Kredit foto: World News
HARI ini, 2 Desember 2016, merupakan ‘Aksi Bela Islam’ gelombang kedua. Aksi massa ini merupakan kelanjutan dari aksi sebelumnya pada 4 November 2016, yang menyuarakan pengusutan dugaan penistaan agama oleh Ahok. Harus diakui, berdasarkan jumlah mobilisasi massa, aksi yang digalang oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF MUI) dan dikomandoi oleh FPI pada 4 November lalu, merupakan aksi massa terbesar pasca tumbangnya Orde Baru. Jauh lebih besar ketimbang massa pembela Gus Dur diujung kejatuhannya.
Selain mengagetkan banyak pihak dengan massa yang demikian besar, ‘Aksi Bela Islam’ yang belakangan populer dengan sebutan aksi 411 dan 212 ini, tak pelak menyeret hampir sebagian besar umat Islam pada perdebatan yang sejak semula tidak produktif dan tidak menyentuh pokok persoalan yang dihadapi umat Islam Indonesia hari ini: mengenai absennya redistribusi keadilan dan minusnya pelayanan sosial bagi rakyat.
Pada tataran akan rumput, perdebatan telah berubah menjadi saling caci antar pendukung Rizieq dan Ahok. Para pendukung ‘Aksi Bela Islam’ menuding mereka yang tidak setuju atau tidak mendukung aksi sebagai kurang Islam. Sementara para penolak ‘Aksi Bela Islam’ menganggap aksi massa yang memobilisasi ratusan ribu orang untuk turun ke jalan, alih-alih membela Islam, justru merendahkan Islam dan tak lebih sebagai buang-buang energi umat Islam untuk hal yang tidak substansial dan remeh temeh. Bahkan, lebih jauh, sebagian besar para pengkritik ‘Aksi Bela Islam’ menganggap aksi massa sebagai bukan metode perjuangan Islam. Kedua cara pandang inilah yang menurut hemat saya perlu untuk ditanggapi secara serius oleh kalangan gerakan progresif-demokratik di Indonesia, sekaligus sebagai ikhtiar mendudukkan persoalan ‘Aksi Bela Islam’ tak sekedar persoalan teologis, melainkan membacanya sebagai dinamika pertarungan maupun konvergensi kepentingan antar oligarki dalam lanskap politik elektoral.
Disinilah pentingnya pandangan alternatif. Selain memberi pilihan cara pandang politik yang tak sekedar hitam putih, sekaligus, kedepan, bisa menjadi pembelajaran bagi publik, khususnya kaum muslim agar tidak mudah terombang-ambing dalam pusaran kepentingan elit oligarki yang saling bertikai, yang setitikpun tidak ada relevansinya dengan hak-hak politik dan ekonomi umat Islam Indonesia.
Di sini, saya tidak akan mengulangi apa yang sudah dianalisis oleh eksponen Islam Progresif, pada editorial Islam Bergerak bertajuk Mendudukkan Kembali Prasangka Negatif atas Gerakan Islam (3/11/2016), yang ditulis oleh Azhar Irfansyah dan Muhammad Azka Fahriza, yang mendapat penajaman analisis oleh Iqra Anugrah dan Fathimah Fildzah Izzati dalam artikel berjudul Aksi Massa dalam Perspektif Islam Progresif (10/11/2016). Melainkan hanya berfokus pada dua hal. Pertama, memberi tanggapan terhadap kecenderungan berpikir Islam Moderat dan Islam Politik yang terlibat dalam pro dan kontra ‘Aksi Bela Islam’. Kedua, mengelaborasi relasi antar aktor, dan posisi Islam Politik maupun Islam Moderat dalam pusaran kepentingan politik oligarki. Dan selanjutnya menujukkan tugas gerakan progresif-demokratik dalam menyikapi bangkitnya sentimen dan fanatisme beragama.
***
Harus diakui, persoalan ‘Aksi Bela Islam’ tidaklah sesederhana yang kita duga. Bukan karena sulitnya melihat relasi antara aktor penggerak aksi dengan elit oligarki yang mempunyai kepentingan dibaliknya. Melainkan, karena makin kaburnya peta kelompok-kelompok Islam yang terlibat di dalam kegaduhan ini. Dengan ini tidak bisa kita, misalnya, menganggap para pendukung Aksi massa sebagai ‘Islam Fundamentalis Sunni’ karena dikomando oleh FPI. Karena buktinya, tidak sedikit yang terlibat dalam aksi adalah mereka yang biasa dikelompokkan ke dalam Islam MoDerat seperti NU. Bahkan, banyak kiai dan santri NU yang terlibat di dalamnya. Berada pada posisi ini, misalnya, Kiai Makruf Amin. Selain menjabat sebagai ketua MUI, beliau juga menjabat sebagai Rais Am PBNU yang merupakan pucuk tertinggi dalam struktur PBNU. Atau kiai Salahudin Wahid, pengasuh pesantren Tebuireng.
Bagaimana kita akan mengkategorikan kedua aktor tersebut? Apakah bisa disebut sebagai Islam fundamentalis karena turut menyerukan perjuangan ‘Aksi Bela Islam’ atau sebagai Islam Moderat karena keduanya orang penting di lingkungan NU, yang oleh banyak pengamat Islam Indonesia dianggap sebagai representasi Islam Moderat? Maka, pada kasus ‘Aksi Bela Islam’, kategori-kategori yang sudah mapan seperti fundamentalis, moderat, intoleran, toleran, demokratis dan anti demokrasi menjadi sangat kabur dan tidak lagi terang batasannya.
Meski demikian, untuk memudahkan cara baca, tidak bisa tidak, kita tetap perlu menggunakan kategori-kategori meski dengan pengertian sedikit berbeda, yakni memfungsikan kategori bukan sebagai parameter dalam menilai segala persoalan atau isu yang disikapi oleh seseorang maupun kelompok, melainkan hanya secara spesifik pada isu yang tengah kita bicarakan.
Jadi, kalau kita petakan secara sederhana posisi dominan antar kelompok Islam yang terlibat dalam pro dan kontra ‘Aksi Bela Islam’ setidaknya ada dua: Pertama, Islam Politik sebagai pendukung utama aksi. Mereka menganggap apa yang sedang diperjuangkannya sebagai kewajiban moral (moral obligation) yang harus ditanggung oleh semua kaum muslim. Bahkan, salah satu argumen para kiai dan santri yang berafiliasi pada NU, yang terlibat dalam ‘Aksi Bela Islam’ mendasarkan perjuangannya pada pernyataan pendiri NU, Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, yang kurang lebih menganjurkan umat Islam untuk turut membela agama Islam dan sekuat tenaga berusaha menangkis atau menolak orang yang menghina Al-Qur’an dan sifat-sifat Allah.[1]
Pernyataan tersebut akan menjadi sangat problematis jika dipahami secara harfiah. Seandainya dipahami secara substansial, maka ‘Aksi Bela Islam’ sebagaimana yang tengah berlangsung tak akan pernah terjadi. Bukankah kita sendiri, umat Islam, yang justru seringkali menghina Al-Qur’an karena tidak mampu mengamalkannya dalam praktik hidup sehari-hari secara total dan konsekuen?
Mungkin bagi kita, apa yang sedang diperjuangkan dalam ‘Aksi Bela Islam’ tidak lah substansial, bahkan berpotensi besar mereduksi ajaran Islam mengenai kemanusiaan yang bernilai universal. Namun kita juga tidak boleh naif dengan menganggap aksi semacam ini sesuatu yang homogen. Semua pihak yang terlibat di dalamnya membawa kepentingannya masing-masing dengan perekat utamanya adalah dugaan penistaan agama.
Kedua, Islam Moderat, sebagai penolak utama aksi. Penilaian Islam Moderat pada aspek teologis, dalam melihat ‘Aksi Bela Islam’ meskipun tepat, sayangnya masih terjebak pada penilaian esensialis. Melalui cara pandang semacam ini, Islam Moderat tidak bisa melepaskan diri dari prasangka yang dibangunnya sendiri yaitu bahwa setiap aksi massa, apalagi ketika diusung oleh pihak yang terlanjur dilabeli sebagai Islam fundamentalis, otomatis akan terjadi kerusuhan, atau berefek negatif secara sosial dan politik. Maka wajar jika kita dapati tanggapan mereka terhadap aksi massa cenderung alergi dan sinikal.
Ketika menjelang ‘Aksi Bela Islam’ gelombang pertama pada 4 November, kalangan Islam Moderat menganggap aksi massa berpotensi rusuh, juga memunculkan statemen yang melihat—dengan minus analisis—aksi 4 November (411) sebagai agenda teroris internasional ISIS di Indonesia yang harus diwaspadai karena berpotensi besar merongrong kedaulatan NKRI (dengan harga mati!).
Di luar dugaan, kenyataan menunjukkan sebaliknya. Aksi massa relatif berjalan secara damai. Bahkan Rizieq sendiri memberi pernyataan bahwa FPI tak ada kaitannya dengan teroris ISIS. Dengan ini prasangka Islam Moderat sama sekali tidak terbukti.
Tentu saja sulit mengaitkan FPI dengan ISIS yang secara teologis salafi-wahabi. Untuk lebih memudahkan memahami diferensiasi antara ormas semacam FPI dengan ISIS atau PKS, baik kiranya kita tunjukkan terlebih dahulu perbedaan pokok keduanya.
Berbeda dengan ISIS, FPI secara teologis dan kultural justru sama dengan NU. Sama-sama Ahlussunnah wal jamaah (sunni) dan kultur keberagamaan yang mengafirmasi tradisi. Bahkan pada batas tertentu, sama-sama dekat pada kultus individu pada figur-figur yang dianggap memiliki spiritualitas tinggi yang disebut wali. Percaya pada keramat orang yang dianggap dekat dengan Allah. Sebaliknya, ISIS dengan semangat pemurnian Islamnya, anti terhadap tradisi, sehingga menghancurkan semua situs-situs berharga dalam Islam yang dianggapnya sebagai biang kemusyrikan.
FPI tidak menyerukan otentisitas ajaran Islam dengan slogan kembali pada Qur’an dan Hadis. Sementara kaum salafis, seperti ISIS dan versi yang agak moderat seperti PKS, menyerukan kepada otentisitas berciri kembali kepada yang-lama dengan gembar-gembor: ‘kembali kepada sumber’ (retour aux sources) yang berarti kepada kitas suci dan Hadis Nabi. Ini tak jauh berbeda dengan slogan Martin Luther dalam anjurannya untuk reformasi agama: Sola Scriptura (hanya kitab suci saja). Inilah khas gerakan revivalisme Islam, mereka menganggap bahwa antidote dari kejumudan dan kekalahan umat Islam dari Barat adalah kembali kepada kesucian awal sebagaimana dipraktikkan Nabi dan sahabat. Tanpa disadari, cara pandang semacam ini, sebagaimana kritik Hasan Hanafi, menjadikan masa lalu sebagai obat duka lara umat Islam masa kini. FPI tidak menolak konsepsi negara bangsa, sementara salafis, termasuk di dalamnya ISIS, menolak konsep negara bangsa sebagai suatu taghut produk Barat yang harus diganti dengan hukum Allah. ‘La khukma Illallah’, tiada hukum selain hukum Tuhan, demikian slogan mereka.
Menuding ‘Aksi Bela Islam’ sebagai agenda besar terorisme, selain hanya kegenitan, juga sangat sulit dibuktikan kebenarannya. Meski tidak menutup kemungkinan aksi massa disusupi dan dimanfaatkan oleh manuver kelompok salafis-wahabi yang juga ingin mendapat keuntungan politik di dalamnya. Tudingan tersebut benar seandainya aksi massa dilakukan secara rahasia. Namun realitas dan kondisi faktual sendiri yang menjawabnya.
***
Apa yang luput dari perdebatan kedua kubu yang sedang pro dan kontra adalah saling klaim posisinya sebagai paling benar, sembari mengabaikan kenyataan kaitkelindan kepentingan antar elit oligarki yang mengendalikan konflik sesungguhnya. Artinya dalam ‘Aksi Bela Agama’ dan penolakannya, Islam Politik dan Islam Moderat tak memberi tawaran alternatif apa-apa, karena keduanya tak lain hanyalah bidak catur bagi kepentingan oligarki. Pihak Islam Moderat, karena membela Ahok, mereka menutup mata pada semua tindakan penggusuran terhadap kaum miskin kota yang dilakukan secara sewenang-wenang bahkan melanggar hukum oleh Ahok. Sementara Islam Politik, karena tidak memakai analisis kelas dalam melawan Ahok, mengakibatkannya tergelincir pada rasisme yang tidak manusiawi (bahkan tidak Islami).
Jika pesan Allah dalam Al-Qur’an dan pesan Nabi dalam hadis dimaknai secara substantif, tidak tekstualistik-skripturalistik, pengertian membela Islam sesungguhnya bukanlah pada seberapa ngotot kita bisa memenjarakan mereka yang tidak percaya pada firman Allah, melainkan pada perjuangan membela kaum yang dilemahkan baik secara struktural maupun kultural. Begitu pula, seandainya perjuangan meneguhkan Islam tak hanya sekedar merayakan toleransi (at-tasamuh), dan pluralitas, (at-ta‘addudiyah) minus redistribusi keadilan, maka Islam Moderat tak akan rabun melihat persoalan umat. Jadi, redistribusi keadilan inilah yang merupakan aktualisasi dari prinsip keseimbangan (at-tawazun) dan keadilan (al-‘adalah)
Sedemikian, kalau boleh jujur, pemicu (push factor) dari semua kegaduhan ini, sesungguhnya bukan terletak pada mulut Ahok, melainkan Undang-Undang No 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama dan pasal 156a dalam KUHP, yang dengan mudah bisa dipolitisasi sebagai alat untuk menjatuhkan seorang lawan politik. Padahal UU penyalahgunaan atau penodaan agama ini diterbitkan oleh pemerintah untuk menangani aliran-aliran kebatinan yang muncul pada masa Orde Baru (Orba). Artinya UU produk Orba ini dipakai sebagai legitimasi untuk melakukan penertiban ala militer pada semua hal yang dianggap berpotensi merongrong wibaba pemerintah dan kedaulatan negara.
Berdasarkan catatan Setara Institute, sejak diterbitkan sampai 1998 hanya ada 10 kasus penodaan agama, salah satunya adalah kasus dugaan pencemaran agama yang menyebabkan pemimpin redaksi Tabloid Monitor, Arswendo Atmowiloto, yang dihukum penjara selama lima tahun pada 1990. Namun, anehnya, pasca reformasi jumlah kasus yang menggunakan aturan penodaan agama justru meningkat menjadi sekitar 50 kasus. Ini dimungkinkan dengan menguatnya politisasi agama pasca reformasi.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana seharusnya sikap politik kalangan gerakan progresif demokratik memandang bangkitnya Islam Politik? Apakah mungkin gerakan progresif beraliansi dengan Islam Politik? Sebelum menjawabnya, kita mesti terlebih dahulu memahami watak Islam Politik itu sendiri.
Pada dasarnya Islam Politik berwatak reaksioner dan anti perubahan. Berbeda dengan perspektif gerakan progresif yang anti borjuasi dan anti imperialism, Islam Politik dengan watak reaksionernya, tak ubahnya bidak catur. Mereka menjadi kepanjangan tangan kepentingan politik maupun ekonomi kaum borjuasi komprador lokal, Nouveaux riches (orang kaya baru), yang merupakan anak kandung imperialisme global. Dengan demikian, Islam Politik dengan watak reaksioner dan rasisnya, alih-alih menghancurkan oligarki, justru mengekalkan dominasi oligarki (kelas borjuasi) terhadap kelas pekerja.
Hingga sekarang belum kita dengar ada faksi Islam Politik yang mengafirmasi perspektif anti imperialisme sebagaimana diajukan oleh kalangan gerakan progresif. Islam Politik tak pernah sungguh-sungguh anti borjuasi dan anti imperialisme meski dengan bahasa populisnya yang terdengar revolusioner. Lagi-lagi, karena wataknya yang reaksioner dan rasis membuat mereka menjadi anti Barat, bahkan anti Kristen dan Yahudi ketimbang anti borjuasi. Sehingga seringkali mereka harus bertanggung jawab terhadap sikap fanatisnya yang menyerang kelompok agama lainnya.
Islam Politik, tak hanya di Indonesia, tapi juga di belahan dunia Islam lainnya, mereka tak pernah menjadi bagian dari perjuangan pembebasan rakyat, bahkan seringkali terlibat melegitimasi undang-undang yang tidak berpihak pada rakyat. Ikhawanul Muslimin di parlemen Mesir, misalnya, sebagaimana ditunjukkan Samir Amin, memberi dukungan pada undang-undang yang berisi penguatan hak-hak kepemilikan pribadi yang merampas hak-hak petani penyakap yang merupakan mayoritas petani kecil di Mesir. Sementara di Indonesia sendiri, nyaris tak pernah kita dengar Islam Politik mengadvokasi petani yang tengah dirampas tanahnya; memperjuangkan upah layak bagi kelas pekerja; memobilisasi massa dalam kepentingan membela hak-hak warga miskin kota yang digusur secara sewenang-wenang, dll.
Meski demikian, setidaknya ada dua argumen yang diajukan beberapa kalangan gerakan progresif untuk mendorong gerakan sosial secara keseluruhan untuk berdialog dengan gerakan Islam Politik. Pertama, karena Islam Politik memiliki massa yang sangat banyak yang tidak bisa diabaikan atau diremehkan. Kedua, adanya kemungkinan mengimplan kesadaran kelas pada Islam Politik dan menariknya ke dalam blok politik alternatif yang mengusung politik kelas, mengingat sebagian besar massa Islam Politik merupakan kaum proletar dan lumpen proletar yang menjadi kekuatan revolusioner sesungguhnya.
Usulan tersebut tak sepenuhnya keliru dengan prasyarat bahwa kesadaran kelas bisa muncul di tubuh Islam Politik dan melucuti tendensi reaksioner, anti perubahan dan rasisnya. Jika tidak, maka tak jauh berbeda dengan, misalnya, memasukkan massa Nazi atau Fasisme ke dalam Front Kiri yang selama ini konsisten berada di wilayah konflik kelas. Kembali pada pertanyaan sebelumnya: apa mungkin Islam politik menjadi bagian dalam gerakan progresif atau sebaliknya, mungkinkah gerakan progresif menjadikan Islam Politik sebagai sekutu perjuangannya melawan penindasan? Iya, sejauh Islam Politik bisa menjadikan perspektif kelas sebagai basis perjuangannya.
Bagaimana dengan Islam Moderat? Islam Politik (baik yang sunni maupun salafi-wahabi) dan Islam Moderat, hakikatnya berada dalam kubangan yang sama: memperjuangkan politik identitas dan menjadi sekadar bidak kepentingan elit oligarki. Keduanya tak pernah mengusung perjuangan kelas dengan menyerukan menggulingkan tatanan lama yang dikooptasi oleh oligarki dengan membangun tatanan baru yang lebih berkeadilan, egaliter dan manusiawi. Keduanya justru mengekalkan posisi oligarki. Tak heran kedua kubu yang terlibat dalam perdebatan pro kontra ‘Aksi Bela Islam’ di permukaan, tak akan menawarkan alternatif apapun selain debat moral yang tidak menyentuh pokok persoalan yang dihadapi umat. Jadi, pendeknya, keduanya hanyalah bidak politik oligarki. Mereka saling beradu dalil dan beradu pukul sejatinya tengah berjuang membela kepentingan politik oligarki bukan membela agama, apalagi untuk nasib umat Islam Indonesia. Naudzubillah mindzalik***
Batam, 26 November 2016
——————
[1] Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, Mawa’idz, hal. 33.