SAYA akan mengawali pemaparan saya tentang agama dan ideologi ini dengan cerita tentang dua peristiwa. Yang pertama, reaksi seorang teman, mahasiswa teologi, ketika mendengar cerita saya tentang kiprah Gereja Komunitas Anugerah Reformed Baptist Salemba, gereja yang akhir-akhir ini semakin eksplisit dalam mengekspresikan kekiri-kiriannya. Komentarnya menggelitik saya. Dia berkata, “Aku bingung. Kiri, sosialisme gitu kan bagiku sih ideologi ya, bukan agama.” Yang kedua, komentar seorang pendeta dalam sebuah diskusi pembahasan Alkitab tentang akhir zaman. Dalam kesempatan tersebut ada seorang jemaat yang menanyakan apakah fenomena ISIS dan Donald Trump itu adalah pertanda bahwa kiamat akan terjadi lewat perang agama, setelah perang ideologi berakhir? Lagi-lagi saya merasa tergelitik ketika pendeta tersebut mengatakan bahwa ISIS, Al Qaeda, itu kan sebenarnya ideologi ya, bukan agama. Karena, klaim beliau, tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan atau pembunuhan kepada sesama manusia.
Kedua reaksi ini ikut mengukuhkan dugaan saya tentang berseliwerannya asumsi-asumsi berikut tentang agama dan ideologi:
- Agama itu tidak ada urusannya dengan carut-marut perpolitikan dan urusan penataan masyarakat (bukankah kita kerap mendengar pula nasehat seperti, “Jangan mencampuradukkan urusan agama dengan politik?”);
- Agama itu murni bebas dari cacat pengajaran (karena semuanya diyakini berasal dari atas?);
- Jika agama dalam praktik menyejarahnya ‘terjebak’ dalam kedua hal tersebut, maka yang mengambil peran dalam salah langkah tersebut adalah ideologi, bukan agama;
- Ada garis pembatas yang tegas yang bisa ditarik untuk memisahkan mana yang agama dan mana yang ideologi, atau dengan kata lain, agama itu bisa murni lepas dari ideologi.
Dalam artikel ini, saya hendak menggoyang asumsi-asumsi tersebut dan berargumen bahwa agama, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, sadar atau tidak sadar, telah dan akan selalu menempati posisi tertentu dalam (bukan di luar) kontestasi ideologi, dan karenanya juga kontestasi politik atau kekuasaan. Contoh-contoh yang representatif akan saya tarik dari tradisi keagamaan saya, tradisi Kristen. Lalu di bagian terakhir, saya akan merefleksikan beberapa saran praktis sehubungan dengan klaim ini.
Agama sebagai Perangkat Ideologis
Jika kita mempresentasikan agama sebagai penyaji nilai-nilai, penyedia rujukan paham dan ajaran yang menolong seseorang untuk mengorientasikan dirinya di tengah dunia dan kehidupan (yang saya yakin tidak akan ditolak oleh kedua narasumber saya di atas), maka agama bisa dikategorikan sebagai perangkat ideologis, yaitu suatu instrumen yang melaluinya nilai-nilai, ideologi, disebarkan dan ditanamkan. Lewat agama, kita diarahkan untuk mengikuti pembedaan tertentu tentang yang baik dengan yang buruk, yang benar dengan yang salah, yang mulia atau terpuji dengan yang tercela atau terkutuk. Membangun orientasi hidup seperti ini adalah fungsi ideologi, dan perangkat ideologis lain, seperti sekolah, keluarga, media, juga menjalankannya dengan keunikan cara kerja masing-masing. Misalnya, di sekolah, sejak tingkat dasar kita sudah ‘diindoktrinasi’ dengan soal isian, “Rajin menabung pangkal …,” yang harus kita jawab dengan kata “kaya.” Jika kita menjawabnya dengan kata “tamak,” misalnya, tentu jawaban itu akan dipersalahkan dan nilai kita menjadi kurang sempurna. Dalam keluarga, mungkin sejak kecil kita sudah dibombardir dengan demonisasi atau stigmatisasi kelompok-kelompok tertentu (di asrama seminari tempat saya pernah tinggal, ada seorang teman yang pernah bercerita bahwa dia sempat merasa luar biasa ketakutan ketika ditempatkan sekamar dengan teman yang berasal dari suku tertentu. Setelah beberapa saat tinggal bersama barulah dia menyadari kalau selama ini ada ‘selubung ideologis’ yang dipasangkan di pikirannya). Media, misalnya lewat film-film atau komik-komik tentang superhero, bisa memberi pesan bahwa prasyarat bagi perdamaian dan keamanan masyarakat bukanlah kolektivitas dan solidaritas umat manusia, melainkan keberadaan sosok adikuasa yang baik, yang kepadanya umat manusia bisa bersandar. Lalu agama, mungkin mendidik seseorang sedari kecil supaya jangan mencuri milik sesama, tetapi dengan demikian secara implisit mengabsahkan ide tentang kepemilikan pribadi (private property).
Dari contoh-contoh ini kita bisa melihat bahwa selain perangkat-perangkat ideologis tersebut memang menjalankan fungsinya sebagai propagandis ideologi, nilai-nilai yang ia sebarkan tidak pernah netral sifatnya di hadapan pertarungan kekuasaan. Ini berlaku pula, bahkan, bagi yang mengaku berintensi netral. Misalnya, ide populer tentang kekristenan sebagai penunjuk jalan keselamatan di sorga bagi manusia yang percaya kepada Yesus sebagai Juruselamat pribadi. Seseorang bisa mengaku bahwa kepercayaan ini netral sifatnya, sama sekali tidak ada urusannya dengan carut-marut dunia politik, konflik ideologi, atau pertentangan kelas. Tetapi bahkan ideologi yang demikian juga tidak bisa dikategorikan netral, karena ia ikut berkontribusi melanggengkan kekuasaan yang ada. Jika semua bentuk pemerintahan dan sistem ekonomi dianggap sama problematisnya, karena inti masalahnya adalah keberdosaan manusia, dan solusinya (untuk dunia akhirat, bukan di dunia sekarang!) hanyalah percaya kepada Yesus sebagai Juruselamat, maka percumalah segala upaya reformis hingga revolusioner yang coba dilakukan oleh manusia di bumi ini. Dan jika imajinasi tentang kemungkinan perubahan dunia sudah ditutup rapat-rapat, siapa kira-kira yang paling diuntungkan?
Kekristenan di tengah Kontestasi Ideologi dan Kekuasaan
Kiranya kita bisa melihat sekarang bahwa ide-ide teologis, religius, tidak bisa dipisahkan total dari kategori ideologi, dan selalu menempati posisi tertentu dalam kontestasi ideologis dan kekuasaan. Meskipun suatu ide teologis diklaim berasal dari surga, ia tidak akan pernah bisa terisolasi dari implikasi sosial, karena ia diterapkan di bumi, bukan di surga.
Tradisi iman Kristen sebenarnya secara implisit sangat mengakui hal ini. Dalam Alkitab, Allah memperkenalkan diri sebagai Allah yang spesifik, bukan sembarang allah. Ia menolak untuk dikategorikan dalam ide umum tentang yang ilahi. Dengan kata lain, Ia sedari awal sadar tentang posisi spesifiknya dalam kontestasi ideologi.
Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan.” (Kel. 20:1)
Sementara allah-allah lain di zaman-Nya berfungsi sebagai garda belakang (backing-an) raja-raja atau yang memperanakkan penguasa, Allah yang satu ini malah memilih untuk beraliansi dengan bangsa budak. Ia adalah Allah yang mengkhianati kelas-Nya.[1] Bukan untuk meromantiskan penderitaan yang mereka alami atau mengangkat mereka terbang dari bumi penuh duka menuju surga serba bahagia, tetapi membawa mereka keluar dari negeri perbudakan untuk mengeksekusi eksperimen blueprint masyarakat kolektif-egaliternya, yaitu Taurat. Dengan kata lain, Ia muncul dalam situasi sejarah tertentu, di tengah penderitaan sekelompok orang tertindas dalam sejarah, menginisiasi sebuah proyek pembebasan dalam sejarah, berkonfrontasi dengan sebuah kekuatan dalam sejarah, dan menitipkan peer sejarah bagi umat sekutu-Nya.
Keberhasilan eksperimen sosial ini tidak hanya bergantung pada Allah yang menginisiasinya. Ia juga bergantung pada umat yang mengerjakannya, dan mungkin juga situasi eksternal yang melingkunginya (kerajaan Asyur, Babel, dll.). Jauh sebelum Lev Davidovich Bronstein alias Leon Trotsky lahir, bangsa Israel sudah mengalami sulitnya membangun sosialisme dalam satu negeri. Sejarah menunjukkan bahwa eksperimen “Republik Taurat” ini berakhir dengan kegagalan. Meski demikian, cita-cita yang diusungnya tidaklah lenyap. Lewat nabi-nabi, harapan akan kebangkitannya terus diekspresikan. Dan dalam situasi sejarah yang spesifik, di tengah imperialisme Romawi, lagi-lagi ia muncul dalam pewartaan Kerajaan Allah tukang kayu dari Nazaret (bukan Solo). Doa Bapa Kami yang diajarkan-Nya menunjukkan intensi dan orientasi yang senada dengan perkenalan diri Allah Israel di atas.
Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu, di bumi seperti di sorga (Mat. 6:10)
Datanglah Kerajaan-Mu, ya TUHAN Allah Israel yang membebaskan bangsa budak ini dari tanah Mesir; jadilah kehendak-Mu, yaitu masyarakat kolektif egaliter seperti yang diupayakan bangsa Israel di masa lalu; dan biarlah itu terjadi di bumi, dalam sejarah, bukan di surga! Dan jika intensi spesifik Allah Israel di masa Perjanjian Lama mau tidak mau membuat-Nya berkonfrontasi dengan Firaun, maka pewartaan Kerajaan cinta kasih di bumi ini mau tidak mau memperhadapkan Yesus pada Kerajaan yang berkuasa di lokasinya pada waktu itu, yaitu Kerajaan Romawi. Tidak heran jika Ia berakhir di salib, menerima hukuman yang disiapkan bagi para pemberontak.
Tetapi sama seperti proyek “Republik Taurat” tidak hanya bergantung pada kerja Allah Israel, kelangsungan cita-cita Kerajaan Allah tidak bergantung pada kehadiran Yesus dalam sejarah. Justru, setelah kematian-Nya, barulah muncul kebangkitan kolektivitas berupa komune-komune di pusat-pusat imperium Romawi.[2] Inilah gereja mula-mula, yang degenerasinya mungkin terekspresikan dengan baik oleh Ernst Bloch dalam komentarnya tentang gereja kontemporer:
It bristles at see-through blouses, but not at slums in which naked children starve, and, above all, not at the relations that hold three-quarters of mankind in misery. It damns desperate girls who abort a foetus, but it sanctifies war, which aborts millions. It has nationalized its God, nationalized him into an ecclesiastical organization, and it has inherited the Roman Empire under the mask of the crucified.[3]
Penutup dan Saran
Diniatkan atau tidak, agama telah dan akan selalu dengan sendirinya terlibat dalam percaturan ideologi dan kekuasaan. Berbekal klaim tersebut, saya hendak memberikan beberapa refleksi dan saran:
- Pertanggungjawaban agama itu harus menyertakan dimensi publik (bukan cuma dimensi vertikal, alias pertanggungjawaban pada “Yang di atas;” atau sekadar menyoal koherensi internal sistem dogma).
- Agama jangan mengisolasi diri dari wacana ideologi. Kritik ideologi hendaknya dijadikan bagian integral dari proses pengembangan pemikiran keagamaan.
- Agama jangan “sok suci” dan berpretensi bahwa dirinya bisa murni lepas dari pertarungan kekuasaan. Agama telah dan akan selalu dengan sendirinya memainkan peranan dalam pergulatan ini.
- Lebih praktisnya, mungkin kita yang beragama bisa mulai mempertanyakan ajaran-ajaran, nilai, dan kebiasaan yang ditanamkan lewat institusi agama tempat kita bernaung atau dididik. Kira-kira siapa yang diuntungkan atau dirugikan ketika hal-hal ini dipercaya dan dilestarikan?[4]***
Penulis adalah alumnus Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang
Tulisan ini adalah salah satu materi pemantik diskusi untuk acara buka bersama Diskusi Rabuan, dengan tema “Agama dan Artefak Kebudayaan Kita (bagian dari tema besar “Mengungkap Tabir Keseharian Kita: Kajian Ideologi),” yang diselenggarakan oleh Gereja Komunitas Anugerah Reformed Baptist Salemba, pada tanggal 22 Juni 2016.
————-
[1] Pembacaan alur cerita Alkitab berikut banyak terinspirasi oleh buku Dick Boer, Deliverance from Slavery: Attempting a Biblical Theology in the Service of Liberation (Leiden: Brill, 2016).
[2] Bandingkan Suar Budaya, “Kematian Yesus dan Bangkitnya Kolektif Emansipasi,” https://indoprogress.com/2016/03/kematian-yesus-dan-bangkitnya-kolektif-emansipasi/.
[3] Ernst Bloch, Natural Law and Human Dignity (Cambridge: MIT Press, 1986), 278.
[4] Suatu kali seorang pengusaha pernah berpesan kepada saya supaya kepada para karyawan disampaikan khotbah-khotbah yang mengajarkan pada mereka supaya bisa bersyukur dalam segala keadaan dan rajin dalam menjalankan pekerjaannya. Kurang lebih ujarnya demikian, “Jika kita tidak punya pekerjaan tentu kita akan berdoa mohon Tuhan memberikan pekerjaan. Lalu Tuhan memberikan kepada kita sebuah pekerjaan. Jika kemudian kita tidak menjalaninya secara sungguh-sungguh dan terlalu banyak mengeluh, apalagi protes (demo?), bukankah itu namanya dosa?” Saya tahu ada banyak perusahaan yang suka mengadakan kebaktian di pabrik atau di kantor untuk karyawan-karyawannya dan mengundang pengkhotbah-pengkhotbah untuk memimpinnya dengan imbalan yang tergolong besar. Kira-kira apa isi khotbah-khotbah dalam kebaktian-kebaktian semacam ini?