Muhammad Ridha, anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP)
Judul Buku: Less Than Nothing: Hegel and The Shadow of Dialectical Materialism
Penulis: Slavoj Zizek
Penerbit: Verso
Tahun: 2012
Apakah ada masa depan bagi Hegel? Pertanyaan ini yang setidaknya hendak dijawab oleh Slavoj Zizek dalam bukunya Less Than Nothing: Hegel and the Shadow of Dialectical Materialism. Pertanyaan ini penting mengingat tidak ada sedikit pun ruang pemikiran dalam filsafat yang tidak tersentuh oleh Hegel, namun di sisi yang lain Hegel menjadi penanda bagi setiap blunder pemikiran filsafat itu sendiri. Zizek (2013) sendiri setidaknya menyebut sepuluh momen dimana Hegel dipahami sekaligus dicampakan yang dengannya terbangun tendensi anti-Hegelianisme:
- Para pendukung filsafat kehidupan (philosophy of life, lebenphilosophie) yang mengklaim bahwa hidup dalam pengertian proses dialektika Hegelian bukanlah hidup organik yang sebenarnya, namun suatu ranah bayangan artifisial atas pemikiran spekulatif yang arbitrer: ketika Hegel berbicara suatu gagasan bergerak ke arah kebalikannya, dia seharusnya mengatakan bahwa pemikiran hidup tersebut tengah bergerak dari satu pemikiran ke pemikiran yang lain.
- Eksistensialis dari Kierkegaard ke depan menyesalkan subrodinasinya Hegel terhadap individual i.e eksistensi singular kepada universalitas suatu gagasan: dalam posisi ini, individu yang unik dan konkrit direduksi sebatas perlengkapan dari gerakan ide abstrak (abstract notion).
- Materialis menolak ide Hegel karena alam eksternal material dipahami pada sebatas suatu momen dalam penyebaran-diri (self-deployment) dari sang Roh atau dengan kata lain ide menempatkan alam sebagai eksternalisasi-diri yang bebas (free self-externalization).
- Historisis menolak teleologi metafisika-nya Hegel: daripada membuka diri kepada pluralitas dan kontingensi proses historis, Hegel mereduksi sejarah yang aktual pada rupa eksternal dari kemajuan gagasan. Bagi Hegel, suatu nalar singular dan mengatasi-semuanya (all-encompassing) mengatur geraknya sejarah.
- Filsuf analitis dan empiris menertawakan Hegel sebagai kegilaan spekulatif yang hiperbolik, mempermainkan konsep yang tidak dapat diuji.
- Marxis mengadvokasi pembalikan terkenal prose dialektika Hegel dari “kepala ke kaki”: ide dan gagasan hanya supra-sturuktur ideologis atas proses produksi material yang meng-(over) determinasi seluruh kehidupan sosial.
- Bagi Liberalisme tradisional, “penuhanan” (divinization) Hegel terhadap Negara sebagai “eksistensi material dari tuhan” membuat dirinya (dan Platon) sebagai salah satu pemikir “masyarakat tertutup” (closed society) yang membuat ada garis langsung dari totalitas Hegelian ke otoritarianisme politik.
- Bagi moralis relijius, dialektika Hegelian tentang “bertemunya yang bertentangan (the unity of the opposite)” dan juga historisisme mengarahkan pada visi masyarakat dan sejarah yang nihilistik, yang mana tidak ada nilai moral yang stabil dan transendental yang membuat pelaku kejahatan posisinya sama dengan korban dari kejahatan itu sendiri.
- Bagi kebanyakan Dekonstruksionis, “pelampauan” (Aufhebung) Hegelian adalah model suatu metafisika, yang sementara mengakui perbedaan, perpecahan dan ke-lain-an (Otherness) namun secara eksplisit memasukannya secara otomatis kedalam mediasi ke-Satu-an gagasan. Hal ini bertentangan dengan pelampauan ala dekonstruksionis bahwa selalu ada ekses yang tidak dapat direduksi atau pengingat yang tidak dapat diintegrasikan kembali ke yang Satu.
- Dari pemikiran produksi perbedaan ala Deleuzian, Hegel tidak dapat berpikir perbedaan di luar negativitas dimana negativitas adalah operator yang mencakup semua perbedaan di bawah yang Satu; formula Deleuzian dengan demikian adalah Hegel bukan hanya harus dikritik tapi juga harus dilupakan.
Sepuluh momen ini setidaknya memberikan pembenaran bahwa dialektika Hegelian pantas untuk dibuang ke tong sampah sejarah. Namun Zizek berpendapat sebaliknya, bahwa kesemua argumen dalam sepuluh momen tersebut justru salah kaprah dalam memahami Hegel. Alih-alih irrelevan, Hegel bagi Zizek adalah penanda utama dari upaya memahami kondisi kontemporer kita. Dalam Less Than Nothing (LTH), Hegelnya Zizek adalah proponen utama dari materialisme dialektis yang hendak diutarakan Tesis Sebelas Marx, bahwa upaya memahami dunia harus diutamakan dibanding melakukan sesuatu terhadapnya dan hanya dengan Hegel lah kita dapat secara sukses memahami keadaan yang ada. Yang diperlukan adalah menempatkan Hegel secara konfrontatif dengan posisi yang salah kaprah dalam memahami dirinya sekaligus juga melakukan respon strategis terhadap posisi-posisi filosofis (yang baru) yang hendak “melampaui” Hegel itu sendiri.
Buku yang memiliki 1000 halaman lebih ini terstruktur dalam suatu logika layaknya “tahapan-tahapan ketika ingin melakukan one night stand”: bagian pertama (the Drink Before) yang merupakan tahapan perkenalan awal melalui cerita emblematic cepat tentang sejarah filsafat seperti Plato, Kristianitas dan idealisme Jerman. Yang kemudian dilanjutkan dengan “bisnis utamanya” (the Thing itself) yang terbagi dua antara menjelaskan Hegel (the thing itself I) dan Lacan (thing itself II) (logika yang serupa dengan situasi umum ketika berhubungan seks yakni fase foreplay dan seks utamanya). Kemudian diakhir dengan “merokok setelahnya” (the Cigarrette After) yang merupakan perbincangan setelah seks atas mengenai posisi-posisi filosofis yang lain seperti Badiou, Heidegger dan juga ontologi dari Fisika Kuantum. Kesimpulannya, layaknya setiap orang yang telah melakukan one night stand ingin segera lompat dari tempat tidur sebelum hal-hal menjadi rumit, merupakan pernyataan kembali Zizek mengenai posisi Lacanian dirinya beserta dengan fitur-fitur lainnya.
Dialektika Hegel terhadap Materialisme Kekosongan
Titik tekan Zizek dalam merevitalisasi Hegel terletak pada penjelasan bahwa ontologi tidak sempurna. Dalam arti kegagalan, ketidak-lengkapan atau kesalahan adalah kondisi inheren dari ontologi itu. Disini, Zizek berargumen bahwa dialektika Hegel harus dilihat sebangun dengan yang-nyata (the real)-nya Lacan. Yang-nyata bagi Zizek adalah singularitas yang mengada secara bersamaan dalam dikotomi idealis-materialis, ia adalah posisi agensial yang muncul dari patahan imanen atas kontradiksi dari ontologi yang tidak dapat direduksi dalam tiap entitas yang muncul dari kontradiksi itu sendiri. Zizek menulis, “Yang-nyata dengan demikian adalah efek dari yang-simbolik, bukan dalam arti performatifitasnya, sebagai ‘konstruksi simbolik atas realistas’, akan tetapi sebagai gagasan ontologi yang sama sekali berbeda tentang ‘kerusakan yang tidak disengaja’ dari operasi simbolik: proses simbolik secara inheren dirusak, dikutuk untuk gagal, dan yang Nyata adalah kegagalan imanen ini dari yang simbolik” (hal. 959).
Implikasi dari proposisi ini adalah ontologi Hegelnya Zizek serupa dengan ontologi yang diajukan oleh Alain Badiou. Disini, kegagalan imanen ontologi menciptakan multiplisitas dari setiap tampakan permukaan atas realitas material itu sendiri. Multiplisitas ini sendiri bersifat inkonsisten dan saling-berkontradiksi antara satu dengan yang lain. Multiplisitas ini sendiri menjadi apa yang disebut Badiou sebagai situasi yang dihitung-sebagai-satu (counted as one). Badiou melanjutkan bahwa Inkonsistensi yang terjadi karena multiplisitas membuat situasi selalu terkandung di dalamnya satu posisi kekosongan (void). Kekosongan inilah yang kemudian menjadi inti dialektis dari ontologi itu sendiri bagi kemunculan kebenaran. Bagi Zizek, perpecahan utama mengenai kebenaran dari idealisme dan materialisme tidak terkait dengan pertanyana mengenai materialitas keberadaan dimana “hanya materi yang benar-benar ada”, namun keberadaan dari kekosongan: aksioma fundamental dari materialisme adalah kekosongan adalah kenyataan yang utama, i.e terdapat ketidakberpisahan antara keberadaan (being) dan kekosongan. Disini, kekosongan menjadi kondisi generatif bagi keberadaan yang secara primordial mengkondisikan entitas pra-ontologi. Atau dengan kata lain, yang negatif melebihi yang positif (hal. 60).
Namun setannya berada di dalam detail, Zizek juga berpendapat bahwa kekosongan karena ketidaklengkapan radikal juga membuka kemungkinan untuk terjadinya penipuan ontologi yang membuat kebenaran menjadi dibatalkan. Apa yang disebut oleh Hegel sebagai “gerak-diri suatu gagasan” (self-movement of the notion), bahwa dalam rangka menyikapi ketegangan inheren dan implikasinya, suatu makna dapat bergerak ke arah makna yang lain yang sering berlawanan dari makna awalnya. Sebagai contoh, apa yang membedakan hysteria dari psikotis adalah perbedaan relasi mereka terhadap “penikmatan terhadap yang Lain” yang mana bukanlah penikmatannya subjek terhadap yang lain namun yang Lain yang menikmati dalam si subjek: sulit bagi subjek histeris untuk tidak menjadi objek penikmatan yang Lain, dia menempatkan dirinya sebagai “yang dipergunakan” atau “dieksploitasi”, sementara dalam psikotis subjek menerima yang lain dan menginternalisasi dirinya ke dalam yang Lain (hal. 92). Momen gerak ini disebut Zizek sebagai yang-Lain-Yang-Besar (Big Other) dimana ia menjadi semacam lompatan untuk mengatasi ketegangan inheren dari ontologi. Yang-lain-yang-besar menjadi semacam tatanan virtual yang hanya muncul jika subjek percaya dengannya. Melalui yang-lain-yang-besar penampakan empirik (sekaligus ideologis) menjadi mungkin. Disini kita menemukan situasi paradoks dimana fiksi simbolik adalah konsitutif bagi realitas: jika kita menghancurkan fiksi yang ada, kita akan kehilangan tampakan empiris realitas.
Lalu bagimana sebenarnya gerak dialektis yang mampu memunculkan kebenaran? yang dalam istilah Hegeliannya termediasi melalui “negasi atas negasi”? Di sini, Zizek meggunakan kategori dorongan (drive) yang dipinjamnya dari Sigmund Freud. Freud mengguakan kategori dorongan sebagai “situasi rangsangan yang diproduksi oleh suatu gangguan terhadap kondisi keseimbangan ideal (homeostasis)” (Seward, 1956). Dalam konteks Zizek, semenjak gangguan (baca: patahan) adalah inheren dan menciptakan kekosongan, maka dorongan adalah suatu kondisi akan “pengrusakan atas simetri” situasi itu sendiri yang memunculkan sesuatu dari ketiadaan. Bagi Zizek, dorongan beroperasi dalam apa yang disebutnya sebagai dorongan kematian (death drive). Konsep ini bukanlah penjelasan mengenai tendensi manusia untuk mencapai keabadian nirvana ala Budhisme, namun ini adalah kondisi dimana tiap sistem kehidupan cenderung bergerak menuju tingkatan terendah kekosongan, yang pada akhirnya menuju kematian (hal. 132). Kematian yang dimaksud bukanlah dalam pengertian yang biasa dipahami. Zizek merujuk kepada proposisi Kantian perihal oposisi atas penilaian positif dan penilaian tak terbatas (indefinite). Sebagai contoh untuk oposisi penilaian negatif terhadap kategori “hidup” adalah “mati”. Akan tetapi negasi atas penilaian tak terbatas atas “hidup” bukan lah “mati” namun “tidak-hidup”. Dalam hal ini dorongan kematian harus dipahami dalam posisi penilaian tak terbatas Kant yang mana merupakan situasi kehidupan yang bersikeras mengada di luar kematian (biologis) (hal 132). Dorongan dengan kemudian mengubah apa yang tadinya tidak menentukan menjadi penentu dalam konfigurasi yang-nyata itu sendiri (hal. 178-9).
Dorongan dalam dorongan kematian membuat kekosongan menjadi lebih kurang dari ketiadaan (less than nothing). Proses kehilangan ini memunculkan apa yang disebut Zizek sebagai objet a yang dipahami sebagai objek yang muncul dari kehilangan/ketiadaan (hal. 754). Objet a merupakan pengurangan dari kemustahilan realitas yang mengkerangkakan konsistensi realitas itu sendiri. Ia bukanlah tambahan terhadap ontologi yang-Satu namun merupakan ekses yang menjadi pelengkap terhadap yang satu. Dengan kata lain, objet a adalah objek dari kekosongan yang mengkondisikan lompatan dialektis “negasi atas negasi” untuk menegasikan objek dalam rangka memunculkan subjek. Disinilah letak determinasi materialisme yang mendialektikakan kemunculan subjek. Bahwa, subjek adalah selalu tercipta oleh kondisi material yang kontradiktif.
Dalam bahasa yang lebih sederhana, imanensi dari kekosongan menyebabkan ontologi Hegelnya Zizek adalah ontology bukan-keseluruhan (non-all). Disini, totalitas realitas adalah internalisasi ketegangan dan keterpecahan dalam ontologi itu sendiri. Ketegangan dan keterpecahan ontologi ini membuka ruang bagi dalam kondisi objektif untuk kemunculan subjektifitas melalui kekosongan yang ada. Operasi subjek dalam kekosongan ini membuat objek tersubjetifikasi, dan vice versa subjek terobjektifikasi, yang membuka kemungkinan untuk kelahiran subjek kebenaran itu sendiri.
Penilaian mengenai apakah Zizek sukses atau tidak untuk menyelamatkan Hegel, sangat tergantung kepada apakah pembaca teryakinkan dengan argument Zizek. Akan tetapi menurut saya, Zizek dalam LTH berhasil untuk menunjukan bahwa kritik terhadap Hegel selama ini merupakan kritik yang salah kaprah. Dialektikanya Hegel, bagi Zizek pada dasarnya adalah dialektika yang materialis; di balik idealismenya Hegel, secara implisit Hegel mengantisipasi kekosongan yang merupakan inti dari materi itu sendiri.
Kekosongan membuat dialektikanya Hegel bukanlah sistem yang tertutup, akan tetapi merupakan sistem yang terbuka secara radikal akan segala bentuk kontingensi. Hal ini membuat sejarah dalam pengertian Hegelian tidak memiliki tujuan yang sudah ditentukan sebelumnya. Akan tetapi mengatakan sejarah tidak memiliki tujuan sama sekali juga adalah sesuatu yang menyesatkan mengingat dalam kekosongan juga memungkinkan terciptanya subjek yang memiliki intensi tertentu yang berimplikasi pada pembentukan sejarah itu sendiri.
Zizek juga menunjukan bahwa aktualitas dari dialektika Hegel juga beresonansi dengan perkembangan sains terkini melalui fisika kuantum. Dalam fisika kuantum, realitas mikroskopik bukanlah realitas yang inkonsisten dalam dirinya. Terdapat pembelahan ontologis dalam realitas fisika mikroskopik. Eksperimen celah ganda yang terkenal yang membuktikan bahwa cahaya adalah gelombang dan partikel sekaligus menunjukan bahwa materi itu sendiri tidak memiliki posisi dan momentum yang pasti, yang membuat kita harus meninggalkan gagasan standar “realitas objektif” yang terdiri dari sepertangkat properti yang telah ditentukan. Menurut Niels Bohr, ditingkatan sistem mikroskopik, atom tidak ada (eksis) dalam dan untuk dirinya sendiri. Menurut Zizek, pandangan Bohr ini memiliki implikasi mengenai ketiadaan atom ditingkatan mikroskopik adalah realitas dalam fisika kuantum yang pada dasarnya tidak lengkap, bahwa ontologi secara keseluruhan (all) adalah “bukan-keseluruhan” (non-all) (hal. 917). Ontologi realitas atau materialisme itu adalah ontologi keterpecahan atas yang-satu (One) dimana dalam dirinya sendiri materi adalah kekosongan (void). Kekosongan ini harus dipahami sebagai tensi ekstrim, antagonisme atau kemustahilan yang memecah ontologi. Kekosongan ini tidak terkonstitusikan secara penuh dalam konstelasi realitas yang ada. Dengan kata lain, realitas dalam ontologi kekosongan mengkondisikan secara internal eksepsi yang tidak dapat diinklusikan dalam dirinya sendiri.
Penutup
Harus diakui bahwa Zizek hendak melakukan reaktualisasi Hegel dalam kondisi kekinian kita. Obsesi Zizek terhadap Hegel memang cukup menarik mengingat bagi dirinya Hegel memberikan kita kunci yang penting bagi memahami kondisi kapitalisme kini yang ditandai dengan pendalaman kontradiksi sekaligus internalisasi ideologi yang membatasi imajinasi perlawanan terhadap kontradiksi kapitalisme itu sendiri. Dengan membawa Hegel dalam pengalaman kekinian kita, setidaknya kita memiliki pandangan yang lebih terang mengenai operasi kontradiksi yang terjadi sekarang. Hanya dengan inilah kapitalisme dapat dipahami dalam rangka mengubahnya.
Referensi Lain
Seward, J. (1956). Drive, Incentive, and Reinforcement. Psychological Review, 63, 19-203.
Zizek, S. (2013). The Three Events of Philosophy. International Journal of Zizek Studies, Vol VII no. 1.