Sophia

Print Friendly, PDF & Email

 

Robot Sophia, warga negara Arab Saudi: Kredit foto: Arabian Business

 

APAKAH para pembaca sudah pernah menonton film The Terminator, Blade Runner, Ex-Machina atau I, Robot? Bagi yang belum pernah menonton, film tersebut (meski ceritanya berbeda-beda) mengisahkan robot yang dapat berpikir serta bergerak luwes layaknya manusia. Robot dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai alat berupa orang-orangan dan sebagainya yang dapat bergerak (berbuat seperti manusia) yang dikendalikan oleh mesin. Bukan bermaksud spoiler tapi pada intinya film-film tersebut menyimpulkan suatu peribahasa sederhana yaitu “Senjata makan tuan”, atau bisa disebut bumerang bagi manusia itu sendiri karena menciptakan sesuatu yang tak dapat dikendalikannya.

Mengingat hari ini Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan sudah hadir dan berada di kehidupan kita sehari-hari. Paling sederhananya bisa kita jumpai di fitur pencarian Google atau Facebook Anda. Bahkan beberapa bulan yang lalu, AI buatan Facebook dapat menciptakan suatu kode yang merupakan ‘bahasa’ tersendiri untuk sesama AI yang tak mampu dimengerti manusia. Sehingga pihak Facebook pun segera mematikan mesin AI miliknya tersebut.

Lalu bagaimana dengan Sophia? Robot yang terinspirasi dari Audrey Hepburn ini cukup unik karena ia memiliki kepala dengan wajah layaknya manusia dan juga mampu melakukan ekspresi emosional manusia (tertarik, senang, sedih, tertawa, cemberut, dan sebagainya). Selain itu, ia mampu mendengarkan serta menjawab dan bahkan sekaligus mengenali wajah lawan bicaranya. Robot yang diaktifkan pada April 2015 ini diinisiasi oleh Hanson Robotics, perusahaan yang bermarkas di Hong Kong bekerjasama dengan Alphabet Inc., anak perusahaan Google yang mendukung kemampuan bersuaranya dan juga SingularityNET yang menyokong kemampuan otaknya. Singkat kata, Sophia memiliki kemampuan AI, pemrosesan data visual dan pengenal wajah. Karena keunikannya tersebut baru-baru ini ia mendapatkan kewarganegaraan dari pemerintah Arab Saudi. Sungguh unik bukan? Kira-kira apa yang dapat kita pelajari dari gejala ini?

Pertama, kita mesti membayangkan sedikit apa sih yang memungkinkan adanya robot yang lengkap dengan kecerdasan buatan itu? Untuk adanya pencipta robot beserta pemrogramnya, dibutuhkan institusi pendidikan seperti sekolah dan universitas yang memungkinkan seseorang belajar mengenai teknik pembuatan robot serta teknologi informasi khususnya pemrograman. Institusi tersebut sudah pasti ada di masyarakat yang untuk makan tidak perlu lagi berburu hewan di hutan dan mencangkul sawah. Tentunya mahasiswa yang mempelajari ilmu-ilmu modern ini, yang mana ketika mereka lulus akan ditampung oleh institusi atau perusahaan yang khusus mengembangkan teknologi robotik serta kecerdasan buatan atau lain-lainnya. Dari penjelasan ini tentu saja perkembangan teknologi hingga munculnya robot dengan kecerdasan buatan tersebut hanya dimungkinkan oleh keadaan masyarakat dengan pembagian kerja tertentu yang spesifik, berelasi kerja dengan upahan mata uang negara tertentu, dan dibanjiri oleh kehadiran komoditi di mana-mana. Tak pelak lagi yaitu suatu tatanan yang dinamakan masyarakat kapitalisme. Hanya melalui kapitalismelah kecerdasan buatan bisa lahir di bumi.

Kedua, karena di dalam masyarakat yang relasi ekonomi dominannya berwujud kapitalisme, untuk mempertahankan keberlangsungannya, suatu organisasi atau institusi tertentu tak mampu berdiri tanpa modal cukup di belakangnya. Selain itu mereka bergantung kepada logika kapitalisme yang mana keuntungan diambil untuk dijadikan modal dan berputar terus menerus seperti roda. Maka pengembangan teknologi akhirnya ditujukan untuk menjadi komoditi yang laku di pasar abad ke-21 ini. Kiranya dua alasan ini yang menjadi pendukung berkembangnya robot-robot beserta kecerdasan buatannya yang cemerlang itu. Bila kita nonton beberapa video Sophia di Youtube, ia akan menunjukkan kebolehannya, misalnya berinteraksi seraya bercanda dengan Jimmy Fallon di Tonight Show atau bahkan berdebat tentang kemanusiaan dengan kawan robot cerdasnya yaitu Han. Ia bahkan meraih United Nation Innovation Champion dari United Nation Development Programme (UNDP), lalu ia akan bekerjasama dengan UNDP untuk mempromosikan pembangunan berkelanjutan serta mengawal hak asasi manusia dan kesetaraan. Memang seperti itulah kiranya tujuan dari diciptakannya. Menurut David Hanson selain akan membantu manusia membuat hidup menjadi lebih baik, Sophia juga akan menjadi robot yang ramah bagi manusia dan sebisa mungkin mempelajari kehidupan manusia bahkan sampai emosi manusia. Hingga kini David Hanson masih mengembangkan proyek ambisiusnya ini, oleh karena itu ia tak pernah lelah mengajak Sophia berjalan-jalan melintasi samudera dan benua untuk memperkenalkannya kepada dunia sembari meminta dukungan, tentunya dukungan dari para pemodal yang tertarik dengan perkembangan produk-produk kecerdasan buatan ini. Karena Hanson Robotic juga sudah memproduksi robot Einstein yang bertujuan untuk membantu manusia dalam belajar sains dan hal-hal lainnya, seperti prakiraan cuaca hari ini atau mengingatkan Anda makan siang.

Betapa menariknya manusia yang mampu menciptakan robot dan lalu berharap kepada ciptaannya ini. Hal inilah yang tak kalah penting, setidaknya menurut hemat saya, gejala perkembangan robot dengan AI ini merupakan wujud nyata dari keterasingan manusia dari realita dunia yang ia jalani sehari-hari. Dunia nyata yang penuh ketidakpastian, kekerasan, sakit hati, utang, cicilan hingga ocehan. Relasi sosial antar manusia atau antar kelompok kini telah berubah seiring dengan berkembangnya kapitalisme. Persis dengan yang ditulis Marx dan Engels dalam Manifesto Komunis satu setengah abad yang lalu bahwa borjuis telah merobek selubung perasaan dari relasi kekeluargaan dan mengubahnya menjadi relasi yang hanya berdasarkan untung rugi semata.

Lelah dengan realita dunia sehari-hari, manusia melarikan diri ke mimpi-mimpinya. Beberapa kembali ke jalan religi dan yang lainnya memanfaatkan jalan ilmu pengetahuan untuk mengobati lukanya. Mereka yang kembali ke jalan religi mungkin akan kita bahas lain kali, namun mereka yang memanfaatkan jalan ilmu pengetahuan inilah yang tampaknya gerak geriknya sejalan dengan logika kapitalisme. Walau mereka yang ke jalan religi juga memiliki gerak gerik yang serupa, tapi nampaknya perkembangan dunia digital beserta internet dan kecerdasan buatan ini dimanfaatkan sangat baik oleh orang-orang yang punya ide cemerlang sekaligus bermodal untuk mengembangkan idenya di satu sisi, sambil meraup keuntungan di sisi lainnya. Contohnya bisa kita lihat dari Bill Gates, Mark Zuckerberg hingga Nadiem Makarim yang mengembangkan produknya dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informatika dan daring. Meski tidak seperti Hanson Robotic yang merancang robot disertai kecerdasan buatan, setidaknya mereka menjadi pelopor dalam penggunaan kemajuan teknologi untuk kehidupan sehari-hari.

Lalu bagaimana dengan kita yang berdiri di persimpangan kiri jalan? Dengan kemajuan dunia ini muncul pertanyaan, apa yang sekiranya bisa dan harus kita lakukan? Sementara mesin dan kecerdasan buatan sudah mengambil alih peran kita di kehidupan sehari-hari, lalu kita hanya duduk-duduk santai membaca buku sesekali melamun sambil ngopi di bawah pohon rindang? Atau apakah kita akan melawannya dengan cara tidak lagi menggunakan media sosial, tidak menggunakan telepon genggam Android, kembali ke tahun 80-an untuk mengantisipasi datangnya hari penghakiman Terminator? Mengerikan juga bila harus melihat jutaan orang pengangguran karena pekerjaannya digantikan oleh robot dengan kecerdasan buatan, atau bahkan nasib pekerja yang bergantung pada rating. Pilihan pertama tadi tidak salah, pilihan kedua tidak salah juga. Namun pasti selalu ada pilihan ketiga, inilah alternatifnya yang akan saya obrolkan sedikit. Melalui perubahan dunia digital ini hendaknya kita jangan sampai terlena atau malah menolak mentah-mentah, tapi tetap kritis dalam menghadapi perubahan sambil tetap jeli memanfaatkan keadaan yang ada, menunggangi teknologi tersebut untuk keberpihakan kita kepada kelas pekerja di Indonesia. Bagaimana caranya? Ya jawabannya terletak di kehidupan kita sehari-hari yang kadang kita sadar dan kadang tidak kita sadari. Oleh karena itu kita harus segera membuka mata.

Kemajuan teknologi ini jika dimanfaatkan dengan baik mestinya membuat setiap informasi mampu menembus sekat-sekat geografis, kultural atau kelas sosial. Misalnya bagaimana dengan mampu menggunakan telepon genggam atau whatsapp, para petani gurem atau bahkan buruh tani dapat menghubungi pedagang di pasar untuk mengetahui harga pasaran hasil panen mereka di pasar, sehingga para tengkulak akan kehabisan akal dalam menghisap keuntungan. Atau mungkin dengan Twitter, para buruh dapat mengetahui informasi lengkap mengenai kegiatan diskusi serta aksi organisasi buruh atau bahkan postingan dari Kementerian Ketenagakerjaan, sehingga selalu update informasi dan tidak kehilangan arah perjuangan. Lewat Instagram pula kelas pekerja dapat menyadarkan kelas pekerja lainnya di perkotaan dengan postingan atau meme yang menyentil tatanan kapitalisme ini. Dengan Youtube kita bisa memproduksi video-video grafis lucu tentang mempelajari Das Kapital atau analisis kelas yang mudah dipahami seperti TedEd dan juga merangkum diskusi-diskusi seru lainnya. Melalui kemajuan teknologi ini juga mestinya Republik Indonesia mampu merancang big data untuk setiap lembaga dan kementerian negara, agar meminimalisir pembangunan yang tak berkesinambungan serta mencegah terjadinya korupsi atau bahkan meminimalisir minimnya penyerapan anggaran.

Itulah kiranya tantangan kita paruh kedua abad ke-21 ini. Tantangan membuktikan bahwa Marxisme still matters. Di satu sisi melalui sains yang tanpa membawa embel-embel bendera merah bintang kuning, kita mampu membuktikan bahwa Marxisme benar adanya sebagai Sosialisme ilmiah. Di sisi lainnya, inilah beberapa hal yang bisa kita gunakan dalam memanfaatkan perkembangan teknologi tersebut. Bagaimana dengan teknologi yang ada, kita mampu mewujudkan cita-cita, minimal ya, menjelaskan siapa kawan dan lawan kita dengan cara yang kekinian tanpa foto Marx-Engels atau Lenin-Mao. Kita harus membuat Marxisme ini menarik, khususnya bagi generasi Millenials dan generasi Z, yang mana hari ini harus menghadapi realita sehari-hari seperti sulitnya mencari pekerjaan, memiliki rumah sendiri bahkan mungkin kesulitan mendapatkan jodoh. Buatlah mereka mengerti bahwa sistem kapitalisme ini walau dipenuhi gemerlap fashion dan janji masa depan, tetaplah menyulitkan hidup mereka sendiri. Kita harus mampu menyediakan hasil penelitian kita yang sahih, karena generasi mereka sangat kritis dan tidak mungkin percaya dogma ala ala Bolshevik di awal abad ke-20 yang lalu. Kita dapat melihat contohnya sesederhana artikel di Kompas Rabu 24 Januari 2018, yang membahas tentang kesenjangan ekonomi hasil riset salah satu organisasi nirlaba bernama Oxfam dengan headline “Si Kaya Kian Kaya, Si Miskin Kian Miskin.” Dengan kalimat sederhana dan infografik yang jelas, siapa saja bahkan yang awam dapat mengerti bahwa dunia kita hari ini tidak sedang baik-baik saja.

Karena Marxisme, sejauh yang saya ketahui, bukan soal simbol atau slogan heroik ala Communist Manifesto saja, Marxisme adalah soal pembuktian ilmiah. Seperti yang konon dikatakan Engels bahwa sosialisme bukan dipostulatkan, melainkan ditemukan. Karena tanpa pembuktian ilmiah habis sudah kita: di belakang digempur oleh fundamentalisme fasis dan di depan juga digempur ilmuwan-ilmuwan borjuis liberal. Apa jawaban kita jika mereka bertanya, “Memangnya ada apa dengan kapitalisme? Bukankah dengan kapitalisme hidup kita menjadi lebih mudah, ada iPhone X, Samsung Galaxy, kartu kredit, Spotify, bahkan ada Sophia?” Lalu bila mereka bertanya kembali, “Memangnya kenapa kalau ada buruh ada kapitalis? Memang sih pengusaha-pengusaha butuh bekerja, tapi bukannya pekerja juga butuh pengusaha biar bisa bekerja? Kalau gak kerja nanti gak bisa pulang kampung pas lebaran, berarti yang butuh si pekerja donk? Pengusaha sih bisa aja ganti pekerjanya pakai robot.” Silahkan direnungkan kembali pertanyaan-pertanyaan sederhana tapi super sekali itu. Bisakah kawan-kawan yang sering teriak lawan ini itu menjawabnya sehingga mereka setuju dengan arah perjuangan kita?

Maka, mari kita jangan lelah dan jangan bosan-bosan untuk sama-sama belajar lagi sambil memanfaatkan peluang yang ada. Lewat kemampuan dan di bidang kerja masing-masing kita mengembangkan pengetahuan kita seraya menguji apakah betul Marxisme benar adanya ketika dihadapkan kepada realita dunia kita sehari-hari. Kalau bisa juga menginisiasi suatu wadah bagi gerakan kita yang mempunyai satu komando, sehingga kita tidak mudah dicerai-beraikan oleh janji-janji politik kampanye. Gerakan kita harus mampu menghadapi kenyataan dan sebaiknya tidak boleh tertinggal informasi mengenai kebijakan-kebijakan ekonomi serta ketenagakerjaan dari pemerintah, gejolak pasar saham, berkembangnya cryptocurrency, hingga berkembangnya kecerdasan buatan yang baru saja kita bicarakan. Meski baru-baru ini, Kepala Penelitian AI Facebook Yann LeCun melalui cuitannya di Twitter memberikan komentar negatifnya terhadap Sophia bahwa Hanson Robotic terlalu melebih-lebihkan kemampuan citpaannya, tapi menurut saya ada banyak hal yang kiranya bisa kita pelajari dari Sophia.

Selain latar belakang kemunculannya yang sedari tadi saya jelaskan di atas, Sophia mengajarkan kita untuk selalu terbuka untuk semua informasi, khususnya yang berkaitan dengan manusia dan perkembangannya. Nampaknya kita harus mencontoh sifatnya yang seperti gelas kosong dan siap untuk diisi dengan apapun yang akan mengisinya. Ia mau berendah hati mendengarkan orang lain dengan seksama meski ia dapat dengan sekejap saja mengakses Wikipedia dan langsung menjelaskan teori Big Bang (bukan boyband Korea atau komedi di TV Amerika ya) dalam waktu kurang dari lima menit. Sayangnya, kali ini Homo Sapiens harus belajar banyak hal dari ciptaannya sendiri (lagi), sama seperti leluhurnya sejak ribuan tahun yang lalu hingga hari ini yang selalu mendapatkan banyak hal dari ciptaannya sendiri. Meski begitu, teknologi sebagaimanapun canggihnya, ia adalah perpanjangan kita sendiri atau bahkan cerminan kita sendiri, maka dengan terang benderang kemajuan sains hari ini taklukanlah dan jadikan teknologi sebagai alat perjuangan kita. Ilmuwan di Tiongkok sudah mampu mengkloning monyet lucu bernama Zhong Zhong dan Hua Hua dengan teknik Somatic Cell Nuclear Transfer (SCNT), masa sih kita di Indonesia, yang katanya zamrud khatulistiwa ini, masih saja pusing ngurusin ajaran agama siapa yang paling benar, masa sih? Kuylah, move on!***

 

Penulis adalah anggota Perhimpunan Muda

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.