Gerakan Tagar

Print Friendly, PDF & Email

GERAKAN rakyat sebagai respon terhadap peristiwa sosial, ekonomi, dan politik sekarang sudah semakin mudah dan cepat. Berkat kemajuan teknologi informasi, gerakan ini menjadi praktis; apapun, siapapun, dan di manapun bisa terjangkau olehnya. Gerakan menyelematkan teluk Benoa dari reklamasi cukup dengan tagar #TolakReklamasiBenoa. Kita yang berada di ujung Serambi Mekah bisa pula ikut serta dalam gerakan menolak reklamasi sebuah teluk yang terletak di Bali, tanpa perlu beranjak dari sofa. Para pegiat gerakan tagar dapat menagar sambil minum kopi di warung kopi francise asal Amerika, menagar sambil menunggu lampu merah atau mereka dapat menagar sambil apapun.

Gerakan tagar adalah fenomena lanjutan dari migrasi manusia dari dunia real menuju dunia virtual. Keberadaan bukan lagi diartikan sebagai kehadiran manusia di dalam dunia nyata, tetapi aku twit maka aku ada. Twit menjadi manifestasi final bahwa sang aku telah menjadi bagian dari kehidupan sosial dengan sengkarut persoalannya.

Menghimpun tagar untuk suatu persoalan dianggap sebuah kolektivitas menyelesaikan persoalan yang sengkarutnya sudah multidimensional. Tagar #SaveKPK dianggap mampu menyelesaikan kisruh pemberantasan korupsi yang domainnya sudah menjalar dari urusan hukum ke urusan politik bahkan budaya; bagaimana hukum dan loyalitas etis pada kebenaran dipisahkan secara terang-terangan di muka sidang praperadilan pimpinan Yang Mulia Hakim Sarpin Rizaldi, yang menganggap polisi yang masih aktif dan menduduki jabatan eselon II di Kepolisian RI bukanlah penegak hukum.

Ilusi pun tercipta. Mereka sudah merasa bertindak untuk kepentingan hidup bersama ketika sudah mengetik tagar. Twit tagar jelaslah bukan sebuah karya sastra jika kita tetap ingin menganugerahi twit tagar sebagai tindakan, sebagaimana Slavoj Zizek menganggap karya sastra sebagai tindakan pengarang untuk ikut campur dalam dunia sosial.[1]

Tepat di situ penulis merasakan ironi. Kepercayaan bahwa teknologi dapat menyelesaikan masalah kehidupan, menjadi masalah itu sendiri dalam konteks gerakan tagar ini. Gerakan tagar sebagai gerakan sambilan menandakan kita semua, para pegiatnya, kehilangan kemampuan untuk memberikan perhatian penuh pada persoalan orang lain atau persoalan bersama. Usaha dan waktu yang disediakan untuk mengusahakan kebaikan bersama sebagai tujuan kehidupan bersama pun direduksi menjadi usaha menagar dan waktu luang atau sambil mengerjakan sesuatu yang lain, yang mungkin tidak berkomplemen dengan usaha untuk kebaikan bersama itu.

Sebanding dengan status gerakan tagar yang hanya gerakan sambilan, hasil dari gerakan ini pun tidak berbanding lurus dengan perubahan realitas. Trending topic menjadi hasil maksimal. Sebagai trending topic, hasil gerakan ini hanya akan bertahan jika topic selain dirinya tidak mengalami traffic yang melampauinya. Tetapi, benarkah kita hanya mengusahakan kebaikan bersama berupa trending topic dalam kehidupan bersama ini?

 

Kartini sebagai kritik

Ya. Kartini yang disebutkan dalam subjudul ini adalah Kartini yang biasa kita rayakan hari lahirnya sebagai hari emansipasi wanita. Sayangnya, menahun dirayakan secara ritual-serimonial, Kartini berubah menjadi mitos mirip seperti mitologi dewa-dewi Yunani yang akhirnya memisahkan Kartini dari keberadaannya di lingkungan sosial tempat dia berada.

Kartini berada di zaman di mana feodalisme dan kolonialisme bersepakat menggerogoti kemanusiaan yang tersisa di Hindia Belanda.

‘Pada sekitar tahun pencabutan Tanampaksa-Culltuurstelsel– ini, seorang Asisten Wedana onderdistrik Mayong, kabupaten Jepara, telah bertemu dengan seorang gadis rakyat jelata, anak Madirono, buruh pabrik gula Mayong. Anak ini bernama Ngasirah. …… Ngasirah diambil selir. Dan beberapa waktu kemudian lahir jabang bayi, yang dinamai Sosrokartono. Dan beberapa tahun kemudian lahir seorang jabang bayi lagi, sekali ini wanita: Kartini’.[2]

Kartini lahir di masa-masa luka akibat Tanampaksa belum lagi hilang. Tanampaksa yang berhasil mengalirkan uang lebihan belanja di Hindia Belanda sampai 800 juta gulden ke Netherland, alhasil hutang Netherland sebanyak 236 juta gulden terbayar lunas. Padahal sebelum Tanampaksa dimulai, keuangan Hindia Belanda sampai berhutang tidak kurang f 37 juta untuk memadamkan perang Diponegoro. Namun, harga dari gemilangnya Tanampaksa adalah matinya nyawa manusia. Di Demak saja dari semula penduduk berjumlah 336.000 orang dalam waktu dua tahun tersisa 98.000 orang, sisanya mati kelaparan; Grobokan dari berjumlah 98.000 tersisa 9.000 orang, lainnya mati.[3]

Penceritaan latar hidup Kartini ini tidak lain untuk membangun kesinambungan antara kesadaran hidup bersama dan gerakan mengejar kesejahteraan dengan keadilan yang dinikmati tiap manusia sebagai tujuannya. Sebagaimana Marx memberikan rumusan tentang kesadaran dalam keberadaan, ‘It is not the consiousness of men that determines their existence, but, on the contrary, their existence determines their consiousness’ (bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaan mereka, tapi keberadaan sosial merekalah yang menentukan kesadaran mereka).[4] Keberadaan Kartini dalam lingkungan yang penuh manusia kurus dengan tulang rusuk menonjok kulit dada itulah yang membentuk kesadarannya untuk bekerja dan mendedikasikan hidupnya kepada rakyat-kepentingan bersama.

‘Malulah aku terhadap keangkaranku. Aku renungi dan pikirkan keadaanku sendiri, dan di luar sana begitu banyak derita dan kemelaratan melingkungi kami! Seketika itu juga seakan udara menggetar oleh ratap tangis, erang, dan rintih orang-orang sekelilingku. Dan lebih keras daripada erang dan rintih itu, mendesing, dan menderu di kupingku: Kerja! Kerja! Kerja! Perjuangkan kebebasanmu! Baru kemudian kalau kau setelah bebaskan dirimu sendiri dengan kerja, dapatlah kau menolong yang lain! Kerja! Kerja! Aku dengar itu begitu jelas, nampak tertulis di depan mataku….[5]

Kesadaran penting dalam melandasi pergerakan. Perjuangan kelas tanpa kesadaran penjajahan atas kelas proletar (kelas ini jelas diisi oleh kita-rakyat-warga negara yang kini lebih dipandang sebagai konsumen sekaligus pekerja industri yang berselingkuh dengan negara) hanya akan menjadi percik air di lautan, bukan air bah yang meluluhlantahkan daratan struktur oligarki kekuasaan.

Sementara oligarki penguasa membangun jaringan partikelirnya, gerakan rakyat dalam memperjuangkan haknya tak terkonsolidasi karena nirkesadaran. Lihatlah kenaikan BBM yang disambut unjuk rasa para buruh pabrik agar upah minimumnya dinaikkan pula justru dicemooh oleh orang-orang kelas menengah. Mereka tidak sadar kalau mereka juga buruh! Mencibir aksi buruh tetapi menikmati libur nasional hari buruh.

Pertanyaan selanjutnya, apakah kita sudah memiliki kesadaran untuk melanjutkan gerakan rakyat selain gerakan tagar itu? Sedangkan, teknologi digital akhirnya membentuk dua dunia sekaligus yang dijalani manusia; online life di mana interaksi hanya terjadi antarprofil media sosial dan offline life yang menyaratkan interaksi terjadi antarmanusia terjadi di lingkungan sosial yang benar nyata, yang di dalamnya ada waktu dan usaha yang dibutuhkan.[6] Sebagaimana Kartini yang terlebih dahulu kerja untuk kebebasannya dari cengkeram feodalisme, yang artinya ia harus membebaskan diri dari ayahnya yang sangat dikasihinya, Raden Sosroningrat, karena ayahnya merupakan agen feodalisme itu sendiri, kita harus terlebih dahulu membebaskan diri untuk kembali berada di lingkungan manusia bukan di lingkungan profil.

Jika kita belum memiliki kesiapan untuk itu, Imam Cahyono menawarkan sebuah alternatif gerakan yang cocok untuk kita semua yang malas dengan urusan perjuangan kelas:

‘selemah-lemahnya iman, gerakan kemandirian bisa dimulai dari meja makan. Mengonsumsi produk pangan dalam negeri berarti melepas ketergantungan impor. Langkah ini sekaligus memperkuat ekonomi domestik, memberdayakan komunitas lokal, menciptakan lapangan pekerjaan, melindungi produsen dari serbuan asing, sekaligus meningkatkan kesejahteraan. Kemandirian dari meja makan bisa kita mulai dari sekarang![7]

Walaupun konteksnya ketahanan pangan, alternatif ini dapat kita kontekstualisasikan di berbagai bidang, terutama ekonomi. Karena tidak lain alasannya, karena kita-rakyat-warga negara-konsumen- yang memegang kendali atas demand (permintaan), sedangkan industri hanya punya supply (penawaran). Kita ubah demand sama juga mengubah produksi karena industri memproduksi berdasarkan permintaan.

Gerakan mengubah demand ini jelas lebih produktif yang dapat mengubah realitas arus pemenuhan kebutuhan nasional dan rangkaian efek karenanya. Daripada gerakan tagar yang hanya membuat kita menjadi kelas menengah berisik.***

 

Penulis adalah alumni FIB Unsoed, beredar di twitland dengan id @23_ubaid

 

—————-

[1] Ramayda Akmal, Teori Sastra Slavoj Zizek, Kompas, 7 April 2013.

[2] Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja, Lentera Dipantara, Jakarta, 2007, hal. 44

[3] Ibid. Hal 21-30

[4] Karl Marx, Preface to The Critique of Political Economy-diterjemahkan dari edisi kedua bahasa Jerman oleh N. I. Stone, International Library Publishing Co., 1904, h. 11-12

[5] Ibid. Hal 86

[6] Review Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Other yang ditulis oleh Garcia Patricia, InterActions: UCLA Journal of Education and Information Studies, 2012, hal 2.

[7] Imam Cahyono, Nasionalisme dari Meja Makan, Kompas, 2012

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.