Buruh: Kaum yang Terlupakan Atau Melupakan?

Print Friendly, PDF & Email

Kredit foto: gUMAM

 

SAYA adalah seorang pekerja atau akhir-akhir ini saya lebih senang dipanggil buruh. Alasannya, dengan dipanggil buruh, saya merasa lebih berideologi dan merakyat.

Saya lulus SMA sederajat pada akhir tahun 2003, di salah satu sekolah swasta di Depok. Saya tidak merasakan bangku kuliah, walaupun saat lulus SMA saya mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi selama satu tahun. Dan apabila saya berprestasi, nantinya beasiswa saya itu akan kembali diperpanjang.

Tapi saya memilih untuk saya langsung mencari kerja saja dari pada harus kuliah. Bukan tanpa dasar, otak saya memprovokasi seperti itu. Alasannya tidak lain dan tidak bukan adalah karena faktor ekonomi keluarga saya di kala itu. Singkat cerita, saya akhirnya mulai menyandang gelar sebagai seorang buruh di awal tahun 2005, dengan proses yang cukup rumit juga bagi diri saya.

Mungkin Itulah sedikit rekam jejak saya sebelum menjadi seorang pekerja atau buruh perusahaan.

 

Tiga Golongan Buruh
Pembaca mungkin agak sedikit bertanya-tanya, apa sebenarnya maksud dari judul artikel ini. Judul itu terkait pengamatan saya bahwa buruh perusahaan bisa dianggap terbagi menjadi tiga golongan sebagai berikut: (1) Buruh yang Melupakan, (2) (Cuma) Pekerja, (3) Buruh yang Terlupakan. Mari kita bahas satu persatu.

 

1. Buruh yang Melupakan
Saya mendefinisikan “buruh yang melupakan” sebagai buruh yang tidak menyadari dirinya itu adalah juga seorang yang dibayar untuk suatu pekerjaan atau jasa.

Buruh-buruh seperti ini biasanya terdapat pada bagian-bagian pekerjaan tertentu yang dalam anggapan mereka, sudah memiliki jabatan nyaman dan aman di suatu perusahaan. Tugasnya memang agak berat kelihatannya, karena mereka dituntut untuk seolah-olah bertanggung jawab pada semua pekerjaan yang dilakukan diperusahaan itu. Termasuk juga bertanggung jawab atas pekerjaan yang dilakukan oleh para bawahannya. Tapi pada praktiknya kebanyakan sifat dari buruh yang melupakan ini hanya ingin mencari enak dan nyaman serta aman, dan tidak sedikit juga yang selalu berpraktik lari dari tanggung jawab yang seharusnya diemban olehnya.

Kalau saya lebih rincikan lagi, sifatnya kurang lebih mirip dengan pengusaha. Tidak mau capai. Hobinya menyuruh atau memerintah, bahkan ada yang hobinya mengomel dan marah-marah sama pekerja-pekerja bawahannya. Mereka juga selalu memosisikan diri paling benar di perusahaan, bahkan ada juga yang bersikap seolah-olah dia adalah yang memberi upah kepada pekerja-pekerja yang ada di perusahaan itu.

Ruangan kerjanya biasanya aman, nyaman dan terpisah. Apakah kita adalah salah satu dari buruh yang melupakan? Tanya lah pada diri kita sendiri.

2. (Cuma) Pekerja
Pekerja, menurut saya, definisinya adalah seorang buruh yang pemikirannya sehari-hari hanya untuk bekerja dan mengabdi kepada perusahaan tempat dia bekerja. Tidak memikirkan apa pun, dan tanpa ada usaha atau upaya untuk melakukan hal lain di luar pekerjaannya. Sifat seorang pekerja yang saya maksud ini adalah pasrah. Selalu menyerahkan semua nasibnya di perusahaan terhadap atasan-atasannya atau berlindung pada alasan bergantung takdir Tuhan.

Bekerja dengan dikontrak, dia pasrah walau kenyataannya di perusahaan tempat dia bekerja tidak boleh ada karyawan yang dikontrak. Diomeli atasan walau tidak ada kesalahan dia pasrah. Dipindah-pindah sana sini untuk mengerjakan pekerjaan yang bukan tugasnya dia pasrah. Bahkan dimutasi, juga di-PHK dengan akomodasi atau pesangon seadanya pun, dia tetap pasrah.

Saya salut karena tidak akan bisa menjadi orang seperti itu. Pastinya sungguh teguh kesabaran dan pendiriannya. Walau akhirnya sifat itu kelak akan membawa dia ke dalam kehancuran kehidupan. Balasan atas sifatnya tersebut adalah langgengnya ketidakadilan untuk dirinya, keluarganya, dan masyarakat.

Apakah kita termasuk di dalam definisi seorang (Cuma) pekerja? Coba bertanya lagi kepada diri kita sendiri.

3. Buruh yang Terlupakan

Definisi “buruh yang terlupakan,” menurut saya, kurang lebih sama dengan seorang pekerja di atas tadi. Hanya ada sedikit yang membedakannya, yaitu dari tingkat usaha atau perjuangannya di dalam perusahaan tempat dia bekerja.

Apa saja ciri buruh yang terlupakan? Biasanya terkait dengan usaha dan perjuangannya:

  1. Biasanya dia berserikat (serikat buruh/serikat pekerja) .
  2. Biasanya dia di-cap pemberontak atau pekerja yang tidak benar oleh perusahaan.
  3. Biasanya dia dianggap banyak menuntut terhadap perusahaan. Walau pada kenyataannya apa yang dia tuntut adalah murni hak-hak pekerja yang seharusnya diberikan perusahaan. Tuntutannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara ini.
  4. Biasanya dia sulit untuk menapaki jenjang karir di perusahaan, karena perusahaan merasa terancam apabila dia berkarir di perusahaan itu.

Mungkin masih banyak lag ciri-ciri golongan ketiga ini menurut pembaca? Kenapa saya bertanya menurut pembaca? Karena saya yakin, yang membaca tulisan ini kebanyakan memosisikan dirinya sebagai buruh nomor 3 ini, yaitu “buruh yang terlupakan,” benar tidak?

 

Menapaki dan Mengkritik Perjuangan Kaum Buruh dari Zaman Dahulu Hingga Sekarang

Perjuangan rakyat Indonesia melawan penindasan sudah berlangsung sejak abad ke-16 ketika imperialisme bangsa asing masuk ke bumi Indonesia. Sebelumnya corak kehidupan di bumi Indonesia mengikuti sistem feodalisme.

Perjuangan rakyat di kala itu termasuk mencakup perjuangan kaum buruh di masa itu, karena dari abad itu pula, kaum buruh kasar, petani, dan berbagai unsur pekerja terus berjuang dari masa ke masa guna mencari keadilan demi mencapai kesejahteraan. Secara nyata kaum buruh selalu konsisten berada di baris terdepan dalam mewujudkan roda perekonomian di bumi Indonesia tercinta ini.

Mereka ikut berperang, dari zaman peperangan kerajaan, zaman penjajahan bangsa asing pada tahun 1469 di mana Vasco da Gama bersama Portugis mulai masuk mencari tanah jajahan baru, sampai zaman peperangan monopoli industri, perdagangan dan keuangan oleh kaum kapitalis di abad ke-19.

Sejarah yang begitu panjang kalau harus diceritakan secara rinci. Namun, secara garis besar dari masa ke masa kaum buruh selalu ada di dalam perjuangan rakyat Indonesia.

Ada beberapa perbedaan cara perjuangan yang dilakukan oleh rakyat dan kaum buruh dari zaman ke zaman: dari zaman kerajaan, penjajahan bangsa asing, sampai zaman kemerdekaan. Bahkan di masa yang sudah menggunakan sistem pemerintahan yang demokratis. Tentu tidak sama cara perjuangan kaum buruh dari masa ke masa. Yang sangat menjadi perhatian saya pribadi adalah cara perjuangan kaum buruh di masa sekarang ini, yaitu di dalam sistem demokrasi yang ada di Negara Indonesia.

Pada zaman kerajaan dan penjajahan, buruh sangat lemah dalam menuntut segala hal berbau kesejahteraan, karena memang tidak ada alat ataupun kekuatan untuk menentang sang penguasa di kala itu. Lemah, tertindas, dan tak dihargai, memang masa-masa itu adalah masa perbudakan kaum buruh.

Tapi hari ini, masa ini, abad ke-20, di negeri kita yang kaya dan tercinta ini, yang menjunjung tinggi demokrasi, banyak sekali alat, kekuatan, bahkan senjata pikiran yang dapat digunakan kaum buruh untuk berjuang dalam menuntut kesejahteraan buruh dan keluarganya.

Tapi, apa yang terjadi? Apakah kesejahteraan sudah terwujud? Belum, bahkan masih teramat jauh jika buruh ingin sejahtera dalam kehidupannya.

Menurut saya, kaum buruh di Indonesia hari ini hanya mampu sibuk dengan berbagai acara dan agenda yang tidak ada juntrungannya. Contoh kenaikan upah, agenda tahunan yang satu ini, menurut saya nilainya nol setiap tahunnya. Dengan begitu banyak konsentrasi kaum buruh dari berbagai unsur guna menuntut kenaikan upah ini, tenaga, waktu, pikiran, diskusi, materi, dll., yang mampu dicapai hanyalah penyesuaian upah di tiap tahunnya, bukan kenaikan upah seperti yang diteriakkan.

Mengapa dikatakan demikian, karena memang kenyataannya demikian. Dari tahun ke tahun, kita memang tidak pernah menikmati kenaikan upah, melainkan hanya penyesuaian upah atas naiknya harga-harga kebutuhan pokok setiap tahunnya. Penyesuaian upah yang hampir setiap tahun kita rasakan sama.

Bahkan saya berpikiran, upah tidak perlu naik tiap tahun asal harga-harga turun setiap tahunnya. Harga kebutuhan pokok turun, biaya pendidikan turun, harga-harga apapun turun atau paling tingginya sama dari tahun ke tahun.

Secara nominal memang upah kita kaum buruh naik setiap tahunnya. Tapi kita tidak pernah merasakan menikmati upah itu sendiri. Dampak kenikmatannya bisa dibilang sama dari tahun ke tahun, bahkan tambah jomplang antara pendapatan dan pengeluaran, dimana lebih besar pengeluaran daripada pendapatan setiap bulannya.

Apakah buruh dituntut berpikir keras hanya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya? Kalau hanya seperti itu, itu artinya Negara sama saja tidak hadir. Sesuai amanat ideologi kemerdekaan di tahun 1945 bahwa negara harus mensejahterakan bangsa. Yang dimaksud bangsa itu sendiri tentunya mencakup kaum buruhnya,.

Itulah kenyataan yang harus kita, kaum buruh, hadapi di era demokrasi ini. Era dimana kaum kapitalis menguasai pemerintahan, sampai mencengkeram semua unsur pemerintahan yang ada di Negara kita ini. Dapat kita lihat, dari semua yang ada dalam unsur pemerintahan, hampir semua petinggi pemerintahan hari ini adalah kaum pengusaha atau pemodal. Yang jelas, ketika mereka memegang kekuasaan, mereka akan berpikir keras bagaimana caranya agar bisnis mereka sampai ke anak cucu mereka kelak dan tak akan pernah mati. Selalu langgeng dan lancar mungkin sampai kiamat. Menikmati keuntungan dan kebutuhan yang serba bisa diraih oleh kaum mereka beserta golongannya.

Lalu di mana posisi kita kaum buruh? Kita memang dipikirkan oleh para kapitalis. Tapi yang dipikirkan adalah bagaimana cara mereka menggunakan penuh tenaga kita, kaum buruh kecil, dengan memberikan upah penyesuaian di tiap tahunnya. Ironis, tapi itulah kenyataan yang hari ini harus kita lihat dengan membuka lebar semua mata dan hati kita.

Sementara itu, berkaca pada kenyataan gerakan kaum buruh Indonesia saat ini saya menilai ada masalah besar pada semua pimpinan konfederasi serikat buruh. Sifat egois masing-masing terlalu besar. Hilangkan lah itu semua, tanamkan rasa malu ketika bertariak “Buruh Bersatu,” tapi kenyataannya tidak; tanamkan rasa malu ketika berbicara kesejahteraan kaum buruh, padahal kenyataannya masih banyak sekali di belahan bumi Indonesia, buruh yang tertindas dan miskin. Saya kritik keras soal persatuan, tapi mari kita wujudkan bersama-sama. Mari kita perbanyak agenda diskusi soal persatuan kaum buruh dari berbagai unsur di Indonesia. Bukan memperbanyak agenda demonstrasi atau pengerahan massa turun ke jalan. Menurut saya, sudah bukan zamannya lagi.

Kalau mau mewujudkan “Buruh Berkuasa, Rakyat Sejahtera,” hilangkan lah egoisme dalam diri masing-masing. Wujudkan secara nyata persatuan kaum buruh seluruh Indonesia. Bentuklah alat perjuangan politik, salah satunya mungkin partai politik buruh yang dimiliki oleh semua kaum buruh, bukan milik orang tertentu atau golongan tertentu, tidak peduli siapa pemimpin atau presidennya, yang jelas dia adalah kaum buruh, bukan kaum kapitalis.

Kalau sifat egosentris sudah berhasil disingkirkan, kalau persatuan kaum buruh sudah terwujud, kalau nantinya buruh sudah punya alat perjuangan politik milik kita bersama yang kuat, kalau nantinya kaum buruh bisa berkuasa, barulah boleh berbicara slogan “Buruh Berkuasa, Rakyat Sejahtera!”

Dari renungan di atas, maka menurut saya perjuangan yang hari ini harus dilakukan oleh kaum buruh adalah sebagai berikut:

  1. Bukan zamannya lagi hanya memikirkan demo yang dampaknya terbatas.
  2. Saatnya mewujudkan persatuan kaum buruh dari berbagai unsur.
  3. Bukan zamannya lagi mengedepankan ego dari tiap pimpinan organisasi serikat buruh.
  4. Punya rasa malu ketika berteriak “Buruh Bersatu,” tetapi kenyataannya tidak.
  5. Kita wajib mendirikan partai politik kaum buruh guna melawan semua partai penguasa kapitalis sebagai alat untuk mewujudkan buruh berkuasa di zaman sekarang ini.
  6. Mawas diri, dan selalu konsisten dalam jalur perjuangan kaum buruh.

 

Penutup

Dengan keterbatasan pemikiran saya, saya sebelumnya meminta maaf apabila kata-kata saya yang tertuang dalam tulisan ini agak keras dan kurang berkenan. Saya ingin mengkritik keras semua pimpinan organisasi besar kaum buruh yang terdaftar secara legal saat ini di Indonesia, khususnya di tingkatan konfederasi.

Saya bukan seorang penulis, saya juga bukan seorang yang gemar sekali membaca, tapi saya pernah membaca dan pernah berpraktik di beberapa kasus perburuhan, seperti dalam masalah PKWT dan PHK sepihak.

Saya juga sering belajar dalam demonstrasi dari tahun ke tahun sejak 2009, mulai dari kenaikan BBM atau juga kenaikan upah buruh di tiap tahunnya, sesekali juga ikut aksi tani dan nelayan Indonesia.

Ada beberapa guru dan panutan berpikir ketika saya belajar di organisasi perburuhan, tetapi saya tidak serta merta harus menjadi seperti mereka. Karena alangkah lebih baiknya kalau kita bisa menjadi diri kita sendiri. Mohon maaf apabila ada tutur bahasa yang kurang berkenan dalam tulisan ini.***

 

Penulis adalah anggota SBKU-RPP

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.