Pengkhianatan Kampus Dalam Film Senyap

Print Friendly, PDF & Email

FILM Senyap diputar di beberapa tempat. Jogja salah satunya. Tapi paling tidak digagalkan di beberapa tempat. Kampus ISI dan UGM diantaranya. Massa datang meyerbu kesana. Mereka tak mau kampus ternodai oleh acara itu. Dianggapnya ini bagian propaganda PKI. Sebutan untuk para penonton adalah Kiri Baru. Kategori yang dibuat asal-asalan. Definisi yang jadi alasan untuk menutup acara ini. Sepertinya kampus buat mereka bukan lagi lembaga pendidikan. Kampus telah jadi ancaman karena dianggap gudang pemikiran kiri. Tak berlebihan kalau mereka tanpa ragu bubarkan acara pemutaran film. Seolah hanya melalui cara itulah gagasan kiri tak akan berkembang. Sepertinya mereka sangat kuatir anak-anak muda itu berniat akan mendirikan PKI lagi. Tentu prasangka itu tumbuh tidak tiba-tiba. Gerombolan ini muncul bukan karena tak ada yang mendukung dan memfasilitasi. Tapi yang kita curiga kenapa kampus kehilangan kemampuan mempertahankan indepedensi?

Kampus berdiri bukan sekedar untuk melahirkan sarjana. Kampus diselenggarakan bukan untuk kegiatan kuliah semata. Sedari awal kampus adalah taman pengetahuan dan gerakan. Melalui kampus mahasiswa dilatih bukan untuk tertib dan takut. Mahasiswa dimatangkan oleh gagasan dan polemik. Maka di kampus semua gagasan berhak untuk pentas. Tiap gagasan itu bukan untuk dianut tapi diketahui apa kontribusinya bagi perubahan. Maka perpustakaan jadi harta karun buat kampus. Tapi tanpa ada diskusi dan kegiatan penunjang lainya buku hanya deretan kata yang beku. Itu sebabnya kampus lalu marak dengan kegiatan yang menunjang hadirnya sebuah gagasan. Termasuk diantaranya pemutaran film dokumenter seperti Senyap. Biarkan mahasiswa mengetahui bagaimana sebuah sejarah dituturkan oleh pelaku maupun korban. Ternyata kita bukan hanya menyaksikan sebuah perjalanan mencari kebenaran tapi bagaimana orang bisa berdamai dengan masa lalunya. Jika diperhatikan lebih mendalam film Senyap membuat kita terpukau pada kekuatan maaf dan kejujuran. Kampus sangat penting untuk hadirkan film yang punya tujuan etis ini. Sayang jika kemudian kampus harus bersimpuh pada kemauan beberapa orang untuk membubarkan acara ini.

Padahal ada pelajaran kusam pada tragedi pembubaran ini. Ada budaya yang menyelinap dan mulai dapat pengikut. Yakni kekerasan pada semua gagasan dan ide yang tak sesuai dengan sebuah kelompok. Jika ada keberatan atas sebuah ide bukan disalurkan melalui debat dan polemik tapi cukup dengan mengancamnya. Ancaman itu mula-mula hidup dalam spanduk. Dicecer di tiap pinggir jalan spanduk itu bunyinya sengak: Awas Komunis Gaya Baru. Kurasa kutipan gaya lama dan gaya baru lebih cocok untuk model potongan rambut ketimbang sebuah ideologi. Lalu diikuti oleh lomba-lomba yang agak menggelikan. Misalnya lomba pidato anti komunis. Hadiahnya lebih hebat lagi: seekor sapi. Terus berhamburan kaos maupun rompi dengan tulisan sangar; Front Anti Komunis. Ringkasnya kelompok anti komunis ini mulai berkeinginan menebarkan pengaruh dan mencari pendukung. Untungnya tak banyak yang bersedia dan mau bergabung. Alkhamdulillah sedikit pula mahasiswa yang mau ikut dalam rombongan ini. Maka tak aneh jika penutupan acara menonton Senyap tak seimbang dalam jumlah. Mereka yang menonton lebih banyak ketimbang mereka yang mau menghentikan pemutaran. Setidaknya ancaman, kampanye hingga lomba tak membuat anak-anak muda mengurungkan diri untuk menonton Senyap.

Kampus semustinya sadar bahwa mereka punya modal sosial yang menawan. Mahasiswa yang mungkin dituduh ‘pragmatis, egois, konsumtif’ sesungguhnya punya rasa keingin-tahuan tinggi pada sejarah politik masa lalu. Terutama peristiwa 1965. Senyap memberikan bukti tambahan betapa kisah 1965 yang diwariskan oleh Orde Baru sesungguhnya berdiri diatas data palsu dan bukti bohong. Jika di film Jagal mereka melihat bagaimana para algojo itu berlagak maka di Senyap para pembunuh itu berusaha berkelit. Tak berlebihan kalau dua film itu memberi pelajaran berharga tentang perjuangan membangun keadilan dan suara rezim yang berusaha untuk menutup-nutupinya. Maka ketika tontonan itu dibubarkan mereka seperti masuk dalam adegan: tekanan, intimidasi dan ancaman ternyata berlaku hingga kini. Para penonton itu seperti calon korban yang berhadapan dengan rombongan anti komunis yang berperan mirip Jagal. Maka kampus dituntut untuk melindungi dan jangan berperan seperti pemerintah saat ini: membiarkan semua terjadi dan bahkan berusaha untuk mendukung rombongan Jagal.

 

 

UntitledProf. DR. Ir. Mohammad Bisri, MS, Rektor Unibraw Malang, yang melarang pemutaran film Senyap di kampusnya.                             Foto diambil dari solid.or.id


Mungkin kita cemas dan kuatir atas tindakan pembredeilan itu. Tapi kita tak berada dalam suasana politik yang hitam. Inilah generasi yang dibesarkan tidak oleh propaganda dan ancaman. Senyap meyentuh penonton muda yang lebih kreatif, imaginatif dan menyukai tantangan. Tatkala mereka dibubarkan memang tak ada kegaduhan tapi mereka mendapat pelajaran penting tentang masa lalu. Saat kebenaran itu meletus maka ada banyak pihak yang mulai terancam. Pihak-pihak itu sementara ini hanya diperankan oleh rombongan kecil yang usahanya tak lain adalah mengancam dan menekan. Tapi ancaman tak pernah mujarab. Apalagi tekanan pasti dengan mudah bisa diatasi. Kampus waktunya untuk berani melindungi lapisan anak muda yang sedang berburu kebenaran. Tak bisa kita hanya mengandalkan satu atau dua dosen yang berani tapi kebijakan kampus sebaiknya mulai membuka diri pada kegiatan yang selalu dianggap berbahaya. Buat saya lebih bahaya nonton film hantu tanah air yang kadang menghina logika sekaligus agama. Tak bisa kampus hanya memusatkan perhatian pada keinginan agar tak terjadi rusuh atau kegaduhan. Sebab kegaduhan bukan sebuah kesalahan dan rusuh dalam soal gagasan sesuatu yang lumrah.

Menimbang film Senyap yang dilarang diputar di kampus dan Rektor tak banyak yang ambil sikap menunjukkan gejala menggelikan. Setidaknya kampus tampak kuatir sekali dengan aktivitas intelektual mahasiswa yang berusaha untuk melihat dan menjenguk masa lalu. Keingin-tahuan pada apa yang terjadi pada 1965 dianggap sebagai sebuah kebutuhan untuk membongkar apa yang sepatutnya tak dibongkar. Kampus yang sedari awal telah menanam kesadaran palsu dan berusaha untuk meraih kesadaran kritis jadi tumpul ketika rombongan massa meminta penghentian pemutaran film. Pertaruhanya tak hanya kebebasan akademis tapi juga integritas para dosen. Jikalau ada pernyataan sikap itu hanya retorika ke media ketimbang memberi laporan untuk ditindak-lanjuti. Seakan pembubaran acara itu sesuatu yang wajar dan dimaklumi. Disana pertaruhanya bukan sekedar gagasan kritis yang terancam melainkan sikap diam yang perlahan-lahan telah berubah jadi ketakutan. Barisan dosen itu seperti pasukan borjuis yang tak merasa berkutik ketika mahasiswa-nya diancam dan terancam. Walau gejala ini sebenarnya bukan yang pertama. Jauh sebelumnya ketika kenaikan BBM di demo dan mahasiswa dipukuli habis-habisan oleh aparat hampir tak ada dosen yang mau bantu keperluan anak-anak. Seakan tugas dosen hanya memberi kuliah, melakukan absen dan memberi nilai.

Senyap telah jadi pelajaran buat kita semua. Teror dalam adegan film itu ternyata mengalir di ruang-ruang akademis. Maknanya jelas bahwa selamanya teror akan jadi senjata abadi para algojo yang kini berhadapan dengan sejumlah anak-anak muda. Mengaggumkan anak-anak muda itu mampu mengembangkan insiatif, memprakarsai dan bahkan berusaha mengajak banyak pihak untuk menonton Senyap. Kampus mau tak mau harus berikan ijin. Jika kemudian beberapa tempat dibubarkan itu hanya untuk meneguhkan keberanian mereka. Seperti pelaku dalam Senyap dan Jagal: warisan kekejaman itu terus menerus dipertahankan. Tentu saja oleh orang-orang itu dan didukung oleh lembaga itu-itu saja. Pada Senyap mahasiswa belajar banyak pada sosok Adi: tekun, sabar dan teguh untuk bertanya. Adi bukan muncul sebagai sosok aktivis yang berceramah dan demo, melainkan hadir dalam kehangatan dengan pertanyaan yang menusuk. Tiap pelaku diajak untuk menimbang, mengukur dan melihat dampak pada apa yang mereka lakukan. Ujung film ini bukan pada kepastian pengakuan melainkan betapa tak mudahnya untuk membuka proses rekonsiliasi. Kampus harusnya belajar banyak pada apa yang ditayangkan Senyap: betapa gampangnya tindakan kejam dan pikiran kerdil itu menyatu. Jika kekejaman berdalih pada sesuatu yang tidak bisa dinalar maka tindakan yang muncul selalu berada di luar akal.

Memang tak semua tontonan Senyap itu dibubarkan. Lebih banyak yang tak dibubarkan. Maka melarang pemutaran film Senyap seperti menepuk angin: sia-sia dan mustahil. Film itu kini makin banyak diminati dan terus memancing banyak anak-anak muda untuk meyaksikannya. Lebih baik lagi kalau kampus memahami gejala ini lalu memberinya dukungan dan ruang. Dukungan itu bisa berupa kajian, bedah diskusi hingga mendatangkan para pemain. Ruang itu bisa berupa jaminan keamanan dan perlindungan penuh pada segala aktivitas akademis. Jika itu bisa dipertahankan dan dilakukan oleh kampus maka layak kita sebut itu sebagai universitas. Tapi kalau kampus diam, pasrah dan bahkan tak mampu mempertahankan diri ketika kebebasan akademiknya diancam: sepatutnya itu dinamakan sebagai rumah jagal. Rumah dimana kepatuhan dan ketidak-pedulian hidup subur. Senyap bukan lagi sebuah judul film melainkan surat terbuka untuk bertanya: Kampus masihkah dirimu jadi tempat yang tepat untuk lahirnya gagasan baru atau telah jadi rumah usang dimana ketakutan dan kecemasan diawetkan?***

 

Penulis aktif bergiat di Social Movement Institute

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.