ADA dua hal yang bagi saya menjadikan penelaahan kembali atas tesis Max Weber yang sudah beredar selama lebih dari seabad ini penting.[1] Pertama, resepsi luas atas tesis ini berikut konsekuensi-konsekuensinya. Tidak jarang saya mendengar pencitraan Calvinisme atau Protestantisme[2] sebagai agen kapitalisme, baik di kalangan Muslim maupun Nasrani. Sementara resepsinya di kalangan Muslim maupun Kristen yang anti-kapitalisme berpotensi menimbulkan kecurigaan, di kelompok-kelompok Protestan tertentu yang mendaku diri Calvinis tidak jarang saya mendapati tesis ini dijadikan piala kebanggaan. Yang terakhir ini membawa kita pada hal kedua, yaitu soal peluang menggiring Calvinisme yang citranya terlanjur lekat dengan kapitalisme ini ke arah yang progresif. Kemungkinan ini patut dipertimbangkan, sebab di Indonesia aliran Calvinisme cukup berpengaruh. Menurut catatan sejarawan gereja Indonesia, Jan Aritonang, ada 72 gereja anggota PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia) yang mengaku Calvinis atau dipengaruhi Calvinisme.[3] Belum lagi pengaruh gerakan-gerakan kontemporer seperti Reformed Injili yang gencar menyebarluaskan pengaruh Calvinisme ke gereja-gereja dan kelompok-kelompok Kristen yang tadinya bukan Calvinis.
Dalam pembahasan ini saya akan membatasi diri pada klarifikasi yang mungkin perlu dilakukan terkait dengan poin-poin Weber yang berpotensi membias dalam proses penyebarannya. Selanjutnya saya akan menjajaki peluang mendorong penghayatan Calvinisme ke arah yang progresif. Isu metodologi (materialis vs kulturalis) serta kecocokan teori dengan data sejarah, yang sering menjadi titik perdebatan seputar tesis ini, akan saya abaikan dulu.
Klarifikasi
Tesis Weber kurang lebih adalah sebagai berikut: reformasi Protestan, khususnya arus Calvinisme, telah menyiapkan jalan untuk perkembangan kapitalisme lewat model asketisismenya yang khas. Sementara asketisisme Katolik abad pertengahan terwujud dalam disiplin membiara, oleh Protestantisme, terutama Calvinisme, model asketisisme ini diorientasikan ulang. Kali ini diarahkan ke dalam dunia, yaitu dalam bentuk kerja-kerja sekuler. Adapun pokok ajaran khas Calvinisme, predestinasi, yaitu keyakinan bahwa Allah telah menentukan keselamatan seseorang di akhirat kelak dari sejak kekekalan, melahirkan keresahan psikis yang mendorong seorang Calvinis untuk mencari konfirmasi bahwa dirinya tergolong pihak yang terpilih untuk diselamatkan. Konfirmasi ini sulit ia dapatkan, karena lenyapnya mediasi Allah dengan manusia lewat institusi gereja (salah satu program reformasi Protestan). Dengan penekanan penghayatan iman dalam kerja di dunia, seorang Calvinis merasa diteguhkan status keterpilihannya lewat kesuksesan di dunia. Maka berkembanglah asketisisme khas Protestan yang, menurut Weber, menjadi faktor penting dalam membudayakan semangat kapitalisme: bekerja keras, meminimalisir penggunaan hasil usaha, mengejar akumulasi profit, serta gencar menginvestasikan kembali keuntungan.
Klarifikasi pertama yang menurut saya perlu dilakukan terkait dengan tesis ini bahwa contoh-contoh pola kerja Calvinisme yang dirujuk Weber cenderung tertuju pada Calvinisme kaum Puritan di Inggris. Betul bahwa Weber menyebut secara umum tentang para pemilik modal di berbagai negara yang kebanyakan beragama Protestan (di bab pertama). Tetapi sepanjang pembahasan berikutnya, ia sangat menitikberatkan fenomena Puritanisme di Inggris, lalu seolah menggeneralisirnya dalam sebutan yang cakupannya lebih umum, yaitu Calvinisme. Hal ini sudah selayaknya mengundang pertanyaan bagi kita yang membacanya. Bagaimana dengan Calvinisme di negara-negara lain, seperti di Belanda, Skotlandia, Jenewa, dan Jerman? Apakah sistem doktrinal serupa juga menimbulkan dampak yang sama?
Poin di atas mendorong kita pada hal kedua, yaitu bahwa kita perlu membedakan antara Calvinisme pada dirinya sendiri atau katakanlah Calvinisme sebagai sistem doktrinal dengan Calvinisme yang terekspresi dalam lingkup sosial tertentu. Apakah doktrin predestinasi secara niscaya melahirkan krisis psikologis pada mereka yang meyakininya? Apakah krisis psikologis itu, ketika terkombinasi dengan kepercayaan yang mendorong aktualisasi iman dalam karya di dunia, niscaya melahirkan praktik asketisisme yang digambarkan Weber sebagai prototipe dari semangat kapitalisme? Alih-alih menciptakan krisis psikologis, justru di masa-masa awal reformasi Protestan, doktrin predestinasi menjadi sumber penghiburan bagi umat Protestan yang dipersekusi.[4]
Ketiga, Calvin sendiri tidak menunjukkan gelagat bakal mendukung praktik akumulasi profit yang digambarkan Weber terjadi pada kaum Puritan di Inggris. Malahan George Hunsinger mendapati dalam tafsiran Calvin terhadap Yesaya 2:12,16 dan Keluaran 20:15/Ulangan 5:19 kritik tajam terhadap praktik-praktik yang identik dengan itu:
“Perdagangan lintas negara seringkali dipenuhi kecurangan dan di dalamnya tidak ada batasan tentang keuntungan yang dihasilkan.” Perdagangan dikutuk oleh para nabi, catatnya, “karena ia telah menginfeksi negeri dengan rupa-rupa korupsi.” Ketika kelimpahan diakumulasi lewat eksploitasi mereka yang lemah dan tak berdaya, Calvin menyimpulkan, “ia hanya meningkatkan kesombongan dan kekejaman.” Manusia “mencuri,” tulis Calvin di tempat lain, “bukan hanya waktu ia secara diam-diam mengambil milik orang lain, tetapi juga ketika mereka memperoleh uang dengan mencederai orang lain, mengakumulasi kekayaan lewat cara-cara yang bisa digugat, atau lebih peduli pada keuntungan pribadinya daripada dengan keadilan.”[5]
Keempat, apa yang disebut Weber dengan konfirmasi status keterpilihan lewat kesuksesan duniawi, kalaupun betul terhayati dalam Calvinisme Puritan di Inggris, juga bukan berasal dari ajaran langsung Calvin. Jeannine Olson menemukan kutipan dari tafsiran Calvin tentang Mazmur 41:1 yang menunjukkan ketidaksepakatannya dengan asosiasi kesuksesan materi dengan berkat Ilahi:
Merupakan sebuah kesalahan yang terlalu sering berulang di antara manusia, untuk melihat mereka yang tertindas sebagai orang terkutuk … Kebanyakan manusia, menilai tentang keberpihakan Allah dari kondisi kekayaan yang sementara dan tak pasti, lalu memuji orang-orang kaya dan mereka yang kepadanya, mereka bilang, keberuntungan tersenyum; sehingga, dengan kata lain, mereka menghina mereka yang menderita, dan secara bodoh membayangkan bahwa Allah membenci mereka itu.[6]
Prospek Calvinisme Progresif
Di atas kita telah coba melemahkan asosiasi langsung Calvinisme dengan kapitalisme lewat klarifikasi poin-poin yang terkait dengan tesis Weber. Sekarang kita akan mengeksplorasi kemungkinan sebaliknya, yaitu tentang potensi progresif yang terkandung dalam Calvinisme sendiri. Paling tidak ada dua hal menurut saya yang bisa dikembangkan:
Pertama, orientasi pada dunia, sebagaimana ditangkap pula oleh Weber. Ibadah sejati, bagi seorang Calvinis, dilakukan di tengah dunia, bukan di biara. Oleh kaum Puritan di Inggris, pokok ini memang digunakan untuk membenarkan agenda “kerja, kerja, kerja.” Tetapi orientasi pada dunia itu bisa juga ditarik ke arah keterlibatan dalam perjuangan-perjuangan kolektif umat manusia. Berbekal pokok ini, kegiatan-kegiatan gereja yang sifatnya ritualistik bisa diminimalisir, dan lebih banyak energi dikerahkan untuk memikirkan dan memperjuangkan agenda progresif. Menurut saya, gereja-gereja Calvinis harus berani mengakui kekhasannya dalam pokok ini dan mendorong penghayatan yang demikian di tengah-tengah kehidupan umat, bukannya malah mencari-cari bentuk mistisisme dalam tradisi lain yang bisa ditiru guna memenuhi hasrat umat untuk lari atau ditenangkan dari permasalahan dunia.
Kedua, panggilan menata masyarakat. Ini juga adalah elemen tak terpisahkan dalam Calvinisme yang diakui oleh Weber.[7] Berbeda dengan Luther yang menyerahkan urusan politik pada otoritas sekuler, panggilan Kristiani bagi Calvin selalu mencakup ranah sosial-politik. Ini tidak lepas dari posisinya di Jenewa yang menuntutnya terlibat dalam pengorganisasian kota. Tidak heran kalau dalam teologinya, pembaharuan gereja dan umat itu tidak pernah terlepas dari visi pembaruan masyarakat.[8]
Masih banyak yang bisa dieksplorasi seputar topik ini. Tulisan singkat ini hanya dimaksudkan sebagai pemantik. Sudah terlalu sering penghayatan keagamaan yang progresif (dalam tubuh kekristenan) diidentikkan dengan teologi pembebasan dari Amerika Latin. Perjuangan keadilan agraria yang ditunjukkan Pendeta Sugianto dengan GKSBS menunjukkan bahwa gereja-gereja Calvinis juga bisa.[9] Saatnya para pendeta, teolog, serta umat dari tradisi Calvinis menerjunkan diri ke tengah-tengah dunia, menghayati imannya di sana, membangun kerjasama dengan umat beragama lain maupun kelompok-kelompok progresif yang tidak berbasis agama, bergerak dengan pijakan analisis sosial yang tepat, demi kemenangan agenda-agenda kerakyatan di Indonesia.***
Penulis tergabung dalam Jaringan Pemuda Kristen Hijau Jawa Timur (Kristen Hijau) wilayah Malang
Tulisan ini sebelumnya merupakan materi yang disampaikan dalam acara “Ngaji Agraria” yang diselenggarakan oleh FNKSDA Malang dan Kristen Hijau, dengan dukungan Gusdurian Malang, Green Papua, Oase, Gubuk Tulis, Sabda Perubahan, serta Aliansi Malang Peduli Kendeng, pada tanggal 27 Maret 2017. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.
————–
[1] Bisa dibaca secara gratis di https://www.marxists.org/reference/archive/weber/protestant-ethic/ (diakses pada 27 Maret 2017).
[2] Sebagai tambahan informasi, bagi yang asing dengan sejarah Protestantisme atau belum membaca buku Weber, Calvinisme adalah salah satu arus dalam Protestantisme. Salah satu arus besar lainnya, yang juga dibedakan Weber dengan Calvinisme dalam bukunya, adalah Lutheranisme. Keduanya berasal dari nama dua teolog penting dalam Protestantisme mula-mula, yaitu Martin Luther dan John Calvin.
[3] Beberapa yang disebut Aritonang antara lain: GPM, GMIM, GMIT, GPIB, GBKP, GKI, GKP, GKJ, GKJW, GKPB, GKS, GMIST, GKST, Gereja Toraja, GKSS, Gepsultra, GMIH, GKE, GKI Irja, GRII, GPII. Pengaruh besar Calvinisme di Indonesia ini tidak lepas dari pekerjaan misi Belanda di masa lalu yang umumnya bercorak Calvinis (Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja [Jakarta: Gunung Mulia, 2005], 52-53).
[4] Lihat misalnya, David van der Linden, Experiencing Exile: Huguenot Refugees in the Dutch Republic 1680-1700 (Farnham: Ashgate, 2015), 94.
[5] George Hunsinger, “Social Witness in Generous Orthodoxy: The New Presbyterian ‘Study Catechism’,” The Princeton Seminary Bulletin (2000), 61. Terjemahan oleh penulis.
[6] Jeannine E. Olson, “Calvin and Social-Ethical Issues,” dalam The Cambridge Companion to John Calvin (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 169. Terjemahan oleh penulis.
[7] Lihat bab 4 bagian A dalam Max Weber, Protestant Ethics and the Spirit of Capitalism, https://www.marxists.org/reference/archive/weber/protestant-ethic/ch04.htm#a (diakses pada 27 Maret 2017).
[8] Ada banyak buku yang mengulas pokok ini. Salah satunya yang amat terkenal adalah Andre Bieler, Calvin’s Economic and Social Thought (Geneva: World Council of Churches, 2005).
[9] Panggilan bagi gereja-gereja Calvinis untuk terlibat dalam perjuangan agraria belum lama ini dicetuskan oleh World Communion of Reformed Churches (WCRC) lewat buku Listen to the Land! Responding to the Cries of Life (lihat http://wcrc.ch/justice/ecological [diakses pada 27 Maret 2017]). Catatan tambahan: Amir Sjariffudin, salah satu tokoh pergerakan kiri Indonesia di masa lalu, berlatar belakang Calvinis (lih. Hasan Kurniawan, “Amir Syarifuddin dalam Bingkai Sejarah,” https://nasional.sindonews.com/read/821858/15/amir-syarifuddin-dalam-bingkai-sejarah-1388374900 [diakses pada 27 Maret 2017]). Gereja Komunitas Anugerah Reformed Baptis Salemba yang belakangan rutin mengadakan diskusi offline bersama IndoProgress juga berasal dari tradisi Calvinis. Di Korea Utara, umat Kristen Calvinis diakui kontribusinya dalam pembangunan masyarakat sosialis. Salah seorang pendetanya pernah menjadi wakil presiden di sana selama 10 tahun (1972-1982) (lih. Roland Boer, “Religion in the Democratic People’s Republic of Korea,” http://www.politicaltheology.com/blog/religion-in-the-democratic-peoples-republic-on-korea/ [diakses pada 27 Maret 2017]).