MOBILISASI massa dalam serial Aksi Bela Islam yang mewarnai dinamika pemilihan gubernur di Jakarta dua tahun silam menyisakan perdebatan yang berpijak pada dua pertanyaan utama hingga kini, termasuk yang dibahas oleh beberapa penulis IndoPROGRESS. Pertanyaan itu meliputi pertama, aspek apa saja yang memungkinkan terjadinya demonstrasi massa berbasis keagamaan terbesar di Indonesia? Kedua, apakah gerakan tersebut merupakan indikator kebangkitan aliansi populis Islam di Indonesia yang beresonansi dengan fenomena menguatnya populisme kanan di berbagai belahan dunia?
Beberapa studi menekankan aspek kultural, sementara yang lain melihat ketimpangan ekonomi sebagai penyebab utama terjadinya Aksi Bela Islam 212, yang juga menandai kebangkitan populisme kanan di Indonesia. Setuju dengan Hadiz dan Rakhmani (2017), rangkaian protes aliansi populis Islam dua tahun silam lebih disebabkan oleh kombinasi kedua aspek itu. Namun, tulisan terbaru mereka tidak menjelaskan mengapa bentuk populisme Islam, bukan yang lainnya, yang artikulasikan.
Tulisan ini melengkapi penjelasan Hadiz dan Rakhmani yang sebenarnya juga telah dikemukakan oleh Hadiz (2016) dalam tulisannya yang lain, terkait karakteristik alternatif pengorganisasian lain selain Islam. Dengan demikian, ada dua aspek penting yang menjadi pokok bahasan dalam memahami fenomena populisme Islam di Indonesia, yaitu penyelidikan atas basis sosial aliansi ini serta kondisi yang memungkinkan artikulasi identitas tertentu. Aspek-aspek ini penting dikemukakan sebagai kerangka analisis karena dua hal. Pertama untuk menjelaskan keterkaitan menguatnya populisme kanan di banyak tempat dengan yang terjadi di Indonesia, mengingat beberapa analisis yang diterbitkan oleh IndoPROGRESS tampak belum terlalu berhasil melakukannya. Kedua, untuk menunjukkan bahwa masa depan populisme kanan (Islam) di Indonesia tidak semenjanjikan seperti yang dibayangkan banyak pengamat maupun pelaku Aksi Bela Islam, karena ciri utamanya yang amat terfragmentasi. Namun, meski terfragmentasi ia tetap menyediakan amunisi bagi artikulasi politik yang rasialis.
Beberapa Penjelasan
Dengan mengutip Inglehart dan Norris, Ari Perdana (2017) berpendapat bahwa pertentangan kultural lebih masuk akal menjadi penyebab menguatnya populisme kanan. Buktinya, menurut Perdana, jika kerentanan ekonomi yang utama, mengapa bukan populisme kiri –agen utama pengusung isu ketidakadilan sosial –yang menguat? Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Mietzner dan Muhtadi (2017) yang meyakini bahwa sentimen keagamaan berperan lebih menonjol dalam menjelaskan mobilisasi kelompok Islam yang menyebabkan kekalahan Ahok dalam pilkada Jakarta. Menurut mereka, temuan 30,1 persen sampel survei yang puas dengan kebijakan Ahok tetapi menolak memilihnya dalam pilkada adalah anomali yang mengonfirmasi aspek sentimen keagamaan sebagai kunci kemenangan Anies. Argumen kultural ini telah dibantah oleh penjelasan yang menekankan aspek kesenjangan ekonomi.
Ian Wilson, misalnya, yang mengusung tesis kesenjangan ekonomi, menjelaskan bahwa kaum miskin kota yang merupakan korban utama kebijakan penggusuran menjadi basis yang menentukan besarnya mobilisasi massa anti Ahok di Jakarta. Jika penjelasan Wilson sangat spesifik terhadap kasus Ahok tanpa berpretensi memperluas diskusi, beberapa penulis lainnya melihat gelombang aksi protes ini sebagai fenomena menguatnya populisme kanan di Indonesia seperti yang terjadi di tempat lain. Para penulis ini umumnya cukup mahir menjelaskan fenomena di negara lain, tapi tampak gagap menerangkan apa yang terjadi selama dan pasca pilkada Jakarta. Sebab, beberapa aspek yang dianggap masuk akal dalam menerangkan fenomena global tampak tidak kompatibel sebagai penjelas fenomena serupa di Indonesia.
Made Supriatma (2017), misalnya, mengakui bahwa “populisme kanan di Indonesia tidak muncul karena sebab-sebab yang terjadi di negara-negara maju”. Perbedaan itu terutama, menurutnya, terletak pada corak kapitalismenya yang berbeda. Supriatma berpendapat bahwa kapitalisme di Indonesia adalah semu, tidak seperti di tempat lain yang melahirkan populisme kanan dengan corak kapitalisme yang lebih matang dan modern. Ia juga berargumen bahwa sektor jasa juga tidak berkembang seperti di tempat lain, sementara kelas menengah yang menjadi basis populisme kanan di Indonesia juga adalah kelas menengah yang menang, bukan yang kalah seperti di Eropa.
Di sisi lain, Supriatma ternyata malah menegasikan pernyataannya sendiri dengan mengatakan bahwa basis sosial populisme kanan adalah kelas menengah yang “dikalahkan” oleh demokrasi, setelah sebelumnya dimanjakan oleh Orde Baru sebagai the protected class, yakni mereka yang bekerja sebagai birokrat, khususnya pegawai negeri sipil (PNS). Pernyataan ini, dengan kata lain, mengonfirmasi kondisi kelas yang mengalami kekalahan, kekecewaan serta kecemasan yang memungkinkan kelas menengah maupun kelas bawah mencari jawaban dengan mengorganisasikan dirinya ke dalam aliansi populis Islam, seperti yang dikemukakan oleh Hadiz dan Rakhmani.
Berikutnya, argumen demografis Supriatma juga tidak terlalu menjanjikan dengan mengatakan bahwa persoalan populisme di Indonesia adalah masalah generasi yang “lahir, besar, dididik dan bekerja sepenuhnya di bawah perlindungan Orde Baru”, dan menurutnya masalah populisme akan berakhir seiring dengan punahnya generasi ini. Mereduksi penjelasan dengan argumen demografis seperti ini mengabaikan struktur kelas sosial dalam masyarakat yang memiliki kondisi kerentanan sosial-ekonomi berbeda-beda. Padahal sangat mudah diamati bahwa kelas bawah generasi tahun 1980-an mengalami kerentanan serupa dengan kelas bawah generasi 2000-an, demikian juga kelas menengahnya.
Namun demikian, jika memang populisme adalah masalah generasi yang dikalahkan oleh sistem politik demokratis, mengapa ekspresi kekecewaan dengan menggunakan sentimen keagamaan baru muncul setelah hampir dua dasawarsa demokratisasi? Di samping itu, mengapa pilihan salurannya adalah ekspresi keagamaan, bukan yang lain? Bukankah respons atas populisme Islam ini juga melahirkan sentimen politik identitas yang lain (ekstrem tengah, ultra-nasionalis) yang juga ditopang oleh kelas menengah dari generasi yang sama, seperti yang terlihat dari para pendukung Ahok dan Jokowi? Argumen demografis juga mengabaikan struktur ekonomi politik, aspek yang sebenarnya banyak dibahas oleh Supriatma termasuk soal corak kapitalisme, tapi ditinggalkan begitu saja karena dianggap tidak kompatibel dan lebih memilih berspekulasi dengan masalah generasi. Dengan kata lain, tulisan Supriatma lebih banyak berisi spekulasi ketimbang analisis yang mendalam tentang populisme kanan di Indonesia.
Hal yang sama juga dapat diamati dari tulisan Ahmad Rizky Mardhatillah Umar (2017). Di awal tulisannya, ia berpendapat bahwa populisme sayap kanan merupakan “pertanda dari transformasi tatanan politik di tingkat domestik yang terdampak dari transformasi di tingkat global, yang ditandai runtuhnya rezim-rezim sosial demokrat dan liberal di Eropa, Asia dan Amerika”. Pada uraian berikutnya, Umar lebih banyak menjelaskan fenomena Eropa dan Amerika, ketimbang Asia, dalam kaitannya dengan kondisi-kondisi yang memungkinkan menguatnya populisme kanan. Momen terpenting bagi Umar yang menandai lahirnya fenomena itu adalah krisis kapitalisme neoliberal tahun 2008. Padahal, fenomena populisme kanan di berbagai tempat sudah muncul jauh sebelum krisis 2008, sebagaimana akan dijelaskan nanti.
Di samping itu, apa yang Umar sebut sebagai runtuhnya rezim sosial demokrat lebih sebagai fenomena Eropa ketimbang Asia, termasuk di Indonesia, yang tidak memiliki partai buruh yang kuat, termasuk tidak memiliki pengalaman sebagai negara kesejahteraan. Uraian tentang Asia dan Indonesia juga lebih banyak bercerita tentang ekspresi populisme kanannya yang serupa dengan di Eropa dan Amerika, tetapi mengabaikan penjelasan kondisi-kondisi yang melahirkan bentuk politik populis sayap kanan itu. Seperti Supriatma, kecenderungan penjelasan Umar semacam itu menunjukkan kegagapan dalam menggunakan pisau analisis yang dianggap masuk akal untuk memahami fenomena global, tapi ternyata tidak terlalu selaras dengan yang diamati dalam konteks lokal. Ia tampaknya juga membuat simpulan yang terkesan sekenanya dengan mengatakan bahwa populisme Islam di Indonesia memiliki jejaring dan proses interaktif dengan gerakan populis Islam di Mesir dan Turki, hanya karena Vedi Hadiz (2016) membuat analisis perbandingan tiga negara itu.
Bagaimana Memahami Populisme Kanan di Indonesia?
Uraian bagian ini merujuk terutama pada tulisan saya bersama Diatyka Yasih dan Luqman nul Hakim di Jurnal Prisma.[1] Di sini saya memahami fenomena populisme kanan di Indonesia beresonansi dengan yang terjadi di tempat lain karena gejala serupa disebabkan oleh kondisi-kondisi umum yang kurang lebih sama. Sebelum menjelaskan lebih jauh, mesti dipahami bahwa bentuk politik yang populis bukanlah fenomena baru, apalagi sebagai produk krisis ekonomi tahun 2008 seperti dikatakan Umar. Jauh sebelum itu, pada awal abad ke-20, populisme juga sudah menjadi ekspresi politik yang dominan terutama di Amerika Latin, yang basis utamanya adalah kelas pekerja di perkotaan, seperti Juan Domingo Peron di Argentina dan Getulio Vargas di Brazil. Di Indonesia, sebagaimana dikemukakan Hadiz (2016, 3), fenomena populisme Islam juga sudah dapat diamati pada era kolonial yang basis utamanya pada masyarakat perkotaan tradisional dan borjuis kecil di pedesaan atau tuan tanah. Perkembangan politik populis kontemporer, amat dipengaruhi oleh perubahan bentuk marginalisasi baru yang melahirkan wujud konstruksi “rakyat” yang juga baru, tidak lagi didasarkan pada kelas sosial tertentu tetapi cenderung lebih kompleks yang melibatkan basis sosial lintas kelas.
Ada dua aspek pokok yang patut dikemukakan di sini dalam menjelaskan fenomena populisme kanan kontemporer baik di tingkat lokal maupun global. Pertama adalah kondisi kelas pekerja yang semakin terfragmentasi sebagai produk rezim pasar kerja fleksibel sejak tahun 1980-an. Keadaan ini menyediakan basis sosial utama populisme kanan di berbagai tempat. Di Eropa, kebijakan neoliberalisme sekaligus menandai kebangkrutan negara kesejahteraan akibat lemahnya organisasi pekerja maupun partai Kiri serta berkurangnya aneka layanan sosial negara. Neoliberalisme juga memperluas situasi anomie serta berbagai bentuk kecemasan sosial dan ekonomi akibat meningkatnya ketidakpastian kerja, tidak hanya dialami kelas bawah tetapi juga kelas menengah terdidik. Kerentanan yang dialami kelas menengah menunjukkan apa yang disebut oleh Hadiz (2017) sebagai the broken promise of modernity.
Di Indonesia, kelas menengah produk industrialisasi Orde Baru memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya, namun hal itu tidak lantas membuat kondisi ekonomi mereka menjadi lebih baik, bahkan senantiasa berada dalam ketidakpastian masa depan pekerjaan; suatu kondisi kerentanan yang serupa dengan yang dialami kelas bawah. Berbagai kerentanan yang dihadapi ini melahirkan kecemasan, termasuk dalam kaitannya dengan kemungkinan melakukan mobilitas sosial vertikal atau untuk mempertahankan posisi kelasnya.
Kelas menengah dari kalangan birokrat juga mengalami kecemasan serupa. Meskipun memiliki status pekerjaan yang lebih pasti, tidak seperti pekerja industri sektor manufaktur atau jasa, serta tersedianya akses atas jaminan kesehatan hingga purna kerja, penghasilan mereka cenderung stagnan dan terhitung kecil dibandingkan tingkat konsumsi serta kenaikan harga barang. Keadaan itu memang bukan hal baru, akan tetapi rezim neoliberalisme memperparah kerentanan akibat berkurangnya layanan-layanan publik serta berbagai subsidi kebutuhan dasar, termasuk membuat ongkos pendidikan, kesehatan, perumahan dan transportasi serta kebutuhan-kebutuhan hiburan yang kian meningkat. Dengan kata lain, porsi terbesar kelas menengah di Indonesia sesungguhnya berada pada batas bawah yang rentan jatuh menjadi kelas bawah.
Pada konteks ini, solidaritas keagamaan adalah medium untuk menyalurkan kekecewaan itu. Hadiz dan Rakhmani telah menunjukkan bahwa yang mampu menangkap dan memberi jawaban atas kekecewaan itu adalah kelompok-kelompok Islam konservatif, pendukung utama demonstrasi anti Ahok. Argumen ini untuk menegaskan bahwa keterlibatan seseorang dalam aksi 212 tidak semata-mata didorong oleh kalkulasi yang non-rasional berkaitan dengan sentimen keagamaan seperti dikemukakan perspektif kulturalis, melainkan juga bersinggungan dengan pertimbangan-pertimbangan pragmatis terkait kondisi sosial dan ekonomi. Penjelasan serupa juga dapat digunakan untuk memahami kasus di Eropa. Menguatnya artikulasi identitas yang eksklusioner dan rasialis beresonansi dengan upaya berbagai kelompok masyarakat menyalurkan beragam kecemasan dan kekecewaan akibat kondisi sosial ekonomi yang semakin buruk karena berkurangnya berbagai layanan sosial serta meningkatnya ketidakpastian kerja produk neoliberalisme. Namun, sebagaimana telah disinggung di awal, tulisan Hadiz dan Rakhmani tidak menjelaskan mengapa Islam tertentu yang menjadi pilihan artikulasi politik dalam menyalurkan kekecewaan masyarakat lintas kelas.
Oleh karena itu, aspek kedua yang penting untuk dikemukakan adalah kondisi-kondisi yang memungkinkan solidaritas keagamaan menjadi saluran kekecewaan kelas bawah dan menengah. Kondisi ini, terutama terkait dengan lemahnya pengorganisasian gerakan politik yang progresif, yang memberi perhatian pada soal redistribusi sumber daya. Di Eropa, hal itu adalah konsekuensi dari bangkrutnya negara kesejahteraan akibat berkurangnya jaminan sosial di satu sisi serta membengkaknya demografi kelas menengah non-produktif di sisi lain. Merespons situasi itu, partai-partai sosialis bergeser ke tengah menempuh “jalan ketiga” ala Giddens, mengafirmasi agenda-agenda neoliberalisme yang lebih mengutamakan kepentingan kelas menengah. Akibatnya, kepentingan kelas pekerja yang merupakan konstituen utama partai Kiri tersisih, sedangkan kecemasan yang berhubungan dengan ketidakpastian kerja juga meningkat. Sementara itu, partai liberal juga tidak mampu mengartikulasikan kepentingan kelompok ini. Situasi ini menandai terjadinya krisis representasi, yakni saat wadah politik elektoral tidak lagi dianggap memadai dalam menyalurkan berbagai aspirasi dan tuntutan warga. Kecemasan kelas pekerja ini yang kemudian ditangkap oleh para demagog dengan menandaskan bahwa berbagai keterpurukan yang mereka hadapi disebabkan oleh para imigran.
Di Indonesia, seperti halnya di negara-negara pasca-kolonial, lemahnya artikulasi agenda politik yang progresif berakar dari sejarah yang lebih panjang. Jika di Eropa hal itu disebabkan oleh bangkrutnya negara kesejahteraan dan hegemoni neoliberalisme, di negara-negara pasca-kolonial termasuk di Indonesia, partai komunis telah lama direpresi secara keji oleh rezim otoriter era Perang Dingin.[2] Gerakan Islam politik juga turut direpresi oleh Orde Baru, tetapi tidak benar-benar dihabisi seperti partai komunis, sehingga masih menyediakan ruang artikulasi berbagai bentuk kekecewaan. Orde Baru bahkan sempat menjadikan kelompok Islam konservatif sebagai aliansi utamanya dalam menghadapi friksi dengan tentara yang sekaligus melapangkan jalan bagi artikulasi Islam dalam ruang politik secara lebih terbuka. Sementara itu, gerakan politik liberal juga tersegmentasi dalam isu sektoral seperti yang diusung oleh kelompok-kelompok NGO sejak era Orde Baru. Ini membuat Islam menjadi satu-satunya alternatif artikulasi politik di tengah-tengah meningkatnya kesalehan Muslim sejak tahun 1990-an, selain melalui sentimen nasionalisme warisan Orde Baru. Maka tidak heran, polarisasi politik selama dan pasca pilkada Jakarta menghasilkan tegangan antara ekstrem kanan dengan ekstrem tengah.
Di sisi lain, warisan depolitisasi dan kebijakan massa mengambang era Orde Baru tidak hanya membuat masyarakat menjadi cenderung apolitis, tetapi juga telah memutus saluran partai politik dengan basis sosialnya. Artikulasi partai politik Islam juga tidak sambung dengan basis umat yang semakin Islami, selain tidak ditopang oleh kelas borjuasi yang kuat. Dampaknya, mobilisasi suara dalam pemilu pada era demokrasi memerlukan ongkos yang sangat mahal, tidak hanya melalui politik uang dan kekerasan, tetapi juga dengan mengkapitalisasi sentimen-sentimen rasialis, seperti dapat diamati pada kasus pilkada Jakarta maupun pada kasus terbitnya peraturan-peraturan bernuansa syariah di berbagai daerah.
Fragmentasi Aliansi Populis Islam
Apakah kemenangan Anies Baswedan dalam pilkada Jakarta menandai kebangkitan gerakan Islam populis? Apakah kemampuan kelompok-kelompok Islam melakukan mobilisasi massa dalam jumlah besar menunjukkan masa depan aliansi populis Islam yang lebih menjanjikan tetapi sekaligus menjadi ancaman bagi demokrasi liberal? Uraian bagian sebelumnya telah mengindikasikan bahwa fragmentasi lebih menjadi ciri yang menonjol pada aliansi populis Islam, ketimbang koherensi dan soliditas. Fragmentasi itu dapat diamati dari beragam saluran artikulasi Islam yang bahkan dapat saling bertentangan satu sama lain, antara yang menggunakan jalur kekerasan baik terorisme maupun vigilantisme, jalur politik formal, maupun yang mengartikulasikannya sebagai ekspresi kultural. Buruknya capaian partai politik Islam dalam pemilu di tengah meningkatnya ekspresi kesalehan masyarakat juga menandai fragmentasi itu. Menurut Hadiz (2016), keadaan ini disebabkan oleh ketidakmampuan aliansi populis Islam membangun basis pengorgansasian yang kuat serta tidak adanya kelas borjuasi Musilm yang kuat yang menopang aliansi itu akibat dominasi pengusaha Cina.
Artinya, meskipun secara sosiologis kita dapat mengamati adanya ekspresi keislaman yang menguat, partai politik Islam tidak dianggap sebagai saluran politik yang representatif bagi mereka. Ini terutama karena banyak petinggi partai Islam terlibat korupsi maupun berbagai praktik predatorisme politik lainnya, sehingga tidak ada bedanya dengan partai politik lainnya. Alhasil, umat yang makin Islami itu tidak terorganisir serta tidak memiliki saluran politik yang otonom, tetapi menyediakan basis mobilisasi bagi para politisi sekuler yang oportunis dengan mengklaim bahwa ia dapat merepresentasikan atau menyalurkan kepentingan politik umat. Maka tidak heran, Prabowo yang bukan representasi tokoh Muslim dengan partai Gerindra-nya yang juga tidak menggunakan platform Islam, dapat menjadi elemen utama aliansi Islam 212. Lahirnya peraturan daerah bernuansa syariah di berbagai daerah juga sebagian besar diusung oleh partai politik yang tidak menggunakan platform Islam. Simpang siur pernyataan beberapa pihak terkait hubungan antara alumni Aksi Bela Islam 212 dengan Partai Gerindra, terkait rekomendasi calon maupun mahar yang diperlukan dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tahun 2018, juga kembali menegaskan bahwa aliansi populis Islam tidak sesolid yang dibayangkan oleh banyak pihak, bukan hanya karena pernyataan tokoh 212 yang saling kontradiktif tetapi juga terlihat dari lemahnya posisi tawar serta besarnya ketergantungan aliansi ini pada partai dan politisi sekuler yang memiliki sumber daya lebih besar. Sejak awal setelah terpilih sebagai gubernur, tim pemenangan Anies juga telah menegaskan bahwa mereka tidak membangun kontrak politik dengan elemen-elemen 212 serta tidak berupaya mendorong formalisasi Islam dalam pemerintahan. Artinya, aliansi populis Islam hanya bermakna dalam kompetisi elektoral, tetapi tidak menjadi subjek politik penting yang menentukan kebijakan publik.[3]
Ini menegaskan bahwa mobilisasi aksi 212 terjadi bukan karena menguatnya sentimen identitas keagamaan yang konservatif dan intoleran, tetapi lebih dimungkinkan oleh adanya kondisi kecemasan berbagai lapisan sosial masyarakat yang meningkat yang menemukan bentuk Islam konservatif sebagai artikulasi yang paling representatif dalam menyalurkan kepentingannya yang bersinggungan dengan kepentingan pragmatis politisi sekuler untuk memperoleh dukungan dari kelompok masyarakat yang makin Islami. Namun, patut dicatat bahwa menguatnya artikulasi Islam konservatif itu juga dimungkinkan dalam konteks absennya artikulasi politik yang lain, selain dalam bentuk nasionalisme berlebih. Argumen ini merupakan kritik terhadap analisis yang menekankan semata-mata pada aspek kultural atau ekonomi dalam menjelaskan fenomena mobilisasi sentimen keagamaan yang tampak menguat, sekaligus melengkapi pendapat yang melihat adanya persinggungan kedua hal itu. Tulisan ini juga menawarkan kerangka analisis –yang menekankan pengamatan pada basis sosial serta kondisi yang memungkinkan artikulasi politik tertentu –yang dapat digunakan untuk memahami gejala di tingkat lokal dengan fenomena menguatnya populisme kanan di berbagai tempat. Pembacaan menggunakan kerangka analisis ini dapat menunjukkan bahwa alih-alih menguat dan koheren, populisme Islam di Indonesia lebih sebagai aliansi yang cair dan terfragmentasi karena tidak ditopang oleh basis sosial dan kelas kapitalis yang kuat. Aliansi ini tidak dapat menjadi agensi yang otonom dan otoritatif mengusung agenda formalisasi Islam, tetapi ia menyediakan basis dan amunisi mobilisasi sentimen rasialis bagi para politisi oportunis. Artinya, menguatnya penggunaan sentimen keagamaan yang rasialis bukan masalah generasi kelas menengah didikan Orde Baru yang kehilangan berbagai privilese, juga bukan karena meningkatnya intoleransi, tetapi karena adanya relasi sosial yang menghendaki artikulasi identitas yang rasialis sebagai basis aliansi populis Islam dengan politisi oportunis, yang menguat terutama dalam kontestasi elektoral.***
Penulis adalah kandidat PhD di Asia Institute, The University of Melbourne Sidney Myer Asia Centre Parkville VIC 3010, Australia
————–
[1] A. M. Mudhoffir, D.W.P. Yasih dan L.N. Hakim. 2017. “Populisme Islam dan Tantangan Demokrasi di Indonesia”, Prisma Vol. 36 (3): 48-59.
[2] Ibid. 52
[3] Ibid. 49