ADAKAH di antara pembaca yang saat ini lewat panca indera mampu meraba apa yang biasa disebut sebagai ‘nilai’? Atau adakah di antara pembaca yang sedang mengecap ‘nilai lebih’? Atau, barangkali, adakah satu di antara pembaca yang mampu memandang ‘kelas’? Saya kira tak satupun dari pembaca yang budiman saat ini yang sedang, atau mampu dengan kelima inderanya mencerap nilai, nilai lebih, atau kelas—semua kategori-kategori, istilah-istilah, yang kita kenal dari Marxisme. Kegagapan panca indera untuk secara langsung menangkap kategori-kategori inilah yang dahulu juga merisaukan Marx. Hal Ini ia sadari ketika mempelajari para dedengkot ekonomi-politik sebelum dirinya yang memulai karyanya, persis dengan kategori-kategori tersebut. Adam Smith memulai Wealth of Nations dengan pembagian kelas dalam masyarakat (“On the division of labour”), dan David Ricardo memulai The Principles of Political Economy and Taxation dengan bab berkepala “Tentang Nilai”.
Sejauh yang saya ketahui, soal di atas adalah juga soal metodologis klasik yang terus membayangi ilmu-ilmu sosial hingga saat ini. Pertanyaannya adalah apakah holisme atau individualisme, keseluruhan atau bagian-bagian, relasi atau unit, yang mesti jadi titik berangkat analisis. Holisme, keseluruhan, secara umum adalah cara yang paling sesuai dengan semangat umum ilmu-ilmu sosial karena mampu menangkap watak kolektif dan historis dari unit analisisnya, yakni masyarakat. Dalam kerangka ini, masyarakat dipersepsi sebagai proses. Dalam ekonomi-politik misalnya, proses ini dipahami dalam relasi kelas. Kelas bukanlah benda, bukan juga kategori tertutup yang diam. Sebaliknya, analisis kelas selalu ditandai dengan upaya mencari tahu relasi satu kelas dengan kelas yang lain, corak analisisnya bersifat relasional. Adam Smith yang sudah kita singgung sebelumnya, memandang ‘masyarakat sipil’ dalam corak analisis kelas; masyarakat adalah kesatuan yang disusun oleh tiga kelas besar: kelas pekerja, tuan tanah dan kapital. Analisis kelas ini yang memandu keseluruhan jalinan sistem ekonominya. Namun di ujung berlawanan juga ada individualisme metodologis, yakni metodologi yang menggunakan bagian-bagian, alias unit, sebagai alat tandingan untuk menganalisis masyarakat. Keberatan sisi ini terhadap holisme adalah persis terhadap watak relasionalnya. Bila masyarakat sejak awal diandaikan sebagai sebuah relasi, sebagai sebuah proses, maka darimana proses ini bermula? Apa titik pijak analisisnya? Dalam diskusi ekonomi-politik Klasik, pertanyaannya menjadi bagaimana cara mengetahui kelas yang menjadi substansi masyarakat dalam analisis kelas? Kelas manakah yang jadi tumpuan bagi kelas-kelas lainnya? Inilah salah satu kelemahan dari holisme metodologis yang digunakan oleh Adam Smith. Tanpa titik pijak dalam menganalisis masyarakat, tanpa berangkat dari unit, maka kesimpulan Adam Smith adalah kesimpulan kita juga; masyarakat adalah kesalinghubungan di antara ketiga kelas penyusunnya, oleh karena itu, semua kelas berhak menerima pembagian kemakmuran yang sama dalam distribusinya. Itulah konsekuensi dari analisis yang berangkat dari analisis kelas yang kemudian ditolak oleh…David Ricardo, baik dalam aras metodologis maupun kesimpulan.
Di mana posisi Marx? Hemat saya, Marx justru mengantisipasi ekonomi setelahnya dengan berangkat dari unit bukan relasi. Unit terkecil dari cara produksi kapitalis itu ialah komoditas. Pertanyaannya kemudian (1) apakah dengan berangkat dari unit Marx lalu menihilkan analisis kelas? Sepertinya tidak, (2) lalu bagaimana cara Marx mendamaikan kedua posisi metodologis di atas? (3) Bagaimana hubungan antara objek konsumsi seperti komoditas dengan analisis kelas? Demikian beberapa pertanyaan yang dapat kita ajukan. Tulisan ini sendiri tidak akan berupaya memberi jawaban definitif. Yang akan dilakukan kali ini hanyalah menggunakan sebagian kecil dari naskah “Pendahuluan” 1857 untuk melihat bagaimana penalaran Marx soal relasi produksi – konsumsi dalam kaitannya dengan pilihannya akan komoditas. Naskah “Pendahuluan” 1857 adalah bagian dari serangkaian catatan kasar, sketsa-sketsa, komentar-komentar pribadi, sekaligus sarana klarifikasi-diri yang Marx gunakan untuk merapikan kajian ekonomi-politik di limabelas tahun pertamanya (1843-57) ke pokok-pokok utama (Grundrisse). Saya hanya akan menggunakan bagian kedua naskah tersebut. Dua bagian terakhir, terutama bagian “Metode ekonomi-politik” menurut saya kurang tepat dijadikan acuan karena di sana Marx menuliskannya lebih dalam kerangka membincangkan rancang-bangun enam buku awalnya.[1] Teksnya sendiri disusun dengan urutan sebagai berikut;
(1) Produksi secara umum,
(2) Relasi umum antara produksi, distribusi, pertukaran dan konsumsi,
(3) Metode ekonomi-politik, dan
(4) Kekuatan Produksi dan relasi-relasi produksi, relasi-relasi produksi dan relasi-relasi sirkulasi.
Marx memahami realitas ekonomi masyarakat sebagai suatu proses yang terdiri dari empat momen yang membentuk sebuah totalitas; momen produksi – distribusi – pertukaran (sirkulasi) – konsumsi. Dalam momen produksi, masyarakat menciptakan, mengapropriasi, dan membentuk hasil-hasil alam sesuai dengan hukum-hukum alam demi kebutuhan anggotanya—produksi menciptakan barang-barang alias objek ekonomi. Lalu dalam proses distribusi masyarakat menentukan proporsi pembagian hasil produksi sesuai hasil kerja anggotanya. Kemudian dalam pertukaran, individu menentukan bagian yang ia inginkan dalam batas-batas hasil distribusi yang telah ditentukan masyarakat. Dan terakhir, dalam konsumsi, hasil produksi sampai ke tangan individu sebagai objek pemuas kebutuhannya—hasil produksi menjadi milik individu.
Totalitas ekonomi ini membentuk hierarki dengan produksi sebagai pangkal, distribusi dan pertukaran adalah perantara, dan momen konsumsi merupakan titik akhirnya. Kendati sama-sama berperan sebagai perantara, distribusi dan pertukaran memiliki perbedaan sebab distribusi ditentukan oleh masyarakat, sedang pertukaran ditentukan oleh individu-individu. Dapat dikatakan realitas ekonomi membentuk suatu silogisme; produksi sebagai keumuman (generalitas), distribusi dan pertukaran sebagai partikularitas, dan konsumsi sebagai singularitas. Jadi sekali lagi, totalitas realitas ekonomi dipahami Marx sebagai suatu kesatuan dengan keragaman yang dimulai dari produksi dan diakhiri proses konsumsi. Dari mengingat pengertian ini baru kita bisa melangkah pada penalaran yang beraroma Hegelian berikut.
Relasi produksi dan konsumsi dapat dibagi ke dalam tiga relasi umum. Relasi pertama ialah identitas langsung (immediate identity), jadi dalam relasi ini produksi dimengerti sebagai konsumsi dan konsumsi sebagai sebuah produksi. Meski berlawanan, keduanya membentuk kesatuan. Dalam kegiatan produksi, manusia tidak hanya mengembangkan kemampuannya, melainkan juga, mencurahkan energinya; menghabiskan, mengonsumsi energi tertentu yang kemudian ia ubah ke dalam bentuk lain. Dalam memproduksi sebuah tulisan lewat sebuah komputer misalnya, seorang penulis di saat yang sama juga sedang mengonsumsi energi listrik, serta mengonsumsi nutrisi yang berasal dari makanan yang ia makan sehingga organ otaknya mampu menghasilkan pemikiran. Proses produksi tulisan, adalah juga suatu proses konsumsi tertentu. Dalam penalaran yang sama, aktivitas konsumsi adalah juga sebuah produksi langsung. Bentuknya oleh Marx dibedakan ke dalam dua jenis, yakni konsumsi subjektif dan konsumsi objektif. Konsumsi subjektif ialah konsumsi individual yang sekadar menghabiskan/mendestruksi objek produksi dengan memproduksi sesuatu yang baru secara alamiah. Sebagai contoh, dalam aktivitas mengonsumsi buah apel yang kaya akan vitamin C misalnya, kita sekadar menghabiskan buah apel tersebut, mengunyah-ngunyah, lalu menelannya. Namun dalam proses ini, secara alamiah—lewat metabolisme kimia tubuh—nutrisi yang telah diserap oleh tubuh akan memproduksi sel-sel kulit baru yang kemudian menghaluskan kulit. Konsumsi buah apel adalah juga produksi sel-sel kulit yang baru. Sedang konsumsi objektif ialah konsumsi yang selain menghabiskan/menegasi barang-barang dilakukan secara sadar oleh manusia untuk memproduksi barang-barang baru. Konsumsi ini dasarnya berwatak sosial dengan mengonsumsi barang-barang sebagai sarana-sarana produksi. Contohnya dapat kita lihat dalam konsumsi bahan-bahan mentah, sumber daya alam, atau mesin-mesin dalam produksi di pabrik. Ini yang biasa disebut sebagai konsumsi produktif atau reproduksi.
Relasi kedua, adalah relasi produksi – konsumsi sebagai perantara, sebagai sarana antar satu dan yang lain. Relasi ini berupa saling ketergantungan yang sifatnya (1) eksternal—produksi menciptakan landasan material, objek eksternal, bagi konsumsi—dan yang sifatnya (2) internal, konsumsi menciptakan kebutuhan sebagai tujuan, sebagai objek internal dalam produksi. Tanpa produksi kendaraan bermotor, para konsumen kendaraan bermotor akan kehilangan landasan material, kekurangan sarana, bagi keinginannya untuk mengendari kendaraan bermotor, kebut-kebutan, atau menikmati kemacetan. Artinya, produksi menciptakan sarana dan landasan material bagi konsumsi. Namun di sisi lain, produksi adalah juga sarana konsumsi. Tanpa konsumsi, produksi juga akan kehilangan subjeknya, kehilangan tujuannya—hasil produksi akan tetap ada, namun ia hanya akan menjadi produk potensial[2], bukan produk aktual. Produksi sebuah buku di populasi yang buta huruf, misalnya—produksi bahan bacaan di tengah tiadanya konsumen pembacanya, hanya akan menjadikan tumpukan kertas dengan tulisan tersebut sebagai sebuah buku dalam potensi; produk yang berpotensi sebagai buku. Tanpa populasi yang bisa membaca, tanpa konsumennya, buku tersebut paling-paling hanya akan jadi bahan bakar atau sebuah bantal.
Terakhir, relasi antara produksi dan konsumsi hadir dalam bentuk relasi saling melengkapi dan relasi saling membentuk, menciptakan, menegaskan, baik lawannya maupun dirinya sendiri. Produksi (1) melengkapi konsumsi dengan cara menciptakan objek material bagi konsumsi; tanpa produksi bir secara materiil tidak akan ada peminum bir, penyuka bir, penggila bir—tidak akan ada konsumen bir nya. Lalu (2) produksi juga membentuk kekhasan, membentuk karakter, kespesifikan, bagaimana produk dikonsumsi dan dengan demikian menciptakan konsumennya; produksi sebuah rekaman musik dalam bentuk yang berbeda antara vinyl dan mp3 misalnya, memberi karakter, kekhasan, soal bagaimana produk itu dikonsumsi dan akhirnya pada cara bagaimana rekaman musik dikonsumsi beserta konsumennya. Jadi produksi bukan hanya menciptakan objek konsumsi, tetapi juga menciptakan subjek nya. Terakhir, (3) produksi bukan hanya menciptakan material bagi konsumsi, tetapi juga menciptakan kebutuhan akan material. Produksi atas sebuah Smartphone misal, bukan hanya menciptakan Smartphone itu sendiri, tetapi juga menciptakan kebutuhan akan konsumsi sarungnya, charger-nya, power bank-nya, dan pulsa-nya, agar Smartphone itu sendiri berfungsi sebagaimana adanya. Hal yang sama terjadi juga dalam aktivitas konsumsi. Konsumsi melengkapi produksi dengan cara menghabiskan produk yang diciptakan dari proses produksi, konsumsi juga menciptakan kebutuhan bagi produksi yang baru, menciptakan penyebab yang mendorong produksi karena tidak ada produksi tanpa kebutuhan. Konsumsi mereproduksi kebutuhan. Relasi saling melengkapi dan saling menciptakan diri antara produksi dan konsumsi ini yang dalam ekonomi modern kerap dipersepsi sebagai hubungan pemintaan dan penawaran, yakni relasi antara kebutuhan alamiah dan kebutuhan yang diciptakan secara sosial.
Menyadari ketiga relasi produksi – konsumsi ini menurut saya sedikit banyak akan membantu menjawab pertanyaan mengapa Marx memulai Kapital dengan komoditas, sebuah objek konsumsi. Dalam relasinya sebagai identitas langsung, sebagai sarana pemenuhan kebutuhan manusia, komoditas—“entah sebagai objek konsumsi atau sebagai sarana produksi”, adalah bagian intrinsik dari produksi itu sendiri; sebagai perantara dari konsumsi, produksi menciptakan material, menciptakan objek eksternal bagi konsumsi; dan terakhir, produksi menciptakan kekhasan, kespesifikan, dari konsumsi. Dari ketiga relasi ini dalam kaitannya dengan cara produksi kapitalis (objek penelitian Marx) maka kita akan mendapatkan komoditas, yakni suatu objek eksternal yang menjadi landasan materiil sekaligus sarana pemenuhan kebutuhan manusia yang khas berlaku umum dalam masyarakat kapitalis.
Dengan berangkat dari komoditas, Marx berupaya menangkap kespesifikan masyarakat kapitalis. Hal ini jadi benar karena walaupun telah hadir jauh sebelum cara produksi kapitalis, komoditas adalah bentuk umum produk kerja kapitalis. Sarana produksi kapitalisme yang paling penting, tenaga-kerja, kerja-upahan, juga hadir dalam bentuk komoditas. Komoditas dijadikan titik berangkat oleh Marx bukan untuk berhenti di dalam komoditas itu sendiri, melainkan karena ia menyadari sebagai sebuah produk khas kapitalisme, komoditas adalah kunci menuju jantung produksi kapitalis. Di balik penalaran soal kesalinghubungan antara produksi – konsumsi ini, menurut saya tersimpan pula upaya Marx untuk mendemokratisasikan pengetahuan dengan cara menghindari penalaran metafisik di awal karyanya. Sebagai benda biasa, komoditas menyediakan sarana penjelasan yang mampu diakses semua orang yang hidup di dalam masyarakat kapitalis; entah laki-laki atau perempuan, tua atau muda, islam atau hindu, di Indonesia atau Jamaika, Marxis atau anti-Marxis, pekerja atau borjuasi, semuanya hanya dengan panca indera mampu mengenal komoditas secara langsung. Adakah satu diantara kita yang saat ini tidak sedang merasakan komoditas? Tidak seperti Smith yang memulai dengan analisis kelas, atau Ricardo yang memulai dengan konsep nilai, Marx berupaya menyajikan karyanya dengan memulai dari hal yang amat dekat dengan kita yang hidup di dalam masyarakat kapitalis—De te fabula narratur; kisah komoditas adalah kisah tentang dirimu.***
24 Mei 2016
————-
[1] Rancangan enam buku itu terdiri dari Kapital, Kepemilikan Tanah, Kerja-upahan, Negara, Perdagangan Luar Negeri, dan Pasar Dunia & Krisis.
[2] Di sini Marx merujuk pada ‘Potensialitas’ dalam pengertian Aristoteles dalam Metafisika yang biasa diperlawankan dengan ‘Aktualitas’.