PADA 30 Oktober 2015, puluhan ribu buruh melakukan aksi menolak Peraturan Pemerintah (PP) No. 78/2015 Tentang Pengupahan. PP 78/2015 dianggap merugikan buruh, karena penetapan upah dihitung berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional, tidak lagi menggunakan survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Aksi tanggal 30 Oktober 2015 tersebut berakhir dengan pembubaran paksa dan kriminalisasi terhadap 26 aktivis—23 aktivis buruh, 2 pengacara LBH Jakarta dan 1 aktivis mahasiswa.
Selasa, 30 Agustus 2016 lalu adalah sidang ke-20 dari kasus kriminalisasi tersebut. Sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat itu menghadirkan Budi Wardoyo dari Politik Rakyat sebagai saksi yang meringankan para aktivis. Dalam kesaksiannya, pria yang akrab dipanggil Yoyok itu menekankan tidak ada yang salah dalam aksi penolakan terhadap PP 78/2015. Aksi yang berlangsung malam hari bukan alasan untuk mempidanakan para aktivis. Ia juga menekankan, buruh harus tegas menentang rezim Jokowi-JK karena mereka telah merampas upah. Berikut ringkasan kesaksian Budi Wardoyo dalam persidangan sesat tersebut:
Hakim:
Saudara tinggal di kelurahan mana?
Yoyok:
Kelurahan mana ya, di Rawamangun, Jakarta Timur.
Hakim:
Ada KTPnya?
Yoyok:
KTP saya masih hilang, saya baru mengurusnya lagi, makanya saya pakai paspor. Saya dari Politik Rakyat.
Hakim:
Kenapa buruh melakukan unjuk rasa pada 30 Oktober 2015?
Yoyok:
Jadi latar belakangnya, waktu itu pemerintahan Jokowi-JK mengeluarkan paket-paket ekonomi. PP 78 yang ditolak semua serikat buruh adalah bagian dari paket ekonomi jilid IV. Paket I-IV secara kasat mata melindungi investor dan para pengusaha. Misalnya, paket I adalah untuk mendorong proyek-proyek strategis. Paket II untuk menarik investor sebanyak-banyaknya dengan cara debirokratisasi dan deregulasi. Paket III memberikan subsidi pada para pengusaha, misalnya, dengan BBM perusahaan dan energi untuk industri ditambah. Paket IV yang kemudian melahirkan PP 78, justru semakin menegaskan bahwa seluruh paket ekonomi saat itu memang untuk kepentingan segelintir pemodal, bukan untuk rakyat. Karena PP 78 yang merupakan bagian dari paket IV membatasi kenaikan upah berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Padahal, kenaikan upah sebelumnya sudah bisa 20 persen di beberapa kota. Tapi, dengan adanya PP 78, kenaikan hanya 10-11 persen.
Hakim:
Apa tujuannya konfederasi-konfederasi serikat itu melakukan aksi?
Yoyok:
Ketika pemerintahan Jokowi-JK mengeluarkan paket, itu juga diikuti dengan ancaman oleh pemerintah. Misalnya, Luhut sudah meneror rakyat, buruh, “kalau ada yang macam-macam, akan saya libas seperti Papua.” Tanggal 29 Oktober, Ahok juga mengeluarkan statement yang sama khusus di Jakarta dengan Peraturan Gubernur tentang pembatasan aksi unjuk rasa. Kapolri mengeluarkan surat edaran hate speech, kritik-kritik di medsos akan dikenakan hukum pidana.
Di buruh, sama dengan gerakan lain, menyadari paket ekonomi yang dilindungi paket represi, tidak bisa dibiarkan. Ini harus ditolak. Ada rangkaian upaya perlawanan. Aksi 30 Oktober hanya salah satu dari rangkaian menolak PP 78. Rangkaian besarnya sampai pemogokan nasional ke-III yang waktu itu diharapkan bisa membuat pemerintah mencabut PP 79, walaupun setelah mogok, PP 78 masih dijalankan.
Tujuan aksi tanggal 30 adalah pertama tentu saja menuntut pencabutan PP 78 tahun 2015. Kedua, meneguhkan sikap, sekalipun Luhut, Ahok, sudah melakukan teror terhadap protes rakyat, bagi buruh, ketika upah dirampas, mau tidak mau kita harus berdiri berhadap-hadapan dengan pemerintah.
Hakim:
Ada kelompok-kelompok lain yang melakukan aksi?
Yoyok:
Jadi, di luar teman-teman buruh, saya bukan dari organisasi buruh, tapi Politik Rakyat, ada teman-teman mahasiswa, seperti Hasim, dia dari Federasi Mahasiswa Kerakyatan (FMK), ada juga Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), yang salah satu mantan ketuanya menjadi terdakwa, juga Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), teman-teman pemuda dalam KPOP, Asosiasi Pelajar Indonesia, ada teman-teman dari Persatuan Perjuangan Indonesia, Perempuan Mahardhika, Pelangi Mahardhika, organisasi LGBT yang bersolidaritas dengan teman-teman buruh.
Hakim:
Ada sekitar berapa orang yang berencana turun aksi?
Yoyok:
Bisa sekitar 20 ribu orang yang turun unjuk rasa. Di atas 20 ribu.
Hakim:
Apakah ada Hasim di organisasi mahasiswa itu?
Yoyok:
Hasim adalah salah satu pimpinan FMK yang menjadi bagian dari penolak PP 78.
Hakim:
Hubungannya apa dengan Hasim?
Yoyok:
Setahu saya, FMK memang sudah lama terlibat dalam berbagai aksi advokasi yang berkaitan dengan persoalan-persoalan rakyat. Saya mengenal Hasim 2-3 tahun yang lalu. Saya pernah di Samarinda ketemu dia. Saat itu, momentum kenaikan harga BBM. Hasim bersama teman-teman buruh menolak kenaikan BBM. Dalam kasus penggusuran, di berbagai kota, FMK juga terlibat dalam advokasi warga yang menjadi korban penggusuran, termasuk kasus Rembang, juga perampasan tanah di Urut Sewu, Kebumen.
Dalam persoalan PP 78, teman-teman FMK sedari awal sudah melakukan berbagai kampanye penolakan paket ekonomi beserta turunannya, yang salah satunya adalah PP78. Teman-teman membuat berbagai posko di kampus untuk sosialisasi PP 78 dan menggalang dukungan untuk gerakan buruh yang berencana melakukan Mogok Nasional ke-III.
Hakim:
Apakah ini yang pertama kalinya?
Yoyok:
Tidak, ini sudah kesekian kali, termasuk di pemogokan nasional pertama dan kedua.
Hakim:
Apa peran dan tugas selama demo 30 Oktober 2015?
Yoyok:
Pada tanggal 30, rencananya aksi dipimpin kawan-kawan serikat buruh. Pada tanggal 30 Oktober, Hasim adalah bagian dari massa aksi, meski ia pimpinan.
Hakim:
Kapan Anda bertemu dengan Hasim?
Yoyok:
Setelah maghrib di depan Istana Negara. Setelah maghrib, saya dan Hasim berada dalam satu barisan yang sama. Kebetulan saya dan Hasim ada di dalam. Dia ada di sebelah saya, di seberang jalan.
Hakim:
Tadi Saudara bilang ada sekitar 20 ribu atau lebih massa aksi, apakah konsisten? Masih berjumlah 20 ribu?
Yoyok:
Saya pikir begitu. Dari latar belakangnya, kemarahan buruh sudah sangat tinggi. Bahkan sampai hari ini, teman-teman buruh masih sangat marah ketika pemerintah mengeluarkan PP 78. Sampai sore, massa masih membludak, karena saya tahu kawan-kawan sangat jengkel. Subsidi dihilangkan dan diberikan ke para pengusaha, justru upah buruh dipangkas.
Hakim:
Massa aksi memenuhi Merdeka Utara?
Yoyok:
Iya.
Hakim:
Apakah Anda melihat batasnya?
Yoyok:
Dari depan Istana sampai lampu merah, mendekati RRI.
Hakim:
Merdeka Utara batasnya?
Yoyok:
Sebelum MA dari arah Istana. Lalu lintas semuanya dikunci.
Kawan-kawan dari GBI-KAU tetap dalam keadaan solid dan tidak sedang melakukan tindakan provokasi. Unjuk rasa damai.
Hakim:
Seberapa sering anda melakukan aksi?
Yoyok:
Sudah lama sekali, sejak sebelum Soehato jatuh. Masih melakukan aksi juga karena belum berubah. Sering. Tapi saya ingin mengatakan, ada satu periode dimana aksi hampir selalu dilakukan di malam hari,yaitu di hampir sepanjang 2012. Dulu, kawan-kawan buruh menyebutnya sebagai aksi “Grebek Pabrik” atau “Gruduk Pabrik.” Itu adalah aksi mogok pabrik yang didukung teman-teman buruh dari pabrik lain. Aksi itu tidak mengenal waktu. Polresnya Pak Wahyu yang dimutasi di Jaksel. Aksi bisa dimulai pagi jam 6-7, bisa diakhiri jam 9 malam. Atau sebaliknya, aksi bisa dimulai jam 11 malam. Bisa juga subuh atau selesainya subuh. Yang saya ikuti, di PT 3M di Tambun, aksi dimulai dari pagi, kalau tidak salah selesai jam 3 subuh. Ribuan orang yang datang.
Hakim:
Apa demonya sama seperti 30 Oktober?
Yoyok:
Tentu saja. Ada yel-yel, mobil komando, dalam jumlah besar, meski tidak sebesar tanggal 30. Dalam jumlah 5 ribu, kadang 10 ribu.
Hakim:
Bagaimana respons aparat kepolisian?
Yoyok:
Polisi membantu mengamankan, tapi tidak membubarkan. Pak Wahyu pernah ketemu juga. Pak Wahyu mengatakan, karena banyak pelanggaran dilakukan perusahaan dan tampaknya pemerintah tidak berdaya, dalam hal ini Dinas Tenaga kerja, apa boleh buat, karena ini berkaitan dengan hak-hak normatif buruh, maka buruh harus katakanlah semacam memaksa pengusaha mematuhi undang-undang, karena banyak pengusaha melanggar peraturan dalam hubungan kerja, seperti kontrak terus menerus, kontrak terus sampai tua. Kedua, outsourcing. Karena menyadari ketidakberdayaan pemerintah, buruh menuntut sendiri. Dan itu berlangsung setiap hari dalam 6-7 bulan.. Demonstrasi siang, subuh.
Hakim:
Ada penangkapan tidak?
Yoyok:
Tidak ada penangkapan.
Hakim:
Berapa kali aksi pada malam hari ditangkap polisi?
Yoyok:
Sepengalaman saya, kecuali tanggal 30, saya tidak pernah mendapatkan aksi ditangkap. Kalau pengalaman saya, malam, kalau dibubarkan pernah, tapi tidak sampai penangkapan. Makanya saya heran kenapa teman-teman ada di sini? Seperti aksi tahun 2012, ada gas air mata, bentrok, tapi berikutnya sudah, selesai. Setelah kawan-kawan bubar, ada yang diinterogasi, tapi selesai, tidak ada yang dibawa ke pengadilan. Bahkan saat aksi di DPR bersama teman-teman mahasiswa, bahkan sempat ada air keras, tapi tidak ada yang dikriminalisasi.
Hakim:
Kembali ke demo 30 Oktober 2015, saudara mendengar ada negosiasi soal waktu, Anda ada di barisan depan?
Yoyok:
Informasi yang saya dapat, karena saya tidak terlibat dalam negosiasi, ada kesepakatan menambah waktu.
Hakim:
Apa alasan massa demonstrasi masih bertahan?
Yoyok:
Selain kebebasan berpendapat dilindungi UU, teman-teman yang mengikuti aksi tanggal 30 sadar betul bahwa mereka dilindungi Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Sekitar jam 4, setahu saya, ada perwakilan pemerintah, Hanif Dhakiri, Mensesneg Pratikno waktu itu dan Deputi Kantor Staf Presiden bersedia menemui perwakilan buruh. Tapi dalam pertemuan tersebut, pemerintah justru menegaskan tidak akan mencabut atau membatalkan PP 78, sehingga kawan-kawan keluar dan aksi dilanjutkan, bertahan, untuk memberikan pesan pada pemerintah bahwa PP 78/2015 yang merampas upah buruh, merampok kesejahteraan buruh, tidak bisa dipertahankan pemerintah. PP itu keputusan yang blunder, salah. Aksi sangat tertib, orang hanya berorasi, berteriak, bernyanyi. Barisan sangat rapi.
Hakim:
Ada pengrusakan, lempar batu, pemukulan ke aparat?
Yoyok:
Tidak ada sama sekali. Bahkan ketika teman-teman digebuki gerombolan liar TBC yang belakangan kita ketahui ternyata polisi, tidak ada perlawanan dari teman-teman buruh.***