SEIRING dengan penguasaan dunia kehidupan oleh kapitalisme, seluruh aspek kehidupan harian kita saat ini telah dirampas oleh kapital demi imperatif mendasar pada dirinya sendiri: mengubah barang (atau apapun) menjadi komoditas dan menjualnya untuk akumulasi kapital! Komodifikasi ini adalah aspek kunci dari kapitalisme dan dari situlah tercermin kekhasan corak produksi kapitalis. Marx mengungkapkan dalam Kapital jilid I ‘kemakmuran dalam masyarakat dimana corak produksi kapitalis itu tegak, nampak sebagai timbunan besar komoditas. Komoditas nampak sebagai bentuk dasarnya.[1]’
Tulisan ini ingin melakukan analisa ekonomi politik terhadap waktu senggang (leisure) – atau aktivitas semacam rekreasi/pariwisata/ liburan/pakansi/ traveling/umrah/wisata religius/dll- yang diberi makna sosial sebagai aktifitas di luar waktu kerja. Karena aktivitas semacam ini di luar waktu kerja, dimana pada umumnya kita merasa di waktu kerja kita sedang terikat oleh aturan pabrik/kantor, maka waktu di luar itu kita (sering menganggap) sedang bebas. Bebas dari ikatan-ikatan kerja materialis. Benarkah kita bebas bila sedang di luar pabrik atau kantor kita? Benarkah sesederhana itu diferensiasi waktu di masyarakat kapitalis saat ini, di masyarakat yang seluruh aspek hidupnya telah dihitung sebagai ‘kemungkinan’ akumulasi kapital? Benarkah waktu senggang sebagai momentum kebebasan manusia dari kerja kepada kapitalis? Benarkah, waktu luang –recreation, santai, libur- adalah ruang dimana operasi capital tidak bisa bekerja di dalamnya sehingga kita merasa di dalam ruang rekreasi tersebut manusia menjadi bebas memiliki dirinya sendiri?
***
Waktu adalah ruang pertarungan yang nyata bagi kepentingan kelas di dalam masyarakat. Diskursus mengenai waktu kerja dan waktu luang yang saling menekan adalah ekspresi nyata dari pertarungan kelas dan bukti bahwa waktu (time) adalah aspek yang sangat penting –selain ruang (space)- bagi akumulasi kapital. Kisah mengenai pertentangan kelas antara kelas kapitalis dan kelas buruh telah berlangsung sejak lama. Sejak kapital menjadi model relasi produksi di masyarakat. Ada banyak konteks-konteks historis dimana kelas kapitalis menekan agar waktu kerja bisa berlangsung sepanjang mungkin durasinya dan bersamaan dengan itu penentangan buruh untuk menekan waktu kerja sependek mungkin terus dilakukan dan mewarnai ruang sejarah pertarungan kepentingan kelas dalam masyarakat. Meskipun yang terlihat dominan adalah kesuksesan kapitalis membentuk dan mengontrol waktu kerja.
Sebagai contoh, dalam konteks sejarah Eropa, sebelum kapitalisme muncul, masyarakat Eropa memiliki banyak hari libur publik. Kautsky memperkirakan dalam setahun jumlah hari libur publik di Eropa, pada waktu itu, sebanyak 204 hari. Lebih dari setengah dalam satu tahun masyarakat Eropa memiliki waktu untuk menikmati liburan secara bersama, kebanyakan hari libur publik tersebut digunakan masyarakat Eropa untuk beramah-tamah, melakukan ritual keagamaan, menggelar festival kebudayaan dan melakukan aktivitas kemasyarakatan lainnya. Namun setelah masuknya kapitalisme, hari libur mulai dibatasi dengan aktivitas ‘bekerja’. Setiap orang (buruh) tidak dapat menikmati hari libur publik karena mereka terikat dengan kerja-kerja produksi kapitalis.[2]
Perubahan-perubahan dari masyarakat tradisional di Eropa menuju masyarakat modern-kapitalistik juga dicatat dengan tragis oleh paul Lafargue. Paul mencoba menggambarkan kondisi buruh di awal-awal perkembangan kapitalisme di Eropa. Berikut ini catatan Paul (2008:20-21):[3]
‘Di Mulhouse di Dornach, kerja dimulai pukul lima pagi dan berakhir pada pukul delapan malam, baik di musim panas maupun di musim dingin. Sungguh memilukan melihat mereka tiba setiap pagi di kota dan berangkat pulang tiap malam. Di antara mereka ada banyak perempuan yang pucat, seringkali berjalan bertelanjang kaki melewati lumpur, dan mereka yang tidak punya payung di saat hujan atau salju turun memakai celemek atau roknya untuk menutupi kepalanya. Juga ada sejumlah besar anak yang sama kotornya, sama pucatnya, dibalut dengan pakaian rombeng, berminyak karena terkena oli mesin yang jatuh ke tubuhnya saat mereka bekerja. Dulu mereka terlindungi lebih baik dari hujan karena pakaian mereka tahan air; namun, berbeda dengan para perempuan yang baru disebutkan tadi, mereka tidak membawa bekalnya untuk hari itu dalam sebuah keranjang, melainkan membawa di tangannya atau menyembunyikan di balik pakaiannya sebisa mereka untuk makanan sampai saat mereka pulang ke rumah.’
Waktu kerja yang panjang – dalam catatan Paul hingga 16 jam kerja lalu kemudian berkurang menjadi hanya 12 jam kerja sehari- dan kondisi kerja yang memilukan adalah panorama kerja di bawah kapitalisme awal di Eropa. Beginilah deskripsi pertarungan kelas bekerja dalam penetapan jam kerja dan juga jam senggang, sebagai ekspresi yang terus bergerak sesuai dengan kekuatan-kekuatan kelas mana yang lebih kuat.
Pergeseran penggunaan (dan kontrol terhadap waktu) bisa dilihat juga, misalnya, dari pola-pola produksi pertanian. Dahulu masyarakat pertanian menentukan kapan waktu dia harus bekerja di ladangnya sangat di tentukan oleh kondisi alam. Mereka tidak akan bekerja di ladang jika cuaca dingin datang. Namun bagi kapitalis, tidak ada waktu kerja yang berdasarkan musim sehingga itu mereka memaksa agar buruh tetap berkerja di ladang-ladang walaupun pada musim dingin sekalipun. Mereka hanya menginginkan agar buruh kerja dan kerja. Pada konteks ini munucl praktek enclosure, yang pada awalnya waktu kerja ditentukan oleh alam tapi karena terdapat pertentangan antara buruh dan majikan, karena kuatnya daya tawar majikan, maka waktu kerja ditentukan oleh majikan dengan tidak mengindahkan kondisi alam dan kondisi sosialnya.[4] (De Angelis: 2010).
Melalui pertarungan dalam durasi waktu kerja, strategi pengurangan hari libur publik dan meningkatkan waktu kerja, menghasilkan pergeseran jumlah waktu bekerja bagi buruh. Kasus ini dapat kita lihat di abad ke XIV, dimana waktu kerja masyarakat sekitar 1300 jam dalam setahunnya, namun pada pada akhir revolusi industri, yakni sekitar tahun 1840-an, seorang pekerja pabrik memiliki waktu kerja selama setahun sekitar 3500 jam. Sungguh perubahan yang cukup mengesankan. Loncatan yang amat dahsyat dalam konteks pertumbuhan penggunaan waktu kerja dalam kurun sekitar 300 tahun (De Angelis: 2010). Perkembangan-perkembangan penggunaan waktu dalam masyarakat kapitalis dan pertarungan-pertarungan kelas di dalamnya, telah membentuk sebuah diskursus mengenai pengaturan waktu kerja.
Undang-undang pabrik tahun 1850 di Inggris, telah membatasi waktu kerja menjadi enam puluh jam kerja seminggu. (Perlu ditambahkan: jumlah tersebut adalah jumlah jam kerja aktual. Dengan setengah jam untuk sarapan dan satu jam untuk makan siang, ini artinya 12 jam perhari dari senin sampai jum’at dan 8 jam pada hari Sabtu).
Foto diambil dari www.visualphotos.com
Perkembangan mengenai pengaturan waktu sebagai bentuk ‘diplomasi’ dari kelas kapitalis yang terus ditekan oleh kelas buruh hingga saat ini masih terus fluktuatif, meskipun secara umum kebanyakan pabrik telah menyepakati waktu bekerja secara umum. Dengan demikian, seiring dengan pengaturan dan pembatasan waktu kerja, maka sebaliknya waktu senggang menjadi bertambah. Lalu apakah ‘kemenangan’ untuk menekan pengaturan waktu kerja untuk tidak hanya mengikuti keinginan akumulatif kapitalis ini merupakan kemenangan buruh atas majikannya untuk mengekspresikan waktu senggangnya? Tentu tidak sepenuhnya demikian. Sebab bagaimanapun kapitalis akan terus mencari cara untuk tetap memaksa agar jam kerja menjadi tinggi, sehingga tingkat akumulasi juga makin melambung. Lihat misalnya catatan Francis When (2011;66-67) yang agak satiris berikut mengenai ‘komedi waktu luang’:[5]
‘Pada tahun 1970-an banyak digembar-gemborkan soal datangnya ‘zaman waktu senggang’ (leisure age), dimana berkat mesin-mesin otomat, kita nyaris tak perlu bekerja sama sekali. Berlimpah buku-buku yang dengan tulus merenungkan seperti apa kita akan mengisi waktu luang yang baru itu tanpa diri kita menjadi pemalas. Barangsiapa di zaman ini menemukan salah satu traktat terlupakan itu di kios buku bekas tentu akan tertawa terbahak-bahak. Rata-rata pegawai di Inggris kini bekerja 80.224 jam selama usia kerjanya, dibanding 69.000jam pada 1981. alih-alih terlepas dari etos kerja, kita kelihatan jadi kian diperbudak olehnya’.
Akhirnya, meluasnya penggunaan waktu luang tidak selalu adalah kemenangan kelas pekerja atas kontrol waktu dan sebaliknya kebungkaman kelas kapitalis. Kelas kapitalis justru diam-diam terus berusaha agar manusia terus bekerja dan bekerja untuknya dengan memanfaatkan seluruh struktur kesempatan politik yang mungkin dilakukan.
Meskipun demikian, sebagian kalangan (masih optimis) menganggap bahwa semakin meluasnya ekspresi-ekspresi penggunaan waktu luang oleh kelas pekerja sebagai fenomena meningkatnya kualitas hidup kelas pekerja. Kelas pekerja mencapai taraf ‘keseimbangan’ hidup antara kerja dan bersantai di waktu luang. Hanya saja, asumsi-asumsi semacam ini tidak sepenuhnya benar. Tanggapan David Chaney[6] mengenai perkembangan ini menarik dikemukakan. Dia berasumsi bahwa ‘Perluasan waktu luang massa tidak hanya suatu proses meningkatnya taraf hidup dan memendeknya jam kerja, tapi juga merupakan pendorong yang disengaja ke arah pengurangan konflik kelas dan peminimalan perbedaan di antara budaya-budaya kelas’ (Chaney: 2007). Berkurangnya konflik kelas dengan membiarkan pekerja memanfaatkan waktu luang memperlihatkan ‘operasi kapital’ bekerja. Ketakutan terhadap pembangkangan dan bangkitnya (kembali) perlawanan buruh yang lebih luas akibat ketatnya jam kerja, telah menjadi penggerak bagi kapital melakukan penyesuaian-penyesuaian demi menjaga kelangsungan akumulasi lebih lama dan sustainable.
Karena itu pertanyaan berikut ini menjadi penting: ‘apakah dengan pembatasan waktu kerja ini lantas membuat kaum pekerja menjadi bebas di luar waktu kerjanya? Apakah eksploitasi “berhenti” saat senggang?’ Untuk menjawab pertanyaan ini, ulasan menarik Harry Clever mengenai rekreasi dan pemanfaatan waktu luang sebagai sesuatu yang tidak lepas dari ‘operasi kapital’ yang saat ini telah membentuk pabrik sosial dimana seluruh aspek kehidupan, politik, sosial, pendidikan, ekspresi-ekspresi kebudayaan, media dan beragam ekspresi dunia sosial telah diubah menjadi pabrik besar dimana seluruh elemen di dalamnya bekerja untuk kelangsungan kerja capital. Berikut ungkapan Harry Clever[7] (2000: 123) dalam Reading Capital Politically:
‘Kapital mencoba untuk membentuk waktu luang atau waktu bebas, aktivitas-akitivitas —bahasa, sastra, seni, musik, televisi, berita media, film, teater, museum, olahraga— untuk kepentingannya sendiri. Jadi, daripada melihat “waktu non-kerja” yang tak diupah secara otomatis sebagai waktu bebas atau waktu yang sepenuhnya dapat menjadi antitesis bagi kapital, kita dipaksa untuk mengenali bahwa kapital telah mencoba mengintegrasikan waktu ini ke dalam proses akumulasi. Jadi rekreasi hanyalah bentuk pendek dari frase panjang: re-creation of labour power, menciptakan/menyegarkan kembali ‘kekuatan’ pekerja. Dengan kata lain, kapital telah mencoba untuk mengkonversi konsumsi individu menjadi konsumsi produktif dengan menciptakan pabrik sosial.’
Ungkapan Harry Clever ini juga dikonfirmasi oleh data semakin pentingnya pariwisata untuk menunjang ekonomi. Dalam sebuah headline koran nasional Kompas, memilih judul ‘Pariwisata Menjadi Pilar Ekonomi Dunia’[8] (kompas;senin/15/9/2014). Tulisan ini mengukuhkan mengenai tumbuhnya ekonomi waktu senggang. Ekonomi yang berpilar pada celah ‘keinginan para pekerja untuk bersantai dan mereproduksi kembali tenaga kerjanya’. Ekonomi yang dalam cita-cita pertemuan para menteri Asia Pasifik bidang pariwisata (13/9/2014) menjadi pilar yang menopang 8-9 persen perekonomian nasional negara-negara Asia Pasifik (APEC). Dalam pertemuan ini juga dirancang bahwa pada tahun 2025, jumlah wisatawan di wilayah Asia-Pasifik ditargetkan naik menjadi 800 juta orang[9].
Ungkapan Harry Clever dan data harian Kompas di atas ini menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai posisi waktu luang dalam lingkup pembangunan relasi kapital dan akumulasi kapitalis yang tak berhingga di masyarakat. Jadi, rekreasi di waktu luang, kata Harry, hanyalah sebuah bentuk pendek dari frase ‘re-creation of labour power’. Argumentasi Clever ini sebenarnya telah sejak lama dikemukakan oleh kalangan Marxis. Untuk hal ini bisa dirujuk misalnya Paul Lafargue (2008;xiii), yang mengungkapkan bahwa ‘di bawah kapitalisme, istirahat hanya digunakan untuk mereproduksi kerja. Waktu istirahat, seperti tidur, bahkan seks, kini hanya ditujukan untuk mempersiapkan tubuh pekerja guna kembali diperas dalam kerja”.[10]
Pernyataan Clever dan Lafargue ini menjelaskan bahwa alih-alih berkurangnya jam kerja itu sebagai kemenangan kelas pekerja, justru di sini memperlihatan kemenangan mutlak kelas kapitalis. Sejumlah alasan bisa dikemukakan sebagai alur logis kemenangan kapitalis dalam pengurangan waktu kerja buruh. Pertama, sebagaimana David Chaney, kapital berhasil meredakan kemarahan buruh atas eksploitasi penuh dengan jam kerja yang amat padat dengan mengurangi jam kerja dan memberi waktu luang bagi pekerja. Kedua, kapital tidak perlu repot-repot mengeluarkan biaya sosial akibat kemarahan kelas pekerja yang seringkali akan berujung pada berhentinya proses akumulasi. Ketiga, dengan memberikan kesempatan rekreasi kepada kelas pekerja, maka kelas pekerja bisa kembali kuat, segar dan makin efektif untuk bekerja kembali bagi kapital; dan Keempat, selain menyegarkan kembali kekuatan pekerja, kapitalis mendapat untung lagi dari menciptakan ’leisure economic’ dengan menciptakan produk konsumsi dan mendirikan situs-situs waktu luang dan rekreasi semacam cafe, bisnis umroh dan perjalanan Haji, bisnis biro perjalanan, wisata religius, mal, pusat-pusat belanja, plasa tempat para buruh melakukan rekreasi dan berwaktu senggang sambil melakukan aktivitas konsumsi yang, tentu, menguntungkan kapitalis.
Dalam konteks kemenangan kapitalis dalam memanfaatkan semua aspek kehidupan untuk akumulasi kapital, data-data berikut juga menggenapi tulisan ini, yang mencurigai secara ekonomi politik bahwa aspek kehidupan harian telah dirampas oleh kapital. Jadi berekreasi atau mengisi waktu senggang bukanlah momen politik dimana kita berhasil menyetop laju kerja kapital, namun ikut bekerja di dalam proses akumulasi kapital. Menurut data yang ditemukan dalam sebuah riset singkat mengenai waktu senggang oleh penulis di Makassar, ada informan yang mengungkapkan aktivitasnya mengunjungi mal bisa mencapai belasan kali dalam sebulan. Setiap kali ke sana ia akan berbelanja barang-barang yang diinginkan dan makan di restaurant mall. Bahkan seorang lainnya yang dijumpai di mall menghabiskan hampir 70 persen penghasilannya untuk berbelanja di mall.[11] Betapa rekreasi dan berwaktu senggang menjadi sangat menguntungkan bagi kelas kapitalis.
Foto diambil dari www.abc-mallorca.com
Argumentasi lain misalnya mengungkapkan betapa kapital amat diuntungkan dalam konteks industri waktu luang: ‘Meski saat ini perekonomian sebagian kawasan dunia masih mengalami ketidakpastian, pertumbuhan sektor pariwisata justru meningkat cukup signifikan. Berdasarkan data organisasi pariwisata dunia PBB (UNWTO) tahun 2011, pertumbuhan pariwisata dunia mencapai 4,5 persen. Adapun target tahun 2012, UNWTO optimistis pertumbuhan wisatawan yang melakukan kunjungan wisata bisa menembus angka satu milyar kunjungan dengan asumsi pertumbuhan sebesar 3-4 persen.’
Berdasarkan data forum ekonomi dunia (WEF), Indonesia menempati peringkat ke-74 pariwisata dunia dari 139 negara dan urutan kesembilan di kawasan asia pasifik. Kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia tahun lalu mencapai 7,6 juta orang, dengan pertumbuhan 9,5 persen alias dua kali lipat dengan pertumbuhan pariwisata dunia. Di samping mendatangkan devisa sebesar 8,6 milyar dollar AS (2011) dan target 9 milyar dollar AS tahun 2012[12] (Kompas,26 Maret 2012)
Survei PES 2011 kementerian pariwisata dan ekonomi kreatif menunjukkan bahwa jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia dan jumlah pengeluaran perkunjungan terus bertambah. Tahun 2009, jumlah wisman 6.323700 juta orang dimana jumlah ini makin meningkat pada tahun berikutnya (2010) yakni 7.002.900 orang dan semakin tinggi pada tahun 2011 yakni 7.649.700 orang. Angka yang terus menaik ini seiring dengan jumlah pengeluaran setiap kunjungan. Tahun 2009 pengeluaran perkunjungan 995,93 dollar AS; tahun 2010 1.085,75 Dollar AS; tahun 2011 1.118,26 dollar AS. Dan angka ini diperkirakan menyumbang devisa negara tahun 2009 sebesar 6,3 milyar dollar AS; tahun 2010 naik menjadi 7,6 milyar dollar AS; tahun 2011 naik menjadi 8,6 milyar dollar AS.
Jumlah wisatawan nusantara juga terus meningkat. Dari tahun 2007 yang jumlahnya mencapai 115.335 naik pada 2010 menjadi 122.312 orang. Pengeluaran per perjalanan juga menunjukkan peningkatan dari tahun 2007 di angka 489,95 ribu rupiah naik menjadi 641,76 ribu rupiah pada tahun 2010. Total pengeluaran wisatawan domestik selama tahun 2007 sampai tahun 2010 juga meningkat dari angka 108 trilyun rupiah menjadi 150 trilyun rupiah di tahun 2010. Belanja wisatawan sejak 1995 hingga 2010 juga makin meningkat. Tahun 1995 jumlah belanja wisatawan sekitar 5.229 juta dollar AS naik pada tahun 2010 menjadi 6.980 juta dollar AS (diolah Litbang harian Kompas dari berbagai sumber senin 26 maret 2012).
Data-data historis dan deskripsi statistik di atas, setidaknya bisa memberikan kita sedikit gambaran mengenai siapakah yang diuntungkan oleh ‘rekreasi massal’, berkurangnya waktu kerja dan perayaan waktu luang publik saat ini. Jawabannya tidak lain adalah para pemilik perusahaan jasa pariwisata, pemilik mal, pemilik hotel dan restauran, pemilik museum dan wahana-wahana permainan, pemilik resort-resort tepi pantai, negara (melalui departemen pariwisata) dan lini-lini bisnis lain yang tentu dimiliki dan dikuasai oleh mereka para kapitalis.
***
Recreation: merebut kembali kehidupan harian kita yang terampas? Nampaknya, jawaban tulisan ini adalah: tidak. Recreation –setidaknya dalam gambaran singkat tulisan ini- hanyalah ‘tempat’ kita dikoloni kembali oleh kapital! Kapital telah menjadikan rekreasi kita sebagai komoditas dalam ‘leisure economic’ untuk meraup keuntungan berlipat-lipat.***
Penulis adalah dosen Teori Sosiologi Modern dan Postmodern Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik UIN Alauddin Makassar.
Kepustakaan:
Karl Marx Kapital jilid I Bandung; Ultimus;2004
Massimo de Angelis Modul Short Course Economy Politic Yogyakarta: Resistbook,2010
Francis When Kapital: Kisah Sebuah Buku yang Mengguncang Dunia Jakarta:Marjinkiri,2011
Paul Lafaurge Hak Untuk Malas Yogyakarta: Jalasutra,2008
David Chaney Life Style Sebuah Pengantar Komprehensif (terj) Yogyakarta: Jalasutra,2009
Harry Clever Reading Capital Politically
Koran KOMPAS Edisi Senin 26 Maret 2012
Koran KOMPAS Edisi senin 15 September 2014
———
[1] Karl Marx Kapital Jilid I (Bandung;Ultimus,2004) Hal 1
[2] Massimo De Angelis Modul Shourt Course Economy Politic (Yogyakarta: Resistbook,2009)
[3] Paul Lafaurge Hak Untuk Malas (Yogyakarta: Jalasutra,2008) Hal. 20-21
[4] Massimo De Angelis Modul Shourt Course Economy Politic (Yogyakarta: Resistbook,2009) Hal.
[5] Francis When Kapital: Kisah Sebuah Buku Yang Mengguncang Dunia (Jakarta:Marjinkiri;2011) Hal. 66-67
[6] David Chaney Life Style Pengantar Komprehensif (Terj) (Yogyakarta;Jalasutra, 1996) Hal.
[7] Harry Clever Reading Capital Polically
[8] Harian Kompas senin 15 September 2014
[9] Hal ini diungkapkan dalam ‘Deklarasi Makau’ sebagai hasil dari pertemuan ke-8 menteri pariwisata anggota APEC di Makau. Di kaasan asia pasifik, 1 dari sebelas pekerjaan itu diciptakan oleh pariwisata.
[10] Paul Lafaurge Hak Untuk Malas (Yogyakarta:Jalasutra,2008) Hal.xiii
[11] Wawancara: Amelia (21 tahun), pegawai swasta dan Angelina Tanamal (35 tahun), konsultan keuangan.
[12] Harian Kompas Senin 26 Maret 2012