Apa yang Ada di Langit, di Bumi, dan Diantara Keduanya: Finansialisasi (Alam) sebagai Tahap Paling Maju dari Imperialisme

Print Friendly, PDF & Email

Mitrardi Sangkoyo, anggota serikat mahasiswa progresif (SEMAR) UI dan mahasiswa ilmu politik UI

 

 

Judul Buku: Economic Valuation of Nature: The Price to Pay for Conservation? A Critical Exploration

Penulis: Jutta Kill

Penerbit: Rosa-Luxemburg-Stiftung, Brussels Office

Kota Terbit: Brussels, Belgia

Tahun Terbit: 2014

Tebal: vi + 58 halaman

EconomicValuation

 

“Deklarasi Kapital Alami merupakan inisiatif yang melampaui cerita ‘keberlanjutan’. Ia mengenai materialitas kapital alami untuk kesehatan institusi-institusi finansial.”

—Situs resmi Deklarasi Kapital Alami (deklarasi yang ditandatangani oleh lebih dari empat puluh institusi finansial saat Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pembangunan Berkelanjutan di Rio de Janeiro, 2012).[1]

 

“Tidak semua yang dapat dihitung patut dipertimbangkan, dan tidak semua yang patut dipertimbangkan dapat dihitung.”

—William Bruce Cameron.[2]

 

Permainan Baru, Logika Lama

Sejak paruh akhir abad ke-20 hingga sekarang, bersamaan dengan apa yang dijuluki Kari Polanyi Levitt[3] sebagai periode Finansialisasi Akbar (The Great Financialization),[4] telah muncul berbagai “inovasi” berupa diskursus, institusi, mekanisme, dan instrumen baru dalam memajukan apa yang disebut sebagai “ekonomi hijau” atau green economy.[5] Secara mendasar, inovasi-inovasi tersebut sebetulnya bukan realitas yang baru. Sajian ekonomi hijau hanya merupakan lanjutan dari proses “pemisahan” (secara fisik di lapangan dan secara ide di alam pikiran) manusia dengan alam, serta proses valorisasi (penetapan kembali nilai atau harga sesuatu) terhadap “sumber daya alam” yang merupakan sambungan dari proses pembarangan atau komodifikasi, yang semuanya telah dan tengah berlangsung secara intensif selama (paling tidak) tiga abad terakhir.[6] Wujud dari inovasi-inovasi ini boleh jadi mutakhir, namun yang mendasari mereka sejatinya adalah logika akumulasi dan ekspansi kapital yang inheren dalam kapitalisme sejak awal mula kelahirannya, yang butuh mengekuivalensikan segala sesuatu yang ada di langit, di bumi, dan di antara keduanya ke dalam relasi uang, agar dapat dieksploitasi dan dikapitalisasikan.

“Menu prasmanan” ekonomi hijau mengandung konsep-konsep kunci seperti “akuntansi kapital alami” (natural capital accounting), “finansialisasi alam” (financialization of nature) yang merupakan bagian dari finansialisasi-segalanya (financialization of everything), “jasa-jasa ekosistem” (ecosystem services), dan “kompensasi hilangnya keanekaragaman hayati” (biodiversity offsets). Dalam bukunya yang jika diterjemahkan berjudul “Penilaian Ekonomis Terhadap Alam”, Jutta Kill[7] berargumen bahwa ekspresi-ekspresi tersebut hampa makna. Konsep-konsep yang mendukung dan membenarkan mereka bersifat samar dan abstrak, dan terbuka terhadap interpretasi sporadis yang bergantung pada kepentingan “pribadi” dari pihak-pihak yang hendak mengeksploitasinya.[8] Di balik keabstrakannya, “cara-cara baru dalam mempresentasikan alam” tersebut justru memiliki implikasi-implikasi yang sangat nyata dan destruktif terhadap manusia dan ekologi.

Sebagai contoh, entitas-entitas sosial-ekologis yang menyejarah, seperti hutan yang tak terpisahkan dengan masyarakat—dengan segala bentuk pengetahuan hidup, ingatan sosial yang terintegrasi dalam praktik dan relasi sosial, kesadaran sosial-ekologis yang kolektif, dan subjektivitas pengalaman yang tak tergantikan—yang tinggal di dalamnya, dapat dengan penuh legalitas, restu, dan seringkali bantuan dari pasar dan negara, dihancurkan dan dihilangkan atas dalil “kompensasi” (yakni, “pembelian” izin untuk merawat atau menanam hutan di daerah lain sebagai ganti atas hutan yang dihancurkan) yang didasari atas perdagangan instrumen-instrumen finansial yang diciptakan atas komoditas-komoditas baru yang diada-adakan.[9] Contoh lain, negara-negara pengemisi terbesar di belahan utara bumi dapat terus memuntahkan emisi gas rumah kaca secara besar-besaran, bahkan melebihi batas maksimal yang diperbolehkan, karena “terkompensasi” oleh pembelian “kredit karbon”, yang mengharuskan negara-negara pemilik hutan berskala besar, seperti Indonesia, untuk merawat dan melindungi hutannya. Ekuivalensi bobot karbon dalam emisi dengan luas hutan yang hendak “dibeli” didasari proses valorisasi hutan yang menggunakan metode-metode “pengukuran” terhadap pohon, untuk mencoba menentukan jumlah “bobot karbon” yang dimiliki hutan.[10]

Secara mendasar, buku ini hendak berkontribusi terhadap perdebatan dan perlawanan publik yang kian membesar terkait dengan perjuangan masyarakat-masyarakat lokal di atas buminya Allah ini, yang tengah berupaya membalikkan krisis sosial-ekologis—mereka yang terdisilusi oleh rupa dan cara kerja “baru” (yang sejatinya sejak dulu tidak pernah berubah) dari kelas borjuasi yang, dalam bahasa Marx di Manifesto Komunis, “senantiasa merevolusionerkan perkakas-perkakas produksi dan karenanya merevolusionerkan hubungan-hubungan produksi, dan dengan itu semuanya merevolusionerkan segenap hubungan dalam masyarakat.”[11] Kill berargumen keras terhadap pandangan ekonomistik beserta kegemerlapan justifikasi “ilmiah” yang menyatakan bahwa alam harus divalorisasi dan dijadikan kasat mata oleh pelaku bisnis, pasar-pasar finansial, dan para pembuat kebijakan, dalam rangka menghentikan hilangnya keanekaragaman hayati. Justru, dengan tunduknya segala bentuk relasi kekuasaan dalam masyarakat terhadap mekanisme pasar, serta tercaploknya kerangka-makna berbasis subjektivitas masyarakat oleh mesin-perang kapitalisme, relasi dan syarat-syarat keselamatan sosial-ekologis kian mengalami perusakan dalam frekuensi yang mengeskalasi dan mengintensifikasi.[12]

Sebagai upaya untuk turut berkontribusi dan tidak tertinggal dalam perkelahian yang tengah berlangsung, tulisan ini akan mencoba memberikan saduran dan komentar terhadap substansi inti dari pemikiran Kill dalam bukunya, kemudian mencoba berikan kontekstualisasi permasalahan yang dipandang oleh Kill terhadap realitas krisis sosial-ekologis yang ada di kepulauan Indonesia. Semoga berguna untuk manusia dan alam.

 

Finansialisasi (Alam): Logika Dasar dan Mekanisme Internalnya

“Di mana bahkan sebuah akumulasi utang dapat tampak sebagai akumulasi kapital, puncak distorsi yang berlangsung dalam sistem kredit menjadi terlihat jelas.”

—Karl Marx.[13]

 

Dalam upaya menelanjangi tipu-daya pergerakan kapital dan institusi-institusi mutakhirnya di era kapitalisme global, salah satu konsep kunci yang perlu diperiksa terlebih dahulu ontologinya adalah finansialisasi, yang dalam bukunya Kill dielaborasikan sebagai finansialisasi alam. Secara garis besar, finansialisasi merupakan apresiasi terhadap aset-aset finansial (yakni, keuangan) yang meningkatkan klaim terhadap kekayaan, namun tidak terhadap output-nya secara riil. Menurut Gerald Epstein dalam tulisannya yang berjudul Financialization, Rentier Interests, and Central Bank Policy (2002), sebagai sebuah fenomena, finansialisasi merujuk pada peningkatan signifikansi pasar, motif, institusi, dan elit finansial dalam menjalankan ekonomi dan institusi-institusi yang mengurusinya, baik di tingkat nasional maupun internasional.[14] Pernyataan Epstein menggaungkan pernyataan Joseph Schumpeter, seorang ekonom dan ilmuwan politik, bahwa “pasar uang selalu merupakan markas besar sistem kapitalis.”[15] Pernyataan-pernyataan tersebut tampak mengafirmasi realitas krisis-krisis ekonomi internasional dalam dekade terakhir, yang secara langsung merupakan akibat dari tak terbendungnya praktik akumulasi yang ada dalam institusi-institusi finansial.[16]

Sebagai tren global yang mendominasi, finansialisasi modern muncul sejak paruh terakhir abad ke-20, dan menemukan basis materialnya pada revolusi teknologi informasi, sebagaimana industrialisasi dimungkinkan oleh revolusi industri.[17] John Bellamy Foster, profesor sosiologi di University of Oregon, menulis dalam The Financialization of Accumulation bahwa finansialisasi dapat didefinisikan sebagai perubahan jangka panjang di pusat gravitasi ekonomi kapitalis, dari produksi menjadi keuangan. Menurutnya, perubahan tersebut tercerminkan dalam segala aspek ekonomi, termasuk lima aspek utama yang menjadi kecenderungan umum dari finansialisasi, yang didorong dan ditopang oleh kebijakan ekonomi-politik neoliberal:

  • keuntungan keuangan yang meningkat sebagai bagian dari total keuntungan,
  • peningkatan utang yang relatif terhadap produk domestik bruto,
  • tumbuhnya FIRE (finance, insurance, real estate) sebagai bagian dari pendapatan nasional,
  • proliferasi instrumen-instrumen keuangan yang eksotis dan tidak tembus pandang, dan
  • peran yang semakin berkembang dari gelembung-gelembung keuangan.[18]

Untuk melihat secara lebih mendasar peran keuangan dalam ekonomi modern, pemikiran John Maynard Keynes di awal dekade 1930-an menjadi penting untuk diperiksa, terutama dalam A Monetary Theory of Production, yang secara signifikan terinspirasi oleh Marx dan rumus umum untuk kapital.[19] Keynes menekankan bahwa teori ekonomi ortodoks mengenai pertukaran didasarkan atas konsep ekonomi barter: uang diperlakukan dalam ekonomi ortodoks atau neoklasik sebagai sesuatu yang “netral”, yang seharusnya tidak memengaruhi sifat esensial dari sebuah transaksi sebagai pertukaran antarbenda yang nyata.[20] Sebaliknya, Keynes menawarkan teori moneter dari produksi: uang merupakan salah satu aspek operatif dari ekonomi. Foster menyebutkan bahwa keuntungan utama dari pendekatannya Keynes adalah bahwa ia menetapkan bagaimana krisis-krisis ekonomi dimungkinkan. Di sini, Keynes secara langsung menyerang Hukum Say, sebuah pemahaman ekonomi ortodoks bahwa penawaran menciptakan permintaannya sendiri, sehingga krisis ekonomi secara prinsipil merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Menentang ini semua, Keynes menulis bahwa “ledakan dan depresi merupakan fenomena-fenomena yang khas terhadap sebuah ekonomi di mana uang tidak netral.”[21] Berdasarkan penafsirannya terhadap rumus umum untuk kapital yang dikemukakan oleh Marx—yang menunjukkan keharusan mengintegrasikan dalam satu sistem antara yang riil dengan yang moneter, produksi dengan keuangan[22]—akumulasi uang atau kapital kemudian diafirmasi oleh Keynes sebagai satu-satunya tujuan dari sebuah perusahaan, dan karakteristik paling esensial dari sebuah “ekonomi wirausaha”.[23]

 

Berjalan mundur, secara lebih mendasar lagi, finansialisasi merupakan manifestasi dari analisis terhadap sistem keuangan kapitalis yang sebelumnya dikemukakan oleh Karl Marx. Marx mengatakan bahwa di dalam rumus umum untuk kapital (M–C–M’: kapital awal–komoditas–kapital awal ditambah dengan nilai-lebih[24]) terdapat kecenderungan dari kapital untuk berusaha mentransformasikan dirinya, murni menjadi sebuah ekonomi keuangan atau spekulatif. Rumus M–C–M’ kemudian dapat berubah menjadi M–M’: uang beranak uang tanpa rantai perantara berbentuk produksi komoditas—atau sebaliknya, uang itu sendiri yang mengalami komodifikasi. Marx menulis bahwa di dalam M–M’, “hubungan kapital mencapai bentuk yang paling dangkal dan terjimatkan.”[25] Jika pada awalnya M-M’ merujuk pada kapital berbunga (interest-bearing capital), seiring dengan perkembangan kapitalisme ia berubah menjadi permintaan spekulatif terhadap uang secara lebih umum. Marx menjelaskan bahwa kredit menggantikan posisi uang; kapital lambat laun menjelma sebagai bentuk duplikat dari dua tipe internalnya, yakni kapital riil (real capital—stok dari pabrik, peralatan, serta barang yang dihasilkan dari produksi) dan kapital fiktif (fictitious capital—struktur dari klaim-klaim finansial yang diproduksi oleh lembaran kertas-berharga yang berhak atas kapital riil). Marx menuturkan bahwa sejauh kegiatan ekonomi diarahkan menuju pengapresiasian kapital fiktif yang berada dalam dunia keuangan—ketimbang akumulasi dari kapital riil yang berada dalam dunia produksi—maka kapital itu sendiri telah bermetaformosis menjadi bentuk yang murni bersifat spekulatif.[26]

Finansialisasi alam merupakan langkah lanjut dari penciptaan nilai-tukar dari “barang” fiktif. Dapat dikatakan, apapun bisa dijualbelikan sebagai “produk” keuangan yang tidak memiliki wujud fisik. Produk-produk keuangan tersebut disebut sebagai turunan atau derivatives, dan “barang”-nya disebut sebagai underlying asset. (Penggunaan istilah asset juga menyingkap proses privatisasi-segalanya.) Apakah dengan “inovasi”, atau lebih tepatnya petualangan kapital keuangan ini, sistem kapitalisme terbebas dari krisis berkala? Tidak—justru, seperti yang disingkap oleh realitas, ia adalah konfirmasi bahwa sistem ini tengah menciptakan penggali kuburnya sendiri. Sesungguhnya finansialisasi alam, sendirinya bagian dari finansialisasi-segalanya, juga bersifat revolusioner bagi kapitalisme: daur waktu yang tadinya dibutuhkan untuk sirkuit produksi, barang dan realisasi profit, sekarang terbebaskan; cadangan minyak bumi telah dapat diperjualbelikan sebelum diekstraksi. Itu juga sesungguhnya dorongan di balik space closure dan gejala land grab (mirip dengan proses enclosure yang dihadapi masyarakat feudal Inggris yang memuncak di abad ke-18, segala cerita finansialisasi alam semakin berjalan beriringan dengan praktik “green grabbing” sebagai wujud terkini dari akumulasi primitif).[27]

Kill menambahkan bahwa finansialisasi dapat terjadi baik di tingkat komoditas yang diperdagangkan, di tingkat perusahaan (saat korporasi memperdagangkan barang-barang yang telah dijadikan komoditas), maupun di tingkat infrastruktur yang digunakan untuk berdagang di skala yang lebih besar.[28] Menurutnya, proses-proses finansialisasi terkini mencakup aspek pengada-adaan komoditas tambahan, seperti mengubah kapasitas peredaran karbon bumi menjadi izin karbon (carbon permits) yang dapat diperdagangkan. Menciptakan kelas aset dari komoditas yang diada-adakan tersebut merupakan bagian dari proses memfasilitasi akumulasi kapital yang lebih lanjut. Hal menarik dari finansialisasi alam adalah keterpautannya pada proses komodifikasi; tidak hanya secara fisik, namun terlebih dahulu secara makna. Ini yang Kill sebutkan sebagai pembingkaian, atau framing, terhadap seperangkat ekosistem dengan fungsi-fungsi tertentu, yang dikonversi menjadi “jasa-jasa ekosistem.”[29] Dalam konteks tersebut, sampai di sini finansialisasi alam dapat dipahami sebagai sebuah praandaian dari proses untuk memperlakukan daerah berhutan, padang rumput, pegununungan, dan wilayah-wilayah alam lainnya sebatas sebagai kumpulan “jasa-jasa ekosistem” yang mencakup antara lain keanekaragaman hayati, regulasi dan filtrasi air, serta penyimpanan dan pengikatan karbon (carbon storage and sequestration), yang nilai ekonominya dapat dihitung dan diekspresikan dalam terminologi moneter.[30]

Moneterisasi, penerapan harga, serta komersialisasi tersebut kemudian dilanjutkan oleh pembakuan hak-hak properti atas “jasa-jasa ekosistem” tertentu, ataupun atas tanah yang memproduksi “jasa-jasa” tersebut. Proses ini seringkali melibatkan privatisasi terhadap tanah yang tadinya dimaknai sebagai commons atau ruang-hidup bersama. Tanah beserta fungsi-fungsi yang disediakan olehnya, yang tadinya dapat secara terbuka diakses dalam rezim-rezim komunal atau properti publik, berubah menjadi properti privat. Privatisasi tersebut dilanjutkan oleh komersialisasi dari “jasa-jasa ekosistem”, yakni kontrol keuangan atas wilayah-wilayah alam serta penggunaan dan akses terhadapnya, berupa penciptaan struktur-struktur institusional untuk penjualan dan penukaran “jasa-jasa ekosistem”. Pada tahap ini, secara luas, finansialisasi alam dimengerti sebagai seluruh proses untuk meningkatkan pengaruh dari aktor, institusi, pasar, dan cara berpikir finansial terhadap persepsi masyarakat dan cara pendekatan masyarakat terhadap alam itu sendiri. Adapula yang menginterpretasikan finansialisasi alam secara lebih sempit, yakni berfokus hanya pada perdagangan placeholder dari satuan-satuan “jasa ekosistem” di atas platform-platform pertukaran,[31] yang melibatkan derivatif keuangan yang harganya berkembang independen dari aset “jasa ekosistem” yang aktual.[32]

 

Jejak Langkah Finansialisasi Alam di Panggung Global

“Dengan penciptaan mekanisme berbasis pasar untuk mengurangi emisi karbon, banyak orang yang sepertinya mengira bahwa mekanisme tersebut akan bertindak dalam cara yang nonpasar, alhasil mengurangi angka kemiskinan, memberikan manfaat bersama untuk pembangunan berkelanjutan. Tetapi, secara fundamental, kamu menciptakan pasar yang bertindak selayaknya pasar, yang mengejar di mana yang paling hemat biaya, di mana yang dapat menghasilkan keuntungan paling banyak. Menurut saya, siapapun yang tidak mengira bahwa sebuah instrumen pasar akan bertindak seperti itu tidak mengerti apa yang sedang mereka lakukan.”

—Michael Grubb, 2011, bekas ekonom kepala di Carbon Trust, menanggapi keluhan organisasi-organisasi nonpemerintah bahwa salah satu dari instrumen perdagangan karbon yang ada dalam Protokol Kyoto, Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism atau CDM), telah gagal untuk berkontribusi terhadap “pembangunan berkelanjutan” dalam cara yang dijanjikan di dokumen resminya.[33]

 

Kill memulai tuturannya tentang praktik ekonomi hijau di era kontemporer dengan sebuah eksplorasi dan pembandingan terhadap genealogi dan cara kerja dari berbagai inisiatif dalam ekonomi hijau tersebut, seperti Pengkajian Ekosistem Milenium (Millennium Ecosystem Assessment), proyek-proyek Akuntansi Kapital Alami (Natural Capital Accounting), Ekonomika Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati (The Economics of Ecosystems and Biodiversity atau TEEB), dan penerapan skema-skema Pembayaran untuk Jasa Lingkungan (Payment for Environmental Services atau PES) dalam skema-skema penilaian dan pembayaran ekonomis. Inisiatif-inisiatif tersebut berusaha mendeterminasi nilai ekonomis dari “alam”. Di bawah logika dari inisiatif-inisiatif tersebut, makna alam direduksi dan kemudian difragmentasi ke dalam ekosistem-ekosistem yang berbeda, yang antara lain terdiri dari satuan-satuan keanekaragaman hayati, karbon, air, spesies, atau bahkan “keindahan alami” (natural beauty).[34]

Proses-proses finansialisasi alam yang telah disebutkan pada kenyataannya merupakan bagian dari corak ekonomi-politik neoliberal yang lebih umum, yang kian mendominasi ranah publik.[35] Upaya-upaya serupa untuk mengorganisir ulang relasi kekuasaan dalam masyarakat tampak di bidang-bidang lain seperti kesehatan, pendidikan, transportasi, perikanan, agrikultur, dan infrastruktur. Bidang kesehatan, contohnya, tengah menyaksikan transformasi yang pelan tapi pasti, pertama dengan upaya untuk mengekspresikan relasi-relasi kepedulian (care relations) dalam terminologi ekonomis, yang kemudian dikonversi menjadi jasa-jasa yang terfragmentasi, yang ketersediaannya semakin lama dibatasi pada proses pertukaran melalui pembayaran.[36] Secara garis besar, terdapat dua argumen yang diajukan untuk membenarkan transformasi tersebut, baik dalam bidang alam maupun dalam jasa-jasa publik yang lain: pertama, mekanisme-mekanisme peraturan dan kultural yang sudah ada terbukti tidak efektif sebagai instrumen regulasi, dan kedua, instrumen-instrumen berbasis pasar untuk penyediaan dan pengaksesan jasa lebih efisien secara biaya. Yang diimplikasikan adalah, dengan mengurangi intervensi negara, penyediaan jasa maupun perlindungan terhadap wilayah-wilayah alam akan diserahkan kepada “pasar bebas” yang lebih efisien. Argumen-argumen ini diberikan di tengah banyaknya bukti bahwa negara sendiri memiliki peran kunci dalam mentransformasi kerjasama dan regulasi berbasis komunitas menjadi penyediaan dan pengaksesan “jasa” yang berbasis pasar dan berorientasi komersial.[37]

Garis depan dan titik rujuk bagi inisiatif finansialisasi alam adalah pasar karbon, yang menjadi rujukan dalam advokasi terhadap penyertaan semakin banyak elemen dari jejaring kehidupan ke dalam pasar kapital. Pasar dan perdagangan karbon sendiri memiliki sejarah yang panjang, yang menunjukkan persetubuhan antara institusi-institusi kapital dengan konvensi-konvensi internasional, komunitas-komunitas ilmuwan internasional, serta lembaga-lembaga aliansi negara-bangsa di tingkat global. Pendirian pasar karbon untuk perdagangan satuan ekuivalen dari gas rumah kaca (CO2e) pertama kali difasilitasi oleh Protokol Kyoto, sebuah perjanjian iklim internasional yang menetapkan berbagai target numerik untuk emisi-emisi gas rumah kaca. Dua konferensi internasional di Rio de Janeiro, Brazil, juga memainkan peran yang tak kalah pentingnya dalam inisiatif mempromosikan perspektif yang ekonomistik terhadap “alam”: Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity atau CBD) yang diadopsi di Konferensi Tingkat Tinggi Bumi 1992 (1992 Earth Summit) dan, dua puluh tahun kemudian, Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pembangunan Berkelanjutan (United Nations Conference on Sustainable Development atau Rio+20), yang merupakan titik temu yang krusial bagi para pendukung konsep “ekonomi hijau”.[38]

Apa yang dipromosikan di pertemuan-pertemuan tersebut antara lain mencakup usulan untuk “menghijaukan” (greening) aktivitas-aktivitas industrial yang merusak melalui mekanisme-mekanisme kompensatoris, seperti diperkenalkannya konsep “keanekaragaman hayati”, serta kompensasi-kompensasi lainnya. Konvensi Keanekaragaman Hayati mengukuhkan pandangan terhadap “alam” sebagai situs untuk “keanekaragaman hayati”, yang sendirinya merupakan konsep yang telah meningkat momentumnya sejak dekade 1970-an. Konsep tersebut memberi jalan untuk dapat mengkuantifikasikan “alam”, dan memberikan langkah kecil dari “keanekaragaman genetis” (genetic diversity)—sendirinya turunan dari keanekaragaman hayati—menjadi “sumber daya genetis” (genetic resources), yang alhasil mengisolasikan satuan-satuan yang berbeda (seperti keanekaragaman genetis) dari jejaring kehidupan yang lebih kompleks. Pada akhirnya, satuan-satuan tersebut dapat dideskripsikan, dikalkulasikan nilai ekonomisnya, dan ditentukan harganya.[39]

Pertemuan Rio+20 di tahun 2012 juga merupakan momentum penting untuk para pendukung skema akuntansi kapital alami (natural capital accounting), sebuah tolak ukur yang diajukan sebagai indikator alternatif terhadap produk domestik bruto. Uni Eropa dan Bank Dunia, melalui program Akuntansi Kekayaan dan Penilaian Jasa-Jasa Ekosistem (Wealth Accounting and the Valuation of Ecosystem Services atau WAVES—di tahun 2013, Indonesia bergabung dalam WAVES sebagai salah satu negara penerap inti[40]), meluncurkan serangkaian inisiatif akuntansi kapital alami. Saat Rio+20, lebih dari empat puluh pejabat eksekutif tertinggi bank, investor, dan penjamin modal yang didukung oleh sejumlah negara di dunia mengumumkan “Deklarasi Kapital Alami” (Natural Capital Declaration), sebuah “pernyataan global yang menunjukkan komitmen dari sektor finansial untuk bekerja mengintegrasi kriteria kapital alami ke dalam produk-produk dan jasa-jasa finansial.”[41]

Di samping pertemuan dan konvensi yang sudah disebutkan, institusi-institusi global juga tak kalah basahnya. Di akhir tahun 1999, sebuah komite yang di dalamnya terdapat Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Environmental Programme atau UNEP), Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Development Programme atau UNDP), Dewan Internasional untuk Ilmu Pengetahuan (International Council for Science), CGIAR, Institut Sumber Daya Dunia (World Resources Institute atau WRI), Bank Dunia (World Bank), Dewan Bisnis Dunia untuk Pembangunan Berkelanjutan (World Business Council for Sustainable Development), serta Serikat Konservasi Dunia (World Conservation Union), mengesahkan resolusi yang meminta didirikannya Pengkajian Ekosistem Milenium (Millennium Ecosystem Assessment atau MA).[42] Pada bulan Februari 2001, MA secara resmi diterapkan, dan mempublikasikan penemuan mereka di akhir bulan Maret 2005. MA secara umum dikenal sebagai penanda penting yang dengan kokoh menempatkan konsep “jasa-jasa ekosistem” dalam agenda kebijakan publik. Sejak penerapannya, literatur mengenai jasa-jasa ekosistem, termasuk pendanaan untuk proyek-proyek internasional yang menggunakan konsep tersebut, berlipat ganda. Inisiatif-inisiatif tersebut membantu membingkai secara umum permasalahan-permasalahan lingkungan global—dan, secara spesifik, hilangnya “keanekaragaman hayati” dan hutan—dalam terminologi-terminologi ekonomistik, dan menempatkan analisis biaya-manfaat (cost-benefit analysis) sebagai metode dasar untuk pengkajian.

Secara garis besar, Kill mengidentifikasi pelaku-pelaku yang terlibat dalam penciptaan pasar kapital alami menjadi enam kelompok, dan menyebutkan secara rinci beberapa nama dari pelaku tersebut, beserta jejaringnya dan hubungannya satu sama lain dalam praktik eksploitasi alam melalui instrumen dan pasar finansial:[43]

  • Institusi multilateral: Bank Dunia, Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Environment Programme atau UNEP), Serikat Internasional untuk Konservasi Alam (International Union for the Conservation of Nature atau IUCN).
  • Korporasi multinasional: Dewan Bisnis Dunia untuk Pembangunan Berkelanjutan (World Business Council for Sustainable Development atau WBCSD), Business for Social Responsibility (BSR), AkzoNobel, Eni, Holcim, Rio Tinto, Shell, Dow Chemical, Shell, Walt Disney Company, Anglo American, British American Tobacco, Olam, Atama, Arcelor Mittal, Lafarge, Eksom, dan lain-lain.
  • Industri finansial: lebih dari empat puluh lembaga finansial yang tergabung dalam Deklarasi Kapital Alami.
  • Organisasi nonpemerintah yang bergerak di bidang konservasi: Conservation International (CI), The Nature Conservancy (TNC), World Wide Fund for Nature (WWF), the Wildlife Conservation Society (WCS), dan Flora and Fauna International (FFI), dan lain-lain.
  • Spesialis dalam bidang pendanaan investasi dan pencipta pasar (market makers): Ecosystem Marketplace, Canopy Capital, Carbon Neutral Company, Climate Care, Bolsa Verde do Rio de Janeiro, Althelia, Terra Global, Forest Carbon Group, Wildlife Works, Ecosystem Restoration Associates, Program Kompensasi untuk Bisnis dan Keanekaragaman Hayati (Business and Biodiversity Offsets Programme atau BBOP) yang merupakan bagian dari grup Forest Trends.
  • Universitas dan badan-badan konsultasi: jaringan Valuing Nature Network yang berbasis di U.K. (koalisi universitas, institusi penelitian, perusahaan, dan organisasi nonpemerintah di bidang konservasi), dan lain-lain.

 

Komoditas Imajiner bertemu Pengetahuan Mustahil: Delusi Pertumbuhan Tak Terhingga di Planet yang Terbatas 

Kita sudah melihat bagaimana garis besar cara kerja proses finansialisasi, serta bagaimana ia bermanifestasi untuk merombak relasi-relasi makna dan nilai yang ada dalam alam. Terdapat satu bentuk praktik finansialisasi alam yang sebelumnya sudah disinggung, yakni mekanisme “kompensasi atas kehilangan” atau offset. Memeriksa dan memahami kecacatan logika dari mekanisme kompensasi secara lebih khusus merupakan salah satu kunci untuk membongkar absurditas industri ada-adaan ini.

Kredit-kredit kompensasi, atau offset credits—baik untuk emisi-emisi karbon dioksida, perusakan wilayah-wilayah alami, maupun hutan yang ditebang secara ilegal—memungkinkan pemegang “sertifikat kompensasi” untuk mengklaim bahwa efek dari polusi atau perusakannya telah dihapuskan (nullified). Agar dapat membenarkan klaim tersebut, tidak cukup untuk sebatas mengurangi emisi atau menyelamatkan sepetak hutan: pengurangan atau perlindungan harus ada sebagai tambahan dari pengurangan maupun perlindungan yang tadinya sudah direncanakan. Artinya, jika pengurangan yang digunakan sebagai kompensasi tersebut tidak bersifat tambahan, atau jika hutan yang diselamatkan sebelumnya tidak terancam ditebang, klaim dari pemegang “sertifikat kompensasi” bahwa dampak negatifnya terhadap lingkungan telah “dikompensasikan” menjadi tidak berdasar. Maka dari itu, penghitungan berapa banyak kredit yang dapat dijual oleh sebuah proyek kompensasi tergantung dari kemampuan untuk memperkirakan apa yang tadinya akan terjadi di kala absennya sebuah kondisi tertentu, serta kemampuan untuk dapat mengkuantifikasi—sampai pada tingkat presisi yang tinggi—bagaimana kondisi hipotetis tersebut tadinya akan berjalan.[44]

Pada kenyataannya, tidak mungkin untuk memverifikasi apa yang seharusnya akan terjadi dalam absennya sebuah kondisi tertentu; yang terjadi murni adalah sebuah proses spekulasi. Kendatipun demikian, setiap proyek kompensasi perlu menuturkan cerita tentang persisnya berapa ton CO2 yang seharusnya akan dilepaskan dalam “masa depan hipotetis” yang tidak melibatkan “proyek kompensasi karbon” tersebut, atau berapa hektar hutan yang akan hilang seandainya sebuah proyek REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation), misalnya, tidak ada. (Dalam kasus tersebut, proyek kompensasi juga perlu mengonversikan jumlah hektar hutan yang tidak ditebang menjadi jumlah ton CO2 yang “diselamatkan”, alhasil membutuhkan praktik tebak-tebakan lebih lanjut.) Sementara itu, instansi-instansi yang menyetujui “kredit kompensasi” perlu memverifikasi bahwa seluruh cerita tersebut tidak terjadi, dan tidak akan pernah terjadi. Kendati teknik-teknik pengukuran untuk emisi-emisi CO2 dari hutan dapat dikembangkan, pada akhirnya mereka tidak akan berdaya untuk memungkinkan penghitungan-penghitungan “kompensasi” agar dapat diverifikasi.[45]

Berdasarkan paradoks-paradoks tersebut, “kredit kompensasi” dideskripsikan Kill sebagai komoditas imajiner, yang dihasilkan oleh perbedaan antara apa yang terjadi dan cerita tentang apa yang tadinya akan terjadi. Dalam praktiknya, para pembeli “kredit kompensasi” sejatinya membayar untuk sebuah pendongengan, bukan untuk “jasa-jasa ekosistem”. Seperti halnya logika finansialisasi pada dasarnya, industri kredit kompensasi merupakan industri ada-adaan yang mengklaim memiliki akses terhadap apa yang disebutkan oleh Kill sebagai “pengetahuan mustahil” (impossible knowledge); tuan mereka hanyalah pasar dan logika akumulasi dan ekspansi internalnya sendiri.[46]

Mendekati akhir buku, Kill secara eksplisit membongkar beberapa mitos seputar penilaian ekonomis terhadap alam. Secara keseluruhan, mitos-mitos tersebut hanya mencoba untuk membenarkan melalui pencari-carian alasan, atau untuk mengandaikan kondisi yang dapat menjadikan penilaian ekonomis terhadap alam sebagai sesuatu yang bermanfaat. Yang melemahkan mitos-mitos tersebut adalah keterikatannya pada logika dasar finansialisasi yang dalam praktiknya berimplikasi langsung pada krisis sosial-ekologis. Berikut saduran dari mitos-mitos tersebut beserta kontra-argumen yang diberikan Kill:[47]

  • “Satu-satunya cara untuk menyelamatkan alam adalah dengan menunjukkan nilai ekonomisnya”: Kenyataannya, finansialisasi alam tidak hanya gagal menyelamatkan alam—ia juga mengakibatkan krisis bagi manusia yang menjadi alam sebagai tempat tinggal. Seluruh cerita tentang penilaian ekonomis terhadap alam mengeksklusikan subjek sejarah yang menempati wilayah-wilayah alam tersebut, yang justru telah ikut serta membentuk komposisi, struktur, dan penampilan dari wilayah alami yang mereka duduki, sesuai dengan kesadaran sosial-ekologis yang paling ramah dan efisien menurut pengetahuan hidup (living knowledge) mereka. Selain itu, masyarakat kehilangan tanahnya bukan karena kurangnya cara untuk mengakuntansikan nilai dari ekosistem dan keanekaragaman hayati, melainkan karena cara-cara masyarakat untuk mengkaji dan mempertahankan nilai—ekonomis, kultural, spiritual, inheren—dari wilayah yang mereka sebut sebagai “rumah” secara terus-menerus dikikis, diabaikan, atau bahkan ditekan di kala kepentingan-kepentingan eksternal membuat keputusan tentang penggunaan tanah. Banyaknya konflik seputar penggunaan tanah antara komunitas dan korporasi—yang seringkali dibantu oleh aparat negara—menjadi saksi atas fakta tersebut.
  • “Menghitung nilai ekonomis tidak sama dengan menaruh “tempelan harga” di atas alam”: Pendeskripsian sesuatu berdasarkan nilai-nilai ekonomis dan penerapan nilai ekonomis terhadapnya, walaupun tidak secara otomatis melibatkan komodifikasi atau penghargaan (pricing), mendukungnya secara praktik dengan pemberian insentif ekonomis terhadap terciptanya pasar untuk instrumen-instrumen finansial.
  • “Hutannya juga lambat laun pasti akan dihancurkan. Daripada tidak mendapat apa-apa, lebih baik membuat perusahaan-perusahaan membayar untuk kerusakan yang mereka hasilkan”: Argumen tersebut merupakan alat psikologis korporasi untuk melemahkan perlawanan dan gerakan di tingkat komunitas, dan menjadi hampa di hadapan kasus-kasus seperti masyarakat Tupinikim dan Guarani, Nuxalk, Navajo, gerakan No TAV atau gerakan No Dirty Gold di Rosia Montana, yang semuanya berhasil bertahan melawan korporasi besar dan bahkan mampu merebut kembali tanah-tanah mereka yang tadinya dalam status sengketa.
  • “Kompensasi seharusnya hanya digunakan sebagai pilihan terakhir”: Perdagangan “kompensasi” tidak mengusahakan apa-apa untuk mengubah model terkini dari produksi dan konsumsi yang menjadi tumpuan dari banyaknya krisis sosial-ekologis yang sedang dihadapi, termasuk perusakan perlahan dari sistem-sistem pendukung alami yang menopang kehidupan manusia. Sebaliknya, ia bergantung penuh pada model tersebut dan menguatkannya. Perdagangan, baik dalam “kompensasi” maupun “ekonomi hijau”, didasari atas asumsi bahwa pertumbuhan dan akumulasi kapital yang tak terhingga dimungkinkan di atas planet yang secara fisik terbatas.
  • “Sebuah bentuk penilaian diperlukan untuk menentukan kompensasi yang akurat atas kerusakan setelah terjadinya, misalnya, kebocoran minyak”: Penilaian ekonomis melayani pembenaran perusakan di masa depan melalui pembayaran awal (advance payment) dalam bentuk paket-paket kompensasi, perbankan keanekaragaman hayati (biodiversity banking) dan kompensasi konservasi. Menilai “alam” berdasarkan istilah-istilah ekonomis mengandaikan bahasa, metodologi, dan data yang dipersiapkan adalah sama. Hal ini terlepas dari apakah konteksnya adalah untuk menentukan ukuran denda sebagai hukuman untuk kehilangan dan kerusakan di masa lalu, maupun sebagai kompensasi untuk membenarkan perusakan di masa depan atas wilayah-wilayah alami.

 

Penutup: Kontekstualisasi Krisis dan Kekerasan Epistemik

“Tentram, aman di kampung, banyak gunung yang nggak bisa dibeli oleh uang yang banyak. Walau jadi petani, gak apa-apa, aku bangga jadi petani. […] Kami itu cinta lingkungan, cinta ibu pertiwi, sama seperti cinta ibu sendiri. […] Ibu pertiwi lagi kesusahan. Usus-ususnya, jantungnya mau dikeruk. Dia meminta tolong.”

—Sukinah, 2014, petani Rembang, di seminar “Keadilan Ekologis” yang diadakan Komunitas Mahasiswa Filsafat, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia.[48]

 

“Apakah kamu dua puluh ribu dolar lebih sehat hari ini?”

—Hendro Sangkoyo.[49]

 

Salah satu bagian terpenting dari teori, konsep, tulisan, cerita, ataupun tuturan apapun adalah kontekstualisasi. Apa pentingnya untuk kehidupan di sekeliling kita? Penuturan Kill mengenai akal-akalan institusi kapital keuangan dan krisis sosial-ekologis yang diimplikasikannya bukan sesuatu yang jauh dari kita, yang merupakan problematik orang-orang di Eropa, India, atau Amerika Latin saja. Cerita finansialisasi alam tengah berkait kelindan dengan kehidupan kita sehari-hari yang tinggal di Indonesia, karena pada intinya, ada satu realitas inheren yang mengikat kita semua: kita semua tinggal di atas pulau. Apa pentingnya kenyataan yang tampaknya sederhana tersebut? Di tengah skema-skema penilaian ekonomis terhadap alam (termasuk di dalamnya Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia atau MP3EI), pandangan ekonomistik korporasi dan pengurus publik dalam memandang relasi-relasi sosial-ekologis tengah mengubah makna pulau dari sebuah entitas sosial-ekologis menyejarah—yang di samping pusaka sosio-kultural yang inheren dalam masyarakat-masyarakat yang menempatinya, juga memiliki infrastruktur ekologisnya masing-masing yang khas, guna menopang kehidupan manusia dan spesies flora-fauna yang lain—menjadi sebatas lokasi spasial yang tak bernyawa untuk dikonversi manusia dan proses-proses alami yang ada di dalamnya menjadi rangkaian barang yang maknanya hadir (dan dihadir-hadirkan) hanya untuk dapat dieksploitasi, agar dapat menghasilkan nilai-tukar yang setinggi-tingginya. Tak ada pulau yang terlalu kecil untuk dikeruk, tak ada pulau yang terlalu besar untuk dirusak.

Salah satu contoh pahit dampak finansialisasi alam di kepulauan Indonesia datang dari pulau Kalimantan, yang merupakan lokasi proyek REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation), sebuah inisiatif berbasis kredit kompensasi karbon yang dideklarasikan di Konferensi Pihak-Pihak yang tergabung dalam Konvensi Kerangka untuk Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (Conference of the Parties to the UNFCCC atau COP-13) di Bali pada tahun 2007.[50] Di tahun yang sama, sebuah kesepakatan bilateral tentang hutan dan iklim ditandatangani oleh pemerintah Indonesia dan Australia, yang bernama Kerjasama Hutan dan Iklim Kalimantan (Kalimantan Forests and Climate Partnership atau KFCP). Kerjasama tersebut dikelola bersama oleh AusAID dan Departemen Perubahan Iklim dan Efisiensi Energi Australia (Department of Climate Change and Energy Efficiency atau DCCEE), serta melibatkan beberapa organisasi nonpemerintah seperti Wetlands International, Borneo Orangutan Survival Foundation, CARE dan WWF. Pemerintah Australia menjanjikan AUS$47 juta untuk KFCP, sedangkan Bank Dunia berperan sebagai perantara finansial untuk AUS$8,4 juta dari alokasi tersebut.[51]

Sebagai proyek percontohan untuk REDD, KFPC menargetkan melindungi tujuh puluh ribu hektar hutan gambut, mengairi kembali dua ratus ribu hektar lahan gambut yang sebelumnya dikeringkan, dan menanam seratus juta pohon selama periode tiga puluh tahun. Lokasi proyek ditetapkan di sebagian kecil dari rawa gambut yang sebelumnya telah dikeringkan di tahun 1990-an untuk megaproyek pangan raksasa yang diinisiasikan oleh Soeharto.[52] Dalam data tentang KFPC yang tersedia di situs Bank Dunia, terungkap pula peran KFCP dalam menyiapkan pasar kompensasi karbon hutan di masa depan.[53]

Realitas di lapangan jauh berbeda dari apa yang dicanangkan: proyek tersebut menghasilkan kebingungan dan konflik di antara komunitas lokal yang seharusnya merupakan “penerima manfaat”. Sekitar sembilan ribu orang, sebagian besar masyarakat Dayak Ngaju, tinggal di “lokasi proyek”, dalam dua belas sampai lima belas kampung di sepanjang Sungai Kapuas. Menurut laporan wartawan Anett Keller dari Jerman: “Proyek tersebut direncanangkan tanpa melibatkan mereka [masyarakat lokal]. Informasi penting ditahan dari mereka. Hasilnya, hanya lima puluh ribu pohon [dari seratus juta pohon] yang pernah ditanam. Bahkan yang sebenarnya ditanam di wilayah yang dipersiapkan sebagai tempat penanaman pohon berjumlah lebih sedikit lagi. Pemblokiran kanal-kanal drainase juga gagal di berbagai tempat, dikarenakan perlawanan dari penduduk lokal. Selama bertahun-tahun, kanal-kanal drainase tersebut merupakan cara untuk masyarakat dapat berjalan ke pohon-pohon karet mereka.”[54] Selain itu, dalam kebudayaan Dayak Ngaju, tindakan menanam pohon mengamankan hak-hak kedudukan tanah pribadi (individual land tenure rights) di atas wilayah yang ditanam. Aktivitas KFCP dalam menanam pohon kemudian dapat diinterpretasikan sebagai penekanan hak-hak kepemilikan asing atas tanah milik komunitas.

Tahun 2013, di hadapan tekanan internasional yang semakin besar, KFCP diam-diam diberhentikan, tanpa akuntabilitas mengenai untuk apa investasi AUS$47 juta tersebut digunakan, maupun output yang dihasilkannya.[55] Kenyataannya, KFCP dan proyek-proyek REDD lainnya sudah rusak sejak dalam kandungan: mereka hanya alat politik untuk membenarkan mesin industri global yang enggan untuk mengubah, bahkan untuk beradaptasi, terhadap krisis ekosfera yang semakin memburuk; untuk memburamkan kenyataan bahwa yang secara empiris dan historis paling menyumbang terhadap emisi gas rumah kaca, adalah negara-negara yang kerap mencari-cari alasan untuk tetap mempertahankan praktik akumulasi dan ekspansi, beserta gaya hidup berlebihan yang sendirinya berkontribusi pada perusakan.

Orang-orang Dayak Ngaju menjadi korban politik dalam orgy global yang melibatkan institusi dan organisasi besar negara, bisnis, akademisi, dan komunitas “ilmuwan”, yang bertuan pada logika akumulasi dan ekspansi kapital. Merekalah, orang-orang biasa, yang kian kembali harus menanggung beban terbesar dari mereka yang tak lelah-lelah jalankan “tugas suci” menimbun kekayaan. Sementara orang Dayak Ngaju diadu-dombakan dan dipatronase oleh inovasi “orang-orang pintar” yang dirumuskan di menara-menara gading di balik pintu-pintu tertutup, para konsumen kelas menengah ke atas dapat terus menikmati mobil SUV, kartu frequent flyer, dan paket-paket wisata mereka, aman dan tentram hati nuraninya dalam kesadaran palsu bahwa segala emisi mereka mampu “disubsidi” oleh masyarakat-masyarakat seperti Dayak Ngaju melalui pembelian kredit-kredit kompensasi karbon.[56]

Kisah dari Kalimantan seharusnya menjadi bunyi alarm untuk kita semua. Dia bukan anomali, melainkan penanda awal dari masterplan penilaian ekonomis terhadap segala sesuatu yang kita anggap berharga—sungguh-sungguh berharga, maksudnya—di atas kepulauan dan di dalam kehidupan kita ini.[57] Kisah finansialisasi alam beserta segala diskursus, instrumen, institusi, dan mekanisme yang berhubungan dengannya, sejatinya merupakan pengingat kepada kita bahwa garis depan medan perlawanan jauh lebih kompleks, lebih tak kasat mata, dari yang kita pikirkan.

Di balik seluruh cerita kontestasi fisik atas wilayah-wilayah alam yang bermanifestasi kekerasan dan penggusuran terhadap manusia dalam konflik-konflik land grabbing, terdapat cerita yang lebih dalam mengenai—meminjam ekspresi Spivak—“kekerasan epistemik” yang kian mencaplok kerangka-makna (meaning framework) dan serpihan-serpihan terakhir subjektivitas yang melekat pada manusia sebagai subjek sejarah dalam entitas sosial-ekologis menyejarah yang ditempatinya. Sebagai gantinya, kerangka-makna sistem pasar, melalui kooptasi bahasa, menjadi dominan, memburamkan segala alternatif yang lain, hendak memaksakan realitas baru berdasarkan kesadaran palsu. Contohnya, kata “hijau” sebagai upaya me-“re-presentasi” konsep samar mengenai fisikalitas alam akhirnya terkooptasi, terkorupsi dalam oksimoron-oksimoron yang menjadi bagian dari perkakas dapur kapitalisme: “pertambangan hijau”, “ekonomi hijau”, bahkan “kapitalisme hijau”, yang justru berelasi inheren dengan krisis.

Yang diperlukan adalah upaya untuk melebarkan sayap-sayap kesadaran kita terhadap medan pertempuran yang ada di muka, menemukan kembali makna baru dari “solidaritas” dalam konteks krisis sosial-ekologis yang sedang kita alami, dan berikhtiar dalam menyelamatkan buminya Allah dan segenap makhluk di atasnya dari kerusakan. Selamat datang di realitas terkini: tidak ada di antara kita yang tidak tinggal di atas pulau. Perlawanan dan pemulihan yang sedang diupayakan sekarang merupakan titik krusial dalam menentukan makna kepulauan yang kita injak-injak: akankah ia dimaknai ulang dan diterima secara pasif sebatas sebagai “salah satu dari enam lorong derita (MP3EI)”, atau akankah kita rebut dan hidupkan kembali dirinya sebagai pulau-pulau harapan, pulau-pulau generasi mendatang—anak-cucu kita—yang belum lahir, pulau-pulau pusat pembalikan krisis? Bismillah, Gusti Allah mboten sare, dan rakyat tidak pernah bodoh.

 

Daftar Pustaka

Bollier, David. Interpretive Summary of the Asian Deep Dive on Economics and the Commons. Common Strategies Group, 2012.

Castells, Manuel. The Rise of the Network Society. Massachusetts: Blackwell Publishers, 1996.

Epstein, Gerald. Financialization, Rentier Interests, and Central Bank Policy. Amherst: University of Massachusetts, 2002.

Foster, John Bellamy. “The Financialization of Capital and the Crisis.” Monthly Review, 2008. http://monthlyreview.org/2008/04/01/the-financialization-of-capital-and-the-crisis/

Foster, John Bellamy. “The Financialization of Accumulation.” Monthly Review, 2010. http://monthlyreview.org/2010/10/01/the-financialization-of-accumulation/

Friends of the Earth. “Not for Sale: the fantasy of carbon offsetting.” YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=A4uvl7s5MXM

Harvey, David. A Brief History of Neoliberalism. Oxford: Oxford University Press, 2005.

Kill, Jutta. Economic Valuation of Nature: The Price to Pay for Conservation? A Critical Exploration. Brussells: Rosa-Luxemburg-Stiftung, 2014. http://www.rosalux.de/fileadmin/rls_uploads/pdfs/sonst_publikationen/Economic-Valuation-of-Nature.pdf

Kill, Jutta. REDD: A Gallery of Conflicts, Contradictions, and Lies. Montevideo: World Rainforest Movement, 2014. http://wrm.org.uy/wp-content/uploads/2014/12/REDD-A_Gallery_of_Conflict_Contradictions_Lies.pdf

Levitt, Kari Polanyi. “The Great Financialization.” John Kenneth Galbraith Prize Lecture, Juni, 2008. http://www.karipolanyilevitt.com/wp-content/uploads/2011/01/The-Great-Financialization.pdf

Lohmann, Larry. “The Endless Algebra of Climate Markets.” Capitalism Nature Socialism, 2011. http://www.thecornerhouse.org.uk/sites/thecornerhouse.org.uk/files/LohmannCNSarticle.pdf

Marx, Karl. Capital: A Critique of Political Economy, Volume I: The Process of Production in Capital. Marx/Engels Internet Archive (marxists.org), 1995, 1999. http://www.marxists.org/archive/marx/works/download/pdf/Capital-Volume-I.pdf

Marx, Karl dan Friedrich Engels (ed.). Capital: A Critique of Political Economy, Volume III: The Process of Capitalist Production as a Whole. Marx/Engels Internet Archive (marxists.org), 1999. http://marxists.org/archive/marx/works/download/pdf/Capital-Volume-III.pdf

Marx, Karl dan Friedrich Engels. Manifesto of the Communist Party. Marx/Engels Internet Archive (marxists.org), 1987, 2000. http://marxists.org/archive/marx/works/download/pdf/Manifesto.pdf

Naughten, Austen. “Designed to fail? The concepts, practices and controversies behind carbon trading.” FERN, 2010. http://www.fern.org/sites/fern.org/files/FERN_designedtofail_internet_0.pdf

“Proyek Lahan Gambut Atasi Pangan Bangsa.” Banjarmasin Pos. 16 November, 1996. http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1996/11/16/0084.html.

REDD Monitor. [Situs resmi.] http://www.redd-monitor.org/redd-an-introduction/

Spivak, Gayatri Chakravorty. “Can the Subaltern Speak?” dalam Marxism and the Interpretation of Culture. Cary Nelson dan Lawrence Grossberg (eds.). Urbana, IL: University of Illinois Press, 1988: 271-313.

The Natural Capital Declaration. [Lebih dari empat puluh pejabat eksekutif tertinggi institusi-institusi finansial.] 2012. http://www.naturalcapitaldeclaration.org/wp-content/uploads/2012/04/NaturalCapitalDeclaration.pdf

Wealth Accounting and the Value of Ecosystem Services (WAVES). [Situs resmi.] http://www.wavespartnership.org/en/about-us

[1]The NCD [Natural Capital Declaration] is an initiative that goes beyond sustainability. It is about the materiality of natural capital to the health of financial institutions.http://www.naturalcapitaldeclaration.org/

[2]Not everything that can be counted counts, and not everything that counts can be counted.” William Bruce Cameron, Informal Sociology: A Casual Introduction to Sociological Thinking (Random House, 1963), h. 13.

[3] profesor emiritus ekonomi dari McGill University di Montreal dan anak dari filsuf Karl Paul Polanyi

[4]I suggest that the transformational process, which has unravelled the institutional framework that sustained the good times of the 1960s and 1970s, might be called The Great Financialization. It had its origins in the dissolution of the Bretton Woods financial order, gathered momentum in the 1980s, and exploded in the mid 1990s.” Kari Polanyi Levitt, The Great Financialization (John Kenneth Galbraith Prize Lecture, Juni, 2008), h. 9.

[5] Jutta Kill, Economic Valuation of Nature: The Price to Pay for Conservation? A Critical Exploration (Brussels: Rosa-Luxemburg-Stiftung, 2014). h. 5.

[6] Untuk analisis historis yang tajam mengenai genealogi komodifikasi alam, baca James C. Scott, Seeing Like A State: How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed (Yale: Yale University Press, 1999).

[7] Kill, op. cit., h. ii. Jutta Kill menempuh pendidikan formal sebagai ahli biologi. Perempuan yang sejak 1993 bekerja sebagai aktivis, juru kampanye lingkungan, dan peneliti tersebut telah menggabungkan penelitian akademis dan penelitian aksi dengan kampanye dalam rangka mendukung komunitas-komunitas yang tinggal di hutan, yang ekonomi tradisional serta pola hidupnya terancam oleh deforestasi dan solusi-solusi palsu terhadap krisis deforestasi dan iklim. Penelitiannya telah menyoroti peran skema-skema sertifikasi sukarela, pasar karbon, serta “ekonomi alam baru” dalam memelihara perdagangan yang timpang secara ekologis, yang semuanya berhubungan erat dengan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, hak atas tanah, dan penggunaan lahan tradisional masyarakat. Sejak tahun 2000, Kill telah berkontribusi terhadap analisis dalam menunjukkan bagaimana perdagangan dengan izin-izin untuk mencemari merupakan solusi yang palsu terhadap krisis iklim. Kill telah mendokumentasikan dampak-dampak lokal dari berbagai proyek yang memproduksi kredit-kredit emisi yang diperdagangkan dalam pasar-pasar internasional untuk emisi gas rumah kaca. Dokumentasi terkini mencakup laporan terhadap REDD dan proyek-proyek kompensasi hilangnya keanekaragaman hayati (biodiversity offsets) di Amerika Latin dan Afrika.

[8] Kill, ibid., h. 5–6. Kill menjelaskan bagaimana “alam” (nature) itu sendiri tidak sekadar kata, namun merupakan konsep—sebuah konstruksi sosial yang mengandung makna tersembunyi yang menghalangi adanya perdebatan yang konstruktif tentang nilai-nilai dan proses penilaian “alam” itu sendiri. Kebanyakan bahasa asli dan oral tidak memiliki kata yang sepadan untuk merepresentasikan “alam”, melainkan memiliki nama-nama spesifik untuk lokasi-lokasi spesifik. Kadang, bahkan, terdapat lebih dari satu nama untuk satu lokasi spasial yang sama, tergantung dari aspek-aspek spesifik dari jejaring kehidupan dalam lokasi yang sedang dirujuk. Kata “alam” memicu interpretasi, citra, dan asosiasi yang berbeda-beda dalam pikiran orang-orang yang berbeda-beda pula. Terkait dengan diskursus “ekonomi alam baru”, kata “alam” dijadikan alat untuk mengabstraksi “jasa-jasa ekosistem” dan mengekstraksi nilai ekonomis yang melekat padanya. “Alam” dapat dengan mudahnya mengeksklusikan tempat-tempat yang memiliki nilai yang besar untuk masyarakat, kendati tempat tersebut tidak berskor tinggi di skala “nilai konservasi tinggi” atau “jasa ekosistem”.

[9] Ibid.

[10] Untuk informasi dan kritik lebih lanjut tentang pasar dan perdagangan karbon—yakni, pembukaan kapasitas peredaran karbon bumi terhadap penilaian ekonomis dan perdagangan di pasar-pasar finansial—baca publikasi-publikasi oleh Carbon Trade Watch [http://www.carbontradewatch.org/publications/carbon-trading-how-it-works-and-why-it-fails.html], The Corner House [http://www.thecornerhouse.org.uk/resource/endless-algebra-climate-markets], dan Fern [http://www.fern.org/designedtofail].

[11] Karl Marx dan Friedrich Engels, Manifesto of the Communist Party (Marx/Engels Internet Archive (marxists.org), 1987, 2000). “The bourgeoisie cannot exist without constantly revolutionising the instruments of production, and thereby the relations of production, and with them the whole relations of society.”

[12] Kill, op. cit., h. 10.

[13] Karl Marx dan Friedrich Engels (ed.), Capital: A Critique of Political Economy, Volume III: The Process of Capitalist Production as a Whole (Marx/Engels Internet Archive (marxists.org), 1999), h. 327. “[W]hereby even an accumulation of debts may appear as an accumulation of capital, the height of distortion taking place in the credit system becomes apparent.”

[14] Kill. op. cit., h. 12.

[15] John Bellamy Foster, The Financialization of Accumulation (Monthly Review, 2010), http://monthlyreview.org/2010/10/01/the-financialization-of-accumulation/. “The money market is alwaysthe headquarters of the capitalist system.”

[16] Untuk penjelasan yang komprehensif mengenai peran finansialisasi dalam jejaring krisis ekonomi di dekade terakhir, baca John Bellamy Foster, The Financialization of Capital and the Crisis (Monthly Review, 2008), http://monthlyreview.org/2008/04/01/the-financialization-of-capital-and-the-crisis/.

[17] Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai genealogi finansialisasi modern terkait dengan materialitas revolusi informasi teknologi, baca Manuel Castells, The Rise of the Network Society (Massachussets: Blackwell Publishers, 1996).

[18] Foster 2010, op. cit.

[19] Ibid.

[20] Ibid., He [Marx] pointed out that the nature of production in the actual world is not, as economists seem often to suppose, a case of C-M-C′, i.e., of exchanging commodity (or effort) for money in order to obtain another commodity (or effort). That may be the standpoint of the private consumer. But it is not the attitude of business, which is a case of M-C-M′, i.e., of parting with money for commodity (or effort) in order to obtain more money.

[21] Ibid.

[22] Ibid.

[23] Ibid. The firm is dealing throughout in terms of sums of money. It has no object in the world except to end up with more money than it started with. That is the essential characteristic of the entrepreneur economy.”

[24] Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, Volume I: The Process of Production in Capital (Marx/Engels Internet Archive (marxists.org), 1995, 1999). “M-C-M is therefore in reality the general formula of capital as it appears prima facie within the sphere of circulation.

[25] Foster 2010, op. cit. “the capital relationship reaches its most superficial and fetishized form.”

[26] Ibid.

[27] Kill, op. cit., h. 53.

[28] Ibid., h. 12. Contoh di mana satu barang mengalami finansialisasi dalam tiga tingkatan yang berbeda adalah minyak: minyak itu sendiri sebagai komoditas, perusahaan-perusahaan yang memperdagangkan minyak, serta infrastruktur yang digunakan untuk mengekstraksi serta memperdagangkan minyak ataupun derivatif-derivatif (yakni, instrumen keuangan) minyak.

[29] James C. Scott dalam Seeing Like a State mengeksplorasi bagaimana perombakan makna tersebut sudah terjadi di hutan-hutan Eropa sebelum revolusi industri, bersamaan dengan muncul dan berkembangnya filsafat utilitarianisme.

[30] Kill, op. cit.

[31] Ibid., h. 21. Dalam kasus “jasa-jasa lingkungan”, bukan “jasa” itu sendiri yang diperdagangkan, melainkan sertifikat yang merepresentasikan jaminan bahwa “jasa” tersebut ada dalam lokasi, kuantitas, dan kualitas tertentu. Sertifikat tersebut kerap disebut sebagai kredit kompensasi (offset credit).

[32] Ibid., h. 13.

[33] Ibid., h. 30. “Having created a market-based mechanism to cut carbon, a lot of people seem to expect it to behave in a non-market way and deliver poverty alleviation, deliver sustainable development co-benefits. But fundamentally, you create a market, its behaving the way markets do, it chases where are the most cost effective things, where can they make the most profits and I think that anyone who didnt expect a market instrument to behave in that way didnt understand what they were doing.”

[34] Ibid., h. 6.

[35] Ibid., h. 8.

[36] Literatur mengenai praktik ekonomi-politik neoliberalisme dalam mentrasformasi jasa-jasa publik banyak dan tersebar. Untuk pengantar sekaligus kontribusi analisis historis yang tajam, baca David Harvey, A Brief History of Neoliberalism (Oxford: Oxford University Press, 2005).

[37] Kill, op. cit., h. 10.

[38] Ibid., h. 8–9.

[39] Ibid., h. 9.

[40] Untuk penjelasan lebih lanjut, lihat situs resmi WAVES, http://www.wavespartnership.org/en/about-us.

[41] Ibid., h. 10. Deklarasi Kapital Alami kini telah ditandatangani oleh lebih dari empat puluh institusi finansial. Untuk penjelasan lebih lanjut, lihat situs resmi Deklarasi Kapital Alami di http://www.naturalcapitaldeclaration.org/.

[42] Ibid., h. 9. Beberapa bulan kemudian, Konvensi Keanekaragaman Hayati beserta Konvensi untuk Memerangi Penggurunan (Convention to Combat Desertification atau CCD) secara resmi mendukung MA sebagai mekanisme untuk memenuhi bagian-bagian tertentu dari kebutuhan pengkajian mereka. Pada bulan Oktober 2000, Bank Dunia menyetujui pinjaman empat tahun sebesar US$2 juta kepada MA, sementara UNEP setuju memberikan dana US$200.000 per tahun.

[43] Ibid., h. 25.

[44] Ibid., h. 24.

[45] Ibid.

[46] Ibid.

[47] Ibid., h. 39.

[48] Notulensi pribadi.

[49] David Bollier, Interpretive Summary of the Asian Deep Dive on Economics and the Commons (Common Strategies Group, 2012), h. 3. “Are you $20.000 healthier today?

[50] Premis utama REDD adalah bahwa pemerintah, perusahaan, maupun pemilik hutan harus diberikan penghargaan atas upaya mereka untuk menjaga hutan mereka, ketimbang menebangnya. Penghargaan berupa pembayaran tersebut tidak diberikan atas dasar menjaga hutan, melainkan untuk mengurangi emisi-emisi dari deforestasi dan degradasi hutan melalui mekanisme kompensasi. Untuk pengantar mengenai polemik REDD, lihat situs REDD Monitor, http://www.redd-monitor.org/redd-an-introduction/, atau buka juga dokumenter tentang REDD dari Friends of the Earth, “Not for Sale: the fantasy of carbon offsetting”, https://www.youtube.com/watch?v=A4uvl7s5MXM.

[51] Jutta Kill, REDD: A Gallery of Conflicts, Contradictions, and Lies (Montevideo: World Rainforest Movement, 2014), h. 26.

[52] Banjarmasin Pos, 16 November 1996, “Proyek Lahan Gambut Atasi Pangan Bangsa”, http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1996/11/16/0084.html.

[53] Kill, REDD: A Gallery of Conflicts, Contradictions, and Lies, op. cit.

[54] Ibid., The project was planned without them. Important information was withheld from them. The result is that only 50,000 trees were planted. Even fewer actually grew in the area selected for tree planting. The blocking of the drainage canals also failed in many places because of the resistance of local residents. For years the drainage canals have been the way villagers travel to their rubber trees.”

[55] Ibid.

[56] Ibid., h. 31–34.

[57] Ibid., h. 27. Cerita serupa terkait proyek REDD juga hadir di Ulu Masen, Aceh.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.