BRUMAIRE ke-18 Louis Napoleon adalah buku yang ditulis Karl Marx antara bulan Desember 1851 hingga Maret 1852. Dalam buku ini Marx berusaha menjelaskan kudeta diri yang dilakukan Presiden Republik Kedua Perancis, Louis Napoleon, di bulan Desember 1851. Dengan bantuan militer, Louis Napoleon membubarkan Majelis Nasional (Assemblée Nationale, majelis rendah dalam lembaga legislatif Perancis) dan menjadi penguasa tunggal Perancis. Setahun kemudian ia membubarkan Republik Perancis dan mendirikan Kekaisaran Kedua Perancis, seraya mentahbiskan dirinya sendiri sebagai Kaisar Napoleon III.
Brumaire ke-18 dalam judul buku ini mengacu pada peristiwa Kudeta Brumaire ke-18, ketika Napoleon Bonaparte—jenderal Republik Perancis—melangsungkan kudeta militer pada tanggal 9 November 1799 dan merebut kekuasaan dari tangan Republik Pertama Perancis. Ia mengangkat dirinya sebagai Konsul, dan lima tahun kemudian memahkotai dirinya sendiri sebagai Kaisar Perancis, Napoleon I. Napoleon Bonaparte tidak lain adalah paman dari Louis Napoleon1Louis Napoleon adalah anak dari Louis Bonaparte—adik Napoleon Bonaparte—dengan Hortense de Beauharnais—anak tiri Napoleon Bonaparte dan putri Josephine de Beauharnais (istri pertama Napoleon Bonaparte) dari pernikahan sebelumnya..
Dengan demikian maksud dari judul buku ini—Brumaire ke-18 Louis Napoleon—adalah bahwa kudeta tahun 1851 adalah Brumaire ke-18-NYA Louis Napoleon, sebuah imitasi atas tindakan serupa yang dilakukan pamannya sendiri 52 tahun sebelumnya. Marx ingin berkata bahwa Louis Napoleon adalah penguasa kacangan yang hanya meniru sang paman saja. Soal imitasi peristiwa ini kembali ditegaskan Marx dalam paragraf pertama buku ini, “Hegel suatu ketika pernah berkomentar bahwa fakta-fakta dan tokoh-tokoh dalam semua peristiwa bersejarah yang penting, dapat dikatakan, seakan-akan muncul dua kali. Dia lupa menambahkan: Yang pertama kali terjadi sebagai sebuah tragedi, yang kedua kali sebagai sebuah dagelan.”
Mengapa peristiwa kudeta Napoleon Bonaparte itu dinamakan Brumaire ke-18? Ini maksudnya adalah tanggal 18 bulan Brumaire tahun VIII, sebuah tanggal dalam sistem Penanggalan Revolusi Perancis. Dalam penanggalan masehi, 18 Brumaire tahun VIII setara dengan tanggal 9 November 1799. Penanggalan Revolusi Perancis adalah sistem penanggalan yang berlaku di Perancis antara tahun 1793 hingga 1805, ketika Napoleon Bonaparte menghapuskan penggunaan penanggalan tersebut dan Perancis berbalik menggunakan penanggalan masehi.
Apabila pada saat Brumaire ke-18 ditulis, penanggalan ini sudah lama punah, mengapa Marx tidak menggunakan 9 November saja? Satu alasan adalah karena kudeta Napoleon Bonaparte memang sudah dikenal sejarawan sebagai Kudeta Brumaire ke-18, namun alasan yang lebih penting adalah karena Marx memahami arti penting Penanggalan Revolusi Perancis sebagai bagian dari usaha kaum burjuasi revolusioner Perancis untuk benar-benar memutuskan hubungan dengan tatanan lama (ancien régime) yaitu sistem monarki absolut.
Dalam artikel Kosmos kali ini, marilah kita tinjau lebih dalam Penanggalan Revolusi Perancis, mengapa penanggalan ini diciptakan, dan apa maknanya bagi gerakan politik emansipatoris. Untuk memahami prinsip-prinsip penanggalan ini, marilah kita diskusikan sedikit mengenai Revolusi Perancis itu sendiri.
Revolusi Perancis, kelompok Jacobin, dan kaum sans-culottes
Revolusi Perancis yang terjadi antara tahun 1789–1799 adalah pergolakan sosial-politik yang menumbangkan sistem monarki absolut Perancis dan menghadirkan sebuah Republik yang keabsahan kekuasaannya berasal dari persetujuan dan kehendak rakyat. Ide-ide dan semangat revolusioner yang tumbuh dari peristiwa ini—yang dirangkum dalam semboyan liberté, egalité, fraternité (kemerdekaan, kesetaraan, persaudaraan)— menyebar ke berbagai penjuru dunia dan menginspirasi banyak revolusi sesudahnya. Haiti, koloni Perancis di Kepulauan Karibia, adalah negara merdeka pertama di Amerika Latin dan Karibia, satu-satunya negara yang dapat merdeka melalui suksesnya pemberontakan budak. Pemberontakan budak-budak Haiti terinspirasi oleh Revolusi Perancis. Semangat yang serupa juga mengiringi para pendiri bangsa kita sepanjang perjuangan melawan penindasan kolonialisme Belanda. Sukar untuk secara lengkap menilai dampak-dampak revolusi ini pada perkembangan umat manusia. Di awal tahun 1970an, ketika Perdana Menteri Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Zhou Enlai, ditanya seorang wartawan, apa dampak Revolusi Perancis, ia menjawab, “masih terlalu dini untuk bisa membuat kesimpulan.” Gaung Revolusi Perancis mungkin masih kita rasakan hingga hari ini.
Revolusi Perancis berawal dari ketidakpuasan rakyat bawah ketika melihat kegagalan monarki absolut menghadapi krisis keuangan dan kegagalan panen. Mereka yang bukan bangsawan maupun padri (dikelompokkan ke dalam apa yang dinamakan golongan ketiga atau Tiers état) melihat bahwa keabsahan monarki dalam memerintah, yang dikatakan berasal dari tuhan, telah runtuh. Satu-satunya jalan keluar adalah penghapusan sistem monarki absolut dan hak-hak istimewa kelas penguasa. Kaum burjuasi2Kaum burjuasi yang pada era kapitalisme lanjut ini adalah kaum yang mendominasi corak produksi, pada masa pra-revolusi adalah suatu kelas baru dalam tatanan masyarakat saat itu. Mereka pada umumnya adalah para pedagang dan pemilik industri kecil., yang pada saat itu adalah pemimpin intelektual di dalam golongan ketiga, memisahkan diri dari golongan pertama (kaum padri) dan kedua (kaum bangsawan) dan mendirikan lembaga pemerintahan baru yang bernama Majelis Nasional (Gambar 2. Majelis Nasional kemudian berubah menjadi Majelis Konstituante Nasional). Penyerbuan Penjara Bastille pada tanggal 14 Juli 1789 adalah sebuah aksi simbolik yang mengisyaratkan kepada kekuatan-kekuatan lama yang masih mendominasi politik Perancis pada saat itu: Krisis kepercayaan pada monarki tidak bisa diselesaikan melalui reformasi legislatif apalagi reformasi pajak semata, tapi melalui revolusi sosial dan perombakan total tatanan masyarakat yang ada.
Sampai tahun 1792, monarki tetap berkuasa secara simbolik dan memerintah bersama-bersama Majelis Konstituante Nasional melalui sistem monarki konstitutional. Namun kekuatan-kekuatan monarki yang diperlemah ini tidak rela kehilangan kekuasaannya. Raja Louis XVI berkomplot dengan Kerajaan Austria untuk menyerbu Perancis, menghancurkan revolusi, dan mengembalikan monarki. Kaum sans-culottes3Sans-culottes secara harfiah artinya tanpa kulot. Pada masa itu kulot adalah sejenis celana ngatung yang panjangnya sedikit di bawah lutut dan biasa dipakai oleh bangsawan pada masa itu, dan merupakan penanda kelas sosial. Orang tanpa kulot berarti berasal dari kelas bukan bangsawan. (Gambar 3), kelas terbawah dan termiskin dalam masyarakat Perancis dan yang paling radikal, menganggap ini adalah pengkhianatan dan kemudian menangkap Raja Louis XVI dan Ratu Marie Antoinette. Monarki lalu dihapuskan dan Republik Pertama Perancis diproklamasikan pada tanggal 22 September 1792.
Pada periode awal Republik inilah kita menyaksikan tahapan paling radikal dalam Revolusi Perancis. Inilah saat ketika kelompok Jacobin—yaitu pengelompokkan politik di dalam pemerintahan Republik Perancis dan merupakan kelompok paling radikal dalam spektrum politik Perancis saat itu4Kelompok Jacobin didominasi oleh dua faksi yaitu faksi Girondist yang moderat dan faksi Gunung (La Montagne atau Montagnards) yang radikal. Faksi Gunung dinamakan demikian karena faksi ini biasa duduk di bangku-bangku tertinggi dalam Majelis Konstituante. Antara tahun 1793–1794, dengan didukung oleh kaum sans-culottes, faksi Gunung di bawah pimpinan Maximillien Robespierre menguasai pemerintahan dan menjalankan apa yang dinamakan Pemerintahan Teror.—memegang tampuk pemerintahan dan berusaha mengartikulasikan kehendak kaum sans-culottes untuk menciptakan tatanan masyarakat baru yang didasarkan pada kesetaraan warganya dan kesejahteraan bersama.
Penanggalan Revolusi Perancis dan prinsip-prinsipnya
Semangat perubahan kelompok Jacobin dan kaum sans-culottes inilah yang memotivasi penciptaan Penanggalan Revolusi Perancis5Secara resmi penanggalan ini dinamakan Penanggalan Republik Perancis, untuk merayakan pendirian Republik pada tahun 1792, dan bukan merayakan revolusi 1789. Ini adalah salah satu point perdebatan pada saat awal penyusunan penanggalan ini. Meskipun demikian, penanggalan ini juga dikenal dengan Penanggalan Revolusi Perancis, dan dalam artikel ini akan disebut demikian. (selanjutnya akan disingkat PRP untuk mempercepat penulisan). Di tengah-tengah proyek-proyek revolusioner lainnya semacam menghajar balik serangan kelompok-kelompok yang dianggap kontrarevolusioner, menghapuskan sistem feodal dan hak-hak istimewa kaum bangsawan dan padri, atau mematok harga maksimum untuk barang-barang kebutuhan pokok, bagi kita barangkali mengubah kalender adalah hal remeh-temeh yang bisa dilakukan kemudian. Akan tetapi, mungkin perlu kita sadari bahwa kehidupan kita sesungguhnya dijalani melalui kesadaran akan derap waktu. Penanggalan bukan hanya sebatas angka-angka yang ditampilkan pada setumpuk kertas di tembok atau di layar telepon genggam kita, namun sesungguhnya adalah sesuatu yang sentral dalam kehidupan kita: Melalui penanggalan kita mengorganisasikan kerja dan meletakkan diri kita pada sumbu waktu, relatif terhadap masa lalu–apa-apa yang sudah dikerjakan—dan terhadap masa depan—apa-apa yang akan kita kerjakan dan ingin capai. Kaum revolusioner Perancis menyadari hal ini, terutama apabila melihat bahwa Penanggalan Gregorian yang digunakan pada saat itu dianggap sebagai ranah gereja Katolik. Otoritas gereja masih hadir dalam penanggalan Gregorian: Setiap hari Minggu libur supaya bisa ke gereja, dan banyak hari-hari raya yang didasarkan pada ritual katolik (misalnya jumat agung, Maria diangkat ke surga, pentakosta, etc.). Hegemoni gereja dalam urusan pencatatan waktu ini juga hadir dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, saat bel gereja di kota-kota dan desa-desa dibunyikan sebagai penanda waktu (ini adalah masa ketika jam saku dan jam dinding hanya dimiliki segelintir orang terkaya saja, dan untuk mengetahui waktu masyarakat bersandar pada gereja). Dengan kata lain, langgam kehidupan sehari-hari rakyat biasa sangat ditentukan oleh otoritas gereja. Hadirnya gereja dalam kehidupan masyarakat ini dianggap sebagai satu aspek dari perkelindanan kekuasaan antara kaum bangsawan dan agamawan pada masa ancien régime yang dianggap sebagai sumber penindasan rakyat. Oleh karena itu tatanan baru harus didasarkan pada prinsip pemisahan agama dan negara (laïcité). Pun juga halnya dengan penanggalan, haruslah mencerminkan tatanan baru yang dicita-citakan ini.
Sebuah komisi yang terdiri atas matematikawan, ahli geografi angkatan laut, astronom, ahli hortikultura, pujangga, dan sejumlah politisi, dibentuk untuk merumuskan penanggalan baru. Berdasarkan rekomendasi komisi ini, Konvensi Nasional (badan legislatif yang diproklamasikan pada saat pendirian Republik Perancis pada tanggal 22 September 1792) memberlakukan sistem penanggalan baru ini secara resmi pada tanggal 24 November 1793.
Sama seperti penanggalan masehi, PRP juga didasarkan pada pergerakan Matahari dan oleh karena itu dalam satu tahun terdiri atas 365 hari atau 366 hari dalam kasus tahun kabisat. Namun di luar itu, semua aspek penanggalan dirombak total. Berikut ini adalah karakteristik dari sistem penanggalan baru ini:
- Perubahan epos: Sistem penanggalan selalu memiliki apa yang dinamakan epos (epoch), yaitu titik acuan dari mana jalannya waktu diukur. Umumnya epos ini menandai peristiwa yang dianggap penting dalam kebudayaan yang menyusun kalender tersebut. Epos penanggalan masehi adalah kelahiran Yesus, jadi tahun 2017 artinya adalah sudah 2016 tahun (masehi) berlalu semenjak kelahiran Yesus (tahun pertama dihitung dari angka 1 dan bukan 0). Dalam penanggalan hijriyah, eposnya adalah tahun hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah, yang terjadi pada tahun 622 Masehi. Tahun 1439 H dengan demikian maksudnya adalah sudah 1438 tahun hijriyah berlalu semenjak peristiwa hijriyah ini. Dalam PRP, eposnya adalah saat diproklamasikannya Republik Perancis yaitu 22 September 1792 dalam penanggalan masehi. Tahun-tahun diukur semenjak tanggal ini dan umumnya ditulis dalam angka Romawi. Tahun ini, 2017 masehi, adalah tahun 226 (CCXXVI) dalam sistem PRP.
- Perubahan titik awal daur tahunan: Daur tahunan dalam sistem penanggalan memiliki awal dan akhir. Dalam penanggalan masehi, awal tahun adalah tanggal 1 Januari dan akhir tahun adalah 31 Desember. Dalam penanggalan hijriyah, awal tahun adalah tanggal 1 Muharram. Dalam PRP, tahun baru terjadi pada hari diproklamasikannya Republik Perancis, yaitu setiap tanggal 22 September dalam penanggalan masehi (atau 23 September dalam tahun kasus tahun sebelumnya adalah tahun kabisat).
- Penyeragaman lamanya satu bulan: Lamanya satu bulan dalam penanggalan masehi berbeda-beda. Ada yang 30 hari, 31 hari, atau 28 hari (atau 29 hari dalam kasus tahun kabisat). PRP menyeragamkan lamanya satu bulan masing-masing menjadi 30 hari. Satu tahun dalam PRP tetap terdiri atas 12 bulan. Kalau begitu satu tahun hanya terdiri atas 360 hari dong? Oh tidak juga. Dalam PRP, di akhir bulan ke-12 ada 5 hari raya berturut-turut yang tidak menjadi bagian dari bulan manapun, disebut dengan hari raya Sansculottides. Sebagaimana penanggalan masehi, setiap tahun keempat adalah tahun kabisat, jadi pada tahun keempat ada hari raya keenam (disebut juga hari raya sextiles) untuk menggenapi tahun itu menjadi 366 hari. Enam hari raya ini masing-masing diberi nama sesuai dengan semangat revolusioner:
- Hari raya pertama: La Fête de la Vertu, Perayaan Kebajikan.
- Hari raya kedua: La Fête du Génie, Perayaan Bakat.
- Hari raya ketiga: La Fête du Travail, Perayaan Kerja.
- Hari raya keempat: La Fête de l’Opinion, Perayaan Keyakinan.
- Hari raya kelima: La Fête des Récompenses, Perayaan Penghargaan.
- Hari raya keenam (empat tahun sekali): La Fête de la Révolution, Perayaan Revolusi.
- Penghapusan tujuh hari dalam seminggu: Dalam penanggalan masehi, satu minggu terdiri atas tujuh hari. Satu bulan PRP yang terdiri atas 30 hari ini dibagi menjadi tiga “minggu” yang lamanya 10 hari, disebut dengan décades. Nama-nama hari diganti menjadi:
- Primidi (hari pertama)
- Duodi (hari kedua)
- Tridi (hari ketiga)
- Quartidi (hari keempat)
- Quintidi (hari kelima)
- Sextidi (hari keenam)
- Septidi (hari ketujuh)
- Octidi (hari kedelapan)
- Nonidi (hari kesembilan)
- Décadi (hari kesepuluh)
Hari libur yang pada penanggalan masehi jatuh setiap hari ketujuh yaitu hari Minggu, pada PRP jatuh pada hari kesepuluh. Penghapusan daur 7 hari dalam seminggu ini adalah satu pengejawantahan dari penghapusan apa-apa yang dianggap sebagai pengaruh gereja, dan penciptaan daur 10 hari seminggu ini adalah untuk mendesimalkan penanggalan. Desimalisasi ini juga adalah salah satu dari ide Revolusi Perancis dan akan kita bahas lebih detail kemudian.
Perubahan daur mingguan dari 7 hari menjadi 10 hari ini lumayan tidak populer di mata masyarakat, karena hari berlibur yang tadinya datang setiap 7 hari sekali menjadi semakin jarang yaitu setiap 10 hari sekali (walaupun setiap hari kelima hanya kerja setengah hari).
- Perubahan nama-nama bulan: Pada titik ini kita telah diperkenalkan pada kosa kata yang sama sekali baru, seperti hari-hari raya Sansculottides, décades, dan nama-nama hari. Nama-nama ke-12 bulan pun diciptakan yang baru pula. Nama-nama bulan ini dihadirkan secara puitis oleh pujangga Fabre d’Églantine dan didasarkan pada perubahan alam dan iklim Perancis:
- Musim gugur:
- Vendémiaire, dari vendange artinya panen anggur, dimulai setiap tanggal 22, 23, atau 24 September.
- Brumaire, dari brume artinya kabut, dimulai setiap tanggal 22, 23, atau 24 Oktober.
- Frimaire, dari frimas artinya bunga es, dimulai setiap tanggal 21, 22, atau 23 November.
- Musim dingin:
- Nivôse, dari Bahasa Latin nivosus artinya bersalju, dimulai setiap tanggal 21, 22, atau 23 Desember.
- Pluviôse, dari pluvieux artinya hujan, dimulai setiap tanggal 20, 21, atau 22 Januari.
- Ventôse, dari venteux artinya berangin, dimulai setiap tanggal 19, 20, atau 21 Februari.
- Musim semi:
- Germinal, dari germination artinya pembenihan, dimulai setiap tanggal 20 atau 21 Maret.
- Floréal, dari fleur artinya bunga, dimulai setiap tanggal 20 atau 21 April.
- Prairial, dari prairie artinya padang rumput, setiap tanggal 20 atau 21 Mei.
- Musim panas:
- Messidor, dari bahasa Latin messis artinya panen, dimulai setiap tanggal 19 atau 20 Juni.
- Thermidor, dari bahasa Yunani thermon artinya kehangatan musim panas, dimulai setiap tanggal 19 or 20 Juli.
- Fructidor, dari bahasa Latin fructus artinya buah, dimulai setiap tanggal 18 atau 19 Agustus.
Beberapa peristiwa yang terjadi dalam periode revolusi masih kita kenali melalui bulan saat peristiwa tersebut terjadi. Selain Kudeta Brumaire ke-18, kita juga mengenal misalnya Undang-Undang 22 Prairial (undang-undang yang mempersingkat proses hukum seorang terdakwa), Reaksi Thermidor (peristiwa penangkapan pemimpin pemerintahan revolusioner saat itu, Maximillien Robespierre, dan pembalikan arus politik dari radikal ke arah yang lebih moderat), atau novel Germinal karya sastrawan Perancis Émile Zola.
- Musim gugur:
- Penghapusan kalender orang kudus: Dalam tradisi kristen, ada santo (orang kudus) yang diasosiasikan dengan suatu tanggal. Tanggal 30 November misalnya, adalah harinya Santo Andreas. Setiap tanggal dalam setahun sudah diasosiasikan dengan seorang santo. Ini dinamakan kalender orang kudus. Ada pula yang disebut pesta nama, yaitu ritual memperingati santo yang namanya sama dengan nama kita. Hegemoni kultural inilah yang hendak dibalik oleh kaum revolusioner Perancis, pertama dengan menghapuskan kalender orang kudus ini, dan kedua dengan memperkenalkan apa yang dinamakan kalender pedesaan. Konsepnya sama persis dengan kalender orang kudus namun tentunya bukan lagi orang kudus yang diasosikan dengan suatu tanggal, tetapi barang-barang terkait aktivitas ekonomi pedesaan. Ada perkakas pertanian, hewan, buah-buahan, bunga, tumbuhan, atau mineral yang diasosiasikan dengan suatu tanggal. Buah apel, misalnya, diasosiasikan dengan tanggal 1 Brumaire, kuda diasosiasikan dengan tanggal 5 Vendémiaire, bajak diasosiasikan dengan tanggal 30 Brumaire, dst. (Bahkan gambut pun dihormati dalam penanggalan ini pada tanggal 1 Nivôse). Contoh lain dapat dilihat pada Gambar 6, dan apabila berminat, daftar lengkapnya bisa dilihat di sini. Tujuan dari kalender pedesaan, menurut pujangga Fabre d’Églantine yang menyusun kalender pedesaan ini, adalah untuk merayakan pertanian dan kekayaan sejati bangsa ini, serta menunjukkan keteraturan tanah dan langit.
Dari seluruh penjabaran ini kita bisa melihat bahwa hampir tidak ada komponen penanggalan yang dibiarkan tanpa perubahan. Barangkali beberapa dari kita akan berpikir, betapa sintingnya Kaum Jacobin. Dalam Kosmos edisi lalu kita membaca soal Kaum Bolshevik yang “hanya sebatas” memangkas 13 hari dari kalender namun tetap mempertahankan penanggalan Gregorian, padahal mereka kominis yang bukan hanya mau menghancurkan sistem otokrasi Tsar tapi juga sistem kapitalisme! Masak kalah sama burjuasi akhir abad 18? Tentu saja kondisi Rusia awal abad 20 beda dengan Perancis akhir abad 18, dan kondisi berbeda akan menghasilkan stratak (strategi-taktik) berbeda dalam pembangunan tatanan masyarakat baru, tapi mari kita kesampingkan diskusi yang rumit itu6Antara tahun 1929–1931, Uni Soviet bereksperimen dengan sistem penanggalan baru yang memiliki 5 hari dalam seminggu, 4 hari kerja dan 1 hari libur. Akan tetapi hari berlibur ini tidak sama untuk semua orang. Libur bergantian ini diharapkan dapat meningkatkan produksi karena setiap hari selalu ada yang bekerja.. Barangkali kaum burjuasi revolusioner Perancis sudah begitu muak dengan sistem monarki absolut. Apa yang diinginkan Kaum Jacobin tidak kurang dari perombakan total langgam kehidupan kolektif masyarakat, dan juga perombakan total sistem pencatatan waktu (timekeeping).
Desimalisasi waktu sebagai bagian dari proyek rasionalisasi
Jika Anda berpikir bahwa perombakan penanggalan sudah cukup sinting, jangan lupakan satu aspek lagi dari proyek perombakan total sistem tradisional pencatatan waktu yaitu desimalisasi waktu. Dalam sistem penanggalan yang digunakan siapapun pada saat ini, satu hari dibagi ke dalam 24 jam. Satu jam dibagi lagi menjadi 60 menit, dan satu menit dibagi menjadi 60 detik. Sistem ini sudah digunakan semenjak waktu yang lama sekali (time immemorial) sehingga asal muasalnya lenyap dimakan waktu dan sulit untuk dilacak, namun kita ketahui ini sudah dipraktikkan paling tidak semenjak jaman Mesir kuno. Meskipun lamanya satu hari memiliki dasar alamiah yaitu didasarkan pada kecepatan rotasi Bumi, akan tetapi pembagian satu hari menjadi 24 jam dan seterusnya sesungguhnya adalah konstruksi sosial. Ini kemungkinan didasarkan pada kebiasaan berhitung7Mengapa kita menggunakan sistem bilangan desimal (berhitung dengan menggunakan 10 macam angka)? Kemungkinan besar adalah karena kita berhitung dengan menggunakan 10 jari. Akan tetapi beberapa peradaban berhitung dengan menggunakan sistem bilangan duodesimal, yaitu berhitung dengan menggunakan 12 macam angka. Ini mungkin terjadi karena masyarakat ini berhitung dengan menggunakan buku-buku jari pada empat jari kita.. Di dalam PRP, satu hari didesimalkan dengan dibagi ke dalam 10 jam, satu jam ini dibagi menjadi 100 menit, dan satu menit ini dibagi menjadi 100 detik. Pada periode revolusi, di beberapa tempat umum didirikan jam desimal. Dibuat juga sam saku desimal seperti ditampilkan pada Gambar 7.
Desimalisasi waktu ini adalah bagian dari proyek mensistematiskan satuan-satuan pengukuran panjang dan berat. Perombakan penanggalan dengan demikian adalah bagian dari proyek sistemisasi satuan-satuan pengukuran waktu. Bukan kebetulan bahwa satu tahun sebelum diperkenalkannya PRP, sudah diperkenalkan sistem metrik sebagai satuan pengukuran berat, panjang, dan volume. Pada masa itu, setiap daerah memiliki satuan berat dan panjang sendiri-sendiri, dan ini membingungkan konversi antara suatu satuan ke satuan lainnya. Salah satu tuntutan golongan ketiga sebelum meletusnya revolusi adalah adanya perombakan satuan pengukuran sehingga memudahkan transaksi perdagangan. Desimalisasi juga sudah menjadi pembicaraan di kalangan matematikawan dan ilmuwan di masa sebelum revolusi. Namun usaha-usaha untuk merombak satuan-satuan pengukuran ini tentunya mendapat hambatan dari kaum bangsawan yang berhak menentukan satuan-satuan berat dan panjangnya sendiri-sendiri. Dan dalam kasus satuan waktu, gereja praktis menguasai sistem pencatatan waktu, dengan gereja mengatur jadwal-jadwal ibadah dan membunyikan bel gereja-gereja di kota-kota dan pedesaan. Revolusi Perancis yang menjungkalkan kekuasaan kedua golongan ini, menjawab tuntutan golongan ketiga dengan memperkenalkan sistem desimal yang dianggap rasional dan ilmiah. Tidak bisa dipungkiri, Revolusi Perancis adalah produk Abad Pencerahan yang mengutamakan penggunaan akal dan metode ilmiah dalam menafsirkan dunia.
Sistem metrik menyederhanakan konversi satuan berat, panjang, dan volume yang awalnya ribet menjadi lebih sederhana karena penggunaan pengalian atau pembagian 10 secara konsisten dari satu satuan ke satuan lainnya. Contoh satuan pengukuran yang menurut saya ribet adalah sistem Imperial. Untuk satuan panjang: 1 mil terdiri atas 1760 yard, 1 yard terdiri atas 3 kaki, dan 1 kaki terdiri atas 12 inci. Perhitungan konversi dari satu satuan panjang ke satuan panjang lainnya cukup merepotkan. Sistem metrik menyederhanakan ini semua, pertama dengan menggunakan satu satuan dasar untuk panjang, berat, dan volume yaitu masing-masing meter, gram, dan liter. Selanjutnya digunakan imbuhan yang konsisten ketika kita mengalikan (deka, hekto, kilo) atau membagi (desi, senti, mili) dengan kelipatan sepuluh guna mengonversi suatu satuan ke satuan lainnya. Contoh, untuk satuan panjang: 1 kilometer terdiri atas 1000 meter, 1 meter terdiri atas 100 centimeter (cm), dan 1 cm terdiri atas 10 milimeter (mm). Karena kita sudah berhitung dengan menggunakan bilangan desimal, maka konversi satuan menjadi sangat mudah. Yak saudara… di sekolah dasar kita telah belajar sistem metrik dan hampir seluruh dunia menggunakan sistem metrik dalam pengukuran panjang dan berat, kecuali Amerika Serikat yang masih nyleneh menggunakan sistem Imperial. Inilah salah satu warisan Revolusi Perancis yang sukses bertahan hingga hari ini.
Sistemasi pengukuran waktu ini sudah kita saksikan sedikit ketika kita mendiskusikan penyeragaman satu bulan PRP menjadi 3 décade yang masing-masing terdiri atas 10 hari. Ini lebih sistematis dan teratur daripada penanggalan masehi, di mana jumlah hari dalam satu bulan (30 atau 31 hari) bukan merupakan kelipatan dari jumlah hari dalam satu minggu (7 hari). Karena ketidakselarasan ini, kita sering kesulitan menghitung tanggal X di bulan Y jatuh pada hari apa. Tahukah Anda tanpa melihat kalender, tanggal 4 Desember 2017 akan jatuh pada hari apa?8Hari Senin. Dalam PRP, karena jumlah hari dalam satu bulan (selalu 30 hari) adalah kelipatan dari jumlah hari dalam satu décade (10 hari), maka awal bulan akan selalu jatuh pada hari yang sama yaitu hari Primidi. Tanggal 5 Frimaire di tahun kapanpun akan selalu jatuh pada hari Quintidi, dan seterusnya. Penyusunan penanggalan yang “rasional” ini akan sangat memudahkan kita memperkirakan jalannya waktu. Inilah semangat rasionalisasi yang diusung oleh Revolusi Perancis.
Desimalisasi jam juga adalah bagian dari usaha untuk merasionalkan waktu. Apabila kita menggunakan jam desimal, konversi waktu juga akan selaras dengan cara kita mengonversi satuan panjang dan berat dalam sistem metrik, memudahkan perhitungan. Saya pernah mendengar ada seorang kawan yang keliru mengonversi waktu: Kawan saya membaca sebuah film durasinya 150 menit, lalu reaksinya adalah, ”Oh filmnya cepet kok cuman 1.5 jam saja…” Tentu saja dia salah hitung karena 1 jam terdiri atas 60 menit bukan 100 menit, jadi 150 menit sama dengan 2.5 jam. Karena kawan ini sudah terbiasa melakukan konversi dalam satuan metrik, secara refleks ia melakukan konversi dengan cara metrik padahal satuan waktu yang kita gunakan tidak (belum!) didesimalisasikan. Proses desimalisasi akan membuat perhitungan waktu lebih konsisten dengan perhitungan satuan-satuan lainnya seperti berat dan panjang.
Akhir Penanggalan Revolusi Perancis
Sudah jelas bahwa hari ini kita masih menggunakan penanggalan Gregorian dan tidak menggunakan Penanggalan Revolusi Perancis (PRP). Sebagaimana telah disinggung di awal, penggunaan PRP dihapuskan oleh Napoleon Bonaparte setelah ia berkuasa dan mengangkat dirinya sebagai kaisar. Beberapa sejarawan menganggap periode Revolusi Perancis berakhir ketika Napoleon Bonaparte merebut kekuasaan melalui Kudeta Brumaire ke-18. Napoleon mendirikan kediktatoran dan kemudian kekaisaran, dengan dirinya sendiri sebagai kaisar. Gereja Katolik Roma lalu dikembalikan sebagai lembaga resmi negara (walaupun dengan kekuatan yang jauh diperlemah apabila dibandingkan dengan masa ancien régime), dan menyusul “rekonsiliasi” ini, PRP pun dihapuskan dan tak digunakan lagi mulai tanggal 1 Januari 1806.
Salah satu alasan kegagalan PRP mungkin karena ambisinya yang begitu besar untuk merombak sistem penanggalan tradisional. Barangkali penanggalan ini bisa lebih sukses seandainya beberapa komponen dari sistem penanggalan lama masih diikutkan ke dalam sistem penanggalan baru, paling tidak untuk menjaga kesinambungan simbolis antara kedua sistem dan untuk memberikan legitimasi pada sistem baru9Contoh komponen lama yang diikutkan pada komponen baru adalah beberapa komponen ejaan Van Ophuijsen yang tetap dipertahankan pada ejaan Republik. Sebagaimana kita ketahui, ejaan Republik atau ejaan Soewandi adalah ejaan yang berlaku pasca kemerdekaan Indonesia sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen. Menurut wartawan Joss Wibisono ini adalah contoh nasionalisme yang tidak picik..
Meskipun begitu, sudah jelas bahwa kita menggunakan sistem metrik (kecuali Amerika Serikat) dalam kehidupan sehari-hari kita. Pasca Revolusi Perancis, sistem ini dibawa Napoleon ke berbagai negara Eropa melalui penguasaan-penguasannya, dan akhirnya diadopsi banyak negara sehingga akhirnya disepakati sebagai standar. Hari ini 95% penduduk dunia tinggal di negara-negara yang menggunakan sistem metrik sebagai sistem pengukuran utama (hanya Liberia, Myanmar, Amerika Serikat, dan 3 tiga negara pasifik yang menggunakan sistem lain). Sebagaimana kita ketahui, sistem metrik diperkenalkan kurang lebih pada waktu yang sama dengan PRP, dan satuan ini menggantikan begitu banyak satuan pengukuran lokal. Mengapa PRP bisa gagal, padahal sistem metrik yang juga tak kalah radikal dan ambisius dalam menghancurkan tatanan lama, bisa sukses luar biasa?
Salah satu penyebab kegagalan PRP adalah proyek sekularisasi yang juga menjadi salah satu penekanan penanggalan ini, selain rasionalisasi. Melalui penghapusan hari Minggu dan kalender orang kudus, PRP menantang tatanan yang dianggap suci bagi banyak orang, sementara pemberlakuan sistem metrik tidak dianggap mengancam gereja. Penghapusan PRP dan pengembalian penanggalan Gregorian oleh Napoleon merupakan bagian dari rekonsiliasinya dengan Gereja Katolik Roma, artinya kegagalan PRP merupakan bagian dari kegagalan Revolusi Perancis secara keseluruhan untuk (sepenuhnya) men-dekristenkan Perancis. Agama adalah identitas yang hakiki bagi banyak orang, dan tidak mudah untuk menanggalkan secara tiba-tiba suatu lembaga yang dianggap suci dan sudah bercokol selama berabad-abad.
Warisan Penanggalan Revolusi Perancis
Untuk apa kita membaca tulisan yang cukup panjang ini perihal sistem penanggalan yang sudah mati sekitar dua abad lalu? Yang jelas ini bukan suatu ajakan untuk mengembalikan Penanggalan Revolusi Perancis ke dalam kehidupan kita. Sebutlah ini salah satu contoh dari totalitas perubahan yang dicita-citakan Revolusi Perancis. Penanggalan Revolusi Perancis bukan hanya suatu simbol atas pemutusan hubungan dengan masa lalu, tetapi juga salah satu sarana baru untuk mengorganisasikan masyarakat dalam ranah waktu. Melalui Penanggalan Revolusi Perancis kita juga melihat bagaimana semangat revolusi Perancis—pemisahan agama dengan gereja (sekulerasi), harmonisasi kemanusiaan dengan alam (naturalisasi), dan pengutamaan penggunaan akal dan ilmu pengetahuan (rasionalisasi)—diekspresikan melalui penanggalan.
Karena semangat revolusioner inilah, pada tahun 1871 Komune Paris mengembalikan Penanggalan Revolusi Perancis ke dalam kehidupan masyarakat. Komune Paris adalah sebuah pemerintahan sosialis revolusioner yang menguasai kota Paris selama dua bulan antara Maret hingga Mei 1871, menyusul kekalahan Perancis dalam perang melawan Prusia dan jatuhnya kekuasaan Kaisar Napoleon III (yap, orang yang disebut di awal ini muncul lagi di akhir kisah kita…). Komune Paris akhirnya diserbu oleh pasukan Pemerintah Perancis dalam pembantaian yang dinamakan La Semaine sanglante (minggu berdarah). Salah seorang communard (anggota Komune) yang selamat adalah Eugène Pottier, seorang revolusioner anarkis dan buruh transportasi. Dari pengalamannya sebagai communard, ia menggubah sebuah lagu, L’Internationale atau biasa dikenal dengan Internasionale. Pembaca setia Indoprogress barangkali sudah hapal lagu ini di luar kepala…
Ketika Zhou Enlai menjawab bahwa terlalu dini untuk menyimpulkan dampak-dampak Revolusi Perancis, rupa-rupanya kesalahan penerjemahan membuatnya mengira ia ditanya perihal Revolusi Perancis 1968, revolusi yang dimotori mahasiswa dan buruh. Wajarlah ia menjawab demikian karena peristiwa ini baru terjadi beberapa tahun sebelumnya. Revolusi Perancis boleh dianggap gagal dan sudah terjadi lebih dari dua abad lalu, namun semangatnya tetap menyala, tidak di alam nyata, melainkan di alam mimpi dan menunggu untuk ditebus. Oleh karena itu, manakala kita terlibat dalam politik emansipatoris radikal, manakala kita menyanyikan bait “lenyapkan adat dan paham tua,” barangkali kita perlu ingat apa kata filsuf Walter Benjamin hampir 80 tahun lalu, bahwa setiap revolusi tidak hanya diarahkan ke masa depan tetapi juga menebus kegagalan revolusi-revolusi di masa lalu. Mungkin sesungguhnya benar bahwa masih terlalu dini untuk mencapai kata akhir mengenai dampak-dampak Revolusi Perancis 1789.
Sumber bacaan
- Hazan, E. 2014, A People’s History of the French Revolution, Verso, London.
- Hobsbawm, E. 1996, The Age of Revolution: Europe 1789–1848, Vintage, New York.
- Schama, S. 1989, Citizens: A Chronicle of the French Revolution, Alfred A. Knopf, New York.
- Vera, H. 2009, Decimal Time: Misadventures of a Revolutionary Idea, 1793–2008, KronoScope 9.1–2: 29–48.
- Zerubavel, E. 1977, The French Republican Calendar: A Case Study in the Sociology of Time, American Sociological Review, Vol. 42: 868–877.
Untuk mengetahui tanggal hari ini dalam Penanggalan Revolusi Perancis, halaman Wikipedia mengenai Penanggalan Revolusi Perancis dapat dijadikan rujukan. Untuk konversi tanggal sembarang dalam Penanggalan Gregorian ke Penanggalan Revolusi Perancis, bisa menggunakan halaman ini.
Akun Twitter @JacobinCalendar setiap hari nge-Tweet tanggal hari ini dalam Penanggalan Revolusi Perancis. Bila berminat, dijual juga kalender tembok Penanggalan Revolusi Perancis namun saat ini sudah terjual habis.
Catatan kaki[+]
↑1 | Louis Napoleon adalah anak dari Louis Bonaparte—adik Napoleon Bonaparte—dengan Hortense de Beauharnais—anak tiri Napoleon Bonaparte dan putri Josephine de Beauharnais (istri pertama Napoleon Bonaparte) dari pernikahan sebelumnya. |
---|---|
↑2 | Kaum burjuasi yang pada era kapitalisme lanjut ini adalah kaum yang mendominasi corak produksi, pada masa pra-revolusi adalah suatu kelas baru dalam tatanan masyarakat saat itu. Mereka pada umumnya adalah para pedagang dan pemilik industri kecil. |
↑3 | Sans-culottes secara harfiah artinya tanpa kulot. Pada masa itu kulot adalah sejenis celana ngatung yang panjangnya sedikit di bawah lutut dan biasa dipakai oleh bangsawan pada masa itu, dan merupakan penanda kelas sosial. Orang tanpa kulot berarti berasal dari kelas bukan bangsawan. |
↑4 | Kelompok Jacobin didominasi oleh dua faksi yaitu faksi Girondist yang moderat dan faksi Gunung (La Montagne atau Montagnards) yang radikal. Faksi Gunung dinamakan demikian karena faksi ini biasa duduk di bangku-bangku tertinggi dalam Majelis Konstituante. Antara tahun 1793–1794, dengan didukung oleh kaum sans-culottes, faksi Gunung di bawah pimpinan Maximillien Robespierre menguasai pemerintahan dan menjalankan apa yang dinamakan Pemerintahan Teror. |
↑5 | Secara resmi penanggalan ini dinamakan Penanggalan Republik Perancis, untuk merayakan pendirian Republik pada tahun 1792, dan bukan merayakan revolusi 1789. Ini adalah salah satu point perdebatan pada saat awal penyusunan penanggalan ini. Meskipun demikian, penanggalan ini juga dikenal dengan Penanggalan Revolusi Perancis, dan dalam artikel ini akan disebut demikian. |
↑6 | Antara tahun 1929–1931, Uni Soviet bereksperimen dengan sistem penanggalan baru yang memiliki 5 hari dalam seminggu, 4 hari kerja dan 1 hari libur. Akan tetapi hari berlibur ini tidak sama untuk semua orang. Libur bergantian ini diharapkan dapat meningkatkan produksi karena setiap hari selalu ada yang bekerja. |
↑7 | Mengapa kita menggunakan sistem bilangan desimal (berhitung dengan menggunakan 10 macam angka)? Kemungkinan besar adalah karena kita berhitung dengan menggunakan 10 jari. Akan tetapi beberapa peradaban berhitung dengan menggunakan sistem bilangan duodesimal, yaitu berhitung dengan menggunakan 12 macam angka. Ini mungkin terjadi karena masyarakat ini berhitung dengan menggunakan buku-buku jari pada empat jari kita. |
↑8 | Hari Senin. |
↑9 | Contoh komponen lama yang diikutkan pada komponen baru adalah beberapa komponen ejaan Van Ophuijsen yang tetap dipertahankan pada ejaan Republik. Sebagaimana kita ketahui, ejaan Republik atau ejaan Soewandi adalah ejaan yang berlaku pasca kemerdekaan Indonesia sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen. Menurut wartawan Joss Wibisono ini adalah contoh nasionalisme yang tidak picik. |