Kuda Besi Ibukota, Solusi Praktis yang Jadi Antagonis

Print Friendly, PDF & Email

AKSI Pemprov DKI Jakarta melarang motor melintasi jalan protokol tidak datang tiba-tiba. Pada 2007, pernah ada rencana serupa: Jalan M.H. Thamrin sampai Jalan Sudirman terlarang bagi motor. Banyak ditentang, rencana itu dibatalkan. Larangan sepeda motor melintasi Jalan Medan Merdeka Barat sampai Jalan M.H. Thamrin belakangan ini adalah perwujudan rencana tak kesampaian itu.

Jarak Jalan Medan Merdeka Barat sampai Jalan M.H. Thamrin yang sekitar lima kilometer itu, boleh jadi lebih pendek ketimbang jarak Jalan M.H. Thamrin sampai Jalan Sudirman dalam rencana 2007. Namun, bukan itu persoalannya. Pelarangan motor melintasi jalan protokol itu melanggar Hak Asasi Manusia, yaitu hak mobilitas yang dimiliki setiap warga kota.

Sekalipun jumlah kendaraan pribadi yang kian menjadi-jadi merupakan masalah genting untuk ditangani, tidak ada satu manusia pun—termasuk Ahok, sapaan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama—yang berhak melarang warga untuk bepergian. Sebagai pemilik kendaraan pribadi yang membayar pajak kendaraan, yang warga dapatkan dari pemerintah seharusnya perbaikan infrastruktur transportasi, bukan pelarangan.

Setelah pemerintah Jakarta menunjukkan kekuasaannya kepada pengendara motor hampir selama tiga bulan terakhir, Indonesia Traffic Watch (ITW) menggugat Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 195 Tahun 2014 tentang Pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor ke Mahkamah Agung. Menurut Ketua Presidium ITW, Edison Siahaan, aturan itu bertentangan dengan Pasal 133 ayat 2c Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang mengatur pembatasan kendaraan bermotor pada koridor, jalan, dan waktu tertentu. Persoalaannya, seperti diungkapkan Edison dalam Tempo.co, 21 Januari 2015, “(Dalam peraturan) ini (kendaraan bermotor) bukan dibatasi, tapi dilarang 24 jam.”

Ahok sendiri tak menganggap gugatan itu. Keyakinannya tetap: pelarangan itu merupakan bagian dari upaya pemerintah Jakarta mendorong warga agar mau menggunakan sarana transportasi umum.

Kita masih harus menunggu hasil gugatan terhadap larangan yang diskriminatif itu. Namun, untuk sementara, kasus ini secara gamblang memperlihatkan betapa frustrasinya pemerintah menangani kemacetan Jakarta. Ahok, bukan saja tak lebih maju daripada Sutiyoso karena ia mewujudkan rencana pelarangan Gubernur DKI Jakarta 1997–2007 itu, melainkan juga tak menyadari bahwa penyebab utama kemacetan Jakarta selama ini justru pemerintah Jakarta sendiri, yang cenderung mengandalkan pembangunan infrastruktur jalan ketimbang membenahi infrastruktur transportasi lain secara serius.

Boleh jadi ini tuduhan yang serius, berkebalikan dengan kepercayaan Ahok yang ia katakan pada Tempo.co, 21 Januari 2015, bahwa kemacetan Jakarta disebabkan oleh banyaknya kendaraan pribadi.

Sebagai gubernur, Ahok seharusnya tak menyederhanakan persoalan kemacetan Jakarta. Kita sudah sangat akrab dengan kelakuan semacam ini: menyelesaikan masalah tanpa perencanaan matang, sehingga solusi yang keluar sepotong-sepotong, lalu masalah berakhir dengan terciptanya masalah baru. Ini tindakan lawas pemerintah Jakarta yang nyaris jadi tradisi, dari yang paling korup sampai yang katanya paling bersih di zaman Ahok ini. Nyatanya, bersih rekening saja memang tak cukup.

Pandangan tersebut—soal kecenderungan pemerintah mengandalkan pembangunan infrastruktur jalan—bukan pula pandangan baru. Yang saya kutip berikut ini adalah tulisan Tory Damantoro dalam buku Kata Fakta Jakarta terbitan Rujak Center for Urban Studies pada 2011, yang dengan jernih menjelaskan faktor penyebab kemacetan Jakarta.

Singkatnya, kemacetan Jakarta merupakan dampak pembangunan yang lebih mendahulukan kepentingan ekonomi yang cenderung mengabaikan kepentingan masyarakat, sehingga penggunaan ruang tak memberikan manfaat bagi seluruh warga. Ketika harga tanah naik seiring peningkatan kebutuhan akibat pertambahan jumlah penduduk, banyak warga yang terpaksa menyingkir dari pusat kota. Perjalanan warga dari rumah ke tempat kerja yang makin jauh menyebabkan kemacetan di koridor utama yang berdampak buruk pada aksesibilitas kota secara keseluruhan, yang justru disambut pemerintah dengan solusi terus menambah jalan, yang hasilnya justru memicu warga memiliki kendaraan pribadi.

Akhirnya, “kombinasi dari pertambahan jumlah penduduk, pemekaran kota yang tak terkendali, pergerakan warga yang makin banyak dan jauh, kebijakan pembangunan jalan sebagai infrastruktur transportasi utama, serta tingginya ketergantungan warga pada kendaraan pribadi menjadi faktor penyebab terjadinya kemacetan berkepanjangan.”

Faktanya, tulis Tory, selama 2000–2010, Pemprov DKI Jakarta melebarkan dan membangun jalan, mendirikan 56 fly over dan underpass, namun kemacetan justru semakin parah. Alih-alih berpedoman pada konsep baru, predict and manage, pemerintah justru berpedoman pada predict and supply, yang “percaya bahwa jalan harus terus dibangun untuk melayani pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor.”

Paparan Tory tersebut, selaras dengan keengganan pemerintah sampai hari ini membatasi kepemilikan kendaraan pribadi. Begitu kendaraan pribadi makin membanjir, seiring banjir manusia dan banjir air, kemacetan Jakarta jadi masalah nasional. Tanpa pikir panjang, kendaraan pribadi itulah yang disalahkan, bukan pemerintah Jakarta yang sejak dulu menjadi pemasok terbesar jalanan agar kendaraan bisa berjalan leluasa sampai akhirnya jadi kebanyakan dan bikin semua orang kelabakan.

Oleh karena itu, pembatasan pergerakan kendaraan pribadi yang akhirnya diterapkan. Sesuai UU No. 22 Tahun 2009 tadi, pembatasan memang dapat dilakukan. Three in One dan calon program ERP misalnya, adalah salah satu cara pembatasan penggunaan kendaraan pribadi. Belakangan bahkan ada wacana kalau mobil bakal boleh lewat jalur Transjakarta asal bayar. Namun, pelarangan adalah soal lain.

Melarang, jelas jauh lebih mudah karena mengabaikan masalah yang lebih besar, apalagi kalau itu disebabkan oleh si pelarang sendiri. Tak sulit pula melihat bahwa mentalitas pelarangan motor ini adalah mentalitas yang sama dengan penggusuran kaum miskin kota. Dalam Kompas.com, 2 Desember 2014, Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah, mengatakan bahwa pelarangan motor ini seperti “penertiban di bantaran kali dan ruang terbuka hijau.” Dalam kadar tertentu, melarang motor itu sama gampangnya dengan menganggap warga di bantaran kali sebagai penyebab banjir sambil melupakan berbagai superblok yang justru menempati ruang terbuka hijau yang seharusnya jadi daerah resapan air.

Melihat motor sebagai bagian dari kendaraan pribadi pun tak bisa sesederhana itu. Dalam Kompas.com, 22 Januari 2007, Ahok boleh saja bilang bahwa tidak ada transportasi mana pun yang dapat mengalahkan kenyamanan naik motor karena dapat menghindari kemacetan. Tetapi, naik motor itu sama sekali tidak nyaman. Apalagi kalau ukuran kenyamanannya hanya karena dapat menghindari kemacetan.

Motor memang membuka jendela kebebasan baru. Bagi Franz Magnis-Suseno, dalam Kompas, 22 Januari 2007, itu adalah, “Bebas dari keharusan berada dalam empat jam per hari dalam bus-bus dan angkot yang jorok dan tidak aman. Bebas dari biaya mencekik pemakaian angkutan umum. Bebas untuk cepat ke tempat yang perlu.” Tapi, barangkali agar tak ada orang seperti Ahok di kemudian hari yang menganggap naik motor itu nyaman, ia menegaskan, kalau mereka yang menggunakan motor itu “bukan karena mereka iseng-iseng, melainkan karena mereka membutuhkannya.”

Motor adalah kendaraan pribadi yang paling terjangkau bagi kebanyakan orang. Jika pilihan lain tersedia, pengendara motor akan rela memarkirkan kuda besinya. Contoh kecilnya adalah pengendara motor yang belakangan ini mulai menggunakan kereta api listrik yang kondisinya sejak setahun terakhir semakin baik.

Dengan kata lain, motor perlu dilihat sebagai solusi praktis warga dalam menghadapi kemacetan dan buruknya transportasi umum di Jakarta, yang puluhan tahun lamanya gagal diatasi pemerintah yang digaji warga melalui pajak. Warga tentu mengharapkan solusi yang lebih cerdas daripada sekadar melestarikan arogansi pemerintah sebelumnya dalam wujud paling mutakhir. Suatu solusi yang perlu diatasi pemerintah sambil menyadari sepenuhnya bahwa dirinya telah lebih dulu bersalah karena tidak mampu mengatasi kemacetan. Pelarangan semacam ini seharusnya tak perlu terjadi, terutama karena pelarangan motor melintasi jalan protokol ini telah melanggar hak asasi manusia, bahkan sejak masih dalam rencana.***

 

Penulis adalah seorang peneliti di ruangrupa, Jakarta. Tulisan ini dibuat untuk melengkapi materi diskusi “NGOPI#4: Jakarta Punya Siape” yang diadakan oleh Transparency International Indonesia di Jakarta, 23 Januari 2015.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.