Kredit gambar: Jatam, Kaltim
RENTETAN peristiwa kelam nan menggenaskan dari berbagai pelosok negeri akibat gempuran industri ekstraktif, sudah seringkali kita dengar dan saksikan bersama. Setelah kematian Salim Kancil di Lumajang, Jawa Timur, yang tewas dibunuh oleh sekelompok orang yang sedang tersesat, lalu melacur diri ke korporasi tambang; atau kisah ibu-ibu dari Rembang yang bertahun-tahun berjuang mempertahankan ruang hidupnya dari pabrik Semen Indonesia; dari Kalimantan Timur, kita kembali dikejutkan dengan kisah dua orang anak, masing-masing Dias Mahendra (15) dan Edi Kurniawan (15) yang tewas tenggelam di lubang tambang pada Selasa 8 November 2016, kemarin.
Data yang dikumpulkan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur, lokasi tewasnya dua korban itu berada di wilayah konsesi tambang PT Energi Cahaya Industritama (ECI), perusahaan yang berafiliasi dengan PT Harapan Borneo Internasional, milik Honardy Boentario. Selain itu, lokasi kejadian hanya berjarak sekitar 300 meter dari pemukiman warga dan 15 meter dari areal persawahan serta berhimpitan langsung dengan ruang hidup masyarakat setempat.
Sebelumnya, pada April 2014 lalu, di lokasi yang sama kisah serupa juga terjadi dengan korban atas nama Nadia Zaskia Putri (10). Tiadanya reklamasi dan rehabilitasi menjadi akar sebab dari persoalan ini. Bahkan tuntutan warga untuk segera merehabilitasi lahan tambang, dijawab pemerintah dengan memberikan sanksi administratif berupa pemberhentian sementara, namun tidak diikuti langkah hukum yang lebih progresif, semisal pidana lingkungan hidup.
Tewasnya dua bocah pelajar Sekolah Menengah Pertama di Kelurahan Bukuan, Samarinda, ini menambah daftar panjang korban meninggal dunia dalam lubang tambang. JATAM mencatat, dalam kurun waktu 2011 sampai 2016, sudah 27 anak-anak yang meninggal dunia dalam lubang tambang di Kalimantan Timur. Jumlah ini, meski sama sekali tidak kita harapkan, berpotensi meningkat naik, mengingat masih ada 632 lubang tambang di seluruh Kalimantan Timur dan 232 diantaranya berlokasi di Samarinda, dibiarkan menganga tanpa ada sedikitpun upaya untuk melakukan rehabilitasi.
(Pejabat) Negara menjadi Mafia
Deretan kasus dari sektor pertambangan yang mencuat ke publik, mulai dari kriminalisasi hingga kisah anak negeri meregang nyawa di tanahnya sendiri, membawa kita pada sebuah gugatan kritis terkait peran pemerintah sebagai penyelenggara Negara. Dari sekian banyak kejadian itu, kita belum pernah disajikan soal kisah menarik seputar aksi heroik para pejabat Negara, mulai dari Presiden, Gubernur, hingga Bupati dan Walikota untuk bertindak cepat dan mengakhiri seluruh permasalahan yang terjadi pada masyarakat lingkar tambang. Yang terjadi hari-hari ini justru tontonan tak bermutu dan memuakkan dari para pejabat Negara yang tak tahu malu melacur diri kepada korporasi tambang.
Contoh faktual ihwal keterlibatan pejabat Negara tersebut adalah ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, atas dugaan penyalahgunaan hutan lindung melalui pemberian izin kepada perusahaan tambang Nikel PT Anugerah Harisma Barakah pada Agustus lalu.
Contoh lain untuk menguak keterlibatan pejabat Negara adalah kisah tragis tewasnya Salim Kancil, seorang petani di Lumajang, Banyuwangi, yang menolak tunduk terhadap perusahaan tambang yang hendak merampas ruang hidupnya. Tiga orang tersangka dari pihak kepolisian terbukti terlibat dengan menerima gratifikasi dari penambangan pasir illegal di Lumajang. Terlepas, sanksi hukum yang diberikan kepada tiga orang tersangka tersebut yang tidak memenuhi rasa keadilan, yakni hanya dijatuhi vonis mutasi demosi (pemindahan anggota dari jabatan ke jabatan lain yang tingkatannya lebih rendah) dan kurungan 21 hari, serta tidak menyentuh tindakan pidana pencucian uang terkait pihak-pihak penerima manfaat, para pejabat yang bertindak sebagai broker dan pembeli pasir illegal, kita patut bersyukur bahwa ada petani yang dengan sumber daya yang serba terbatas telah mengajarkan para pejabat Negara untuk berlaku adil dan bijak serta tidak gampang takluk di hadapan korporasi tambang.
Bukti-bukti faktual di atas hanyalah dua fakta telanjang dari sekian desas-desus dugaan praktik keterlibatan pejabat Negara dalam banyak kasus pertambangan dan perusakan lingkungan di Indonesia. Tak terhitung berapa banyak jumlah pejabat yang terjerat kasus hukum serupa. Pula jumlah protes dalam berbagai skala yang dilakukan oleh warga terdampak.
Ambisi Jokowi dan Keselamatan Rakyat
Rezim Jokowi-JK yang sedang berkuasa dengan ambisi mewujudkan ketersediaan listrik 35.000 MW, patut mendapat perhatian lebih dalam konteks keselamatan rakyat dan lingkungan di wilayah tambang. Mengingat, 63 persen dari proyek itu akan dipenuhi melalui Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), dimana kebutuhan bahan bakunya bersumber dari batubara. Sementara ruang untuk pembangkit listrik lain, termasuk energi terbarukan hanya 37 persen.
Dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi 6–7 persen setahun, diperkirakan membutuhkan sedikitnya tambahan kapasitas listrik 7.000 megawatt per tahun. Itu berarti, dalam lima tahun ke depan, penambahan kapasitas sebesar 35.000 MW menjadi suatu keharusan (JATAM, 2016). Kebutuhan sebesar 35 ribu megawatt tersebut telah dikukuhkan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019.
Proyek ketersediaan listrik 35.000 MW yang 63 persen dipenuhi melalui PLTU dan menelan dana lebih dari 1.127 triliun itu, beresiko mempercepat laju kerusakan lingkungan dan keselamatan rakyat di daerah tambang dan lokasi pembangunan PLTU. Kondisi ini, tentu kontrakdiktif dengan deklarasi komitmen pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi CO2 atau gas rumah kaca sebesar 29 persen di tahun 2030 dalam perjanjian ‘Paris Agreement’ di Konvensi Para Pihak (Conferences of Parties) UNFCCC ke – 21 di Paris, tahun lalu.
Pilihan kebijakan ini, berikut dampak nyata yang sudah menimpa rakyat dan lingkungan akibat industri keruk, membawa kita pada satu kesimpulan bahwa Presiden Jokowi yang telah berikrar untuk menghadirkan Negara dalam setiap persoalan rakyat masih jauh panggang dari api. Yang terjadi hari-hari ini adalah Negara hadir bersama korporasi tambang dengan kepentingannya sendiri, lalu merampas ruang hidup rakyat. ***
Penulis adalah Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang – JATAM Nasional