Menjinakkan Leviathan

Print Friendly, PDF & Email

Pengantar Redaksi: Menyambut kehadiran pemerintahan baru,
kami menurunkan serial artikel mengenai “Tantangan Pemerintahan Jokowi.”
Ini adalah artikel ketiga dari serial tersebut. Selamat menikmati.

 

SEBAGAI anak yang tumbuh di Jakarta, saya sempat menikmati salah satu perpustakaan di Taman Ismail Marzuki pada paruh kedua dekade 1980an. Letaknya di atas gedung bioskop XXI saat ini, Isinya ribuan komik-komik Amerika dan Eropa yang diterjemahkan oleh beberapa penerbit Indonesia. Salah satu komik yang saya gemari adalah Steven Sterk, karya Peyo si komikus besar asal Belgia. Salah satu episode petualangan bocah super kuat namun lemah saat salesma ini adalah menjalankan 12 pekerjaan super-rumit untuk menyatukan klaim tujuh pemusik atas minyak di dalam tanah yang mereka miliki bersama.

Membayangkan Pemerintahan Jokowi-JK ke depan, terlihat akan berjalan secara analogis dengan 12 pekerjaan Steven Sterk itu atau 12 tugas dan hukuman untuk Herkules. Bahkan akan jauh lebih rumit. Belum berkuasa saja, Pemerintahan mendatang ini sudah dihadapkan dengan problem defisit kas negara, yang ditengarai akibat realisasi finansial dari subsidi Bahan Bakan Minyak (BBM) yang gila-gilaan. Selain masalah BBM, ruang fiskal pada tahun 2015 yang dimiliki oleh Jokowi-JK juga sangat terbatas untuk menjalankan program-program yang dijanjikannya.

Di tengah kesempitan ruang fiskal, baik dalam APBN 2014 dan APBN 2015, adalah ironis ketika kita melihat di saat-saat berakhirnya Pemerintahan SBY-Boediono, terdapat pembelian puluhan Mercedes Benz yang akan dijadikan kendaraan dinas para menteri. Meski telah ditolak oleh Jokowi sebagai Presiden Terpilih, pengadaan Mercedes tersebut tetap berjalan, seperti menjadi jurus colongan di saat perhatian terserap pada proses pilpres. Kita mungkin belum saja melihat lebih jauh, jangan-jangan banyak kasus-kasus serupa.

Kasus-kasus kebijakan colongan dan sempitnya ruang fiskal di APBN menjadi penting untuk dilihat, untuk melihat mengapa kebijakan sangat susah diubah atau dihentikan. Apa yang terjadi sebenarnya? Mengapa sulit sekali mengendalikan pemerintah yang terpilih secara demokratis?

 

Mari Menengok Leviathan

Narasi yang mungkin berguna untuk dapat menelusuri problem-problem di atas adalah salah satu komponen utama dalam Teori Kontrak Sosial yang diajukan oleh Thomas Hobbes. Hobbes berargumen bahwa untuk dapat mengendalikan kekacauan di antara umat manusia, diperlukan sebuah ‘monster’ yang ditakuti bersama sehingga dapat dicapai ketertiban. ‘Monster’ tersebut dinamakan Leviathan, diambil dari kisah Yahudi-Kristen.

Hobbes membayangkan Leviathan adalah solusi dari kekacauan, yang memegang kedaulatan yang telah diserahkan oleh warga naungannya. Leviathan, suka atau tidak suka, adalah landasan teoritis Negara Modern. Cukup menarik dalam sampul buku Leviathan, ‘monster’ ini digambarkan terbentuk dari orang-orang yang kini kita bisa karikaturkan sebagai para birokrat.

Indonesia mewarisi Negara Modern, tentunya dari Negara Kolonial Hindia Belanda, yang disempurnakan oleh masa Pendudukan Jepang. Kemerdekaan Indonesia tidak serta merta menghancurkan Leviathan kolonial ini, ia malah menyerapnya. Banyak fitur Negara Kesatuan Republik Indonesia menunjukkan dalamnya warisan kolonial tersebut: KUHP warisan Belanda dari Code Penal Napoléon, sistem registrasi tanah, logika jawatan pemerintahan (bahkan termasuk infrastrukturnya), hingga hirarki pemerintahan di tingkat lokal.

Repotnya, Negara Kolonial yang berhasil menyelubungi dirinya menjadi Republik tetap memiliki orientasi ekstraktif dibandingkan sebagai pelayan publik. Orientasi sangat terlihat di lebih lengkapnya pada pelayanan perijinan usaha, baik asing maupun domestik, dibandingkan dengan pelayanan publik yang hingga saat ini yang relatif lancar hanya di sektor pendidikan, kesehatan, dan … pemberangkatan haji.

Orientasi ekstraktif yang sebelumnya mengabdi kepada colonial masters, memang berubah pasca kemerdekaan. Namun perubahan itu tidak menjadi melayani publik, tetapi aparatus negara yang melayani dirinya sendiri.

Di tahun 1950an, kita mengenal istilah ‘Ali-Baba’. Tahun 1965-1967, tentara-birokrat menggulingkan Soekarno dan mendirikan Orde Baru. Semasa Orde Baru, kita mengenal birokrat dan kroni. Dan kini, kita mengenal penguasa dan rekanan pemerintah. Yang pada intinya, inilah pola bagaimana individu-individu birokrasi memperkaya dirinya, birokrasi yang melayani dirinya dari pemerintah pusat hingga desa dan kelurahan. Dan ini terus berlangsung hingga sekarang, meski pucuk kekuasaan berhasil diganti di bawah tekanan publik yang dipicu pemberontakkan kaum muda pada tahun 1998.

 

 

coy2Ilustrasi oleh Anonymous ART of Revolution

 

Leviathan kontra Jokowi-JK

Bagaimanapun, terpilihnya Jokowi-JK membawa aura secercah harapan untuk perubahan di dalam pemerintahan. Bukanlah mengejutkan, karena sebelum Pilpres 9 Juli pun, kalangan Pegawai Negeri Sipil cenderung lebih memilih Prabowo dibandingkan Jokowi. Jokowi memiliki rekam jejak yang cukup kuat dalam mendorong reformasi birokrasi di Solo dan Jakarta. Di lain sisi, kalangan birokrasi, baik di pusat dan di daerah, juga punya rekam jejak, meski sering tak kentara, menyabotase agenda-agenda pemerintahan yang mereka anggap tidak menguntungkan mereka. Ini terjadi di masa Habibie, lebih parah di masa Gus Dur dan Megawati, dan sepanjang masa SBY memerintah (2004-2014). Dari satu sisi lansekap politik ini saja, adalah naif jika kita menantikan Pemerintahan Jokowi-JK berjalan dengan skenario business as usual dalam memenuhi janji-janji politiknya.

Akan tetapi, menjalankan pemerintahan yang ambisius dan bercita-cita menciptakan terobosan juga tidak cukup hanya bermodalkan tekad atau political will. Kecerdasan berpolitik, pemahaman atas dinamika dalam relasi Rakyat versus Negara, dan keberanian mengambil resiko serta sigap memainkan rencana-rencana kontijensi juga diperlukan. Setidaknya ada beberapa kerumitan strategis yang akan dihadapi oleh Jokowi-JK untuk menjalankan pemerintahannya:

Kerumitan pertama adalah persoalan batasan-batasan yang telah berhasil dicapai oleh tokoh-tokoh birokrat kunci dalam menghambat reformasi birokrasi. Salah satu contoh kasus adalah Undang-Undang Aparatur Sipil Negara. Upaya mendorong pembentukkan sebuah birokrasi yang mumpuni dan sistem merit yang berdasarkan kompetensi dan kinerja, dijinakkan oleh kepentingan para birokrat kunci yang ingin melanggengkan model birokrasi berdasarkan senioritas dan aspek-aspek formal lainnya.

Kerumitan ini memiliki dampak serius dalam kinerja pemerintahan pasca 20 Oktober 2014. Pertama, Presiden dan para menteri yang menjadi eksekutif negara akan sulit menghadapi resistensi dari birokrat senior dalam kementerian-kementerian. Seperti yang sebelumnya diutarakan, rekam jejak sabotase telah ada, dan satu-satunya jalan mengeliminasi dengan mengganti pejabat senior juga dipersulit karena penggantinyapun harus dipilih dengan senioritas yang cukup. Kedua, pemerintah juga akan sulit menurunkan ego sektoral yang selama ini membuat jalan pemerintahan menjadi tidak efisien dan boros. Problem raja-raja kecil dalam kementerian yang selama ini menciptakan silo-silo tidak dapat langsung dieliminasi.

Kerumitan kedua yang pasti dihadapi oleh Jokowi-JK adalah persoalan pola otonomi daerah. Program-program Jokowi-JK harus dapat disinkronisasikan oleh program-program yang kini berjalan di 511 kabupaten dan kota dan 34 provinsi. Dua janji utama Jokowi-JK, Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Indonesia Sehat, mensyaratkan koordinasi yang kuat antara beberapa kementerian di Pemerintah Pusat dan dinas-dinas terkait untuk terlibat dalam diseminasi, perencanaan, dan pelaksanaan dua program tersebut. Penanggulangan subsidi BBM dan konversi BBM di sektor transportasi, jelas membutuhkan peranan besar pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk memastikan guncangan akibat pengurangan subsidi BBM dapat diisolasi. Dalam pola otonomi daerah saat ini, tidak dapat dibayangkan bagaimana birokrat-birokrat pemerintah pusat yang diceritakan di atas dapat memastikan adopsi. Kita dapat melihat contoh bagaimana gagalnya pemerintah pusat dalam mendorong Pemerintah DKI Jakarta di bawah Fauzi Bowo menjalankan 17 langkah yang dimandatkan Presiden Yudhoyono melalui Wakil Presiden Boediono. Sebagian langkah tersebut malah dapat terjadi setelah Jokowi terpilih dalam Pilkada DKI 2012.

Pola otonomi daerah yang saat ini terjadi juga diperumit secara politis. Pihak oposisi masih memegang kekuasaan di sebagian besar provinsi dan kabupaten/kota. Jika pihak oposisi ini melakukan sabotase dengan terkoordinasi, dapat dipastikan beberapa program strategis Jokowi-JK akan dijalankan dengan serampangan sehingga tak dapat mencapai hasil yang diharapkan.

Kerumitan ketiga adalah problem program warisan pemerintahan Yudhoyono yang telah merugikan atau berpotensi merugikan rakyat. Contoh pesawat terbang kepresidenan dan Mercedes Benz buat menteri adalah contoh kecil dan insignifikan dibandingkan dengan beberapa program lainnya seperti Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Sudah ratusan proyek yang dinaungi MP3EI telah dimulai dengan skema pembiayaan Kerjasama Pemerintah Swasta (Public Private Partnership atau PPP) secara multi-years. Dampak sosial dan ekologis yang terjadi di proyek-proyek tersebut akan menjadi sandungan terhadap jalannya pemerintahan ke depan.

Proyek-proyek MP3EI warisan tersebut juga akan mengurangi ruang fiskal. Hingga saat ini dalam observasi yang dilakukan oleh beberapa organisasi non pemerintah, penyertaan modal pemerintah masih jauh lebih besar dibandingkan dengan modal swasta yang diharapkan dalam PPP. Sebagian proyek tersebut malah dimasukkan dalam skema utang domestik dan luar negeri.

Kerumitan terakhir yang tak kalah strategisnya terletak pada problem narasi dan diskursus dominan dalam peran negara yang kini telah dianut oleh kalangan birokrasi, baik mereka yang reformis maupun yang konservatif.

Sebelumnya, logika birokrasi berada dalam selubung ideologis ‘mengayomi’. Birokrasi menganggap dirinya lebih tinggi, lebih tahu, lebih kompeten daripada rakyat, karena itu mengabdikan dirinya untuk membimbing rakyat. Masalahnya, rakyat pada masa itu tidak perlu tahu bagaimana birokrat dan kroninya dapat memperkaya diri dari proses ‘pengayoman’ tersebut. Saat ini, di tengah tekanan dan sorotan publik, kalangan birokrasi seperti menemukan selubung baru, yaitu ‘pemberdayaan’. Jika sebelumnya Negara bertanggung jawab secara luas, kini Negara bertanggung jawab seperlunya saja karena rakyat harus bisa berdaya. Dengan logika ini, peranan Negara diminimalisasi dan peran-peran pelayanan diserahkan kembali ke rakyat melalui mekanisme pasar.

Dalam hal ini, artinya secara ideologi pemerintahan, pemerintahan Jokowi-JK yang dengan agenda Nawa Cita-nya (singkatnya narasi Negara kuat dan hadir) akan berhadapan dengan dua lawan dan kompetitor: ideologi publik dikelola oleh mekanisme pasar yang dianut oleh para reformis dan ideologi rejim birokrasi yang sibuk menyelamatkan kepentingannya sendiri. Tiga perspektif kepentingan ini jelas akan membuat lebih sulit formulasi kebijakan di dalam pemerintahan. Sangat mungkin bahwa pertarungannya tidak akan menajam, akan tetapi besar kemungkinan membuat kebijakan-kebijakan pemerintah tidak koheren, multi interpretasi dan pada akhirnya malah tidak efektif.***

 

Penulis adalah pendiri geopolitik.org dan mantan anggota Pokja Politik Legislasi Tim Transisi.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.