Peran Taman Bacaan, Problem Sosial dan Literasi Kontekstual

Print Friendly, PDF & Email

Kredit foto: Jakarta-Utara.Info

 

GERAKAN literasi berbasis taman bacaan kini sedang giat menggalakan kegiatan literasi di berbagai daerah. Kegiatan ini sebagian besar merupakan inisiatif masyarakat yang lahir dari keadaan di mana fasilitas pendidikan dan literasi milik negara (perpustakaan, dll) berjarak dari kebutuhan mereka.

Pada peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2017 lalu, Presiden Joko Widodo mengundang perwakilan pengelola taman bacaan dan pegiat literasi dari berbagai wilayah ke Istana Negara, Jakarta. Di antara yang diundang ada pegiat Noken Pustaka dari Papua dengan inisiatif membawa buku-buku di dalam noken (tas tradisonal orang Papua) dan mendistribusikannya kepada masyarakat di lokasi yang kurang tersedia bahan bacaan. Ada juga pegiat Angkot Pustaka dari Bandung dengan inisiatif menyediakan bahan bacaan di dalam angkot.

Setelah mendengar pengalaman mereka membangun dan mengasuh taman bacaan di tengah berbagai keterbatasan yang dihadapi, Jokowi lantas berjanji memberikan bantuan operasional dan 10.000 buku kepada taman bacaan dan titik-titik literasi di pelosok Indonesia. Dia juga mengambil kebijakan menggratiskan biaya pengiriman buku sehari dalam sebulan via Kantor Pos Indonesia.

Mengenai taman bacaan dan titik-titik literasi ini, data milik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebutkan bahwa terdapat kurang lebih 6000 taman bacaan tersebar di seluruh Indonesia (Kuwado 2017). Namun angka tersebut sebetulnya tidak cukup menggambarkan kenyataan yang sebenarnya. Terdapat banyak sekali inisiatif literasi yang berlangsung di luar radar birokrasi.

Di tengah perkembangan ini, tidak berlebihan untuk mengamati sejauh mana peran yang dipikul gerakan literasi berbasis taman bacaan di masyarakat. Pertanyaannya kemudian, apa yang dimaksud dengan taman bacaan? Apakah inisiatif literasi yang dibawa oleh gerakan tersebut menghadirkan konsep, nilai-nilai baru dan pendidikan kontekstual atau justru malah mendukung konsep, nilai-nilai dari status quo pendidikan yang ada? Apakah gerakan literasi taman bacaan menyelenggarakan inisiatif literasi dan pembelajaran yang kontekstual di masyarakat? Bagaimana gerakan literasi taman bacaan memandang problem sosial yang dihadapi masyarakat?

Tulisan ini akan memanfaatkan pertanyaan-pertanyaan di atas sebagai pemandu untuk mendiskusikan bagaimana baiknya gerakan literasi taman bacaan dapat menyumbang perannya di masyarakat.

 

Mendefinisikan ragam penyebutan

Para pengelola dan pegiat taman bacaan memiliki ragam istilah untuk menyebut inisiatif literasi yang mereka lakukan. Ada istilah perpustakaan komunitas, rumah baca, serambi baca, ruang baca, walang baca, kebun baca, pondok baca, warung baca dan sebagainya. Ada juga istilah pustaka begerak, suatu inisiatif yang mengorganisir buku-buku dan membagikannya ke pulau-pulau terluar dan daerah-daerah yang jauh dari pusat kota menggunakan perahu, kuda, sepeda motor, dan sebagainya.

Sejumlah istilah berbeda tersebut sebetulnya merujuk pada suatu aktivitas yang sama, yaitu upaya dari para pegiat literasi untuk menyediakan bahan bacaan, tempat belajar, tempat bermain, dan tempat mengembangkan bakat dan pikiran bagi masyarakat (terutama generasi muda usia sekolah).

Ragam penyebutan taman bacaan tadi kemudian dirangkum oleh pemerintah dengan istilah Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Dalam buku Taman Bacaan Masyarakat: Pedoman Penyelenggaraan (2009:1), TBM didefinisikan sebagai “sebuah tempat/wadah yang didirikan dan dikelola baik masyarakat maupun pemerintah untuk memberikan akses layanan bahan bacaan bagi masyarakat sebagai sarana pembelajaran seumur hidup dalam rangka peningkatan kualitas hidup masyarakat di sekitar TBM.” Dalam definisi ini inisiatif literasi di TBM dilihat semata bertumpu pada penyediaan layanan bahan bacaan.

Lalu dalam buku Petunjuk Teknis Pengajuan, Penyaluran dan Pengelolaan Bantuan Taman Bacaan Masyarakat Rintisan (2013:4), definisi TBM diperbarui. Peran TBM yang semula dilihat terbatas pada penyedia layanan bahan bacaan kemudian bergeser pada media-media lainnya. Dikatakan bahwa “taman bacaan adalah sarana atau lembaga pembudayaan kegemaran membaca masyarakat yang menyediakan dan memberikan layanan di bidang bahan bacaan berupa: buku, majalah, tabloid, koran, komik, dan bahan multimedia lain yang dilengkapi dengan ruangan untuk membaca, diskusi, bedah buku, menulis, dan kegiatan literasi lainnya, dan didukung oleh pengelola yang berperan sebagai motivator.”

Pergeseran definisi atas TBM ini merupakan respon atas munculnya bentuk dan pendekatan baru gerakan literasi berbasis taman bacaan. Secara umum terdapat tiga jenis taman bacaan: pertama taman bacaan yang didirikan atau difasilitasi oleh pemerintah. Kedua taman bacaan yang didirikan atau difasilitasi oleh BUMN atau perusahaan-perusahaan besar sebagai impelementasi dari corporate social responsibility. Ketiga, taman bacaan yang didirikan secara mandiri oleh masyarakat atau organisasi non profit (Haklev 2008:59). Untuk taman bacaan yang didirikan oleh pemerintah, biasanya menginduk pada Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) tingkat desa atau kecamatan dan berada dalam pengawasan Dinas Pendidikan.

 

Jejak sejarah taman bacaan

Sejarah taman bacaan telah ada sejak lama. Mulyana (2008) mencatat pada 1910-an Balai Pustaka yang tugasnya sebagai badan penerbit sekaligus badan sensor bahan bacaan milik pemerintah kolonial, memfasilitasi berdirinya lebih dari 1000 perpustakaan rakyat (volksbibliotheek). Hal ini dikatakan untuk memajukan usaha gerak badan dan sokongan untuk sekolah kepandaian bumiputera. Taman-taman pustaka itu hanya khusus menjual dan mengoleksi buku terbitan Balai Pustaka. Tapi pada masa itu juga telah muncul semacam perlawanan dari pedagang dan peminjam buku untuk mendistrbusikan bahan bacaan yang ditulis dalam Melayu pasar, yang didakwa oleh Balai Pustaka sebagai batjaan liar.

Pasca kemerdekaan, sepanjang tahun 1950-an pemerintah mulai giat mendirikan perpustakaan rakyat yang diberi nama Taman Pustaka Rakyat (TPR), sebagai salah satu media untuk memberantas angka buta aksara yang tinggi di masyarakat. TPR didirikan dalam beberapa tipe. Tipe A untuk Pedesaan, tipe B untuk Kabupaten, dan tipe C untuk Propinsi. Hingga 1959 jumlah TPR telah mencapai 1,469 untuk tingkat A, 192 untuk tingkat B dan 19 untuk tingkat C (Nurmasari 2017).

Huru-hara politik dan pergantian rezim kemudian membuat program pendirian perpustakaan rakyat seperti itu menjadi terbengkali. Pada dekade akhir era Soeharto, pendirian taman bacaan didorong lagi. Sejak tahun 1992/1993, Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah membantu pembentukan sekitar 5000 taman bacaan di berbagai daerah dengan harapan dapat menekan angka buta aksara dan menggalakkan minat membaca masyarakat.

Di samping inisiatif pemerintah, pada saat yang sama hadir inisiatif dari masyarakat dalam menggalakkan pendirian taman bacaan. Pada tahun 1970-an muncul model perpustakaan komunitas yang sifatnya komersil seperti persewaan buku dan komik. Kemudian pada 1980-an mulai ada perpustakaan komunitas non komersil yang menjadikan anak-anak sebagai fokus perhatian dari layanannya. Perpustakaan komunitas ini menjamur berbagai kota di Pulau Jawa (Septiana 2007).

Riwayat taman bacaan yang didirikan atau difasilitasi oleh pemerintah akhirnya mulai memasuki masa suram saat krisis ekonomi di tahun 1997. Setelah periode krisis banyak program pemerintah diuji ulang dan masa depan taman bacaan yang terutama diinisiasi oleh pemerintah menjadi tidak menentu. Gelombang desentraliasi dan otonomi daerah yang memindahkan tanggung jawab mengurus pendidikan dari pemerintah pusat kepada pemerintah propinsi dan kabupaten/kota, membuat keadaan taman bacaan ini menjadi terbengkalai. Banyak dari pemerintah daerah tidak begitu giat merawat keberlangsungan program taman bacaan (Haklev 2008).

Pada dasarnya seperti yang dicatat Haklev, taman bacaan “milik” pemerintah itu tidak dibuat sebagai proyek jangka panjang dengan sistem operasional yang jelas. Koleksi-koleksinya difokuskan pada buku-buku mengenai pancasila, doktrin pemerintah dan propaganda politik Soeharto. Hal ini membuat keberadaan taman bacaan menjadi kian tidak menarik dan tidak mendapat dukungan dari masyarakat.

Awal tahun 2000-an menjadi masa di mana taman bacaan independen mulai bergeliat kembali. Lengsernya Soeharto membuka jalan bagi kehidupan masyarakat sipil yang lebih dinamis. Problem-problem sosial semasa Soeharto kembali muncul dan banyak orang ingin berkontribusi bersama masyarakat untuk menghadirkan perubahan. Salah satunya berkontribusi lewat taman bacaan, perpustakaan komunitas, serta literasi masyarakat adat. Beberapa taman bacaan mulai muncul terutama di kota-kota di Pulau Jawa pada saat itu, seperti Pustakaloka Rumah Dunia, Jaringan 1001 Buku, Tobucil, Pondok Baca Arcamanik, Taman Bacaan Namira, dll. Juga tidak lupa inisiatif literasi untuk masyarakat adat seperti Sokola Rimba. Faktor publikasi media ikut membuat tren pendirian taman baca naik dan menyebar, di mana kebanyakan pendiri dan relawannya adalah anak muda.

Kehadiran gerakan literasi berbasis taman bacaan merupakan jawaban bagi masyarakat yang merasa jauh dari fasilitas perpustakaan publik, yang memiliki jadwal pelayanan yang reguler (seperti kantor), cenderung birokratik, serta dengan layanan terbatas pada kegiatan membaca dan peminjaman buku. Berbeda misalnya dengan di negara seperti Kanada dan Australia. Di sana, perpustakaan publik telah didorong untuk berorientasi pada community development. Program-program perpustakaan publik dirancang untuk terlibat dengan problem dan kebutuhan yang ada di masyarakat. Seperti pengetahuan tentang sanitasi, pengelolaan keuangan, pembiayaan pendidikan keluarga, isu lingkungan, dst. (Scott 2011; Reid & Howard 2016). Kita tentu saja belum menemukan gejala yang baik itu pada perpustakaan publik di Indonesia.

 

Kredit foto: Brilio

 

Tanggapan masyarakat atas taman bacaan

Gerakan literasi berbasis taman bacaan memiliki keragaman aktivitas dan kegiatan yang cukup bergantung pada kreatifitas relawan dan pegiatnya. Ada taman bacaan yang aktivitasnya bertumpu pada program berbasis buku (baca, tulis, hitung). Ada juga taman bacaan yang aktivitasnya telah merambah pada program berbasis non buku seperti kegiatan seni budaya, kegiatan yang berkaitan teknologi dan informasi, dlsb. Bentuk dan pendekatannya pun beragam, dengan membuka pusat belajar dan bermain di balai desa, menggelar lapak baca di taman kota, trotoar dan jembatan layang di akhir pekan, hingga berkelana dengan kuda misalnya, dengan membawa buku dari satu tempat ke tempat lain.

Di luar dari bentuk dan pendekatan itu, masih banyak bentuk dan pendekatan lain yang dipilih oleh para relawan gerakan literasi taman bacaan. Selain kreativitas relawan, dukungan infrastruktur di suatu di daerah berpengaruh pada perkembangan keberadaaan taman bacaan. Seperti tersedianya akses internet dan informasi, toko buku, jaringan kerjasama, dan sebagainya. Jelasnya, perkembangan-perkembangan yang ada mencerminkan gerakan literasi berbasis taman bacaan masih mencari bentuk dan mewujudkan perannya.

Tanggapan masyarakat atas kehadiran taman bacaan umumnya antusias. Kebanyakan pengunjung adalah generasi usia sekolah. Bagi mereka, taman bacaan menjadi salah satu favorit tempat nongkrong. Para relawan taman bacaan menjadi teman curhat dari anak-anak sekolah tentang pembelajaran yang tidak mengenakkan di sekolah, tentang betapa membosankannya guru yang mengajar, tentang mata pelajaran yang tidak mereka sukai tapi terpaksa dipelajari.

Guru-guru sekolah terdekat di desa kadang memberi kepercayaan dan mempersilakan pegiat taman bacaan untuk melibatkan murid-murid mereka dalam kegiatan literasi. Di suatu daerah di Maluku, ada taman bacaan yang belum mempunyai sekertariat permanen dan warga ikut mengumpulkan donasi membangun gedung sekertariat. Sementara itu beberapa tempat lain, kehadiran taman bacaan baru sebatas menggugah rasa ingin tahu warga. Namun antusiasme masyarakat dapat surut jika program dan kegiatan taman bacaan dianggap tidak menarik lagi.

Pemerintah juga merespon geliat gerakan loterasi taman bacaan melalui pemberian penghargaan, bantuan literasi, bantuan modul belajar, lomba, dan sebagainya. Respon ini dapat dilihat sebagai upaya untuk pelan-pelan mengatur dan mengintegrasikan aktivitas taman bacaan ke dalam sistem kebijakan pemerintah. Sementara itu tidak sedikit taman bacaan yang beroperasi di luar urusan birokratik seperti itu dan memiliki pandangan yang kritis tentang pendidikan.

 

Pendidikan neoliberal, problem sosial dan taman bacaan

Pemahaman akan konteks besar pendidikan dan problem sosial yang dihadapi masyarakat merupakan hal yang penting diketahui oleh pegiat literasi. Kedua hal ini, seperti yang akan dibahas, saling berkaitan dan berdampak di masyarakat. Pemahaman ini juga penting agar inisiatif literasi yang dijalankan tidak menjadi banal.

Oleh banyak kritikus, semesta pendidikan dianggap telah takluk pada mekanisme pasar dan memuja mantra kompetisi. Kurikulum pendidikan didesain sedemikian rupa agar para murid mempunyai mental berkompetisi untuk bisa bersaing dalam pasar kerja global. Para murid didorong saling mengadu skill, isi pikiran, tindakan, untuk keluar sebagai pemenang. Teman sebangku menjadi lawan dalam kelas. Seorang pengamat pendidikan menyebut situasi seperti ini sebagai adu jangkrik (Pranoto 2012).

Iklim kompetisi dirancang sebagai latihan bagi para murid agar bisa bertarung di arena kompetisi (pasar kerja) yang sebenarnya ketika beres sekolah. Jika dilihat lebih utuh, pendewaan atas kompetisi sebetulnya tidak hanya berlaku bidang pendidikan, tapi juga dalam berbagai kehidupan publik, yang sebetulnya merupakan konsekuensi dari tata ekonomi kapitalisme neoliberal hari ini. Negara-negara yang terlibat dalam perdagangan global secara langsung didesak menanggalkan subsidi terhadap layanan publik seperti kesehatan, pendidikan, transportasi, energi, lalu mentransformasikannya ke dalam dunia bisnis yang sepenuhnya bekerja dalam logika untung rugi.

Mengikuti desakan itu, bidang pendidikan yang semestinya dikelola untuk dimanfaatkan dengan terjangkau oleh rakyat, diubah menjadi komoditas yang dilego ke pasar demi akumulasi kapital. Pengelola perguruan tinggi hingga sekolah dasar kemudian berpijak pada logika bisnis dengan menerapkan kebijakan atas nama kompetisi dan persaingan (dalam rupa sekolah berstandar internasional dan kampus berkelas dunia) untuk meraup pemasukan bagi institusinya. Ini membuat pendidikan semakin mahal dan sulit dijangkau oleh masyarakat miskin.

Banyak prinsip dan nilai-nilai penting yang akhirnya dikikis oleh semesta pendidikan yang telah mendewakan kompetisi. Seperti makin hilangnya solidaritas dan kolaborasi (gotong royong). Para siswa yang lahir dari rahim masyarakat diajarkan prinsip dan nilai yang bertolak belakang dari spirit kehidupan sosial di mana mereka hidup. Kehilangan ini juga telah menurunkan daya tahan masyarakat dalam menghadapi berbagai problem sosial.

Dewasa ini, problem-problem sosial yang dihadapi masyarakat secara langsung adalah kesenjangan ekonomi, penggusuran secara paksa, pelanggaran HAM, perampasan tanah, degradasi lingkungan, perubahan iklim. Ini tidak hanya dialami oleh suatu kesatuan masyarakat tertentu tanpa memiliki keterkaitan dengan kesatuan masyarakat lain. Perampasan hutan di Kalimantan, Sumatera dan Maluku, penggusuran paksa warga untuk pembangunan bandara di Kulonprogo dan Majalengka, konflik semen di Kendeng dan Banyuwangi, pelanggaran HAM berat di Papua dan Aceh, merupakan suatu gelombang konflik yang memiliki konteks yang sama demi melancarkan aliran investasi dan akumulasi modal.

Kenyataan dan berbagai problem tersebut memang tidak pernah diajarkan secara kritis oleh institusi pendidikan nasional serta aparatusnya. Kita yang dididik dalam iklim pendidikan yang menjunjung kompetisi, cenderung memandang problem sosial yang ada hanya sebagai efek samping dari derap pembangunan dan kemajuan. Tidak ada yang berbahaya dan tidak perlu ada yang dikhawatirkan. Padahal jelas bahwa apa yang terjadi adalah akibat dari keberpihakan negara pada sistem ekonomi tertentu (kapitalisme neoliberal) dengan mengorbankan kehidupan masyarakat.

Problem-problem sosial tersebut kian mendesak untuk diatasi dengan melibatkan terutama generasi muda (Healy 2017). Di titik ini gerakan literasi mampu memberikan kontribusinya yang tidak kalah penting. Kenyataan akan semesta pendidikan yang melumpuhkan nalar kritis dan mencetak manusia yang sesuai dengan selera pasar mesti digugat. Peran gerakan literasi taman bacaan dengan demikian dapat menghadirkan inisiatif literasi dan pendidikan yang kontekstual, yang berangkat dari pemahaman akan konteks besar pendidikan dan problem sosial di masyarakat, untuk kemudian mengenalkan kembali nilai-nilai tentang solidaritas, kolaborasi, mempertahankan ruang hidup bersama.

Seperti yang telah disinggung, pengunjung taman bacaan kebanyakan adalah generasi muda usia sekolah. Disatu sisi mereka adalah pelanjut keberlangsungan masyarakat. Dan di sisi lain, mereka merupakan saksi dan korban yang rentan dari berbagai problem sosial yang menimpa masyarakat. Program dan kegiatan taman bacaan seperti baca tulis, pengenalan internet, kegiatan kesenian, dan sebagainya adalah media untuk mengenalkan mereka kepada problem-problem sosial yang dihadapi oleh masyarakat.

Merupakan suatu kerugian jika gerakan literasi taman bacaan sekedar menjalankan kegiatan literasi dan pendidikan dalam pengertian yang telah dikooptasi oleh negara, mendukung status quo pendidikan yang mendewakan kompetisi dan yang mengkosongkan penalaran kritis dari kurikulumnya.

Ada baiknya menengok pengalaman orang Rimba tentang bagaimana inisiatif literasi dan pendidikan menawarkan nilai-nilai tentang solidaritas, menggugat status quo pendidikan yang ada serta menghadirkan kembali gagasan tentang membela ruang hidup bersama.

 

Literasi kontekstual di Rimba

Pada sebuah diskusi Hari Buku Nasional 17 Mei 2017 yang diselenggarakan oleh harian Kompas di Jakarta dan dihadiri lebih dari 50 pegiat taman bacaan dari berbagai daerah, Butet Manurung menyampaikan beberapa hal penting terkait upaya peningkatan literasi dan pendidikan berbasis komunitas. Butet menjelaskan nilai-nilai yang ingin dibangun dari inisiatif literasi dan pembelajaran harus relevan dengan kebutuhan masyarakan/komunitas. Terutama kebutuhan untuk menghadapi beragam problem sosial yang dapat menghancurkan kelangsungan hidup mereka. Ia menyitir sedikit pengalamannya mengambangkan pendidikan alternatif dan kontestual di Suku Anak Dalam, Jambi.

Dengan menempati suatu kawasan (tenurial) yang diwariskan secara turun temurun, masyarakat lokal kemudian mengembangkan skill bertahan hidup, norma-norma dan sistem pendidikan yang sifatnya praktis untuk menjaga semesta kehidupan mereka. Sebelum mengenalkan inisiatif literasi dan pendidikan komunitas, Butet lebih dulu bergaul dengan Orang Rimba (Suku Anak Dalam di Jambi). Dia mulai mengenali norma-norma, skill bertahan hidup dan karakteristik masyarakat. Di Rimba, misalnya, perempuan yang sudah menikah sehari-hari tidak mengenakan pakaian semata karena efektivitas mereka dalam menyusui bayi hampir mereka lahirkan setiap tahun. Selain itu bagi orang Rimba, cara memberi sesuatu dengan cepat kepada orang yang meminta adalah dengan melempar. Bagi mereka melempar lebih praktis dan cepat daripada menyodorkan.

Norma-norma dan cara hidup orang Rimba awalnya mengagetkan Butet dan membangkitkan sejumlah prasangka negatif. Tapi dalam beberapa kesempatan yang memerlukan skill beradaptasi dan bertahan hidup, Butet kalah dari anak-anak Rimba. Hal-hal seperti ini perlahan membuat ia menyadari jika nilai, etika dan prasangka-prasangka yang ia pegang sama sekali bias kota dan tidak ada gunanya di Rimba (Manurung 2013).

Butet menemukan kenyataan bahwa masalah yang kerap dihadapi Orang Rimba adalah penipuan dan perampasan tanah yang dilakukan oleh perusahaan. Hutan-hutan adat mereka digunduli untuk ditanami sawit, dan mereka tercancam diusir dari tanah-tanah adat tempat mereka melangsungkan kehidupan. Masalah yang dihadapi orang Rimba dapat diatasi jika mereka bisa berkomunikasi dengan orang luar. Untuk itu, Orang Rimba perlu kemampuan membaca dan berhitung. Anak-anak rimba kemudian diajari Butet agar mereka mampu menjadi benteng untuk melindungi masyarakatnya. Mereka belajar untuk dapat membantu para tetua adat agar tidak lagi ditipu menjual tanah.

Kini, anak-anak yang dulu pernah belajar bersama Butet telah menjadi guru bagi generasi muda di Rimba. Mereka makin aktif menyebarkan pendidikan untuk Orang Rimba sendiri dan menjadi ujung tombak pembela hak komunitas adat mereka. Regenerasi literasi dan pendidikan berjalan beriringan dengan kemampuan masyarakat mempertahankan ruang hidup mereka.

Meski berbicara tentang inisiatif literasi dengan komunitas lokal, namun penjelasan Butet tentang literasi dan pendidikan yang kontekstual, tentang bagaimana menjaga ruang hidup, mengembangkan solidaritas dan menebalkan tindakan untuk hidup bersama, saya kira relevan untuk direfleksikan ke dalam gerakan literasi berbasis taman bacaan hari ini.

Inisiatif literasi taman bacaan mesti mengenali konteks pendidikan dan problem di masyarakat. Kegiatan dan kreatifitas literasi mesti bergumul dengan persoalan itu. Tanpa mengerti konteks, inisiatif literasi malah akan menguatkan status quo pendidikan yang ada dengan memupuk jiwa kompetisi dan persaingan, mengembangkan sikap patronistik, melegitimasi kebijakan politik dan pendidikan yang salah, dan lebih jahatnya ikut merusak cara dan pengetahuan hidup masyarakat.

Kita tahu, gerakan literasi lahir dari keresahan untuk ikut mengatasi problem yang dihadapi masyarakat. Bukan malah menambah problem baru.***

 

Penulis pernah aktif di Taman Baca Barakate – Hikayat Tanah Hitu, Maluku Tengah

 

Kepustakaan:

Anita Nurmasari. 2017. “Jejak Langkah Perpustakaan”. Semarang: Warta Perpustakaan Undip, Edisi Oktober

Butet Manurung. 2013. Sokola Rimba. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Departemen Pendidikan Nasional. 2009. Taman Bacaan Masyarakat: Pedoman Penyelenggaraan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Fabian Januarius Kuwando. 2017. “Kisah Para Pegiat Literasi dan Janji Jokowi”. Kompas.com, http://nasional.kompas.com/read/2017/05/03/08594811/kisah.para.pegiat.literasi.dan.janji.jokowi (Diakses pada 4 Desember 2017).

Hazel Healy. 2017. “Bad education”. New Internationalist, https://newint.org/features/2017/09/01/bad-education (Diakses pada 2 Desember 2017).

Heather Reid & Vivian Howard. 2016. “Connecting with Community: The Importance of Community Engagement in Rural Public Library Systems”. Public Library Quarterly, Vol 35, No. 3, hal. 188-202.

Iwan Pranoto. 2012. Gagasan Berbagi dalam Pendidikan. Media Indonesia.

Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan. 2013. Petunjuk Teknis Pengajuan, Penyaluran dan Pengelolaan Bantuan Taman Bacaan Masyarakat Rintisan. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Paulo Freire. 2015. Pedagogy of the Oppressed. 30Th Anniversary Edition. New York – London: Continuum.

Scott. 2011. “The Role of Public Libraries in Community Building. Public Library Quarterly, Vol 30, No. 3, hal. 191-227.

Slamet Muljana. 2008. Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme Sampai Kemerdekaan, Jilid II. Yogyakarta: LKIS.

Ratri Indah Septiana. 2007. Perkembangan Perpustakaan Berbasis Komunitas: Studi Kasus Pada rumah Cahaya, Melati Taman Baca dan Kedai Sanggar Barudak. Skripsi: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya – Universitas Indonesia.

Stian Haklev. 2008. Mencerdaskan Bangsa – An Inquiry Into The Phenomenom of Taman Bacaan in Indonesia. B.A. Thesis: International Development Studies – University of Toronto at Scarborough.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.