonesia, karena memang sudah kehilangan eksistensinya sejak tahun 1965. Jadi di Indonesia tak ada organisasi massa yang kuat sehingga ancaman yang ada bagi oligarkh adalah dari oligarkh lain. Persaingan ini bersifat horisontal dan searah sehingga yang di tempuh oleh para oligarkh untuk melawan oligarkh lain adalah melalui hukum. Hukum menjadi alat untuk mengancam sehingga oligarkh yang diancam harus mlakukan praktik ‘bagi-bagi’ (praktik ijon) jika ingin selamat.
Prof. Winters juga mengatakan akan sangat berbahaya dan dapat mengakibatkan pada masa depan yang gelap untuk Indonesia jika praktik oligarki tetap berjalan terus. Apalagi sejak beberapa tahun terakhir, Cina sudah menggencarkan investasi ke mancanegara, termasuk ke Indonesia. Apabila Indonesia merespon secara serius peluang investasi ini maka postur Indonesia masa depan akan sangat berbeda: para oligarkh domestik akan dipaksa untuk menyesuaikan dirinya dengan oligarkh internasional, dan Indonesia sendiri akan terkondisi dengan aturan main baru yang menunjang bagi terwujudnya sebuah negara industri.
Sialnya, isu-isu seperti ini tidak muncul secara terang dan jelas dalam kontestasi pilpres lalu. Warga sipil lebih banyak disajikan dengan parade demagogi politik identias, khususnya sentimen agama. Dengan sentimen agama, warga dikondisikan dan dimobilisasi untuk meributkan isu-isu agama sehingga tidak peduli dengan kuasa oligarki yang berada di masing-masing kubu yang berkontestasi. Umat muslim yang menjadi mayoritas justru asyik menikmati buaian islamisme yang lebih menonjolkan wujud dan mengindahkan substansi agama Islam itu sendiri. Buaian Islamisme ini telah menghanyutkan masyarakat urban dan kelas menengah perkotaan yang haus akan ilmu agama terperangkap dalam lubang mobilisasi para pemegang kepentingan. Padahal sejarah awal Islam adalah sebagai agama pembebas, yang memperjuangkan pembebasan dari praktik perbudakan, ketidakadilan, dan kemiskinan.
Melihat kenaikan semangat dalam berislam, maka alangkah baiknya jika semangat turun ke jalan seperti pada aksi 212 itu digunakan untuk membela kaum tertindas, korban ketidakadilan, ketidakjujuran, dan kampanye anti korupsi, bukan untuk membela kepentingan elite politik yang berjubah agama. Bukankah Islam melarang berbagai bentuk penindasan, monopoli, dan ketidakadilan, serta ketidakjujuran? Nilai-nilai substansial Islam ini harus kembali dijadikan pedoman, sementara hal-hal yang bersifat seremonial ataupun perdebatan masalah-masalah furu’iyah harus dikebawahkan. Adalah lebih baik dan bermanfaat berjuang menolak praktik oligarki ketimbang sibuk berdebat hukum mengucapkan selamat Natal, misalnya.
Hanya dengan mengutamakan pengamalan nilai-nilai substansial Islam ini, kita bisa beranjak keluar dari demokrasi semu saat ini menuju demokrasi yang benar-benar dari-oleh-dan-untuk rakyat.***
Umi Nurchayati adalah seorang kolumnis, saat ini sedang nyantri pada sebuah Pesantren di Jogjakarta