‘Fikih Mayoritas’: Tanggapan Atas Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

Print Friendly, PDF & Email

Kredit ilustrasi: Pinterest



AKHIR-akhir ini, perdebatan tentang ‘mayoritas’ dan ‘minoritas’ kembali menyeruak di ruang publik, terutama pada konteks Indonesia. Wacana mayoritas-minoritas menjadi penting untuk dibicarakan karena ia tidak lagi sebatas fakta sosial tentang jumlah, tetapi telah bermetamorfosa dalam bentuk yang beragam dengan segala implikasinya, seperti gesekan sosial yang berbasis pada identitas agama maupun etnis, persoalan kemiskinan dan menguatnya politik identitas terutama pada konteks perebutan kekuasaan.

Pada diskursus ini, kata ‘mayoritas’ umumnya disematkan pada penganut agama Islam, khususnya Islam Sunni atau Ahlus Sunnah wa’l Jamaah. Sebaliknya ‘minoritas’ dipahami sebagai yang menganut agama lain dan yang di luar Islam Sunni (termasuk Syiah dan Ahmadiyah), meskipun tidak sedikit upaya dalam melakukan konseptualisasi ulang atas dua konsep tersebut. Banyak sarjana dan cendekiawan yang menaruh perhatian sangat besar pada perlindungan terhadap kelompok minoritas yang hidup di tengah masyarakat mayoritas, termasuk salah satu yang paling baru adalah buku karya Ahmad Najib Burhani, Menemani Minoritas (Gramedia,2019).

Dari banyaknya pemikiran tentang minoritas, tulisan Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, “Menuju Fikih Mayoritas”, di media alternatif IndoPROGRESS, menjadi sangat menarik untuk dibicarakan. Secara umum, tulisan tersebut berupaya memberikan cara pandang lain dengan mengajukan satu pertanyaan penting: jika pemikiran tentang ‘fikih minoritas’ sudah banyak dirumuskan, adakah konsep tentang ‘fikih mayoritas’ untuk memandu umat Islam sebagai mayoritas di tengah masyarakat yang beragam? Untuk menjawab pertanyaan ini, Umar berargumen bahwa perlu adanya upaya melakukan (re)konseptualisasi atas konsep keadilan dan perlindungan dalam Islam. Dengan mengutip Q.S. Al-Maidah: 8, ia menekankan bahwa dalam upaya menciptakan keadilan dan perlindungan, kita harus mampu ‘melampaui identitas’ apapun bentuknya. Pada posisi ini, umat Islam, khususnya di Indonesia, sebagai mayoritas harus menjadi ‘pelindung’ bagi minoritas berdasarkan nilai-nilai keadilan.

Sepenuhnya saya setuju dengan argumen tersebut bahwa keadilan harus menjadi dasar dalam hubungan antar sesama maupun pada skala yang lebih luas, seperti pelayanan publik dan perlakuan hukum oleh negara terhadap masyarakat. Tetapi, terdapat problematika dalam tulisan tersebut. Pada satu sisi, tulisan tersebut ingin mendorong adanya rumusan fikih mayoritas, namun, secara konseptual, cara pandang yang digunakan masih sangat minoritas sentris, sesuatu yang selama ini telah dikembangkan dalam studi-studi tentang minoritas. Akibatnya, secara implisit, konsep keadilan dan perlindungan menjadi terbatas pada satu kelompok tertentu, yaitu minoritas dan cenderung menafikan kelompok lainnya yang mayoritas. Murtadha Muthahhari memetakan keadilan dalam empat pemahaman yaitu (1) Adil adalah suatu keadaan yang seimbang; (2) Persamaan dan tidak ada pembedaan (diskriminasi); (3) Memelihara hak individu dan memberi hak kepada yang berhak menerimanya berdasarkan preferensi dan kekhasannya; dan (4) Memelihara hak atas berlanjutnya eksistensi.

Pemahaman ini memiliki implikasi, pada satu sisi, bahwa wawasan keadilan dan perlindungan seharusnya tidak dibatasi oleh konsepsi biner mayoritas-minoritas melainkan upaya pemenuhan atas hak (juga kewajiban) kepada semua tanpa kecuali. Di sisi lain, keadilan harus ditegakkan dengan berlandaskan pada pemahaman bahwa hak atas rasa adil harus dipenuhi kepada mereka yang berhak sesuai dengan preferensi dan kekhasannya. Dengan demikian, rasa adil bisa dipahami sebagai perlakukan yang sama pada satu waktu dan konteks tertentu, namun keadilan juga bisa dimaknai sebagai pemenuhan atas hak secara proporsional. Pada konteks ini, pemenuhan privilese atas kelompok tertentu tidak bisa dimaknai secara kaku sebagai bentuk diskriminasi. Dalam kehidupan sosial dan bernegara, penerapan aturan-aturan hukum baik dalam bentuk norma maupun hukum negara tidak bisa lepas dari pengaruh struktur sosial, budaya dan termasuk agama, sehingga sangat mungkin kelompok masyarakat tertentu (umumnya mayoritas) mendapatkan perlakukan yang ‘lebih’ daripada yang lain. Hal ini tergantung pada konsepsi kita dalam memaknai ‘hak’, ‘kewajiban’ dan ‘rasa adil’ dengan tidak melepaskan konteks sosial dimana kita berada.

Pada kondisi inilah praktik toleransi sebagai proses dua arah (two-way process) sangat diperlukan. Misalnya, umat Islam tidak boleh dan sangat dilarang mengganggu, dalam bentuk apapun, ibadah umat agama lain apalagi merusak tempat ibadahnya. Pada saat yang sama, umat agama lain juga harus toleran atas kultur maupun kebijakan tertentu atas umat Islam, seperti aturan-aturan yang dikeluarkan selama bulan suci Ramadhan. Pada contoh lain, umat Islam di negara mayoritas non-muslim umumnya tidak diperkenankan mengumandangkan azan di masjid-masjid mereka secara terbuka. Mereka harus menghormati aturan dan budaya masyarakat setempat. Sebaliknya, azan dengan pengeras suara diperkenankan di Indonesia. Umat agama lain diminta dan diharapkan untuk toleran pada situasi tersebut.

Akhirul kalam, saya sependapat dengan Umar bahwa wacana mayoritas-minoritas (khususnya di Indonesia) harus melampaui isu identitas dengan melihat persoalan yang lebih luas seperti isu ekonomi dan politik. Wacana mayoritas-minoritas tidak bisa lagi dipahami sebatas jumlah tetapi sejauh mana seorang individu atau kelompok tertentu memiliki akses terhadap sumber daya ekonomi maupun politik untuk keberlangsungan eksistensinya. Pada kondisi seperti ini, kelompok mayoritas secara jumlah tidak secara otomatis memiliki ‘kemampuan’ untuk memenuhi hak atas dirinya sendiri dan kemampuan untuk melindungi yang lain. Oleh karena itu, wacana mayoritas-minoritas beserta isu-isu lain yang menyertainya, seperti toleransi dan diskriminasi (dalam aspek yang luas) seharusnya tidak dilekatkan pada umat Islam saja, sebab jumlah tidak ekuivalen dengan kemampuan untuk menciptakan keadilan dan perlindungan.

Fenomena ketertindasan mayoritas oleh minoritas bisa kita lihat pada kondisi umat Islam di Indonesia yang secara umum terpinggirkan dari sumber-sumber ekonomi. Sebaliknya, kekayaan dan akses terhadap hal tersebut dikuasai oleh segelintir kelompok tertentu. Model dan tata kelola pembangunan ekonomi di Indonesia berkontribusi secara signifikan dalam penciptaan kemiskinan dan ketimpangan. Secara umum, wacana ekonomi di Indonesia masih berorientasi pada pertumbuhan daripada pemerataan. Kebijakan impor (termasuk persoalan endemik mafia impor) juga harus dikaji dan ditangani secara lebih serius oleh para ahli ekonomi dan pembuat kebijakan. Sistem dan jumlah upah juga belum memberikan ruang bagi para pekerja untuk bisa hidup lebih baik.

Pada konteks yang lebih luas, ketertindasan mayoritas atas segelintir orang dan kelompok merupakan ekses dari globalisasi ekonomi. Ketika kelompok globalis neoliberal percaya pada doktrin kesejahteraan dan kemakmuran dari proses globalisasi ekonomi, tidak sedikit yang meragukan dan mengecam globalisasi ekonomi atas meluasnya kemiskinan global, kerusakan lingkungan hingga merebaknya konflik dan perang sipil (civil wars) dalam memperebutkan sumberdaya alam seperti minyak dan gas. Pada kondisi ini, kelompok masyarakat, meskipun mayoritas dalam jumlah (apakah itu gender-based ataupun identity-based), yang tidak memiliki akses terhadap sumber-sumber ekonomi akan selalu tereksploitasi oleh sistem tersebut.***


Zain Maulana saat ini sedang nyantri di the University of Leeds, UK

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.