Kredit foto: Kompas Regional
HARI Minggu (13/5) kemarin adalah hari yang aneh buat saya. Subuh saya bertolak dari Surabaya, kampung halaman saya, dan begitu sampai di Jakarta dan menghidupkan ponsel, belasan pesan teks masuk, baik jalur pribadi maupun jalur grup. Rata-rata menanyakan keberadaan saya dan keluarga, dan—karena kawan-kawan saya tahu bahwa kami sekeluarga adalah keluarga pendeta—gereja kami. Seketika saya tarik koper saya ke salah satu kedai kopi, memesan kopi, dan menjelajah internet untuk mencari pemberitaan media tentang hal tersebut.
Ternyata, dua bom meledak di gereja. Salah satunya, di GPPS Arjuna, amat dekat dengan gereja saya di jalan Demak. Selang beberapa teguk. Satu bom lagi dikabarkan meledak. Tidak lama lagi berselang, desas-desus mengatakan ada satu bom lagi digagalkan di gereja katedral. Lainnya mengatakan ada 20 titik bom lagi yang masih belum terdeteksi. Dan seterusnya yang saya yakin pembaca sekalian juga sudah tahu.
Kawan-kawan saya di Surabaya sibuk saling menguatkan satu sama lain, saling memeriksa keadaan satu sama lain; kami mempopulerkan #SuroboyoWani (Surabaya Berani), #SurabayaGakWedi, #TerorisJancuk, dan hashtag lain yang senada. Surabaya, dilihat dari perspektif ponsel dan puluhan laman Google yang saya jelajahi, sedang berada pada kondisi berduka. Seolah seluruh warga Surabaya berduka.
Setidaknya sampai saya hendak mengakhiri sesi kopi dan jelajah berita Bom Surabaya. Ponsel berdering dan seorang kawan lama, arek Suroboyo juga, menelpon dan menanyakan … lowongan pekerjaan. Anehnya, dari perbincangan kami sekitar 10 menit, hanya sekali topik bom dibicarakan, dan itupun hanya sekilas dan kurang dari 5 detik bahkan. Sisanya kami berbicara mengenai peluang-peluang yang bisa dimanfaatkan teman saya untuk mendapat pekerjaaan.
Seketika saya sadar, dari tiga jutaan warga Surabaya, pasti tidak hanya teman saya tersebut yang lebih pusing bagaimana menghidupi diri dan keluarganya. Pasti tidak hanya teman saya yang tidak memiliki cukup alokasi waktu dan energi untuk memusingkan persoalan bom yang nampak sistematis dan baru saja meledak ini. Adalah sebuah privilese khusus untuk bisa bersedih, sibuk mempopulerkan hashtag, geram identitas urbannya terusik, dan mengumbar-umbar kutukan dan keberanian terhadap “teroris.” Yang bersangkutan harus seminim-minimnya memiliki tempat tinggal yang aman untuk beberapa tahun ke depan, pendapatan cukup untuk menghidupi diri dan keluarga setidaknya beberapa bulan ke depan, dan tentu saja pulsa internet yang cukup (banyak) untuk mem-blast dan mem-broadcast pesan-pesan persaudaraan dan persatuan.
Disiplin emosi
Keanehan lainnya tak lama menyusul. Setelah berita yang bermunculan semakin tersaturasi, semakin terjadi pengulangan-pengulangan pemberitaan dan tidak ada lagi informasi baru yang didapat, maka logislah sekiranya orang mulai berspekulasi mengenai fakta-fakta (baca: “fakta” sekunder yang didapat lewat media—umum, daring, pribadi, maupun kelompok). Di beberapa grup, beberapa kawan mulai mempertanyakan banyak hal, berspekulasi mengenai banyak skenario, dst. Ada yang mengatakan ini framing, ada yang bilang politisasi menuju 2019, ada yang mempertanyakan predikat ‘teroris’ sebagai pelaku, ada yang menyalahkan polisi dan intelijen yang kecolongan, bahkan tidak sedikit yang menunjuk hidung. Masing-masing membanggakan bahwa analisisnya bersumber dari konfirmasi aparat, dari “sumber terpercaya,” dsb. Belum lagi klaim ISIS yang dimuat di Amaq News Agency yang kita dapat dari kutipan media-media yang berseliweran di ponsel kita semakin menambah “data pendukung” bagi analisis kita semua.
Namun di tengah semangat orang-orang ini mengetik analisis di whatsapp yang paaaaanjang dan bertubi-tubi, muncul fenomena yang segera menunjukkan betapa orang-orang bagian pertama ini amatlah minoritas. Bermunculan mereka-mereka lainnya yang segera menghardik mereka-mereka yang berada di golongan pertama. Banyak dan beragam hardikannya, namun kurang lebih nadanya berkisar di seputar: “kita sedang berduka, jangan berdebat,” “jangan memperkeruh suasana,” “hargai korban, jangan ribut,” “jangan memecah belah, karena inilah tujuan para teroris,” dsb. Bahkan di dua grup yang saya ikuti, terjadi penendangan (kicking out) karena perdebatan seputar terorisme ini.
Tidak hanya di grup saya saja, hal ini juga terjadi di kolom komentar berita-berita, di facebook, di twitter, dst. Komentar-komentar yang mencoba menganalisis lebih jauh (cat. Kesampingkan dahulu standar keketatan metodologi) segera terdisiplinkan oleh seruan-seruan macam di atas. Tidak susah untuk dipahami maksudnya: jangan berpikir, rasakan saja!; don’t think; feel!
Sebagai seorang psikoterapis, saya khawatir dengan proses pendisiplinan semacam ini. Dari pengalaman klinis yang saya jumpai, salah satu hal utama yang membuat seseorang tetap terjerat pada keluhan-keluhan mentalnya (depresi, stress, susah fokus, sedih berkepanjangan, dan bahkan simtom-simtom lainnya “yang tidak umum”) tidak lain adalah bahwa ia terfiksasi dengan perasaannya. Emosi yang ia rasakan itu menelan habis dirinya, dan bahkan menyabotase pikiran rasionalnya. Alhasil, ketimbang berpikir mengurai permasalahan, lalu mulai memikirkan solusi dan mencoba merancang strategi konkret yang terukur dari posisinya, sang subjek menjadi berkubang pada melankolia dan playlist-playlist musik yang semakin membuatnya stuck di tempat itu.
Sekedar informasi, emosi itu melelahkan: ia menyedot energi, pikiran (overthinking: seolah-olah berpikir, namun sebenarnya tidak), waktu, dan bahkan ia juga menyedot energi sekelilingnya: teman, keluarga, rekan kerja, dst. Emosi ini memiliki kekuatan luar biasa, namun sayangnya irasional (dalam artian, ia tiba-tiba saja muncul; ungkapan seperti “entah mengapa, tapi aku merasa…”, dst.); sehingga apabila tidak diimbangi dengan kawalan pikiran logis, sudah pasti kehancuran yang terjadi. Begitu juga sebaliknya, pikiran logis tidak akan bergerak kemana-mana tanpa asupan energi yang berasal dari emosi.
Kembali ke para garda disipliner isu bom, seruan mereka jelas, kita hanya boleh bersedih, bersimpati, dan juga marah, geram, dan mengutuk. Ketimbang mengawal perdebatan tersebut—baik itu yang ngaco, konspiratif, debat kusir, maupun yang sok intelek—dengan mempertanyakan proses penyimpulan yang diambil, menguji validitas data yang digunakan untuk menopang klaim, dan mengorek asumsi-asumsi dasar yang bisa jadi malah tak berdasar, garda disipliner emosi ini lebih memilih membungkam. Mungkin benar, berdebat itu budaya Barat dan bukan budaya kita orang Timur.
Tapi tunggu dulu, apa benar kita tidak diizinkan berpikir?
Pikiran-pikiran emosional
Tentu saja kita diizinkan berpikir. Sama seperti rezim otoritarian di manapun, berpikir bukanlah sesuatu yang dilarang. Yang dilarang adalah cara berpikirnya, dan juga konten pemikirannya. Lalu seperti apakah pemikiran yang diizinkan untuk dipikirkan para garda disiplin emosi ini?
Tradisi panjang psikoanalisis selalu mengingatkan kita untuk tidak meremehkan ketidaksadaran sebagai sekadar irasionalitas yang tidak punya otak (alias tidak berpikir). Pasalnya, ketidaksadaran adalah suatu bentuk pemikiran! Kita bisa skip dahulu uraian panjang mengenai hubungan ketidaksadaran dengan emosi dan/atau afeksi. Satu hal yang bisa kita pegang: saat kita tidak sadar, maka sebenarnya kesadaran kita sedang tersabot oleh emosi, sehingga seluruh logika kita menjadi terkoridorkan di sepanjang lorong fiksasi emosional kita. Intinya: kita masih tetap berpikir, hanya saja secara emosional.
Tidak susah mencari konten pikiran emosional ini. Bahkan saya cukup yakin Anda tidak perlu repot-repot melakukan analisis linguistik kognitif untuk memetakan frekuensi penggunaan, jejaring semantik, konkordansi, dan kolokasi kata-kata yang secara pragmatik dipakai untuk merujuk peristiwa #BomSurabaya ini. [1] Tema umum yang dominan dan hegemonik adalah TRAGEDI KEMANUSIAAN. Kawan saya, arek Suroboyo, bahkan di laman facebook-nya menyerukan bahwa adalah ‘Jancuk!’ bagi siapapun yang mengatakan bahwa tragedi ini adalah politik, konspirasi, framing, dst., selain tragedi kemanusiaan. Lagi-lagi, selain berkabung dan bersedih, kata kerja lain seakan-akan adalah haram (baca: jancukan, bahasa Suroboyoan) untuk dilakukan.
Lalu, solusi apa yang bisa diharapkan dari memikirkan tragedi ini sebagai TRAGEDI KEMANUSIAAN? Selain mengutuk dan berduka, kita bisa lihat juga bermunculan: “bunuh saja teroris,” “eksekusi mati Mako yang sekarang di pindah di Nusakambangan,” “kesampingkan HAM, habisi langsung teroris,” lainnya tanpa sadar memodifikasi kutipan Vladimir Putin “memaafkan teroris itu terserah Tuhan, tapi adalah tugas Polisi untuk mempercepat teroris menemui Tuhan.” Ungkapan-ungkapan ini seakan lupa betapa asal-mula Kamp Tahanan Guantanamo dan Abu Ghraib, berikut senarai penyiksaan dan salah tangkap (!)-nya bermula dari seruan-seruan ini. Ya salah tangkap saking paranoidnya: Pentagon sendiri akhirnya mengakui bahwa hanya 8% dari ratusan tahanannya yang terbukti terlibat jejaring Al-Qaeda. Ungkapan ini juga seakan lupa betapa pelucutan hak warga negara AS dengan dimulai dari PATRIOT ACT dan turunan-turunannya juga dimulai dari seruan semacam ini.
Saya sepakat bahwa perlu ada tindakan yang taktis dan tegas untuk membendung dan mencegah aksi-aksi teror lainnya. Sebagai pemegang lulusan pendidikan formal Strategis dan Keamanan, saya tidak memungkiri itu. Bahkan saya juga terlibat di salah satu think-tank di seputar strategi kontra-terror dan deradikalisasi ini. Namun demikian, yang masih sedikit saya lihat adalah strategi intervensi jangka panjang. Dengan melihat tragedi terorisme ini sebagai semata-mata TRAGEDI KEMANUSIAAN, kita tidak akan pernah menembus selubung kondisi yang memungkinkan munculnya sang teroris berikut pemikiran yang melandasinya.
Namun ini tidak terelakkan, saya kira, dari pemosisian isu sebagai TRAGEDI KEMANUSIAAN. Karena ini persoalan kemanusiaan, maka solusinya pun yang berkaitan dengan intervensi di seputar kualitas kemanusiaan. Dua hal yang mengemuka: pendidikan dan agama. Yang pertama, alur pemikirannya cukup sederhana, karena seseorang tidak berpendidikan, maka ia tidak memiliki cukup kapasitas untuk bisa memiliki pekerjaan yang baik di dunia kerja, alhasil ia rentan terbuai dengan janji-janji manis dari para dalang teroris. Suatu hari ramai diperbincangkan hasil tangkapan foto seseorang akan seorang anggota kelompok agama yang tergolong “fundamentalis”, lengkap dengan pakaian khasnya, yang sedang diam-diam memotret seorang pramugari yang sedang membelakanginya. Dianggap tidak sopan dan tidak senonoh, seantero jagad warganet mengutuknya dengan nada serupa: “dasar tidak berpendidikan!”.
Kawan saya memberikan hardikan yang amat-sangat tepat dan penting untuk dipikirkan, kurang lebih sbb: kesalahan kita adalah menisbatkan persoalan pendidikan pada orang-orang seperti itu, karena itu sama saja mengakui bahwa mereka adalah juru bicara bagi orang-orang yang tidak berpendidikan (yaitu yang secara sistemtik terpinggirkan dari aksesnya ke pendidikan). Tidak hanya itu, hardikan warganet yang “berpendidikan” ini lebih sebagai upaya mencuci tangan dan mengamankan zona nyamannya dengan perisai pendidikan: “karena saya berpendidikan, saya tidak akan melakukan hal itu.”
Kedua, solusi agama biasa berangkat dari anggapan bahwa semua agama mengajarkan perdamaian dan bukan kebencian. Sehingga saat sang “teroris” mengklaim menggunakan agama tertentu, maka segeralah putusan dijatuhkan: dia bukan orang beragama. Lihat saja surat terbuka petinju Chrisjohn. Alhasil dialog, khotbah dan seruan pemuka agama menjadi solusinya. Solusi lain yang mirip dengan jalur relijius adalah jalur moralitas dan kemanusiaan. Struktur narasinya sama: karena tidak ada manusia yang tega melakukan “kebiadaban” ini, maka para teroris ini bukan manusia, sehingga tidak seharusnya ia diperlakukan seperti manusia.
Menariknya, saat klaim ini dilontarkan, semuanya seakan secara bulat dan bersepakat merujuk kepada kekuasaan ekstra-legal dan luar biasa (exceptional) negara untuk melakukan segala cara untuk membasmi terorisme. Kita seakan lupa, kekuasaan yang sama adalah yang juga dilakukan negara untuk melindungi perusahaan-perusahaan penjarah dan perampas tanah rakyat, untuk menjustifikasi penangkapan spesies politik lain selain “teroris” seperti “separatis,” “pengacau keamanan,” “komunis,” “LGBT,” dst.
Penutup
Persoalan seputar kemunculan terorisme tentu saja sudah banyak diperdebatkan di kalangan akademisi lintas-disipliner. Namun demikian, perdebatan ini nampaknya hanya terisolir di kalangan itu saja; saat kita melongok masuk ke ruang-ruang virtual komunikasi rakyat keseharian, yang kita temukan adalah sabotase nalar, glorifikasi emosional, dan pendisiplinan pikiran yang terjadi. Saya tidak tahu apa solusinya. Bahkan, saya juga tidak tahu apa yang sebenar-benarnya mendasari kemunculan terorisme kontemporer. Namun satu hal yang saya tahu pasti, pemosisian isu ini sebagai TRAGEDI KEMANUSIAAN di satu sisi hanyalah mekanisme bertahan kita yang narsis untuk sekadar mengatakan bahwa “kalian bukan bagian dari kami” yang justru memperkuat kapasitas ekstra-legal kesewenang-wenangan kekuasaan, dan di sisi lain, dan ini yang paling memprihatinkan, akan selalu menghalangi kita untuk bisa menembus selubung irasionalitas yang selama ini melindungi akar terorisme dari solusi yang tepat.***
Penulis adalah peneliti di Koperasi Riset Purusha dan hipnoterapis di Koperasi Klinik Minerva
———-
[1] Bagi yang ngotot, silakan cek metodenya di sini: Emilie L’Hôte, Identity, Narrative and Metaphor: A Corpus-Based Cognitive Analysis of New Labour Discourse (Palgrave, 2014).