Rekonsiliasi Roh ala Mbah Kelik di Plumbon, Semarang

Print Friendly, PDF & Email

SETENGAH abad sudah, setelah kelompok kiri digebuk tanpa ampun. Setelah itu, bukan hanya kiri, tapi juga seluruh aspek kehidupan berubah, menjadi satu dalam tafsir tunggal Orba. Masalah ini, yang justru merupakan akar legitimasi rezim rusak Orba, tak kunjung diselesaikan dan kini agaknya, hendak dilupakan. Ada sudah beberapa upaya untuk melampaui kekejaman-kekejaman itu, seperti prakarsa IPT 65 yang barusan berlalu di Den Haag; kebijakan progresif Walikota Palu, juga beberapa gugatan dari para korban dan tentu saja, dari Komnas HAM. Dan tentu saja yang terakhir, “Simposium Nasional Membedah Tragedi 65, Pendekatan Kesejarahan” pada April lalu. Untuk memperingati akhir tahun dari setengah abad pembantaian massal, tulisan ini akan menceritakan pengalaman pemasangan nisan yang terjadi di Plumbon, sebuah desa kecil di Semarang.

***

Permasalahan rekonsiliasi tidak hanya menyangkut kepada mereka yang hidup, melainkan juga kepada kuburan tanpa nama yang tersebar di berbagai tempat, yang merupakan lokasi eksekusi terhadap para tertuduh komunis. Bagi keluarga korban, terdapat perbedaan antara kematian dan penghilangan, perihal ini juga tampak dalam upaya rekonsiliasi di Chile. Untuk keluarga korban penghilangan paksa, mereka berada dalam ketidakpastian. Pada satu sisi mereka menunggu keluarganya untuk pulang, dan pada sisi yang lain penantian tersebut dirasa terlampau lama dan seringkali sia-sia. Mereka yang hilang, adalah seseorang dalam garis batas ambigu antara hidup dan mati. Mereka, yang karena penderitaan begitu dalam tidak dapat lagi berbicara, namun tidak juga mati. Dalam konteks penghilangan paksa ini, kuburan massal tersebut dapat digunakan sebagai saksi yang berbicara, yang tadinya berada dalam garis batas antara hidup dan mati, menjadi bukti tentang kekejaman pada masa lalu.

Kuburan tanpa nama, yang diselingi dengan banyak mitos adalah tempat yang aneh, karena ketidakpastian daripada isi maupun kisahnya. Tapi lain ceritanya apabila yang dikuburkan adalah pesakitan yang dituduh melakukan pemberontakan. Rasa takut, haru, dan heroisme bercampur menjadi satu. Menurut filsuf Giogio Agamben, kekejaman yang ditujukan terhadap para homo sacer (mereka yang terlarang) ini adalah sebuah pameran akan pornografi kengerian, kengerian yang sekaligus menumbuhkan rasa takut dan rasa ingin tahu. Kuburan tidak bernama tersebut kemudian menjadi suatu situs dimana wacana bersaing, antara sejarah resmi orde baru, dan kisah personal para keluarga korban. Rezim Soeharto boleh saja telah tumbang, dan Soeharto telah meninggal, akan tetapi wacana sejarah tunggalnya belum mati, ketakutan terhadap komunisme dan aksi kekerasan terhadapnya masih sering berlangsung.

Astana Giribangun, kompleks pemakaman Soeharto, adalah sebuah fasilitas pemakaman komplit di tengah perbukitan yang rindang. Berbanding terbalik, momen peneguhan kedaulatan dan homo sacer, mereka yang dibunuh dan impunitas atasnya, menyisakan kuburan-kuburan tidak bernama di tengah hutan yang sunyi maupun sungai-sungai.

Setelah reformasi, terdapat beberapa upaya untuk merawat kuburan massal. Yang pertama adalah eksvakasi kuburan massal di Hutan Kaliwiro Wonosobo. Eksvakasi tersebut adalah inisiasi dari YPKP dengan ketua Ibu Sulami, pada tahun 2000. Acara itu berjalan lancar, antara lain karena kedekatan politis antara YPKP dan PDI-P, serta kerjasama dengan Pemuda NU.[1] Peran serta para pemuda NU di Wonosobo adalah pengaruh dari semangat rekonsiliasi yang diutarakan oleh Gus Dur.

Penemuan kuburan massal berawal dari kesaksian penjaga penjara yang menyebutkan adanya makam di Wonosobo. Kesaksian lain adalah dari penggali kuburan dan dari keluarga korban.[2] Eksvakasi berjalan dengan lancar, para pemuda Ansor membantu tanpa mengenakan seragam, baik dalam hal penanganan maupun acara lainya. Dari eksvakasi, terdapat 26 kerangka, dan dihadiri baik oleh warga, wartawan, maupun keluarga. Dari hasil forensik, dr. Handoko dari UI menyatakan para korban dibunuh dengan menggunakan senjata militer. Pada awalnya, hasil forensik tersebut selain untuk mengidentifikasi korban juga hendak dipergunakan sebagai bukti adanya pembunuhan massal, namun akhirnya hasil forensik, tanpa dukungan dari Komnas HAM, tidak dapat digunakan sebagai alat bukti tindak pidana.[3]

Sempat terkatung-katung di rumah sakit, kerangka yang diambil dari Kaliwiru akan dipindahkan ke Kaloran, hibah dari seorang mantan tahanan politik 1965. Maret 2001, pada saat pemakaman ulang hendak dilangsungkan, rombongan dihadang oleh massa dariForum Ukhuwah Islamiyah Kaloran (FUIK). Sembari membawa senjata tajam, mereka mengancam dan menolak pemakaman di Kaloran. Mereka mengambil beberapa kerangka, dan membakarnya. Pak J, salah seorang keluarga yang berhasil menyelamatkan kerangka yang hendak dibakar, menceritakan sebagai berikut:

Situasi waktu itu sangat mengancam mas, mobil depan berhasil lolos tapi mobil saya tidak. Saya satu rombongan dengan mbah-mbah tua. Waktu dicegat kami ditodong senjata tajam, sementara mbah-mbah tua perempuan yang satu rombongan dengan saya sempat dikamplengi sembari dikata-katai. Waktu kondisi kacau itu, gerombolan preman itu mengambil beberapa mayat dan disembunyikan. Saya yang sadar kalau mayat kakak saya hilang, kerangka nomor [x], langsung mencari, ternyata disembunyikan di mobil warna merah. Saya ambil, dan waktu itu datang preman besar berambut gondrong mau menyabetkan golok, saya pasrah dan bilang “assalamu’alaikum!” dan ndak tahu kenapa dia tidak jadi nyabet. Kerangka kakak saya kemudian diamankan, namun tidak kerangka lain yang belum sempat diselamatkan, waktu itu, keselamatan kami yang terancam membuat tak bisa begitu saja fokus pada kerangka. Saya beruntung.[4]

Pengalaman Wonosobo memberikan banyak arti untuk upaya serupa di Semarang. Penemuan kuburan massal tersebut pada awalnya telah dilakukan dalam misi YPKP, akan tetapi baru muncul ke permukaan ketika penelitian dari salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Semarang memaparkan hasil temuanya dalam beberapa kali diskusi. Pertama adalah diskusi dalam Pekan Peringatan Munir, dan dilanjutkan dalam beberapa forum diskusi lain. Keterangan yang diberikan pada saat itu adalah, adanya kuburan massal pembunuhan tertuduh komunis di Plumbon, Ngaliyan.

Menanggapi temuan tersebut, dibentuklah satu kelompok kecil: Perkumpulan Masyarkat Semarang untuk Hak Asasi Manusia (PMS-HAM). Kelompok ini bersifat cair dan terdiri dari berbagai latar belakang. Kelompok mulai melakukan investigasi awal, mendatangi makam dan berhubungan dengan warga. Kuburan Plumbon terletak di Kecamatan Ngaliyan, Semarang, yang dahulu merupakan bagian dari Kabupaten Kendal. Lokasi kuburan terletak di tengah hutan jati yang dimiliki oleh Perhutani, dengan adanya dua gundukan batu sebagai penanda. Korban diperkirakan adalah warga Kendal, dan selama kegiatan, kelompok melibatkan pula para pegiat HAM di Kendal.

Pertemuan awal kepada warga, kelompok ditanya mengenai tujuanya, dan ketika diutarakan hendak memasang nisan dan pemakaman ulang, reaksi warga mendapatkan tanggapan yang positif dari warga. Salah satu tokoh masyarakat, Mbah Kelik, yang nantinya akan menjadi pelopor penggerak warga dalam gerakan penisanan, bersama dengan masyarakat lain menyetujui ide tersebut. Sedari awal, Mbah Kelik telah mengajukan gagasan mengenai pentingnya rekonsiliasi, tentang mengakhiri kekejaman masa lalu, dan bahwa hal tersebut tidak hanya ditujukan kepada mereka yang masih hidup, namun juga terhadap para roh, dia menyebutnya sebagai rekonsiliasi roh.

Selama ini, kuburan massal di Plumbon tersebut terkenal sebagai tempat mencari peruntungan untuk memasang nomor togel. Awalnya warga mengatakan tidak ada orang yang berkunjung ke makam untuk berziarah, namun belakangan selama proses gerakan, mereka mengatakan terkadang beberapa orang keluarga korban datang berziarah. Terdapat beberapa variasi mengenai perkiraan jumlah korban, antara 12-40 orang, hasil investigasi kemudian menunjukkan jumlah 12-24 orang.

Pada beberapa pertemuan selanjutnya, kelompok bertemu dengan dua dari empat penggali kubur yang masih hidup. Dari keduanya, disusun cerita sebagai berikut:

Malam hari, sekitar pukul 21.00 datang truk dan jip. Sebelum kedatangan mereka, warga telah terlebih dahulu mendapat pengumuman untuk tetap tinggal di rumah. Hanya orang tertentu yang boleh meninggalkan lokasi. Mbah S adalah pengecualian karena dirinya adalah menantu dari pamong desa sehingga harus menemani mertuanya dalam menyambut kedatangan tentara. Jip dan truk tersebut mengangkut orang berbaju tentara baret merah dan –kira-kira- 24 orang yang saling terikat satu sama lain. Mereka turun dari kendaraan dan digiring menuju hutan jati, diperintahkan menggali lubang dan ditembak. Eksekusi berlangsung tengah malam di tengah hujan lebat dan baru selesai pada pukul 02.00. Selama rentang waktu tersebut warga mendengar bunyi rentetan senjata. Kisah yang cukup terkenal adalah cerita mengenai salah satu korban yang dipercaya adalah perempuan sakti, Mutiah, yang tidak bisa mati sehingga perlu untuk dihilangkan dulu kesaktianya. Karena eksekusi berlangsung malam hari dan hujan deras, tidak semua tubuh yang dieksekusi masuk secara sempurna. Pagi hari, pamong desa memerintahkan kepada M, S, dan dua orang lainya untuk merapikan jenazah-jenazah tersebut. S melihat masih ada bagian tubuh yang tidak masuk dalam lubang, juga ceceran daging yang dikerumumi semut. Dilain pihak, M yang menyaksikan hal tersebut tidak kuat dan ambruk beberapa kali sebelum akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah. Setelah jenazah dirapikan kuburan kemudian diberi penanda berupa dua pohon jarak sebagai pembeda di antara pohon jati lainya. Awalnya terdapat tiga liang, namun berdasarkan kesaksian hanya dua dari tiga yang berisi kerangka mayat.

Berdasarkan dari hasil investigasi selanjutnya, ditemukan sejumlah nama-nama yang diduga merupakan korban. Nama tersebut diperoleh dari kesaksian keluarga korban yang mengetahui adanya eksekusi. November 2014, Hasil temuan sementara tersebut kemudian menjadi bahan laporan dan permohonan rekomendasi kepada Komnas HAM dengan tembusan KontraS, Imparsial, dan Elsam.[5] Lamanya tanggapan, kawan-kawan selaku mewakili PMS-HAM mengunjungi kantor Komnas HAM dan diterima oleh Roychatul Aswidah, namun setelah penyampaian, masih belum ada tanggapan. Hingga Februari 2015, akhirnya diputuskan untuk tidak melibatkan Komnas HAM. Tanpa Komnas HAM, maka kelompok tidak dapat melakukan pembongkaran seperti yang dilakukan di Wonosobo, yang apabila dilakukan menggugurkan kuburan sebagai alat bukti. Kegiatan yang dipilih adalah penisanan ulang.

 

plumbon

 

Untuk mengukur tanggapan masyarakat luas, kelompok melakukan beberapa kegiatan sampingan. Pertama adalah pemutaran film The Look of Silence (Senyap), yang menceritakan Adi Rukun, penyintas 1965. Di beberapa kota seperti Yogyakarta dan Malang, pemutaran film tersebut dibubarkan paksa. Di Semarang, film diputar di sejumlah tempat, dan kesuksesan terbesar adalah pemutaran Senyap di ruang terbuka di Taman Menteri Supeno, yang terletak di tengah kota. Kegiatan lain adalah menyelenggarakan diskusi publik seputar Kuburan Plumbon di Balaikota Semarang. Diskusi tersebut menghadirkan Mbah Kelik (warga), Romo Budi (keuskupan) Prof. Warsino (pakar sejarah), Tedi Kholiludin (NU) dan perwakilan PMS-HAM. Selain beberapa upaya terbuka, dilakukan pula diskusi-diskusi dengan para mahasiswa. Hal ini penting berkaca dari pengalaman kerusuhan dalam penanganan kuburan massal di Wonosobo dan mengingat di Kota Semarang sendiri sempat terjadi ancaman pembubaran diskusi Tan Malaka yang mendatangkan sejarawam Harry Poeze oleh Front Pembela Islam (FPI) dan Pemuda Pancasila (PP).

Pada bulan yang sama, PMS-HAM mengadakan pertemuan dengan Pemerintahan Kota Semarang. Bersama PMS-HAM adalah Camat Ngaliyan dan Lurah Wonosari dan diterima oleh Sekertaris Daerah Adi Tri Hananto dan mendapat sambutan positif. Mengingat lokasi kuburan terletak di tanah hutan produktif milik Perhutani, langkah selanjutnya adalah menyurati Perhutani Kendal, dan setelah melakukan review, Mei 2015 diputuskan bahwa kuburan tersebut boleh dijadikan kuburan yang layak dan kedepannya boleh dimakamkan ulang setelah mendapatkan izin negara, dengan catatan tidak melakukan penebangan pohon.

Gagasan yang diusung dari penisanan ulang adalah perihal kebersamaan dengan melibatkan sebanyak mungkin elemen masyarakat. Untuk melakukan hal tersebut, penisanan dilakukan dengan tiga cara: secara Islam, secara Katolik, dan secara Kejawen. Kegiatan ini juga melibatkan unsur mahasiswa dengan beragam latar belakang, antara lain: GMNI DPC Semarang, PMII Undip, IMM Ibnu Sina Undip, Exsara, RBSS, Komunitas Payung, dan lain sebagainya. Setelah sosialisasi sepanjang bulan September 2014-Mei 2015, beberapa hari sebelum acara dimulai kepanitaan mahasiswa dibentuk. Warga sendiri menyambut dengan antusias, dalam persiapannya berkoordinasi dan secara gotong royong bersama dengan mahasiswa menyiapkan perlengkapan acara. Prioritas utama adalah pelayanan dan persiapan terburuk pengamanan para eks-tapol yang telah berusia lanjut. Tajuk utama dari acara ini mengadopsi ide dari Mbah Kelik: Rekonsiliasi Roh, bahwa kedamaian bukan hanya untuk mereka yang hidup, namun juga kepada mereka yang telah tiada.

Acara berlangsung lancar, dengan dihadiri oleh warga, Pemkot, Camat, Lurah, Perhutani, Ketua Banser Jawa Tengah, mahasiswa, jurnalis, kawan pegiat HAM dari Kendal dan lain sebagainya. Tiap-tiap perwakilan tersebut turut memberikan testimoni. Isu-isu ancaman akan adanya kekerasan yang sempat muncul sebelumnya tidak terjadi. Upacara penisanan diawali dengan sambutan-sambutan, antara lain dari Kesbangpol mewakili Pemkot Semarang, Camat, Lurah, dan kemudian doa bersama. Sembari menaiki bukit menuju kuburan, shalawatan didengungkan, diiringi oleh saxophone dari Romo Aloysius Budi. Nuansa haru tidak tertahankan, baik eks-tapol, keluarga korban, dan mahasiswa, menangis baik pada saat pembacaan doa maupun ketika lagu Bagimu Negeri dinyanyikan. Kelana, seorang pegiat Kendal, membacakan puisi dan menyanyikan lagu hymne partai dan Internasionale. Setelah doa, acara kembali dilanjutkan dengan kesan dan pesan baik dari warga, aparat, maupun para ornop.

Berbeda dari Wonosobo, dimana dilakukan eksvakasi dan pemakaman ulang, Plumbon hanya terbatas pada kegiatan penisanan ulang. Dengan tidak adanya eksvakasi, maka sesungguhnya kebenaran mengenai keberadaan kerangka dan pembunuhan belum dapat dibuktikan. Meski demikian, penisanan yang dilakukan di Plumbon tetap memiliki dampak yang besar dalam upaya rekonsiliasi. Kepada para korban, penisanan di Plumbon adalah bagian dari keadilan simbolik. Menurut Wolfe, keadilan simbolik, berbeda dari keadilan secara formil, menunjukkan adalah tidak mungkin untuk mengembalikan keadaan seperti semula secara penuh, dan mengakui bahwa telah terjadi kejahatan. Keadilan simbolik menunjukkan pula adanya niat untuk melakukan rekonsiliasi politik.[6] Secara lebih luas, penisanan Plumbon, meskipun belum sampai dalam bentuk kebijakan seperti di Kota Palu, juga memperlihatkan bahwa melakukan upaya rekonsiliasi dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat adalah mungkin dan dapat dilakukan.

Makna paling penting daripada penisanan pada kuburan massal tanpa nama adalah pada pengembalian nama, sebagai bagian paling subjektif dalam diri manusia. Berkaca dari pengalaman pada masa NAZI Jerman, maupun kamp konsentrasi pada umumnya, nama digantikan dengan tato atau nomor tahanan, yang menjadi penanda, membedakan antara mana manusia dan mana yang bukan. Mengembalikan nama, dengan demikian adalah mengembalikan subjektivitas, yang berarti pula mengembalikan status kemanusiaan yang tadinya hilang, melampaui pornografi kengerian sekaligus menegaskan bahwa pengungkapan kebenaran adalah mungkin.***

 

Penulis adalah anggota Perkumpulan Masyarakat Semarang untuk Hak Asasi Manusia (PMS-HAM). PMS-HAM sendiri adalah kelompok yang dibentuk dalam advokasi kuburan massal di Plumbon. Diketuai oleh Yunantyo Adi, serta terdiri dari orang dari berbagai macam latar belakang seperti Rasyid Ridha, Unu Herlambang, Setya Indra Arifin, Mohammad Soleh, Hasan Tuban, dll.

 

————–

[1] Trimawan Nugrohadi (PDI-P) dan Kholiq Arief (PKB). Kholiq Arief sempat meminta acara aksvakasi untuk ditunda, menunggu keputusan Komnas HAM. Komnas HAM sendiri pada saat itu hanya memiliki wewenang untuk melakukan penelitian pada korban Pulau Buru saja. Lihat dalam Katharine Mcregor. Mass Graves and Memories of the 1965 Indonesian Killings dalam Douglas Kammen & Katharine McGregor. The Contours of Mass Violence in Indonesia, 1965-68. Asian Studies Association of Australia & Unversity of Hawaii Press. Honolulu. 2012. 238

[2] Ibid hlm 243

[3] Ibid hlm 242 Untuk dapat dipergunakan sebagai alat pidana, harus dilakukan oleh aparat yang berwenang, dalam hal ini kepolisian menurut UU 8/1980, dan Komnas HAM untuk perkara pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur dalam UU 26/2000 . Eksvakasi secara mandiri tersebut dengan demikian menggugurkan kerangka-kerangka menjadi alat bukti kejahatan.

[4] Pertemuan ini berlangsung pada 11 Juni 2015.

[5] Surat laporan tersebut mempertanyakan tiga hal kepada Komnas HAM antara lain:

  1. Dapatkah jenazah korban dilakukan pemakaman ulang, dan bagaimana prosedurnya.
  2. Siapa yang memiliki kewenangan untuk melakukan pemakman ulang.
  3. Wewenang untuk melakukan dokumentasi, dan Komnas HAM untuk memfasiltasi.

Tambahan lain adalah permohonan kepada Komnas HAM untuk membentuk tim pencari fakta untuk kuburan Plumbon di Ngaliyan Semarang.

[6] Stephanie Wolfe. The Politics of Reparation and Apologies. Springer. New York, Heidelberg, Dordrecht, London. 2014. Hlm 73

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.