Kredit foto: YouTube
KONFLIK pembangunan di Kulon Progo, menurut saya, merupakan konflik yang diciptakan oleh kapitalisme kontemporer. Dalam konflik tersebut, benang merah yang dapat kita ambil adalah ketidak-berpihakannya negara terhadap rakyat yang dipertontonkan secara gamblang oleh negara itu sendiri. Di sini sudah sangat jelas terlihat aliansi antara negara dengan kaum kapitalis sebagai pemain kunci di balik proyek pembangunan yang men-dehumanisasi. Dikatakan men-dehumanisasi karena pembangunan tersebut telah mengalienasi rakyat Kulon Progo dari tanah kelahiran mereka. Nilai historis –dari tanah moyang rakyat– inilah yang diabaikan pemerintah dalam setiap proyek pembangunan yang mereka canangkan.
Namun anehnya, Presiden Jokowi justru mengeluarkan diktum yang paradoks[1]. Dengan menggunakan sabda leluhur –sebagai legitimasi terhadap proyek bandara di Kulon Progo– “Sesuk ning tlatah temon kene bakal ono wong dodolan cam cau ning awang-awang. Tlatah temon kene bakal dadi susuhe kinjeng wesi tlatah saka lor gunung lanang lan kidul gunung jeruk dadi kutho, glgah bakal dai bawono”[2].
Diktum tersebut memperlihatkan inkonsistensi presiden. Di satu sisi Presiden membenarkan proyek tersebut dengan legitimasi historis teks sakral, tapi di sisi lain, proyek pembangunan itu justru mengabaikan nilai-nilai historis di suatu tempat yang dijadikan sebagai objek pembangunan. Hal ini yang disebut Bultman bahwa seorang ekseget tidak dapat memahami – dalam konteks ini Presiden mengenai penafsirannya terhadap ‘Sabda Leluhur’- jika tidak memiliki pra-pemahaman tentang duduk persoalan teks tersebut[3].
Tafsiran Presiden terhadap ‘Sabda Leluhur’ merupakan penafsiran yang terlalu positivistik. Karena di sini sang penafsir telah mengabaikan kondisi (realitas) riil rakyat Kulon Progo. Menurut Bultman memahami sebagai menyingkap makna eksistensial. Dimana seorang ekseget harus masuk ke lapisan yang lebih dalam dengan menarik makna eksistensial keluar dari teks tersebut[4]. Namun persoalannya adalah penarikan makna yang dilakukan seorang ekseget masih bersifat subjektif. Oleh karena itu diktum Presiden tidak dapat dibenarkan, karena keputusan yang diambil mengenai makna di balik ‘Sabda Leluhur’ merupakan keputusan yang tidak objektif.
Kembali pada substansi konflik Kulon Progo. Konflik tersebut merupakan cerminan dari wajah kapitalisme kontemporer. Dimana pemerintah memosisikan dirinya sebagai fasilitator yang berupaya untuk melancarkan proses akumulasi kapital guna mempermudah jalannya transaksi bisnis kaum kaptalis, baik itu level nasional maupun internasional. Inilah yang dikatakan oleh Manfred Steger sebagai “… modus operandi dalam pengelolaan ekonomi dan politik[5].
Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam kasus pembangunan Bandara New Yogyakarta Airport (NYIA) ini adalah PT Angkasa Pura I, PT Pembangunan Perumaham (PP), PT Surya Karya Setiabudi (SKS), Pemerintah Pusat – Berperan dalam membuat regulasi[6] – dan Pemeritah daerah Yogyakarta, Aparatus Represif Negara (TNI, Polri, Satpol PP)[7], dan kaum intelektual borjuis yang berkontribusi membuat analisis AMDAL (BPPT, LIPI, BMKG, Akademisi)[8]. Inilah aktor yang saat ini menjadi pihak yang hegemonik.
Kasus Kulon Progo dalam Prespektif Ruang
Berawal dari prediksi Karl Marx tentang kehancuran kapitalisme yang disebabkan oleh kontradiksi internalnya, hingga saat ini masih belum terbukti. Kapitalisme mampu bertahan walaupun dihantam krisis besar, karena kapitalisme mampu lolos dari kondisi tersebut. Sebagaimana yang dikatakan Levebre, kapitalisme bisa bertahan hidup lewat penciptaan perluasan ruang (production of space)[9]. Dalam bukunya The Production Of Space, Levebre mengalihkan fokus teori marxis dari alat-alat produksi ke produksi ruang[10]. Levebre merupakan orang pertama yang melihat ‘Ruang’ sebagai aspek yang sangat penting dalam kapitalisme.
Dalam upayanya melakukan akumulasi, kapitalisme membutuhkan infrastruktur fisik dalam ruang agar menjaga keseimbangan dari pergerakan kapital. Infrastruktur fisik merupakan prasyarat dalam menjaga keberlangsungan jalannya komoditas, modal, jasa, dll. Kasus yang terjadi di Kulon Progo merupakan manifestasi dari hasrat Kapitalis dan Negara yang ingin menjaga keseimbangan dan pergerakan kapital serta membangun hegemoni.
Sosiolog Giovanni Arrighi memperkenalkan dua macam bentuk logika kekuasaan, yakni logika kekuasaan ‘teritorial’ dan logika kekuasaan ‘kapitalis’. Menurutnya, keduanya saling berbeda antara satu dengan yang lain dan salah satu di antaranya seringkali mendominasi:
“Kapitalis yang menguasai kapital uang ingin meletakkan kapitalnya di manapun laba bisa didapat, dan umumnya berusaha untuk mengakumulasi lebih banyak lagi kapital. Sementara para politisi dan negarawan umumnya berusaha untuk mengejar harta keluaran-keluaran yang akan melanggengkan atau memperbesar kekuatan negara mereka sendiri vis-a-vis kekuatan negara-negara yang lain. Sang kapitalis mengejar keuntungan individual…….. sang negarawan mengejar keuntungan kolektif…… sang kapitalis beroperasi dalam ruang dan waktu, ….. sang politisi beroperasi dalam teritorial…..”[11].
Dari penjelasan tersebut dapat kita maknai bahwa ‘ruang’ merupakan suatu arena pertarungan produksi karena di sini ruang ditempatkan sebagai tempat produksi (locus of production). Seperti yang terjadi di Kulon Progo, sesungguhnya persoalan tersebut merupakan hasil pemaknaan terhadap ruang yang kemudian dikonsepsikan sesuai dengan kebutuhan kapitalis dan pemerintah. Di sini juga dapat kita lihat dominasi kaum kapitalis dan negara dalam praktik ruang yang telah melenyapkan ‘ruang repsentasional’ ke dalam ‘repsentasi ruang’. Persoalan ini digambarkan dengan sangat jelas oleh Levebre dalam konsep sentralnya yang dikenal dengan tripartite (tiga pihak).
Dalam konsep tripartite (tiga pihak), ‘praktik ruang’ mengacu pada hubungan produksi dan reproduksi yang pada akhirnya mendominasi praktik spasial dalam kaitannya dengan hubungan antara objek dan produksi. ‘Representasi ruang’ adanya pola ketergantungan hubungan produksi dan hubungan tertentu terhadap pemakaian suatu ruang. Dimana kaum elit –seperti para perencana dan arsitek– mengabstraksikan ruang yang mereka anggap benar sebagai ruang sosial yang ideal. ‘Ruang representasional’ merupakan ruang yang nyata yakni ruang yang sudah difungsikan oleh individu/sosial[12].
Dari konsep tersebut dengan jelas kita dapat melihat bahwa ‘ruang representasional’ dimana tempat tinggal masyarakat Kulon Progo, dilenyapkan ke dalam ‘representasi ruang’, yakni bandara Internasional. Para perencana seperti arsitek, telah memberikan makna tertentu terhadap ruang Kulon Progo yang diabstraksikan ke dalam bentuk bandara. Kita tidak dapat mengabaikan fakta bahwa ‘ruang’ bagi kapitalisme merupakan prasyarat berlangsungnya akumulasi dan eksploitasi. Konflik Kulon Progo merupakan bentuk dari penyesuaian terhadap perubahan teritorial dalam negara yang didominasi oleh Kapitalisme[13].
Inilah yang disebut Harvey sebagai Akumulasi Lewat Penjarahan (Acumulation by Dispossession), yakni pelepasan terhadap sejumlah aset (termasuk tenaga kerja) dengan biaya yang sangat rendah (dan dalam beberapa kasus dengan tanpa biaya)[14]. Komodifikasi dan privatisasi tanah serta pengusiran secara paksa dengan menggunakan aparatus represif negara sebagai eksekutornya. secara sederhana, dapat dilustrasikan dalam skema berikut ini:
Dari skema tersebut – jika mengikuti pemikiran Harvey dan Levebrey – kita dapat melihat dengan jelas watak Kapital yang tengah melakukan ekspansi dan akumulasi. Investor selaku pemilik Kapital melakukan ekspansi kapital dan akumulasi lewat penjarahan dengan cara menanamkan kapitalnya ke dalam bentuk bandara – sebagai wujud riil dari kapital – guna menjaga keberlangsungan kapital agar dapat tumbuh subur. Regulasi merupakan legitimasi atas tindakan aparatus negara yang melakukan tindakan represif terhadap warga dan menjaga agar kapital dapat berjalan dengan aman dan nyaman.
Perampasan ruang-ruang hidup ini tidak terlepas dari tiga kekuatan besar dalam negara. Akumulasi kapital tidak akan terjadi jika tidak ada konsensus dari tiga kekuatan. Seperti yang dijelaskan oleh Milis (dikuti dari Wibowo, 2009) bahwa level tertinggi dalam kekuasaan adalah pengusaha, birokrat, dan militer. Level menengah adalah para pemimpin lokal atau pembuat regulasi. Level terbawah adalah masyarakat yang tidak memiliki kekuasaan.
Keterangan: 1 (Orang Kaya/Pengusaha); 2 (Badan Eksekutif pemerintahan); 3 (Pemimpin Militer); 4 (Para Pemimpin Kelompok kepentingan); 5 (Masyarakat Biasa yang tidak punya kepentingan)
Tiga kekuatan yang berada pada level pertama piramida merupakan aktor yang menjaga keberlangsungan kapitalisme dalam suatu negara. Ketiganya dikenal sebagai pihak yang melakukan monopoli terhadap kekuasaan. Dengan demikian dapat diartikan bahwa agar kaum kapitalis dapat melakukan akumulasi kapital, maka dibutuhkan persetujuan negara selaku pihak yang memiliki teritorial secara sah. Di sini negara juga membutuhkan kaum kapitalis untuk memperbesar pengaruh dan hegemoni negara terhadap negara lain, dengan menggunakan kekuatan militer sebagai aktor yang menjaga stabilitas suatu negara agar proses akumulasi dapat berjalan dengan aman. Akan tetapi di sini tidak hanya militer yang menjadi penentu dalam menjaga keberlangsungan akumulasi kapital, melainkan negara juga harus menjamin adanya struktur institusi hukum, hak milik pribadi, kontrak dan keterjaminan mata uang sebagai payung untuk menjamin agar akumulasi berjalan dengan lancar.[15] Pada titik inilah maka negara dituntut untuk kuat, yang perwujudannya adalah tindakan represif terhadap warga Negaranya yang mempertanyakan dan menolak. Negara justru senang jika rakyat bersikap menerima dan membenarkan apa yang negara lakukan.
Agenda Kapitalisme
Dalam Perpres No 58/2017, terdapat 248 proyek pembangunan yang dicanangkan pemerintah. Dari keseluruhan proyek tersebut, semuanya diperuntukkan untuk membangun konektivitas antara wilayah. Bagi pemerintah konektivitas merupakan salah satu penentu keberhasilan pembangunan nasional. Oleh karena itu yang perlu untuk difahami di sini adalah kedudukan bandara NYIA sebagai upaya untuk membangun konektivitas antara teritorial agar transaksi bisnis dan operasi kapital dapat berjalan dengan baik di bawah prinsip efektivitas dan efisiensi.
Konektivitas nasional ini merupakan bagian dari konektivitas global. Artinya proyek ini merupakan suatu agenda besar kapitalisme global untuk mengerucutkan penguasaan sumber daya alam (SDA) di tangan segelintir kaum kapitalis terhadap kepemilikan rakyat. Dengan lain kata, proyek NYIA merupakan pemberangusan kedaulatan rakyat atas kepemilikan ruang hidup mereka. Ada empat elemen penting yang di integrasikan dalam upaya membangun konektivitas, yakni Sistem Logistik Nasional (Sislognas), Sistem Transportasi Nasional (Sistranas), Pengembangan wilayah (RPJMN/RTRWN), Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK/ICT)[16]. Inilah prasyarat bagi kapitalisme untuk dapat melakukan ekspansi ruang, eksploitasi, dan akumulasi kapital dengan lancar.
Maka dapat kita katakan di sini bahwasanya bandara NYIA adalah upaya pemerintah untuk memperbesar ketimpangan dan kesenjangan ekonomi dan sosial di Indonesia. Persoalan fundamental mengenai ketimpangan dan kesenjangan adalah penguasaan ruang yang saat ini masih terkosentrasi pada segelintir orang. Inilah yang terjadi pada bangsa kita saat ini – dimana kehadiran NYIA memaksa rakyat untuk melepaskan kepemilikan mereka atas ruang-ruang hidup mereka – adalah cerminan dari tindakan negara yang telah mengorbankan masyarakat Kulon Progo agar kapitalisme dapat meakukan ekspansi, eksploitasi dan akumulasi kapital. Bagi pemerintah kehadiran bandara NYIA akan menambah pendapatan Negara, namun tidak bagi Rakyat setempat. Karena kehadiran Bandara tersebut justru menghancurkan sumber-sumber kehidupan mereka.
Penutup
Praktik-praktik kapitalisme yang memanfaatkan peran ‘ruang’ telah dijelaskan dengan gamblang oleh Henri Lefebvre dan David Harvey. Keduanya memberikan gambaran yang sangat jelas mengenai orientasi keberpihakan negara saat ini kepada siapa. Jika memang keberpihakan itu ada pada rakyat, sudah tentu kita tidak akan menyaksikan penggusuran rumah warga, perampasan lahan pertanian dan eksploitasi terhadap manusia dan alam.
Kasus bandara NYIA adalah bukti dimana negara tunduk pada kekuatan kapital. Itu sebabnya, atau sebagai konsekuensinya negara harus menindas rakyat sendiri dengan merobohkan rumah warga, memutus aliran listrik, dan mengusir paksa warga dari rumahnya.
Dari kenyataan itu, mendesak buat kita untuk membangun perjuangan yang independen, yakni perjuangan yang tidak berafiliasi dengan kelompok yang saat ini berada pada level pertama kekuasaan, yakni Oligarki/Pengusaha, Birokrat/Politisi, dan Militer/Polri. Ataupun dengan pihak kedua dari kelompok penguasa. Perjuangan kita adalah memutus hubungan dengan tiga kelompok hegemonik tersebut, baik secara struktural maupun kultural.***
Penulis adalah Mahasiswa MPI UIN Malang
————
[1] Jika presiden menggunakan ‘sabda leluhur’ – dalam konteks Kulon Progo – sebagai legitimasi dari proyek pembangunan bandara Internasional, maka harusnya Presiden menghentikan proses eksploitasi yang dilakukan oleh swasta/negara di tempat-tempat yang memilki nilai-nilai historis. Salah satu contoh adalah suku Amungme yang hidup di wilayah eksploitatif PT Freeport. Dimana mereka menfigurkan tanah sebagai sosok Ibu yang memberikan mereka makan, memelihara, dan membesarkan anak-anak mereka hingga lanjut usia. Mereka sangat menghormati tanah leluhur mereka, tanah yang menjadi sumber kehidupan. Maka dalam konteks ini presiden harus bersikap fair, jika hendak menggunakan legitimasi nilai-nilai historis, maka sudah sepantasnya dan selayaknya operasi PT Freeport juga dihentikan karena tindakan eksploitatif terhadap Alam sangat bertentangan dengan kepercayaan suku Amungme. Lihat penelitian Frans P Kaiar. Kearifan Lokal Suku Amungme Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Lingkungan Di Kabupaten Mimika Papua. Jurnal Ekosains. http://jurnal.pasca.uns.ac.id/index.php/ekosains/article/view/279. Akses pada 9 Desember 2017
[2] Apa yang kita lakukan sekarang ini, babat alas, memang keputusan yang harus segera dilakukan. Kalau kita lihat, bandara Adi Sucipto sudah crowded, mau tidak mau harus segera dimulai (pembangunan bandara baru). Dikutip dari: http://www.tribunnews.com/regional/2017/01/28/leluhur-ternyata-sudah-ramalkan-bakal-ada-bandara-di-kulonprogo-ini-sabdanya diakses pada 9 Desember 2017
[3] F. Budi Hardiman. Seni Memahami Hermenutik dari Schleiermacher sampai Derida. (Yogyakarta: Kanisius, 2015). Hlm 141
[4] Ibid, Hlm 143
[5] Budi Winarno. Melawan Gurita Neoliberalisme. (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010). Hlm 1
[6] Diantaranya adalah UU No 2/2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum; Perpres No 58/2017 yang mengandung penambahan 55 proyek strategis nasional (PSN) baru; Perpres No 98/2017 tentang percepatan pembangunan & pengoprasian bandara udara Kabupaten Kulon Progo di Yogyakarta. Lihat: https://tirto.id/peran-jokowi-memuluskan-megaproyek-bandara-kulon-progo-cBe3. Akses pada 12 Desember 2017
[7] http://www.kpa.or.id/news/blog/siaran-pers-mengecam-keras-pembangunan-bandara-nyia-dan-kembalikan-hak-atas-tanah-warga-kulon-progo/. Akses pada 10 Desember 2017
[8] Pihak-pihak ini telah berkontribusi dalam memberikan analisis mereka mengenai Analisis Masalah Dampak Lingkungan (AMDAL) dari proyek bandara udara NYIA. Kesimpulan dari Workshop yang dilkukan pihak tersebut adalah adanya berbagai opsi yang meliputi, kekuatan bandara yang tahan gempa, penerapan gumuk-gumuk pasir, penanaman cemara udang dan mangrove dan yang tidak kalah penting adalah, sosialisasi mitigasi bencana kepada para warga agar cepat tanggap bila menghadapi bencana. Lihat; http://industri.bisnis.com/read/20171013/98/698745/terkendala-amdal-dan-pembebasan-lahan-bandara-kulonprogo-tetap-dikebut-. Akses pada 10 Desember 2017
[9] David Harvey. Imprealisme Baru Genealogi Dan Logika Kapitalisme Kontemporer. (Sleman: Resist Book, 2010). Hlm 97
[10] George Ritzer. Teori Sosiologi Dari Kelasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014). Hlm 525
[11] David Harvey. Imprealisme Baru Genealogi dan Logika Kapitalisme Kontemporer. (Sleman: Resist Book, 2010). Hlm 32
[12] George Ritzer. Teori Sosiologi dari Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014). Hlm 526
[13] Ibid, Hlm 534
[14] David Harvey. Imprealisme Baru Genealogi dan Logika Kapitalisme Kontemporer. (Sleman: Resist Book, 2010). Hlm 166
[15] Ibid, Hlm 100
[16] Kementrian Koordinator Bidang Prekonomian. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia. (Kementrian Koordinator Bidang Prekonomian, 2011). Hlm, 33