Kredit ilustrasi: Alit Ambara (Nobodycorp)
APA yang sebenarnya menjadi basis politik dari perilaku terorisme atas nama agama di Indonesia? Pertanyaan ini setidaknya menjadi terpinggirkan dalam percakapan kita sekarang mengenai terorisme. Alih-alih berupaya untuk mengungkap kondisi politik yang ada, penjelasan mengenai terorisme sekarang lebih banyak dihubungkan dengan kondisi psikologi pelaku teror yang banyak terpapar oleh gagasan serta interpretasi salah kaprah atas agama.[1]
Peminggiran ini memiliki signifikansi politik bagi pelemahan gerakan rakyat. Fenomena terorisme menjadi kehilangan akar kekuasaannya yang membuatnya terisolasi dari keberadaan kekuatan sosial yang dominan di masyarakat. Implikasinya tentu penjelasan tentang terorisme menjadi hal yang tidak ada sangkut pautnya relasi kuasa serta kekuasaan politik yang dominan sekarang. Tidak heran jika kemudian wacana terorisme justru menjadi bagian yang tak terpisahkan dari agenda politik untuk mengonsolidasikan kekuatan kelas berkuasa. Dari disahkannya UU Terorisme sampai dengan program deradikalisasi pemerintah, dinamika demokratis dimungkinkan untuk ditangguhkan oleh negara atas nama antisipasi terhadap terorisme.
Salah satu penyebab mengapa tidak terlalu banyak penjelasan tentang basis politik terorisme agama terletak pada adanya anggapan bahwa terorisme agama adalah sesuatu yang sama sekali unik dalam pengalaman sejarah kontemporer kita. Demokratisasi serta kebebasan politik yang terjadi pasca reformasi, memungkinkan munculnya gagasan fundamentalisme agama yang suportif terhadap aksi teror. Dalam pengalaman otoritarian anti demokrasi, seperti di era Orde Baru, dimana negara memiliki kapasitas untuk melakukan kontrol gagasan, kondisi seperti ini seakan menjadi musykil untuk terjadi. Belum lagi dominannya cara pandang kesejarahan yang melihat bahwa kekuasaan negara Orde Baru cenderung melakukan peminggiran terhadap kekuatan berbasis agama.[2] Implikasi logis dari cara pandang ini tentunya adalah ruang untuk pengorganisiran teror atas nama agama sangatlah sempit dan terbatas. Dengan kata lain, perpektif publik terkait dengan terorisme agama berada dalam horizon dimana keberadaan terorisme tidak ada sangkut pautnya dengan proses historis politik negara Indonesia.
Masalahnya anggapan ini hanya bersifat setengah benar. Terkait dengan hubungan antara negara dan kekuatan sosial berbasis agama, hubungannya tidak melulu bersifat represif, namun juga dapat akomodatif. Hal ini mengingat ancaman nyata bagi Orde Baru selalu merupakan hal-ihwal yang bersifat politik. Jika ia muncul dalam sifat sosial, Orde Baru selalu dapat melakukan akomodasi atas nama kooptasi. Disinilah kita dapat menemukan sifat strategis dari Orde Baru: represif secara politik, akomodatif secara sosial.
Dalam kaitannya dengan terorisme agama yang menggunakan retorika Islam, hubungan akomodatif terhadap kekuatan Islam ini menjadi kondisi material yang penting bagi penciptaan kondisi sosial yang penting bagi pengorganisiran organisasi serta praktik terorisme. Akomodasi terhadap kekuatan Islam ini sendiri memiliki alasan ideologi politik: Orde Baru maupun kekuatan Islam sama-sama berbagi sentimen anti komunisme.[3] Salah satu aktor krusial dari kekuatan Islam yang menciptakan kondisi penting bagi penyemaian kondisi sosial yang memungkinkan pengorganisiran terorisme adalah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Didirikan oleh seorang figur Islam Modernis, Muhammad Natsir pada tahun 1967, DDII memiliki peran strategis sebagai pintu masuk gagasan fundamentalisme Islam yang banyak berkembang di Timur Tengah. Preferensi pengetahuan tidak terlepas dari kuatnya hubungan Natsir dengan jaringan Timur Tengah, khususnya Arab Saudi. Natsir pada saat itu adalah anggota dari Rabita Al Alam Al Islami (Liga Muslim Dunia), organisasi Islam yang didirikan oleh pemerintah Arab Saudi pada tahun 1962 yang dibentuk untuk menyaingi pengaruh nasionalisme Arab progresif yang berkembang pada saat itu. DDII sendiri banyak didanai oleh Arab Saudi. Dengan adanya hubungan ini, tidak heran jika DDII terpengaruh oleh agenda anti progresif Arab Saudi. DDII banyak melakukan aktivitas penafsiran pemikiran Islam garis keras menurut Ikhwanul Muslimin (IM) seperti Sayyid Qutb dan Hasan Al Banna, atau Abu Ala Maududi. Selain itu banyak mahasiswa Indonesia yang belajar di Arab Saudi melalui dukungan DDII kemudian yang menyebarkan gagasan konservatisme Wahabi.[4]
Peran khusus DDII ini berdampak pada kemunculan pengorganisiran sosial yang spontan berdasar garis Islam konservatif garis keras di era Orde Baru. Mulai banyak bermunculan kelompok-kelompok pengajian di masyarakat yang mengambil penafsiran Islam konservatif garis keras.[5] Salah satu kelompok yang terpengaruh oleh penetrasi konservatisme yang disebarkan oleh DDII adalah jaringan lama Darul Islam (DI) yang dimpimpin oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baa’syir.[6] Dua figur inilah yang kemudian menjadi pemimpin utama jaringan teror di Indonesia pasca jatuhnya Suharto, Jamaah Islamiyah.
Namun pengaruh penyebaran gagasan kosnervatisme Islam garis keras melalui DDII tidak mencukupi. Negara Orde Baru ikut berperan untuk memperkuat posisi kelompok Islam konservatif garis keras. Momen pemberdayaan ini muncul dalam perkembangan tertentu politik Orde Baru, dimana Suharto berkepentingan untuk mempertahankan pengaruhnya dalam tubuh militer pada periode pertengahan 1980an. Militer pada saat itu tengah dipimpin oleh L.B. Moerdani yang sangat berkuasa dalam mengendalikan mesin organisasi ABRI. Sebagai bagian dari kepentingannya untuk menyingkirkan Benny Moerdani, Suharto kemudian memerintahkan beberapa Jenderal Muslim untuk menciptakan faksi “Hijau,” warna simbolik Islam, untuk melawan kepemimpinan Moerdani yang banyak disebut sebagai tentara “Merah Putih”. Dalam pertarungan faksional ini, faksi tentara “hijau” banyak melakukan mobilisasi dukungan terhadap kelompok Islam konservatif yang tengah berkembang pada saat itu.[7] Implikasi dari dukungan politik Islam konservatif terhadap faksi tentara “hijau” mengintegrasikan organisasi Islam konservatif garis keras dalam pusaran kekuasaan negara. Negara Orde Baru semakin memperluas ruang pengaruh kekuatan Islam konservatif garis keras.
Situasinya semakin terbuka bagi kelompok Islam garis keras ketika rezim Orde Baru runtuh. Pada masa-masa transisional, kekuatan elit lama kembali menggunakan tenaga Islam garis keras untuk mengamankan kepentingannya di era transisi.[8] Instrumentasi ini berdampak signifikan pada penguatan posisi Islam konservatif di masyarakat. Ketika muncul tuntutan demokratisasi yang lebih luas, kelompok konservatif ini seringkali menjadi alat kekerasan non-negara yang berfungsi untuk meredam aspirasi demokratis masyarakat.[9]
Ada dua implikasi dari situasi sosial seperti ini: pertama, aspirasi publik ditingkatan akar rumput akan selalu dihadapkan dengan posisi kekuatan Islam konservatif garis keras sebagai bagian dari kendali elit. Di sini secara keseharian masyarakat perkembangan gagasan di masyarakat akan selalu disaring keberadaannya oleh posisi politik kelompok Islam konservatif. Kedua, terjadi monopolisasi organisasi sosial dimana kelompok Islam konservatif menjadi satu-satunya sarana organisasional yang tersedia untuk menyalurkan aspirasi mereka ketika berhadapan dengan masalah sosial yang ada.
Bagi saya, keterbatasan organisasi sosial ini adalah basis politik bagi terorisme agama. Karena dalam konstelasi organisasional yang ada, masyarakat menjadi dibatasi pada bagaimana mereka dapat merespon situasi sosial yang ada. Ketika salah satu bagian dari konfigurasi organisasi sosial yang ada adalah organisasi teroris seperti Jamaah Islamiyah, maka organisasi teroris ini menjadi salah satu pilihan yang tersedia di masyarakat untuk dapat menjawb permasalahan sosial yang mereka hadapi.***
Penulis adalah anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP)
————-
[1] Lihat misalnya laporan tentang calon pelaku bom bunuh diri perempuan ISIS di laman https://newnaratif.com/journalism/making-female-isis-bomber/
[2] Lihat misalnya argumen tentag represi Orde Baru terhadap kekuatan Islam di laman https://tirto.id/nu-ppp-dan-represi-orde-soeharto-kepada-islam-ckx2
[3] Lihat misalnya pernyataan Hamka dalam Hosen, N. (2004). Behind the scenes: fatwas of Majelis Ulama Indonesia (1975–1998). Journal of Islamic Studies, 15(2), 147-179.
[4] Lihat presentasi van Bruinessen, M. (2009, November). Modernism and Anti-Modernism in Indonesian Muslim Responses to Globalisation. In Workshop “Islam and Development in Southeast Asia: Southeast Asian Muslim Responses to Globalization”, organized by JICA (Japan International Cooperation Agency) Research Institute, Singapore (pp. 21-22).
[5] Salah satu bentuk yang marak berkembang adalah lingkar pengajian kampus atau biasa disebut sebagai halaqah. Lihat van Bruinessen, M. (2002). Genealogies of Islamic radicalism in post-Suharto Indonesia. South East Asia Research, 10(2), 117-154.
[6] Ibid., 133.
[7] Jahroni, J. (2004). Defending the Majesty of Islam: Indonesia’s Front Pembela Islam (FPI) 1998-2003. Studia Islamika, 11(2).
[8] Salah satu contohnya adalah pengorganisiran Pam Swakarsa yang pada saat itu dipimpin oleh Habib Rizieq, seorang figur yang memiliki koneksi kuat dengan jaringan DDII. Lihat Hefner, R. (2012). “Islamic radicalism in a democratizing Indonesia”. In Akbarzadeh, S. (Ed.). Routledge handbook of political Islam. Routledge.
[9] Lihat misalnya pada bagaimana kelompok Islami garis keras banyak melakukan pembatasan berpendapat dan berekspresi bagi mereka yang henda mengungkit kasus HAM 1965 karena dianggap sebagai upaya membangkitkan kembali komunisme. Zurbuchen, M. S. (2002). History, memory, and the” 1965 incident” in Indonesia. Asian Survey, 42(4), 564-581.